Kemelut Blambangan Jilid 06
"Hemm, Andika hendak bertindak sewenang-wenang? Saya juga terpaksa akan menghalangi Andika."
"Bocah sombong, terima ini!" Resi Sapujagad menggerakkan tangannya dan sinar merah menyambar ke arah Bagus Sajiwo dengan suara berkeritikan nyaring. Itulah senjata istimewa tasbeh merah yang dapat terbang menyerang lawan lalu kembali ke tangan pemiliknya.
Bagus Sajiwo maklum bahwa kedua orang lawannya ini memiliki kesaktian, melihat sinar merah menyambar itu pun dia tahu bahwa serangan itu berbahaya. Akan tetapi dengan sikap tenang, tanpa mengubah kedudukan tubuhnya, dia menggerakkan tangan kirinya menyambut dan telapak tangan kirinya menampar ke arah sinar merah yang menyambar ke arah lehernya.
Wuuuttt .... trakkkkk!!" tangan itu menghantam ke arah sinar merah dan sinar itu terpental kembali ke arah Resi Sapujagad. Pertapa ini menerima kembali tasbeh merahnya dengan tangan kiri. Akan tetapi dia terkejut dan meloncat ke belakang ketika menerima untaian tasbehnya ternyata telah putus dan beberapa butir biji tasbehnya jatuh berserakan di atas tanah!
Sebagian masih tergenggam olehnya dan dengan marah sekali dia menggunakan sisa biji tasbih yang berada di tangan kirinya itu untuk menyerang Bagus Sajiwo dengan sambitan. Tujuh buah biji tasbeh menyambar ke arah tubuh Bagus Sajiwo. Bagus Sajiwo menggerakkan kedua tangannya bergantian, dengan tangan terbuka mendorong ke depan berulang-ulang. Tujuh butir biji tasbeh itu terpukul runtuh sebelum dapat mendekati tubuh Bagus Sajiwo.
Resi Sapujagad semakin penasaran. Dia mencabut kerisnya berluk sembilan lalu menyerang ke depan, menusukkan kerisnya ke perut Bagus Sajiwo. pemuda ini mengelak dengan gerakan ringan ke kiri sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari sebelah kirinya. Dengan melangkah mundur Bagus Sajiwo menghindarkan diri dari serangan pedang yang dilakukan Bhagawan Dewokaton itu.
"Curang!" seru Ki Mundingsosro melihat betapa dua orang utusan Blambangan itu melakukan pengeroyokan terhadap cucunya. Dia sudah siap untuk membantu cucunya.
"Eyang, biar saya sendiri saja yang melayani dua orang ini, harap Eyang jangan membantu saya!"
Mendengar seruan cucunya itu, Ki Mundingloyo memegang lengan kakaknya. "Kakang, aku yakin Bagus Sajiwo akan mampu mengalahkan mereka. Percayalah!"
Ki Mundingsosro menyarungkan lagi pedangnya. dia pun kini percaya akan kemampuan cucunya. Selain itu, andaikata dia maju dan dihadapi seorang di antara dua utusan Blambangan itu, dia pasti akan kalah. Biarpun demikian, dua orang ketua Sardulo Cemeng itu menonton pertandingan itu dengan hati tegang. Mereka tahu betul betapa saktinya dua orang utusan Blambangan itu dan kini cucu mereka yang masih muda itu dikeroyok mereka berdua!
Gerakan dua orang pertapa itu memang dahsyat sekali. Keris di tangan Resi Sapujagad meluncur dan menyambar seperti seekor ular terbang, sedangkan pedang di tangan Bhagawan Dewokaton berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung. Padahal Bagus Sajiwo sama sekali tidak memegang senjata. Melihat ini, kedua orang ketua Sardulo Cemeng itu merasa khawatir juga.
"Bagus, pakai pedangku ini!"
"Pakai trisulaku!" Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo melemparkan senjatanya. Dengan berbareng dua macam senjata itu melayang ke arah Bagus Sajiwo yang sedang menghadapi pengeroyokan dua orang utusan Blambangan itu.
"Trang-cringg ....!" Dua buah senjata itu terangkis dan melayang kembali kearah pemiliknya masing-masing.
"Kanjeng Eyang, saya tidak memerlukan senjata untuk menghadapi mereka ini!" kata Bagus Sajiwo.
Dua orang ketua Sardulo Cemeng itu mengambil senjata masing-masing yang tertangkis oleh senjata dua orang musuh itu. Biarpun senjata dua orang pengeroyok itu menyambar-nyambar dahsyat, namun tubuh Bagus Sajiwo seolah lenyap dan hanya tampak bayangannya yang berkelebatan di antara gulungan sinar kedua buah senjata dari dua orang pengeroyoknya. Dua orang pertapa itu mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka, namun tetap saja mereka tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu dengan senjata mereka.
"Andika berdua pergilah dari sini!" tiba-tiba terdengar suara Bagus Sajiwo disusul suara mendesis tajam dan tubuh kedua orang pertapa itu terdorong ke belakang.
Mereka terhuyung-huyung dan muka mereka berubah pucat sekali. Tadi, secara aneh sekali tiba-tiba bayangan yang berkelebatan dan tak pernah tersentuh senjata mereka itu berputar membuat mereka pening dan tiba-tiba mereka merasa lengan kanan mereka yang memegang senjata seolah lumpuh, lalu ada tangan mendorong dada mereka sehingga mereka terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mereka menjadi pucat karena maklum betapa sama sekali mereka tidak mampu menyelamatkan nyawa mereka. Akan tetapi setelah mereka berdiri tegak dan menarik napas panjang, hati mereka menjadi lega karena mereka sama sekali tidak menderita luka sebelah dalam tubuh mereka. Padahal tadi lengan kanan mereka sejenak lumpuh dan pukulan tangan ke dada mereka itu sama sekali tidak dapat dihindarkan. Ternyata kini luka sedikit pun tidak! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu memang tidak ingin mencelakakan mereka. Mereka tahu benar bahwa sekiranya Bagus Sajiwo memukul sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga saktinya, mereka tentu akan terpukul roboh dan tewas seketika!
"Terima kasih, atas kebijaksanaanmu, Bagus Sajiwo!" kata Resi Sapujagad.
"Heh-heh-heh, aku tidak malu mengaku bahwa aku telah kalah!" kata pula Bhagawan Dewokaton.
"Selamat tinggal!" Keduanya berseru lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan perkampungan itu.
"Kanjeng Eyang, saya kira tidak perlu mengejar mereka!" kata Bagus Sajiwo melihat betapa dua orang kekeknya itu bergerak dan para anggota Sardulo Cemeng yang sudah siap pula untuk mengejar dan mengeroyok dua orang utusan Blambangan.
Mendengar ucapan Bagus Sajiwo yang lembut namun berwibawa itu para anggauta Sardulo Cemeng menahan langkah mereka. Juga, kedua orang ketua itu berhenti. Akan tetapi mereka semua memandang ke depan, ke arah dua orang yang melarikan diri itu karena ternyata ada orang yang menghadang mereka. Orang ini bukan lain adalah Joko Darmono. Tadi ketika Joko Darmono yang ikut Bagus Sajiwo melakukan perjalanan tiba di situ dan melihat ada keributan di perkampungan Sardulo Cemeng, Bagus Sajiwo minta kepada kawannya ini untuk berhenti, tidak mencampuri dan menonton saja.
Joko Darmono hanya menonton pertandingan Bagus Sajiwo yang dikeroyok dua, tidak mencampuri karena dia maklum bahwa Bagus Sajiwo tidak akan kalah. Akan tetapi melihat dua orang itu melarikan diri, ia segera menghadang. Ia tahu bahwa dua orang pertapa ini adalah di antara mereka yang bersekutu dengan Adipati Blambangan untuk menentang Mataram, karena tadi dia pun mendengarkan percakapan mereka. Dia tahu bahwa dua orang itu diutus Blambangan untuk memaksa perkumpulan yang dipimpin kakek dari Bagus Sajiwo untuk membantu Blambangan.
Dia pun mendengar dari percakapan tadi bahwa Blambangan hendak memberontak kepada Mataram. Ketika dia melihat mayat seorang anggauta Sardulo Cemeng menggeletak di situ, dia pun mengerti bahwa tentu dua orang utusan Blambangan itu telah membunuh orang di sini. Maka, melihat mereka berdua melarikan diri setelah dikalahkan Bagus Sajiwo, dia cepat menghadang mereka.
"Eit-eit, perlahan dulu. Enak saja kalian, sesudah mengacau di tempat orang, membunuh lagi, kini setelah kalah mau kabur begitu saja!" kata Joko Darmono sambil tersenyum mengejek.
Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton sedang jengkel karena tadi dikalahkan Bagus Sajiwo. Kekalahan mereka dari seorang pemuda itu bagi mereka merupakan tamparan hebat. Mereka mengeroyok dan bersenjata, namun pemuda yang bertangan kosong itu mengalahkan mereka. Sungguh memalukan sekali dan dengan hati jengkel mereka melarikan diri. Maka, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang dan mengejek mereka.
Akan tetapi karena yakin bahwa tidak mungkin di dunia ini ada pemuda yang baru lewat remaja sesakti Bagus Sajiwo, maka mereka memandang rendah dan hendak menumpahkan kekesalan dan kekecewaan hati mereka kepada pemuda yang cengar-cengir mengejek mereka ini. Resi Sapujagad yang lebih galak dibandingkan rekannya itu sudah menudingkan telunjuknya ke arah muka Joko Darmono.
"Bocah lancang, siapa kamu berani menghadangku?"
"He-he, mau tahu namaku? Namaku Joko Darmono dan mengapa aku tidak berani menghadang dukun-dukun lepus seperti kalian?"
"Keparat! Kami adalah pendeta-pendeta, pertapa!"
"Hemm, pendeta yang suka bertapa berarti mengasingkan diri dan berlatih untuk menyucikan hatinya, menjauhkan diri dari urusan dunia agar tidak melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi kalian ini bertindak sewenang-wenang, bahkan membunuh orang, hal itu hanya pantas dilakukan para dukun lepus!"
"Joko Darmono, kuperintahkan padamu, berlutut dan merangkaklah!" Resi Sapujagad yang marah sekali itu mengerahkan kekuatan sihir untuk mempermalukan Joko Darmono.
Akan tetapi, sejak tadi Joko Darmono telah mempersiapkan diri karena dia pun tahu bahwa dua orang yang mengaku sebagai pendeta itu memiliki kesaktian dan menguasai ilmu sihir. Maka, ketika serangan ilmu sihir itu hendak mempengaruhi dan memaksanya untuk berlutut dan merangkak seperti seekor binatang, dia hanya tersenyum saja, bahkan dia lalu bertolak pinggang dengan kedua tangannya dengan sikap menantang!
"Resi Sapujagad, sudah cukupkah engkau melawak? Hayo keluarkan semua ilmu setanmu!"
Tentu saja Resi Sapujagad menjadi penasaran dan semakin marah. Tidak mungkin dia harus kalah pula menghadapi pemuda yang tampaknya masih remaja dan lebih muda dari Bagus Sajiwo ini. Dicabutnya kerisnya dan tanpa banyak cakap dia sudah menerjang maju menusukkan kerisnya ke arah dada Joko Darmono. Pemuda itu mengelak dengan lincah ke kiri lalu dengan gerakan cepat bukan main tangan kanannya menampar sambil mengerahkan suaranya membentak nyaring.
"Heeeiiittt!" Tangan itu menyambar. "Plakk!" Saking cepatnya, Resi Sapujagad yang memandang ringan tidak sempat menghindarkan diri. Dia hanya dapat miringkan tubuhnya sehingga tamparan ke arah dadanya itu hanya mengenai pundaknya. Namun, tubuhnya terhuyung dan hampir terpelanting saking kuatnya tamparan itu.
"Yeaahhh ....!" Melihat rekannya terhuyung, Bhagawan Dewokaton cepat menyerang dengan pedang hitamnya yang menyambar ke arah leher Joko Darmono!
Pemuda ini memang memiliki kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dua orang utusan Blambangan itu dan dia tahu benar akan hal ini maka dia berani mempermainkan dan menghadang mereka. Dia dapat mengukur tingkat kepandaian dua orang itu ketika mereka mengeroyok Bagus Sajiwo tadi.
"Hyaaattt....!" Dia mengeluarkan teriakan melengking dan ketika pedang itu menyambar, dia menekuk lutut merendahkan diri sehingga pedang hitam lewat di atas kepalanya dan dari bawah kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat menghantam perut gendut penyerangnya.
"Blukkkkk...!" Tubuh Bhagawan Dewokaton terjengkang dan dia cepat menggulingkan tubuhnya ke belakang agar terhindar dari serangan selanjutnya.
Akan tetapi sebelum Joko Darmono melanjutkan hajarannya, Bagus Sajiwo sudah berada di dekatnya. "Cukup, Joko! Tidak perlu mendesak mereka yang sudah kalah dan biarkan mereka melarikan diri!"
Ki Mundingloyo yang mendekat pula bersama kakaknya berkata, "Akan tetapi, Angger. Mereka itu telah membunuh seorang anggauta kami..."
"Sudahlah, Eyang. Saya kira tidak perlu memperbesar permusuhan. Memaafkan jauh lebih baik daripada mendendam. Bukankah begitu, Joko?"
Joko Darmono cemberut, masih tak senang karena niatnya menhajar dua orang itu dicegah Bagus Sajiwo sehingga orang itu keburu melarikan diri. "Begitulah, barangkali!"
Ki Mundingsosro menghampiri dan merangkul Bagus Sajiwo. "Aduh, Angger, cucuku Bagus Sajiwo. Kedatanganmu menyelamatkan perkumpulan kami dari malapetaka. Dan pemuda ini siapakah, Bagus?"
"Perkenalkan, Eyang. Ini adalah Joko Darmono, seorang sahabat saya."
"Wah, selamat datang, anakmas Joko Darmono dan banyak terima kasih atas bantuan Anakmas tadi yang telah menghajar dua orang utusan Blambangan yang sewenang-wenang itu."
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Paman .... eh, boleh kan kalau saya juga menyebut Eyang seperti Bagus?"
"Tentu saja! Kami merasa berbahagia sekali mendapatkan seorang cucu lagi seperti engkau!" kata Ki Mundingloyo. "Mari, Cucuku berdua yang tampan dan gagah! Mari kita masuk dan bicara di dalam."
Dua orang muda itu lalu diajak masuk ke dalam di mana mereka disambut penuh kegembiraan oleh dua orang kakek itu. Bagus Sajiwo terpaksa harus menceritakan semua pengalamannya sejak dia diculik orang dalam usia enam tahun dan selama empat belas tahun dia berpisah dari orang tuanya sampai dia kembali setelah berusia dua puluh tahun.
Ketika Bagus Sajiwo menceritakan tentang Ki Tejomanik dan Retno Susilo, kedua orang tuanya, telah didatangi dan diserang orang-orang sakti yang juga mengaku sebagai tokoh Blambangan, kemudian juga tentang Ki Cangak Awu yang diganggu pula para warok sesat yang ternyata kemudian bergabung dengan orang-orang Blambangan, Ki Mundingloyo dan Ki Mundingsosro mengangguk-angguk.
"Jelaslah kalau begitu bahwa Blambangan benar-benar hendak melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Agaknya aksi mereka yang pertama adalah membujuk perkumpulan-perkunpulan dan aliran-aliran persilatan untuk membantu Blambangan. Juga mereka mengutus orang-orang sakti untuk membasmi para tokoh yang setia kepada Mataram, hal ini tentu dengan tujuan untuk melemahkan pertahanan Mataram kalau kelak mereka melakukan penyerbuan ke Mataram."
"Saya kira pendapat Eyang itu benar." kata Bagus Sajiwo. "Sungguh menyedihkan. Blambangan memusuhi Mataram dan kalau terjadi perang akan jatuh banyak korban. Padahal kita semua masih bangsa sendiri, satu tanah air."
"Adipati Blambangan, yaitu Adipati Santa Guna Alit bahkan melakukan hal yang lebih memalukan lagi. Untuk memperkuat pasukannya, dia tidak segan menerima bantuan dari Kerajaan Klungkung di Bali dan lebih gila lagi, dia juga dibantu oleh Kumpeni Belanda." kata Joko Darmono.
"Ah, kalau begini Adipati Blambangan benar-benar tersesat! Kumpeni Belanda adalah musuh bangsa kita, mengapa dia malah bersekutu dengan Belanda?" seru Ki Mundingloyo. "Akan tetapi, bagaimana Andika mengetahui itu semua, Joko Darmono?"
"Hal itu mudah saja diketahui, Eyang. Sejak dahulu Blambangan memang berhubungan dengan Nusa Bali, maka kalau Blambangan merencanakan pemberontakan terhadap Mataram, sudah pasti mereka minta bantuan Bali. Mengenai kerjasamanya dengan Belanda, mudah diduga dan sudah terbukti. Ketika para warok sesat itu menyerbu Jatikusumo dan dapat diusir, kemudian Paman Cangak Awu dan Bibi Pusposari mengejar sampai di bukit Srendil, para warok itu dibantu oleh Iblis Betina Candra Dewi dan seorang kakek muka mayat yang mempergunakan senjata api. Pasti orang itu merupakan antek Belanda, maka dia pandai mempergunakan senjata api. Jadi, tidak dapat disangsikan lagi bahwa Blambangan tentu bergabung dengan Bali dan Kumpeni Belanda."
"Pendapat Joko benar," kata Bagus Sajiwo. "Selain Bali dan Belanda, agaknya Blambangan berhasil membujuk para tokoh sakti seperti dua orang pertapa tadi untuk membantu Blambangan menentang Mataram. Sungguh mengherankan sekali para pendeta dan pertapa seperti mereka mau saja diperalat oleh Adipati Blambangan."
"Apa sih anehnya, Bagus? Para pendeta itu pun hanya manusia biasa dan mereka itu dapat terbujuk tentu karena tertarik oleh imbalan jasa yang dijadikan iming-iming dan daya tarik. Mereka itu hanyalah kaum pria yang biasanya mempunyai kelemahan terhadap tiga hal, setidaknya tentu lemah terhadap satu diantara tiga itu."
"Wah, Andika agaknya mengerti akan keadaan hidup yang sebenarnya. Masih begini muda sudah bijaksana. Aku menjadi kagum dan tertarik sekali, Joko. Coba katakan, apakah adanya tiga hal itu?"
"Tiga hal itu adalah harta, wanita, dan kuasa. Sedikitnya satu di antara yang tiga itu pasti menjadi kelemahan kaum pria." kata Joko Darmono dengan sikap dan suara agak bangga karena merasa diperhatikan dan dikagumi kepintarannya!
"Ha-ha-ha! Semuda ini engkau sudah berpemandangan tajam dan waspada, Joko! Ucapanmu itu memang tepat sekali dan sesungguhnya, tiga hal itulah yang mendatangkan segala macam kekacauan di dalam kehidupan manusia di dunia ini. Sejarah sudah membuktikan betapa banyaknya raja-raja besar jatuh oleh harta, wanita atau kekuasaan. Pendapatmu itu tidak dapat dibantah kebenarannya!" Ki Mundingloyo berseru gembira. "Kakang Mundingsosro, sayang sekali bahwa diantara kita berdua tidak ada yang mempunyai anak perempuan."
"Hee? Kalau mempunyai bagaimana?" Tanya Ki Mundingsosro.
"Kalau aku mempunyai anak perempuan, pasti akan kujodohkan dengan Joko Darmono!" kata Ki Mundingloyo tanpa ragu-ragu.
"Aih, Eyang!" kata Bagus Sajiwo sambil tertawa. "Puteri Eyang tentu usianya sebaya dengan ibu saya, pantas menjadi Ibu, Bude atau Bulik Joko!"
Semua orang tertawa. "Wah, benar juga, aku lupa! Maksudku.... kalau saja aku mempunyai seorang cucu perempuan, aku akan merasa berbahagia kalau mempunyai cucu mantu seperti Joko Darmono ini."
Semua orang kembali tertawa dan suasana menjadi gembiara sekali. Bagus Sajiwo yang tidak pernah membiarkan batinnya hanyut dalam perasaan tertentu, baik itu senang atau pun susah, teringat akan kematian seorang anggota Sardulo Cemeng dan dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan kedua orang eyangnya dia berkata.
鈥淓yang, bukankah tadi ada seorang anggota Sardulo Cemeng menjadi korban dan tewas? Kasihan sekali keluarganya." Biarpun ucapan itu dikeluarkan dengan hati-hati sekali, tetap saja kedua orang ketua itu menghentikan kegembiraan mereka dan alis mereka sedikit berkerut.
"Ah, Sartijo itu seorang duda tanpa anak. Dia sebatang kara dan tidak ada sanak keluarga. Para anggota lainnya telah mengurus jenazahnya." kata Ki Mundingloyo. "Dia seorang gagah perkasa dan jujur, maka berani dia menentang dua orang utusan Blambangan tadi."
"Kami tidak akan pernah melupakan jasanya terhadap perkumpulan kami." sambung Ki Mundingsosro.
Bagus Sajiwo mengangguk-angguk dan dengan bijaksana dia mengalihkan pembicaraan itu. "Oya, saya ingin memberi tanggapan kepada pendapat Joko tadi tentang tiga hal yang menjadi sebab lemahnya seorang pria, bahkan menjadi sebab terjadinya pertentangan dan permusuhan antara manusia di bumi ini. Menurut pendapat saya, di antara tiga hal itu, ada satu yang paling utama, paling besar pengaruhnya dalam kehidupan ini dan paling banyak diperebutkan manusia."
"Hemm, kau maksudkan wanita, Bagus?" tiba-tiba Joko Darmono memotong dengan pertanyaan itu.
"Bukan, bukan wanita dan juga bukan harta, melainkan kekuasaan. Kekuasaan inilah yang selalu diperebutkan orang, karena kekuasaan saja yang dapat mendatangkan segala yang lain itu. Dengan memiliki kekuasaan, orang bisa mendapatkan harta maupun wanita dengan mudah. Karena itulah, di mana-mana orang saling memperebutkan kedudukan yang berarti kekuasaan. Harta belum tentu dapat membeli kekuasaan, sebaliknya dengan kekuasaannya, orang mudah saja mendapatkan harta atau apa saja yang dikehendakinya."
********************
Bagus Sajiwo dan Joko Darmono tinggal di perkampungan Sardulo Cemeng selama satu minggu. Kemudian mereka berdua meninggalkan perkampungan Sardulo Cemeng setelah menerima nasihat dan pesan kedua orang ketua perkumpulan itu agar dua orang ketua perkumpulan itu agar dua orang muda itu mempergunakan kesaktian mereka untuk membela kebenaran dan keadilan, dan membela Mataram kalau diserang oleh Blambangan yang bersekutu dengan Kerajaan Klungkung di Bali dan Kumpeni Belanda. Setelah mereka tiba di luar perkampungan, dua orang pemuda itu berhenti di persimpangan jalan.
"Joko, sekarang engkau hendak pergi ke mana?"
"Dan engkau sendiri, Bagus?"
"Dua pesan orang tuanku sudah kulaksanakan, yaitu singgah di Jatikusumo dan di Sardulo Cemeng, bertemu dengan Paman Cangak Awu sekeluarga dan kedua Eyang Mundingsosro dan Mundigloyo. Sekarang aku bebas, akan melaksanakan pesan mendiang Eyang Guru Ki Ageng Mahendra, juga Ayah Ibuku, yaitu bahwa selain menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, aku juga harus membela Mataram di manapun. Jadi, aku belum mempunyai perjalanan tertentu. Mungkin aku akan pergi ke kota raja Mataram."
"Hemm, mau apa ke sana? Tidak ada sesuatu yang dapat kau bantu di kota raja Mataram. Disana terdapat banyak pamong praja, para senopati yang sakti mandraguna sehingga tidak ada bahaya mengancam kota raja."
"Habis, ke mana?"
"Bagus, kita sudah mendengar akan gerakan yang dilakukan Blambangan untuk mengadakan pemberontakan dan menentang Mataram. Dan mereka sudah mulai mengadakan kekacauan, berusaha membunuhi para tokoh yang setia kepada Mataram dan menggunakan kekerasan memaksa perkumpulan untuk membantu Blambangan. Jelas tindakan ini tidak benar dan kalau hendak menentang kesewenang-wenangan ini, kita harus pergi ke Blambangan atau ke daerah-daerah yang berdekatan dengan Blambangan di mana tentu mereka pertama-tama mengadakan penyerbuan dan pengacauan."
"Kita...?"
"Ya, tentu saja kita berdua. Kecuali kalau engkau tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku, kita boleh saling berpisah di sini!" kata Joko Darmono ketus.
Bagus Sajiwo tersenyum memandang kepada sahabatnya itu. "Wah, mengapa marah, Joko? Siapa bilang aku tidak suka melakukan perjalanan bersamamu? Bukankah kita sudah melakukan perjalanan bersama, menghadapi lawan-lawan tangguh bersama pula, selama ini? Aku bahkan girang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu, apalagi mengingat engkau seorang yang sudah mengenal baik daerah Blambangan."
Wajah Joko Darmono berseri kembali. "Bagus, terus terang saja aku merasa... eh, merasa aman kalau melakukan perjalanan bersamamu."
Bagus Sajiwo tertawa. "Ha-ha, engkau ini lucu sekali! Dengan kemampuanmu membela diri, apa sih yang dapat membuatmu tidak merasa aman? Seorang diripun engkau akan dapat melakukan perjalanan ke manapun tanpa merasa khawatir karena tidak banyak orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkanmu, Joko!"
Joko Darmono juga tersenyum. "Benar... akan tetapi, kita berdua akan lebih kuat lagi menghadapi lawan, bukan? Ingat, Blambangan mengerahkan banyak tokoh yang amat sakti. Yang pernah kudengar saja, selain dalam persekutuan itu terdapat Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton tadi, juga ada pula Arya Bratadewa antek Kumpeni Belanda dan murid-murid Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Nusa Bali, yaitu yang bernama Tejakasmala dan dua orang putera Adipati Santa Guna Alit yang bernama Dhirasani dan Dhirasanu yang kembar. Terutama sekali di sana ada Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya yang bernama Kaladhama dan Kalajana yang terkenal dengan julukan Dwikala, dan dua orang senopati dari Kerajaan Klungkung di Bali, yang bernama Cakrasakti dan Cakrabaya. Nah, itu baru yang kuketahui, yang belum masih lebih banyak lagi. Apa tidak mengerikan?"
"Waduh, engaku hebat sekali, Joko. Engkau mengetahui banyak tentang kekuatan Kadipaten Blambangan! Untung ada engkau, kalau tidak, aku akan menjadi binging di daerah Blambangan yang memiliki demikian banyak orang sakti mandraguna. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan dan engkau kuangkat menjadi penunjuk jalan!"
"Hemm, biasanya seorang penunjuk jalan mendapat upah. Kalau aku kaujadikan penunjuk jalan, upah apa yang akan kau berikan padaku?"
"Upahnya hebat! Aku akan membujuk Paman Cangak Awu dan Bibi Pusposari untuk menerima engkau sebagai mantu mereka, dijodohkan dengan Nimas Nawangsih yang cantik jelita dan lincah jenaka itu!"
Muka Joko Darmono menjadi kemerahan. "Hemm, jangan berpura-pura, Bagus! Aku tahu, Nawangsih kagum dan cinta padamu dan orang tuanya tentu lebih condong mengambil engkau sebagai mantu mereka. Dan engkau tentu tertarik kepada gadis manis itu, bukan? Jangan berbohong dan coba menyangkal!"
Bagus Sajiwo tertawa. "Ha-ha, gadis itu adalah Adikku, Joko!"
"Hemm, bukan adik kandung, hanya Adik misan. Tidak ada salahnya, malah lebih baik untuk mengumpulkan balung pisah (tulang terpisah)!"
"Wah, jangan begitu, Joko. Apakah perjodohan itu hanya cukup didasari pertimbangan tentang mendekatkan kekeluargaan? Hayo jawab yang jujur, apakah engkau mau kalau dijodohkan dengan pertimbangan seperti itu, tanpa mempedulikan perasaan hatimu terhadap gadis yang akan dijodohkan denganmu? Apakah tidak perlu mempertimbangkan perasaan hatimu terhadap calon jodohmu, yaitu apakah engkau cinta kepadanya ataukah tidak?"
"Akan tetapi, Nawangsih itu cantik jelita, lincah gagah, puteri ketua Jatikusumo, keturunan satria, aku tidak percaya engkau tidak tertarik dan jatuh cinta kepadanya!"
Bagus Sajiwo tersenyum. "Apakah seorang laki-laki harus langsung jatuh cinta kalau melihat seorang perempuan cantik? Kalau itu yang menjadi ukuran, bukanlah cinta namanya dan laki-laki seperti itu akan berulang-ulang jatuh cinta, setiap kali dia bertemu dan melihat perempuan cantik! Tidak, Joko, itu bukan cinta namanya, melainkan nafsu yang membuat laki-laki menjadi mata keranjang!"
Joko Darmono tampak tertarik sekali, "Kalau begitu, engkau tidak cinta kepada Nawangsih?"
"Tentu saja aku mencintainya, akan tetapi mencintanya sebagai seorang Kakak terhadap Adik misannya, bukan perasaan cinta seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menjadi pilihan hatinya untuk dijadikan calon isterinya."
Joko Darmono tersenyum. "Wah, bicaramu seperti seorang kakek pendeta saja, Bagus! Aku jadi heran dan ingin sekali mengetahui apakah engkau sudah mempunyai pilihan hati untuk menjadi isterimu?"
Bagus Sajiwo juga tersenyum dan menggeleng kepalanya. Tanpa terasa oleh mereka, percakapan itu menjadi semakin gayeng dan tahu-tahu mereka sudah berhenti melangkah dan berdiri di bawah sebatang pohon besar, tenggelam ke dalam percakapan tadi. "Tidak, Joko, aku belum mempunyai pilihan hati."
Tanpa disengaja terbayang wajah Maya Dewi dalam benak Bagus Sajiwo. Dia harus mengaku bahwa dia mempunyai perasaan cinta, kasih sayang mendalam terhadap Maya Dewi, akan tetapi bukan cinta seorang laki-laki terhadap pilihan hatinya seperti yang dimaksudkan. Dia tidak pernah menginginkan Maya Dewi menjadi isterinya.
"Eit, kenapa kita enak-enak berhenti di sini? Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Bagus!"
Joko Darmono berseru dan mereka berdua melangkah lagi, seolah hendak menebus kelambatan perjalanan tadi karena mereka berhenti di situ untuk mengobrol, kini tanpa kesepakatan lebih dulu keduanya menggunakan aji kesaktian mereka berlari cepat. Tubuh mereka berkelebat dan meluncur cepat sekali. Mereka seperti berlomba, atau lebih tepat lagi, Joko Darmono seolah hendak menguji kemampuan Bagus Sajiwo.
Dia yang menjadi penunjuk jalan, maka dia berlari di depan mengerahkan seluruh tenaga sehingga dapat berlari cepat sekali untuk melihat apakah Bagus Sajiwo mampu mengimbangi kecepatan larinya. Akan tetapi Joko Darmono kecelik. Setelah mengerahkan seluruh tenaga sehingga dia berlari cepat seperti seekor kijang, ternyata Bagus Sajiwo tidak pernah terpisah darinya, tetap berlari di belakangnya dalam jarak sekitar tiga depa!
Setelah berkeringat, Joko Darmono berhenti berlari. Mereka sudah berlari cukup jauh. Dia berhenti dan Bagus Sajiwo juga berhenti. Joko Darmono memandang temannya itu dan dia kagum bukan main. Dia sendiri berkeringat dan napasnya agak memburu. Akan tetapi dia melihat betapa Bagus Sajiwo masih biasa saja, tidak berkeringat dan sama sekali tidak terengah. Hal ini sudah membuktikan bahwa Bagus Sajiwo memiliki ilmu berlari cepat yang lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri dan memiliki daya tahan tubuh kuat, napas lebih panjang!
Mereka kini berjalan biasa, berdampingan. Melihat kain pengikat rambut Joko Darmono yang dipakai menyeka keringat sudah basah, Bagus Sajiwo memberikan kain pengikat rambutnya yang masih kering. Joko Darmono menerimanya dan mempergunakannya untuk menghapus kering sisa keringat di lehernya. Bagus Sajiwo lalu menjulurkan tangan untuk menerima kembali kain pengikat rambutnya, akan tetapi Joko Darmono tidak menyerahkannya.
"Terkena keringatku, Bagus. Biar nanti kucuci dulu."
"Aih, Joko! Apa-apaan sih engkau ini? Masa pinjam kain untuk menyeka keringat saja baru akan dikembalikan setelah dicuci dulu? Apa keringatmu beracun?"
Bagus Sajiwo menggerakkan tangannya dengan cepat merebut kain dari tangan Joko Darmono yang tidak menyangka sehingga kain itu terampas. "Ih, Bagus, kain itu kotor terkena keringatku!"
"Keringatmu tidak kotor, hanya basah!" Bagus Sajiwo mengelak ketika Joko Darmono hendak merampas kembali kain itu. Dia sengaja menggoda, bahkan mendekapkan kain itu ke depan hidungnya.
"Hemm, baunya sedap pula, seperti kayu cendana!"
Wajah Joko Darmono berubah kemerahan. :Uh, engkau mengejek, ya? Mana ada keringat berbau kayu cendana? Semua keringat tentu asam baunya!"
"Kalau engkau sudah tahu begitu, mengapa ribut tentang keringat yang membasahi kain ini? Keringatmu atau keringatku ya sama saja." Bagus Sajiwo lalu mengikatkan kain itu dikepalanya.
"Bagus, tentang pilihan hati tadi..."
"Perempuan yang dicinta dan diharapkan menjadi isteri, maksudmu?"
"Ya, katakanlah, apakah engkau dapat menceritakan, perempuan macam apa kiranya yang akan menjadi pilihan hatimu? Macam bagaimana kecantikan wajahnya, kemolekan tubuhnya, watak dan sikapnya?"
"Walah-walah! Engkau ini menanyakan yang aneh-aneh. Bagaimana aku bisa tahu kalau aku belum menemukannya? Calon jodoh bukanlah benda yang dapat kupilih karena kebagusan atau sifatnya cocok dengan seleraku. Kalau ada perempuan yang membuat aku merasa ingin hidup bersamanya. membangkitkan rasa kasih, iba, haru, membuat aku percaya, ingin melindungi dan ia lindungi, ah, pendeknya aku tidak tahu yang bagaimana ia itu. Kalau suatu saat aku bertemu dengan jodoh, tentu perasaan hatiku akan mengetahuinya. Nah, sekarang tiba giliranmu, kalau engkau, perempuan seperti apa yang kau inginkan menjadi jodohmu, Joko?"
"Aku?" Joko Darmono menengadah, memandang ke arah langit di mana terdapat awan bergerombol, putih seperti sekumpulan domba-domba putih bergerak perlahan. "Hemm, aku akan memilih seorang perempuan yang cantik jelita seperti bidadari kahyangan, anggun dan bersusila, lembut seperti kapas akan tetapi juga gagah perkasa seperti Dewi Woro Srikandi, pendeknya, yang tanpa cacad serambut pun."
Bagus Sajiwo tertawa geli sampai terpingkal-pingkal. Joko Darmono memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mulutnya cemberut, marah. "Hei, Bagus! Engkau menertawakan aku? Hemm, jangan dikira bahwa aku takut padamu dan engkau tidak boleh menghinaku sesuka hatimu! Kalau engkau menantang berkelahi, hayo kulayani, aku tidak gentar melawanmu!"
Bagus Sajiwo yang sedang tertawa geli itu tiba-tiba menghentikan tawanya dan memandang wajah temannya dengan sinar mata penuh keheranan. "Eh, Joko, engkau mengapakah? Tiba-tiba marah dan menantang? Siapa yang menghinamu?"
"Engkau tertawa-tawa, apanya yang lucu? Engkau mentertawakan aku!"
"Aih, sabarlah, Joko. Aku memang tertawa karena mendengar uraianmu tentang permpuan yang menjadi pilihan hatimu itu."
"Mengapa kau mentertawakan? Apanya yang lucu?"
"Penggambaranmu itu lucu, tak masuk akal dan menunjukkan bahwa engkau sombong, Joko!"
"Hei, hati-hati dengan omonganmu, Bagus! Aku sombong? Apa maksudmu?"
:Engkau tadi menggambarkan seorang perempuan khayal. Mana ada seorang perempuan yang demikian sempurna dalam dunia ini? Tanpa cacad sedikitpun? He-he, seorang bidadari pun masih belum sempurna, Joko. Yang maha sempurna itu hanya Gusti Allah saja. Kalau kau lanjutkan cita-citamu ini, hanya akan berjodoh dengan seorang gadis seperti yang kau gambarkan itu engkau akan menjadi joko selama hidupmu, cocok benar dengan namamu, he-heh!"
Joko Darmono tampak termenung mendengar ucapan ini. Kemarahannya mereda setelah dia tahu bahwa bukan maksud Bagus Sajiwo untuk menghinanya. "Bagus, jadi menurut pandanganmu yang picik itu, di dunia ini engkau tidak akan menemukan seorang perempuan yang sempurna seperti yang kugambarkan tadi?"
"Mustahil ada perempuan seperti itu! Aku tidak pernah bertemu dengan seorang perempuan sempurna seperti yang kau gambarkan tadi."
"Hemm, karena engkau memang belum bertemu dengannya, Bagus. Engkaulah yang sombong dan aku yakin, sekali engkau bertemu dengan seorang perempuan seperti yang kugambarkan tadi, engkau akan menyembah-nyembahnya, mohon cintanya, dan engkau dengan senang hati akan mencium kakinya!"
"Walah! Tidak mungkin sama sekali itu!" Bagus Sajiwo berseru.
Memang, pemuda ini sejak kecil mendapat gemblengan batin dan sedikit pun dia belum mempunyai pengalaman tentang wanita. Pergaulannya dengan wanita hanyalah dengan Maya Dewi seorang. Dia sama sekali belum mengenal artinya cinta dan wanita yang sesungguhnya.
"Hemm, kita lihat nanti. Kalau engkau bertemu dengan pilihan hatimu seperti yang kugambarkan tadi dan engkau bertekuk lutut, ingat, akulah yang akan menertawakanmu, Bagus Sajiwo!"
Setelah berkata demikian, Joko Darmono melanjutkan perjalanan itu dengan langkah cepat walaupun tidak berlari lagi. Dia berjalan cepat dan kaku, tidak bicara apa-apa lagi. Bagus Sajiwo hanya merasa heran atas sikap temannya yang dianggapnya aneh itu. Mungkin hati temannya itu sedang jengkel atau merisaukan sesuatu sehingga sikapnya demikian kaku.
********************
Biarpun beberapa usaha yang diatur Bhagawan Kalasrenggi sebagai penasihat sang Adipati Blambangan, untuk membunuh para tokoh yang dianggap setia kepada Mataram dan akan menjadi penghalang gerakan Blambangan telah mengalami kegagalan, namun hal itu tidak mencegah keputusan persekutuan di Blambangan untuk melanjutkan gerakan mereka menentang Mataram.
Pada suatu malam, adipati Santa Guna Alit dari Blambangan mengadakan pertemuan besar dengan para tokoh yang menjadi sekutunya. Malam itu langit gelap sejak sore dan ketika malam tiba, hujan turun dengan lebatnya selama beberapa jam. Ketika semua orang sudah berkumpul di ruangan tertutup dalam gedung istana Sang Adipati Blambangan, hujan sudah berhenti. Hawa malam itu dingin sekali dan seluruh Blambangan basah kuyup. Langit masih gelap pekat. Malam itu memang belum waktunya bulan muncul, akan tetapi tidak ada bintang tampak karena tertutup mendung.
Rapat pertemuan pada malam hari ini lengkap sekali, lebih lengkap daripada pertemuan-pertemuan yang sudah. Malam ini memang hadir tokoh-tokoh penting. Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasihat utama dari Adipati Santa Guna Alit, tetap diserahi untuk memimpin pertemuan penting itu. Adipati Blambangan sendiri hadir bersama kedua orang puteranya yang kembar, tampan dan gagah perkasa, yaitu Dhirasani dan Dhirasanu.
Mereka berempat inilah yang duduk di kepala meja sebagai tuan rumah. Adapun para sekutu yang hadir adalah Tejakasmala bersama Cakrasakti dan Candrabaya, tiga orang sakti yang menjadi utusan atau wakil Kerajaan Klungkung di Bali dan mereka kini ditemani dua orang senopati dari Bali yang baru datang membawa pasukan sebesar dua laksa orang untuk membantu Blambangan.
Dua orang senopati itu adalah Made Sukasada dan Kyai Ngurah Pacung. Ternyata Raja Klungkung bergabung dengan para raja lain mengumpulkan pasukan sebanyak itu dipimpin dua orang senopati ini, untuk membantu Blambangan menghadapi Mataram. Pasukan itu kini telah berkumpul di pantai Blambangan. Hadir pula Arya Bratadewa yang menjadi telik sandi atau antek Kumpeni Belanda. Dia hadir ditemani seorang Belanda bernama kapten Pieter Van De Camer yang berusia lima puluh tahun bertubuh raksasa, berambut kuning dan bermata biru.
Kapen Pieter Van De Camer ini juga mendarat di pesisir Blambangan. Dia menjadi kapten kapal Nieuwicheijt, sebuah kapal Belanda besar yang mempunyai meriam-meriam besar dan persenjataan lengkap. Kedatangan Kapten Pieter dengan kapal perangnya ini membawa berita yang amat menggembirakan pihak sekutu Blambangan. Kapten Pieter mengabarkan bahwa kapalnya telah merontokkan dan menghancurkan armada kapal Mataram yang terdiri dari sebelas buah kapal dengan dua ribu lebih anak buahnya.
Dia bercerita bahwa kapalnya telah mengusir mereka, menenggelamkan beberapa buah kapal dan membunuh ratusan orang perajurit Mataram dengan meriam-meriamnya. Semua orang memandang kagum ketika kapten Belanda itu bercerita. Tentu saja ceritanya itu, walaupun memang benar terjadi antara kapalnya dengan kapal-kapal Mataram, terlalu ditambah dan dilebihkan. Selain sekutu dari Bali dan Kumpeni Belanda, masih hadir pula beberapa orang dari Madura yang diam-diam mendendam kepada Mataram dan membantu Blambangan dengan beberapa ribu anak buah mereka.
Para datuk yang hadir adalah Resi Sapujagad, Bhagawan Dewokaton, Candra Dewi yang sudah menjadi rekan Arya Bratadewa, Ki Kaladhama dan Ki Kalajana murid-murid Bhagawan Kalasrenggi dan masih banyak lagi.
"Sauudara-saudara sekalian" kata Bhagawan Kalasrenggi setelah Sang Adipati mengucapkan selamat datang kepada semua tamu. "Saya mewakili kanjeng Adipati Blambangan untuk merundingkan rencana kita. Melihat keadaannya, saat inilah yang paling tepat untuk mulai dengan penyerbuan kita ke Mataram. Pasukan dari Bali telah datang, demikian pula dari Madura. kami mohon kepada utusan-utusan dari semua pihak untuk melaporkan kekuatan mereka agar semua orang dapat mengetahui dengan jelas dan dapat membesarkan hati."
"Kami dari Kerajaan Klungkung yang bergabung dengan kerajaan lain membawa dua puluh ribu orang perajurit yang telah kami siapkan di pesisir." kata Made Sukasada, senopati yang memimpin pasukan dari Bali itu.
"Pasukan kami terdiri dari para perajurit pilihan." kata pula Kyai Ngurah Pacung, senopati ke dua dari Bali.
Pemimpin ribuan orang dari Madura yang datang hendak membantu Blambangan melawan Mataram adalah seorang tinggi besar yang mukanya penuh brewok, matanya lebar, sikap dan budi bahasanya kasar. Dia bernama Randujapang, berusia lima puluh tahun dan dia pernah berguru kepada mendiang Ki Harya Baka Wulung, datuk yang dulu selalu menentang Mataram dan juga tewas dalam perang melawan Mataram. Randujapang ingin membalas dendam atas kematian guru dan banyak sanak keluarganya dan dia berhasil menghimpun sekitar tiga ribu orang untuk membantu Blambangan. Mendengar orang-orang dari Bali sudah memperkenalkan diri, dia pun berkata dengan suaranya yang lantang dan kasar.
"Kami Randujapang dari Sumenep telah menghimpun sekitar tiga ribu orang untuk membantu Blambangan melawan Mataram. Sungguhpun jumlah kami hanya sedikit, namun kami terdiri dari orang-orang berani mati yang tidak gentar mengorbankan nyawa untuk menentang musuh besar kami, yaitu Mataram. Bhagawan Kalasrenggi atas nama Sang Adipati Blambangan mengucapkan terima kasih dan memberi pujian kepada pimpinan pasukan dari Bali dan dari Madura. Sang Bhagawan ini adalah orang cerdik. Dia tahu benar bahwa kalau ingin menang menghadapi Mataram, bantuan dari Kumpeni Belanda amat diharapkan. Maka dia lalu memandang kepada Kapten Pieter yang duduk di sebelah Arya Bratadewa, lalu berkata sambil tersenyum.
"Tuan Kapten Pieter, Tuan Adipati dan kami semua ingin sekali mendengar, apa yang dapat diberikan Kumpeni untuk membantu kami melawan Mataram."
Kapten Pieter tidak mampu berbahasa daerah dengan lancar, maka dia bicara dalam bahasa Belanda kepada Arya Bratadewa yang menerjemahkannya dengan suara lantang dan sikap sombong dan bangga bahwa dia paham bahasa Belanda.
"Tuan Adipati tentu maklum akan kedudukan Kumpeni sekarang. Semenjak Mataram menyerbu Batavia, sekarang ada semacam perdamaian, walaupun tidak resmi, namun tidak ada perang permusuhan terbuka. Tentu saja Kumpeni tidak dapat membantu Blambangan dengan pasukan karena hal itu akan menyulut api peperangan baru dengan Mataram. Hal ini tidak dikehendaki Kumpeni. Maka dalam gerakan Blambangan untuk menyerang Mataram ini, Kumpeni hanya dapat membantu dengan pemberian senjata dan kalau ada tenaga yang membantu, maka tenaga itu adalah para telik sandi Kumpeni seperti Arya Bratadewa, Ni Candra Dewi, dan yang lain-lain. Mereka semua memiliki tanda sebagai pembantu Kumpeni, yaitu dinar emas bergambar singa."
Adipati Blambangan dan Bhagawan Kalasrenggi mengangguk-angguk. Bagi mereka, bantuan senjata api jauh lebih baik daripada pasukan Kumpeni Belanda. Bhagawan Kalasrenggi atas nama Adipati Blambangan mengucapkan terima kasih kepada mereka semua yang telah mebantu untuk memperkuat pasukan Blambangan yang akan menyerang Mataram. Kemudian perundingan dimulai untuk mengatur siasat. Bhagawan Kala srenggi yang memang sudah mengatur siasat sebelumnya bersama Adipati Blambangan, berkata dengan lantang.
"Benteng pertama Mataram yang akan kita hadapi adalah Pasuruan. Pertahanan Mataram di daerah timur ini berpusat di Pasuruan. Karena itu, pertama-tama kita harus dapat merebut Pasuruan. Dengan demikian kedudukan kita akan menjadi kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke barat sampai ke kota raja Mataram."
Semua setuju dengan rencana ini, lalu mereka mengatur siasat selanjutnya untuk menyerbu Pasuruan dan membuat persiapan. Setelah siasat penyerbuan Pasuruan diatur dengan matang dan pertemuan itu dilanjutkan dengan pesta makan minum. Tiba-tiba perajurit penjaga melapor kepada Bhagawan Kalasrenggi bahwa ada seorang anak buah para penyelidik datang memohon menghadap.
"Bawa dia masuk." perintah Bhagawan Kalasrenggi.
Perajurit itu keluar lalu masuk kembali bersama seorang laki-laki setengah tua yang melaporkan bahwa ada sebuah perahu pedagang Cina sedang menuju ke Blambangan lewat Selat Bali dan perahu itu membawa penumpang yang dicurigai adalah seorang telik sandi Mataram yang hendak menyelidiki keadaan di Blambangan. Mendengar laporan ini, Bhagawan Kalasrenggi lalu memandang penyelidik yang melapor itu dan bertanya,
"Bagaimana Andika dapat tahu dan yakin bahwa laporanmu itu benar? Ingat, banyak sekali perahu pedagang Cina hilir mudik dan biasanya mereka itu hanya berdagang. Bagaimana Andika dapat mengetahui dengan pasti bahwa ada perahu pedagang Cina membawa seorang mata-mata Mataram?"
"Hamba tidak akan berani melapor kalau tidak yakin. Akan tetapi yang memberi kabar kepada hamba itu adalah seorang Cina pula, bahkan masih ada hubungan dengan pemilik perahu itu. Agar Paduka tidak ragu, maka orang itu sekarang hamba ajak ke sini dan menanti di luar."
"Bagus, ajak dia masuk menghadap!"
Mata-mata itu keluar dan kembali bersama seorang Cina yang berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan dan gagah, sinar matanya membayangkan keberanian, namun senyumnya mengandung ejekan seorang yang tinggi hati. Pakaiannya serba kuning dan ringkas, rambutnya digelung ke atas dan diikat kain putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Agaknya pemuda Cina ini sudah cukup lama berada di Jawa-dwipa karena tanpa canggung dia memberi hormat dengan membungkuk dan menyembah di depan dada. Juga suara tidak terdengar kaku ketika dia menujukan kata-katanya kepada Sang Adipati Blambangan dalam bahasa daerah, walaupun masih pelo (cedal).
"Sang Adipati, saya menghaturkan hormat." Adipati Santa Guna Alit mengangkat tangan sebagai tanda menerima penghormatan itu dan memberi isayarat kepada Bhagawan Kalasrenggi untuk bicara dengan pemuda Cina itu.
"Heh, Kisanak, siapakah namamu?" Bhagawan Kalasrenggi bertanya dan sepasang matanya mencorong, menatap tajam pemuda Cina itu untuk melihat apakah pemuda asing itu dapat dipercaya ataukah tidak.
"Nama saya Kam Leng." jawab pemuda itu sambil membalas pandang mata bhagawan itu dengan berani dan dari sinar matanya yang tajam, Bhagawan Kalasrenggi dapat mengetahui bahwa pemuda asing itu bukan orang sembarangan, melainkan orang yang "berisi" atau yang memiliki tenaga dalam yang kuat.
"Kam Leng, engkau berhadapan dengan Bhagawan Kalasrenggi yang mewakili Sang Adipati Blambangan. Jawablah pertanyaan kami ini. Benarkah pemberitahuanmu bahwa ada sebuah perahu pedagang Cina yang ditumpangi seorang mata-mata Mataram?"
"Benar sekali, Sang Bhagawan."
"Hemm, bagaimana engkau bisa yakin bahwa ada seorang mata-mata Mataram di perahu itu?"
"Perahu itu milik seorang pedagang dari Tuban yang saya kenal. Dia membawa barang dagangan hasil bumi dan rempah-rempah, dan sekali ini Tan Beng Ki, pemilik perahu itu, melakukan pelayaran bukan hanya untuk berdagang, akan tetapi juga untuk mengajak puterinya dan calon mantunya berpesiar untuk merayakan pertunangan mereka. Keterangan saya ini tidak mungkin salah, karena saya mengetahui sendiri bahwa mereka sedang berlayar ke sini. Gadis puteri Tan Beng Ki dan tunangannya itu keduanya adalah adik-adik seperguruan saya."
"Hemm, Kam Leng! Kalau mereka itu masih ada hubungan persaudaraan denganmu, mengapa engkau melaporkan kepada kami? Apakah pamrihmu?"
"Saya akan menunjukkan yang mana perahu itu dengan satu syarat."
Bhagawan Kalasrenggi mengerutkan alisnya. "Syarat? Apa itu?"
Dengan tenang Kam Leng menjawab. "Saya akan menunjukkan perahu itu kepada Andika sekalian dan bahkan siap membantu menyerbu kalau para penghuni perahu melawan, asalkan Andika berjanji lebih dulu bahwa setelah berhasil, perahu dan gadis yang berada di situ harus diserahkan kepada saya. Yang lain-lain boleh dibunuh atau ditangkap, terserah."
"Heh-heh-heh, jadi itukah pamrihmu? Merampas perahu dan gadis tunangan Adik seperguruanmu sendiri?"
"Ya, kalau Andika mau berjanji, saya akan menunjukkan yang mana perahu yang ditumpangi mata-mata dari Tuban itu. Kalau Andika tidak mau berjanji lebih dulu, saya pun tidak mau menunjukkan."
"Uh-uh, kami tadinya mengira bahwa engkau datang hendak membantu Blambangan melawan Mataram! Tidak tahunya engkau malah mengajukan persyaratan. Siapakah engkau ini yang berani berlagak dan mengajukan persyaratan dengan kami?"
"Saya adalah seorang pendekar, murid perguruan Siauw-lim-pai di Cina. Saya tidak mempunyai kepentingan dengan Blambangan atau Mataram dan saya tidak peduli akan permusuhan antara kedua kerajaan itu. Saya mengajukan persyaratan karena saya seorang pedagang, mengajak kerja-sama yang saling menguntungkan. Andika dapat menangkap seorang mata-mata Mataram yang Andika musuhi dan saya dapat memperoleh perahu dan gadis yang saya inginkan. Sudah adil, bukan?"
"Ha-ha-ha, enak saja engkau hendak bekerja sama dengan kami. Kami tidak mau bekerja sama dengan orang sembarangan. Akan tetapi engkau mengaku sebagai murid perguruan Siauw-lim-pai di Cina dan nama perguruan itu sudah sering kami mendengarnya. Untuk melihat apakah engkau cukup berharga untuk bekerja sama dengan kami, kami harus menguji dulu sampai di mana kepandaianmu. Bersediakah engkau untuk diuji?"
Kam Leng tersenyum lebar sehingga tampak semakin mengejek lagi. "Andika sudah terlalu tua untuk menguji ilmu silatku, Sang Bhagawan!"
"Ho-ho, selain terlalu tua, aku juga terlalu kuat bagimu, Kam Leng! Karena itu, biar kusuruh muridku saja untuk mengujimu. Selain dia lebih muda, juga lebih ringan. "Kalajana, kau wakili aku menguji kepandaian Kam Leng ini agar kita semua melihat apakah dia pantas untuk bekerja sama dengan kita."
Kalajana mengangguk dan dia pun berdiri dan menghampiri pemuda Cina itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seolah hendak mengukur sampai di mana kekuatan lawan melalui pandang mata itu. Kalajana adalah murid Bhagawan Kalasrenggi. Usianya sekitar empat puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya kasar, burik (bopeng) dan tubuhnya berbulu.
Seperti para murid Bhagawan Kalasrenggi lainnya, Kalanjana ini pun seorang ahli silat yang tangguh, juga ahli racun dan pandai pula menggunakan ilmu sihir. Kalajana mengamati calon lawannya. Seorang laki-laki bermata sipit, usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya sejangkung dia akan tetapi tubuhnya yang tegap tidaklah sebesar tubuhnya, dan melihat punggung pemuda Cina itu tergantung sebatang pedang beronce merah, Kalajana berkata dengan suara yang besar dan lantang.
"Kam Leng, aku Kalajana mewakili Bapa Guru Bhagawan Kalasrenggi ingin menguji kedigdayaanmu. Aku melihat engkau mempunyai sebatang pedang. Katakan, engkau ingin diuji pertandingan tangan kosong atau bersenjata?"
"Sesukamu, Ki Kalajana. Aku sudah siap untuk kedua-duanya."
"Kalajana, engkau cobalah kemampuannya bersilat tangan kosong!" tiba-tiba Bhagawan Kalasrenggi berseru.
"Nah, engkau sudah mendengar perintah guruku, Kam Leng? Bersiaplah engkau!"
Kalajana mengembangkan kedua lengannya yang besar panjang berbulu, sikapnya mengancam dan menyeramkan, seperti seekor biruang yang berdiri dan siap menerkam.
"Aku sudah siap!"
"Sambutlah ini!" Tiba-tiba Kalajana menggerakkan kedua tangannya. Dari kanan kiri kedua tangan yang lebar dengan jari-jarinya yang besar itu mencengkeram ke arah kedua pundak Kam Leng. Akan tetapi dia hanya menangkap angin karena dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali Kam Leng sudah mengelak dari terkaman itu dengan menggeser kaki ke kiri, lalu smbil membalikkan tubuhnya dia membalas dengan pukulan lurus ke arah lambung kanan lawan.
"Hyaaahhh....!"
"Plakk!" Kalajana menangkis dengan lengannya yang besar, Dua lengan bertemu dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Pertemuan dua tenaga kasar ini menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga otot yang sama kuatnya. Dengan hati penasaran, Kalajana menyerang lagi, namun serangannya yang bertubi-tubi itu selalu dapat dihindarkan oleh Kam Leng dengan elakan maupun tangkisan.
Terjadilah perkelahian yang seru dan seimbang. Semua orang melihat betapa Kam Leng memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali, terutama kedudukan kedua kakinya amat kokoh sehingga dengan sedikit geseran atau putaran saja selain dapat mengelak, dia dapat pula membalas dengan serangan yang tidak kalah kuatnya. Melihat betapa Kam Leng dapat menandingi muridnya sampai belasan jurus, Bhagawan Kalasrenggi mengangguk-angguk.
Pemuda Cina ini boleh juga untuk memperkuat pasukannya! Akan tetapi setelah lewat dua puluh jurus, Kalajana mulai terdesak hebat. Ternyata, kelebihan Kam Leng dalam hal keringanan tubuh dan kecepatan gerakan, membuat dia lebih unggul. Saking cepatnya dia bergerak dengan serangan bertubi-tubi dengan kedua tangan dan kedua kakinya, Kalajana hanya mampu menangkis. Dia menjadi sibuk dan terdesak, tidak mampu membalas karena tidak mendapat kesempatan sama sekali. Biarpun dia sudah menggerakkan kedua tangan secepatnya untuk menangkis semua serangan, tetap saja sebuah tendangan mengenai perutnya.
"Bukk...!" Untung bahwa Ki Kalajana telah mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi perutnya sehingga menjadi kebal. Tendangan itu tidak melukainya, hanya membuat ia terhuyung ke belakang sampai dua tombak. Dia merasa penasaran dan cepat dia mengerahkan tenaga saktinya dan ketika dia menggerakkan kedua tangannya lalu saling menggosok telapak tangan, tampaklah kedua tangannya itu seperti membara.
"Sambut Aji Tatit Geni!" bentaknya dan ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Kam Leng. Ada kilatan api menyambar dari kedua tangan itu ke arah lawan.
"Auuughhh....!" Kam Leng tidak mengenal aji seperti itu, namun dia dapat menduga bahwa itu adalah pukulan sakti yang mengandung tenaga sakti yang amat berbahaya. Kalau dia mengelak, tentu lawan mengira dia takut dan akan menyerang terus dengan pukulan yang mengandung kilatan api itu. Maka dia lalu memasang kuda-kuda, mengerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menyalurkannya lewat kedua tangannya lalu mendorong ke depan menyambut pukulan itu.
"Syuuuttt.... desss!" Dua tenaga sakti yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, dua orang itu terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung! Mereka menderita guncangan hebat karena tenaga sendiri yang membalik, namun tidak sampai terluka. Dalam adu tenaga sakti ini, keduanya ternyata seimbang, Ki Kalajana masih merasa penasaran dan meraba gagang goloknya, akan tetapi Bhagawan Kalasrenggi berkata.
"Sudah cukup, Kalajana, mundurlah! Kam Leng, setelah diuji, kepandaianmu lumayan dan engkau cukup berharga untuk bekerja sama dengan kami. Nah, sekarang jadilah engkau penunjuk jalan. Beberapa orang akan mengikutimu untuk menangkap mata-mata mataram itu."
"Akan tetapi, Sang Bhagawan. Saya harap Andika mengirim orang-orang yang berkepandaian tinggi karena mata-mata Mataram itu adalah orang yang sakti. Bahkan saya sendiri pernah bertanding melawan dia dan saya kalah."
"Hemm, begitukah? Nah, kami harap Andika berdua suka membantu Kaladhama dan Kalajana menemani Kam Leng menangkap atau membunuh mata-mata Mataram itu, Arya Bratadewa dan Candra Dewi. Kalau mata-mata itu memang sakti seperti yang diceritakan Kam Leng, tentu Andika mudah untuk membunuhnya dengan senjata api Andika. Para perajurit masih sedang belajar menembak dengan senjata api pemberian Kumpeni dan belum mahir. Harap Andika berdua suka membantu."
"Tentu! Tenu saja, Paman Bhagawan Kalasrenggi! Kami berdua akan membereskan mata-mata Mataram itu, jangan khawatir." jawab Arya Bratadewa sambil tersenyum dan sikapnya memandang ringan kepada mata-mata Mataram seperti yang diceritakan Kam Leng. Kaladhama, Kalajana, Arya Bratadewa dan Candra Dewi menuju ke tempat di mana perahu yang dimaksudkan berlabuh.
********************
Jauh sebelum jaman itu, bahkan sebelum jaman Mojopahit, sudah terdapat bangsa Cina yang merantau sampai ke Nusa Jawa, Kalau jaman dahulu mereka datang dengan perahu-perahu jung mereka sebagai pedagang, setelah Kumpeni Belanda menjejakkan kaki mereka ke Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, semakin banyak bangsa Cina berdatangan karena Kumpeni mendatangkan banyak bangsa Cina sebagai tenaga kerja, terutama yang ahli pertukangan.
Komentar
Posting Komentar