ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-54


Sejak sebulan yang lalu, orang-orang membawa beras dan padi ke sebuah gudang besar yang dibangun di kadipaten itu. Pasukan Mataram mendirikan gudang ransum yang besar di kadipaten Tegal.

Seorang lelaki tinggi besar berjalan mondar mandir di depan gudang itu. Beberapa kali dia mendekat ke pintu gudang yang lebar dan memandang ke dalam gudang di mana ratusan karung beras dan beberapa gunungan padi bertumpuk-tumpuk. Setelah gudang itu penuh dengan ransum yang ditumpuk selama kurang lebih sebulan itu, semua pekerja keluar dan daun pintu ditutup. Ada lima orang tetap menjaga di pintu gudang. Laki-laki tinggi besar itu menemui seorang di antara pekerja dan bertanya perlahan.

“Sudah penuhkah?”

“Sudah,” jawab pekerja yang bertubuh pendek gendut itu.

“Penjaganya hanya lima orang itu?”

“Ya.”

Tanya jawab singkat ini dilakukan sambil berjalan berdampingan dengan suara berbisik.

“Tengah malam nanti.” kata laki-laki tinggi besar itu ketika mereka hendak berpisah.

Dua laki-laki itu sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi gerak gerik si tinggi besar, mulai dia mondar mandir di depan gudang sampai dia bertemu dan bicara dengan pekerja yang tubuhnya gemuk pendek itu, selalu dibayangi, diawasi dan didengarkan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah Jatmika.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jatmika mengantar Eulis atau Sulastri ke rumah orang tuanya di Dermayu, kemudian dia pergi meninggalkan Dermayu untuk mencari para pembunuh ayah dan kakeknya. Di samping itu dia juga ingin membantu Mataram yang dia dengar hendak mengulangi usahanya setahun yang lalu menyerang Kumpeni di Jayakarta.

Ketika keluar dari Dermayu dia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari para pembunuh ayahnya dan kakeknya, terutama sekali Hasanudin dan Banuseta seperti yang diceritakan Aji kepadanya. Tetapi dia teringat akan cerita Aji bahwa Raden Banuseta yang memimpin pasukan Kumpeni menyerang padepokan eyangnya itu pernah menawan Aji dan Sulastri kemudian membawa mereka ke Tegal!

“Siapa tahu aku akan dapat menemukan Banuseta dan Hasanudin di sana,” pikirnya.

Pikiran inilah yang membawa dia ke Tegal dan di kadipaten ini dia menyaksikan kesibukan orang-orang yang mengumpulkan ransum ke dalam sebuah gudang besar.

Ketika mendengar bahwa penumpukan ransum ini untuk keperluan bala tentara Mataram, Jatmika merasa bahwa telah menjadi kewajibannya untuk ikut mengawasi dan mengamat-amati kalau-kalau akan terjadi gangguan pihak musuh, terutama sekali jika Banuseta dan Hasanudin akan muncul. Maka dia pun melakukan penjagaan secara diam-diam dan pada malam itu dia melakukan pengamatan hingga gudang itu penuh dan ditinggalkan oleh para pekerja.

Dalam kegiatan inilah dia melihat laki-laki tinggi besar itu. Dia merasa curiga sekali, maka dia lalu mengintainya dan mendengarkan percakapan antara lelaki tinggi besar itu dengan seorang di antara pekerja. Tentu saja dia merasa curiga dan diam-diam membayangi laki-laki tinggi besar itu.

Lelaki itu memasuki sebuah rumah. Dengan amat hati-hati Jatmika memasuki pekarangan rumah itu dengan cara melompati pagar samping. Tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa di Tegal berkeliaran banyak mata-mata Kumpeni dan ketika dia membayangi tadi, dia telah ketahuan oleh seorang mata-mata lain yang diam-diam memberi isyarat ketika berpapasan dengan laki-laki tinggi besar sehingga mata-mata ini telah mengetahui bahwa dia dibayangi orang!

Di dalam rumah, laki-laki itu segera disambut oleh Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan seorang raksasa kulit putih yang tidak lain adalah Hendrik De Haan, jagoan anak buah Kapten De Vos! Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat ketika laki-laki tinggi besar itu menceritakan tentang gudang ransum yang sudah penuh dan tentang seorang muda yang sejak tadi membayanginya.

“Hemm, biarlah aku yang membereskan orang itu. Tentu dia telik sandi Mataram. Engkau, Nyi Maya Dewi, dan tuan Hendrik De Haan, lanjutkan rencana kita. Malam ini juga gudang itu harus dibakar habis. Wira, kau pancinglah telik sandi Mataram itu agar dia keluar kota sebelah selatan. Aku yang akan membunuhnya!”

Mereka terus mengatur siasat. Maya Dewi dan Hendrik lalu bersiap-siap. Mata-mata tinggi besar yang bernama Wira itu kemudian keluar dari rumah dan berjalan menuju ke selatan.

Jatmika yang mengintai tak melihat petemuan tadi karena mereka melakukannya di dalam sebuah ruang tertutup. Ketika Jatmika melihat orang yang dibayangi itu keluar rumah itu, dia pun segera membayangi. Orang itu ternyata keluar kota menuju ke selatan.

Malam itu bulan yang hampir bulat bersinar terang sekali sehingga dengan mudah Jatmika dapat membayangi Wira. Tetapi setelah tiba di jalan yang sunyi, mendadak Wira berhenti lalu memutar tubuh sambil berseru galak.

“Hei, pengecut! Mau apa engkau mengikutiku? Kalau berani ke sinilah!”

Jatmika terkejut. Kiranya orang itu sudah tahu bahwa dia membayangi. Dia lalu melompat keluar dari balik pohon dan menghampiri orang itu.

“Kisanak, andika memata-matai penyimpanan ransum di gudang itu! Siapa andika dan apa maumu?!” bentak Jatmika.

Akan tetapi Wira bahkan mencabut goloknya dan membentak. “Engkau adalah telik sandi Mataram, mampuslah!” goloknya berkelebat menyambar.

“Wusss...!”

Dengan mudah saja Jatmika mengelak ke samping, lalu secepat kilat tangan kirinya sudah bergerak menyambar ke arah lengan lawan yang memegang golok.

“Krekk...!”

Wira menjerit, goloknya terlepas dari pegangan dan lengan kanannya terkulai. Tulangnya sudah patah! Jatmika melanjutkan gerakannya, kaki kanannya segera menyambar.

“Wuuuttt...! Krakk!”

Wira kembali mengaduh dan terpelanting roboh, kaki kirinya terkena tendangan dan tulang betisnya juga patah! Dia mengaduh-aduh, menggunakan tangan kirinya untuk bergantian memijit-mijit lengan kanan dan kaki kiri yang dirasa amat nyeri.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan menyeramkan, seperti suara binatang buas atau setan.

“Aurrgghh...!”

Angin pukulan dahsyat menyambar dari belakang. Jatmika terkejut, mengenal aji pukulan yang ampuh sekali. Dia cepat memutar tubuhnya dan tangan kanannya membuat gerakan berputar untuk menangkis pukulan dahsyat itu.

“Wuuuttt...! Blarrr..!”

Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan tanah sekitar tempat itu seperti tergetar!

Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali jika orang yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram ini demikian kuatnya sehingga sanggup menangkis pukulan mautnya!

Di lain pihak Jatmika juga terkejut. Ternyata penyerangnya adalah seorang kakek seperti raksasa brewok yang kuatnya bukan main sehingga ketika tangan mereka saling bertemu, tubuhnya lantas tergetar hebat. Kini dua orang itu berdiri saling berhadapan dengan sikap hati-hati.

“Siapa engkau?” tanya Harya Baka Wulung.

“Namaku Jatmika. Dan siapakah andika? Mengapa menyerangku?”

“Engkau tentu telik sandi Mataram!”

“Dan andika tentulah mata-mata Kumpeni Belanda! Tidak tahu malu menjadi antek musuh negara dan bangsa!”

“Babo-babo, keparat Jatmika! Semenjak dulu aku adalah musuh besar Mataram!” Setelah berkata demikian tiba-tiba kakek itu membuat gerakan berjongkok lalu mendorongkan dua tangannya ke arah Jatmika. Melalui mulutnya, dari perutnya yang gendut itu keluar suara berkokok seperti bunyi katak budug yang besar.

”Kok-kok-kok...!”

“Wuuuttt...!”

Itulah Aji Cantuka Sakti yang sangat dahsyat. Jatmika cepat membuat gerakan mengelak dan menangkis dari samping. Biar pun dia tidak menerima pukulan secara telak, tetap saja tenaga getaran Aji Cantuka Sakti itu membuat dia terhuyung!

“Mampus kau!” Harya Baka Wulung mengulangi serangannya.

“Kok-kok-kok...!”

“Wussss...!”

Karena dia sudah tahu betapa kuat dan berbahayanya aji pukulan lawan itu, maka Jatmika tidak mau sembarangan menangkis melainkan cepat menghindar dengan elakan cepat.

Harya Baka Wulung menjadi penasaran sekali sebab pukulannya selalu berhasil dielakkan dan lawannya yang masih muda itu ternyata gesit bukan main. Dia lalu mencabut kerisnya yang besar panjang berluk sembilan dan menerjang maju sambil berteriak panjang.

“Haaaiiik...!” Keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Jatmika.

“Cringgg...! Tranggg...!”

Ternyata Jatmika cepat bergerak. Tadi dia sudah mencabut pula senjatanya Kyai Cubruk, yaitu keris yang bergagang kayu cendana dan berpamor emas itu, lantas menangkis. Dua kali dua batang keris itu bertemu dan bunga api berpijar menyilaukan mata.

Harya Baka Wulung menggereng dan tangan kirinya bergerak mendorong. Tampak asap hitam meluncur dari telapak tangannya. Itulah Aji Kukus Langking (Asap Hitam).

Jatmika terkejut dan melompat ke samping menghindar. Tetapi kakek itu mengejar dengan serangan kerisnya. Demikianlah, Jatmika lantas terdesak oleh serangan keris dan pukulan berasap hitam yang datangnya bertubi secara bergantian itu.

Masih untung baginya bahwa Ki Harya Baka Wulung kini sudah tua, usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, gerakannya kurang gesit sehingga Jatmika yang lebih gesit dapat menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Namun tetap saja dia terdesak terus sebab dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

“Haaaiiitt...!” Kembali keris kakek itu menyambar, disusul pukulan berasap hitam.

Jatmika yang sudah terdesak terpaksa menyambut pukulan itu dengan Aji Margopati.

“Wuuuttt...! Dessss...!“

Tubuh Jatmika segera terjengkang ke belakang, akan tetapi pemuda itu dapat bergulingan sehingga tidak sampai terbanting. Tiba-tiba ada tangan yang menangkap lengannya.

“Kakang-mas Jatmika, engkau tidak terluka?” tanya seorang wanita.

Jatmika melompat berdiri. “Eulis...!”

“Namaku Sulastri, kakang!” kata Sulastri lalu menuding ke arah kakek yang memandang kepada mereka dengan marah. “Dia itu adalah Ki Harya Baka Wulung yang dahulu pernah kulawan bersama Mas Aji. Hayo kita basmi antek Belanda ini! Kita satukan Aji Margopati!”

Sementara itu, ketika melihat Sulastri, Ki Harya Baka Wulung lalu teringat dan dia menjadi marah akan tetapi juga terkejut sekali karena dia ingat betapa gadis itu dahulu mempunyai seorang kawan, yaitu Lindu Aji yang sangat sakti mandraguna sehingga dia sendiri merasa kewalahan melawannya. Jangan-jangan Lindu Aji juga ikut datang! Maka, dalam usahanya menyelamatkan diri, dia mendahului dan sambil berteriak keras dia menerjang ke arah dua orang muda itu dengan keris dan pukulan mautnya! Kerisnya menghujam ke arah Jatmika dan pukulan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Sulastri.

Dua orang muda itu segera melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Harya Baka Wulung untuk berusaha melarikan diri. Akan tetapi Sulastri sudah menduga hal ini. Gadis ini sudah mencabut pedang Nogo Wilis kemudian dengan amat cepatnya dia melompat menghadang di depan Harya Baka Wulung dan pedang pusakanya menyambar, berubah menjadi sinar hijau.

“Tua bangka jahat, hendak lari kemana engkau?!”

Gerakan serangan Sulastri begitu cepatnya sehingga kakek itu tidak sempat mengelak dan terpaksa menggunakan kerisnya untuk menangkis.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Sulastri terhuyung ke belakang. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung tak sempat melarikan diri karena pada saat itu Jatmika sudah menyerangnya dengan keris Kyai Cubruk. Ketika Ki Harya Baka Wulung mengelak, Sulastri sudah menyerang lagi dan kakek itu segera dikeroyok dua.

Tiba-tiba kakek itu membanting sebuah benda ke atas tanah dan terdengar suara ledakan, lalu asap hitam mengepul tebal. Jatmika dan Sulastri berloncatan menghindar. Akan tetapi kakek itu sudah lenyap.

“Wah, dia sudah pergi. Si keparat!” seru Sulastri.

“Celaka, di sana ada kebakaran!” Jatmika menuding ke utara, ke arah kadipaten Tegal.

Sulastri menengok dan benar saja, tampak api dan asap membubung tinggi, tanda bahwa di sana terjadi kebakaran besar. Tak ada waktu lagi untuk bercakap-cakap, maka Jatmika berkata sambil menarik tangan Sulastri.

“Mari cepat. Agaknya gudang ransum Mataram dibakar!”

Mereka lalu menggunakan ilmu berlari cepat dan seperti terbang menuju ke kota. Sesudah mereka tiba di depan gedung ransum itu, dugaan Jatmika ternyata benar. Yang terbakar adalah gudang ransum itu.

Api menyala di dalam gudang, besar sekali hingga membubung tinggi. Melihat keadaannya Jatmika maklum bahwa tak mungkin gudang dan isinya itu diselamatkan lagi.

“Kakang-mas Jatmika, hayo kita cari mereka!”

“Ehh, siapa? Di mana?’

“Iblis-iblis mata-mata Kumpeni itu. Aku tahu di mana sarang mereka! Hayo!”

Sulastri segera berlari diikuti oleh Jatmika, dan gadis itu menuju rumah Ki Warga di mana dia dan Lindu Aji dahulu pernah menjadi tawanan para mata-mata Belanda dan bermalam di situ. Sulastri memberi isyarat dan mereka berindap indap mengintai ke dalam rumah itu.

Terdengar suara orang di ruangan belakang dari mana tampak sinar penerangan, ada pun ruangan lainnya gelap saja. Mereka berhasil mengintai dari luar jendela ke dalam ruangan yang luas. Dua buah lampu gantung besar menerangi ruangan itu.

Di dalam ruangan itu duduk tiga orang menghadapi sebuah meja yang penuh makanan dan botol-botol minuman. Di meja lain yang lebih besar duduk pula belasan orang yang terdiri dari tiga orang kulit putih dan empat orang pribumi. Tampaknya mereka itu seperti prajurit dan tukang-tukang pukul.

Sulastri langsung mengenali tiga orang itu. Mereka adalah Ki Warga, Nyi Maya Dewi dan Hendrik De Haan! Melihat mereka, panas rasa hati Sulastri. Akan tetapi ia masih menahan kemarahannya dan mendengarkan percakapan mereka.

Karena mereka bercakap-cakap sambil makan minum maka mereka tidak tahu bahwa ada dua orang yang mengintai dari luar jendela. Bahkan Maya Dewi yang sangat sakti itu pun tidak tahu. Agaknya dia lengah karena mereka tampak sedang bergembira sekali. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.

“Ki Warga, sekali ini pekerjaanku berhasil baik sekali!” kata Maya Dewi sambil tersenyum cerah dan manis. “Andika harus melaporkan jasaku ke Batavia!”

“Ha-ha-ha...! Ingat, aku juga ikut berjasa, Dewi!” kata si raksasa Hendrik De Haan dengan bahasa daerah yang bercampur aduk dengan bahasa Melayu dan Belanda. “Sebab akulah yang membakar gudang itu setelah menyiraminya dengan minyak!”

“Hemm, tetapi aku yang lebih dulu membunuh lima orang penjaga itu!” kata Maya Dewi.

Dari meja lain, seorang pribumi berkata. “Kami juga bekerja. Kita semua berjasa!”

Ki Warga mengangguk-angguk. “Tentu saja, aku akan membuat laporan kepada atasan. Kalian semua pasti akan memperoleh hadiah besar. Marilah kita rayakan keberhasilan ini! Mari kita minum sepuasnya!”

Kini Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia segera memberi isyarat kepada Jatmika dengan sentuhan pada tangan pemuda itu, lalu dia membentak sambil melompat dan mendorong daun jendela.

“Antek Kumpeni keparat!”

“Braakkk...!”

Tubuhnya meloncat ke dalam ruangan itu melalui jendela yang sudah terbuka, diikuti oleh Jatmika.

Tentu saja semua orang dalam ruangan itu terkejut sekali. Tujuh orang prajurit dan tukang pukul yang berada terdekat dengan Sulastri dan Jatmika segera bangkit berdiri. Seorang serdadu Belanda mengambil bedilnya yang dia sandarkan di dekat tubuhnya. Akan tetapi sinar hijau dari pedang Nogo Wilis menyambar dan serdadu itu berteriak lalu roboh mandi darah. Dua orang serdadu lainnya mencabut pistol mereka dan membidik ke arah Sulastri dan Jatmika. Akan tetapi secepat kilat dua orang pendekar itu telah menangkap dua orang tukang pukul.

“Darrr-darrrr...!”

Dua orang yang ditangkap Sulastri dan Jatmika lalu dijadikan perisai itu menerima peluru-peluru itu hingga mereka tersentak dan tewas seketika. Sulastri dan Jatmika melemparkan mayat-mayat itu ke arah dua orang serdadu yang menembak.

Dua orang serdadu itu tertumbuk sehingga terjengkang dan sebelum mereka bisa bangkit kembali, pedang Nogo Wilis dan keris Kyai Cubruk telah meluncur dan dua orang serdadu Belanda itu tewas seketika.

Dua orang tukang pukul menjadi ketakutan melihat betapa dalam waktu begitu cepat, tiga orang serdadu Belanda yang bersenjata api telah terbunuh, demikian pula dua orang rekan mereka!

Sementara itu Maya Dewi dan Hendrik De Haan juga sudah mengenal Sulastri. Karena itu mereka terkejut tetapi marah sekali melihat betapa dua orang muda itu telah menewaskan lima orang anak buah mereka. Juga Ki Warga terkejut bukan main.

Maya Dewi dan Hendrik De Haan cepat melompat dari kursi mereka, sedangkan Ki Warga diam-diam berlari keluar dari ruangan. Maya Dewi telah meloloskan sabuk Cinde Kencono, ada pun Hendrik De Haan telah mencabut pistol dari pinggangnya. Raksasa bule ini cepat menembakkan pistolnya ke arah Jatmika.

“Darrr-darrrr...!”

Akan tetapi Jatmika melempar tubuh ke samping lalu bergulingan dan sambil bergulingan dia melontarkan keris pusakanya ke arah tangan Hendrik yang memegang pistol itu.

“Dorrr...! Trangg...!”

“Ahhh...!”

Tembakan ketiga kali ini pun luput dan tiba-tiba keris itu menyambar lalu mengenai tangan Hendrik yang mengaduh sementara pistolnya terlempar bersama keris. Dia menjadi marah dan sudah menerkam kepada Jatmika dengan pukulan tangannya yang sangat besar dan kuat. Akan tetapi Jatmika menangkis dan membalas. Dua orang itu segera saling serang dengan seru.

Nyi Maya Dewi juga sudah menyerang Sulastri dengan sabuk Cinde Kencana. Sabuk yang berwarna kuning emas itu berubah menjadi cahaya bergulung-gulung yang menyambar ke arah Sulastri dengan suara meledak-ledak. Namun Sulastri yang maklum akan kesaktian wanita ini, juga memutar pedangnya yang membentuk sinar kehijauan seperti payung atau perisai yang melindungi dirinya. Dia juga berusaha membalas dengan gigih.

Dua orang sisa anak buah yang tadinya ketakutan sekarang menjadi nekat ketika melihat kedua orang pimpinan mereka sudah saling serang dengan dua orang muda itu. Seorang mencoba untuk membantu Nyi Maya Dewi dan seorang lagi membantu Hendrik De Haan dengan golok mereka. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik saja dua orang anak buah itu sudah roboh oleh pukulan Margopati tangan Jatmika dan sambaran sinar pedang hijau di tangan Sulastri.

Betapa pun besar tenaga kasar Hendrik dan betapa kuat pun tubuhnya, tetapi dia merasa kewalahan menghadapi Jatmika yang bergerak dengan gerakan Aji Sonya Hasta dan bila memukul mempergunakan tenaga Aji Margopati. Sudah beberapa kali dia terkena pukulan Margopati dan biar pun dia masih dapat bertahan, namun sesungguhnya dia sudah terluka dalam dan tenaganya mulai berkurang.

Ketika Hendrik menyerang dengan kedua tangannya, hendak menangkap lawan, Jatmika cepat mengelak. Dia tahu bahwa kalau dia sampai tertangkap oleh dua buah tangan yang panjang besar dan sangat kuat itu, maka dia terancam bahaya maut. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat tadi hanya berupa gertakan saja karena tiba-tiba Hendrik sudah berlari ke sudut ruangan di mana menggeletak pistolnya yang tadi terlempar ke sana.

Akan tetapi dengan cepat sekali tubuh Jatmika sudah melesat bagaikan kilat mengejarnya dan pemuda perkasa ini sudah lebih dulu mengambil pistol itu. Selama hidupnya Jatmika belum pernah memegang pistol, apa lagi menembak. Tapi dia pernah mendengar tentang senjata api itu dan dapat mengira-ngira bagaimana menarik pelatuknya untuk menembak. Dia membidik ke arah Hendrik yang masih bergerak untuk merampas pistol lantas menarik pelatuknya dengan jari telunjuk.

“Darrrr...!”

Pistol itu seolah-olah menendang sehingga Jatmika terkejut dan melemparkannya ke arah Hendrik. Akan tetapi dia melihat Hendrik terjengkang sambil mendekap dadanya dan roboh tak bergerak lagi. Jatmika segera mengambil keris Kyai Cubruk yang tergeletak tidak jauh dari situ, kemudian dia melompat dan membantu Sulastri yang terdesak oleh sabuk Cinde Kencono Nyi Maya Dewi yang meledak-ledak itu.

“Hyaahh...!” Jatmika menyerang dengan pukulan Margopati yang dilakukan dengan tangan kirinya.

“Haaiitt...!” Sulastri yang tadinya terdesak, bahkan pundaknya sudah terkena lecutan ujung sabuk lawan dan terluka, kini berbesar hati dan dia juga menyerang dengan Aji Margopati.

Diserang dari depan dan dari kiri itu, Maya Dewi menjadi terkejut bukan main. Apa lagi dia bisa merasakan bahwa tenaga pukulan pemuda itu malah lebih kuat dibandingkan pukulan Sulastri. Maka dia pun cepat mengelak dengan lompatan ke belakang.

Ketika dua orang pengeroyoknya mendesak dengan senjata pedang dan keris, Maya Dewi memutar sabuknya untuk melindungi dirinya kemudian tiba-tiba tubuhnya melompat tinggi! Sebelum Sulastri dan Jatmika menyadari apa yang dilakukan Maya Dewi, terdengar suara berkerontangan dan ruangan itu menjadi gelap gulita!

Kiranya wanita cerdik itu sudah menghancurkan dua buah lampu gantung yang menerangi ruangan itu! Karena khawatir diserang dalam kegelapan itu, Sulastri dan Jatmika memutar senjata untuk menjaga diri. Akan tetapi tidak ada serangan, tidak ada suara, bahkan tidak ada gerakan. Maya Dewi telah lenyap dari ruangan itu!

Mendadak terdengar suara banyak orang dari luar rumah itu. Jatmika dan Sulastri maklum akan bahaya yang mengancam mereka apa bila banyak mata-mata Kumpeni dan serdadu-sedadu mereka datang ke situ. Maka keduanya cepat melarikan diri, keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Mereka mengintai dari tempat gelap dan Sulastri melihat Ki Warga bersama belasan orang Belanda yang memegang pistol.

Sulastri memberi isyarat kepada Jatmika dan mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka melarikan diri dan berada di luar kota, Jatmika lalu mengajak Sulastri beristirahat di dalam sebuah gubug yang berdiri di ladang. Bulan sudah condong ke barat, namun masih memberi penerangan sehingga cuaca menjadi remang-remang.

“Sayang kita tidak berhasil membunuh wanita iblis itu!” Sulastri berkata kecewa.

“Ya, lebih menyesal lagi kita tidak berhasil mencegah mereka membakar gudang ransum itu!” kata Jatmika. “Tetapi bagaimana engkau tiba-tiba muncul membantuku dan benarkah engkau telah sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu, Eulis?”

“Ceritanya panjang, Kakang-mas Jatmika. Dan karena sekarang aku sudah ingat kembali bahwa namaku adalah Sulastri, maka kita lupakan saja nama Listyani atau Eulis itu. Mulai sekarang harap engkau memanggil aku Sulastri.”

“Baiklah, Sulastri, walau pun di dalam hatiku engkau tetap Eulis yang geulis (cantik). Nah, ceritakanlah pengalamanmu semenjak kita berpisah.”

Sulastri lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Parmadi dan Muryani di sungai ketika dia bersama Neneng Salmah hendak mencuci pakaian dan mandi.

“Nanti dulu, siapa itu Neneng Salmah?” Jatmika bertanya.

“Oh, ya! Engkau belum mengenalnya!” Dia lalu bercerita mengenai gadis waranggana dari kadipaten Sumedang itu yang datang dengan Ki Salmun, ayahnya, datang mengungsi dari Sumedang ke Dermayu atas nasehat Lindu Aji.

Sesudah mendengar keterangan panjang lebar tentang Neneng Salmah, Jatmika bertanya lagi. “Lalu siapakah Parmadi dan Muryani itu?”

“Engkau tidak dapat menduga siapa Kakang-mas Parmadi. Dia masih kakak seperguruan kita!”

“Ehh? Bagaimana mungkin? Mengapa aku tidak mengenalnya?”

“Tentu saja tidak. Dia adalah murid dari Eyang Resi Tejo Wening, kakak guru mendiang Eyang Guru Ki Tejo Langit.”

“Ahh, begitukah? Ceritamu semakin menarik saja. Lanjutkanlah, Lastri.”

“Sesudah saling mengenal aji-aji kami yang sama, dan tahu bahwa aku kehilangan ingatan masa lakuku, Kakang-mas Parmadi bersama istrinya Mbakayu Muryani lalu berkunjung ke rumah dan mengobatiku dengan tiupan sulingnya. Aku sembuh dan ingatanku dapat pulih kembali.”

“Terima kasih kepada Gusti Allah! Wah, syukurlah, aku ikut merasa bahagia sekali, Lastri!” Saking gembiranya Jatmika merangkul gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan yang lembut Sulastri menghindar.

Jatmika merasa heran sekali, akan tetapi tidak memaksa, hanya berkata penuh perasaan sehingga suaranya menggetar.

”Aku rindu sekali padamu, Lastri.”

Sulastri menghela napas panjang. Sesudah teringat kembali mengenai masa lalunya, kini dia selalu teringat akan hubungan batinnya dengan Lindu Aji sehingga sulit baginya untuk membiarkan dirinya dipeluk pria lain walau pun pria itu adalah Jatmika yang dikagumi dan disukainya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)