Kemelut Blambangan Jilid 11


MAKA, giranglah hatinya ketika dia menerima tugas dari Kerajaan Belanda untuk membantu Kumpeni Belanda di Tanah Jawa! Dia dapat bertemu dengan ibunya, Marsinah, kalau masih hidup. Dan terutama sekali dia akan dapat bertemu dengan Muryani yang tidak pernah dapat dia lupakan. Ketika isterinya, Elsye ingin ikut, dia melarangnya dengan alasan bahwa kini keadaan di Tanah Jawa sedang gawat, banyak terjadi bentrokan dengan Mataram dan berbahaya sekali bagi seorang wanita kulit putih untuk berada di sana. Akhirnya, Satyabrata berangkat sendiri.

Demikanlah, begitu tiba di Batavia dia mendapat laporan dan gambaran tentang keadaan di Pulau Jawa, tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerbu Mataram dan mendapat dukungan dari Bali, Madura, dan Kumpeni walaupun bantuan Kumpeni dilakukan secara diam-diam dan hanya menyumbangkan senjata. Politik Belanda adalah mengadu domba antara para penguasa di Pulau Jawa agar saling bentrok sehingga akhirnya melemahkan mereka sendiri. Kalau mereka sudah lemah karena perang saudara, akan lebih mudah bagi Belanda untuk menundukkan Mataram.

Satyabrata bertugas untuk menghimpun semua mata-mata dan membantu agar perang saudara itu semakin menghebat. Tugas pertama adalah urusan diri sendiri diutamakan, yaitu mencari Muryani. Setelah mendengar bahwa Muryani tinggal bersama suaminya, Parmadi di Pasuruan dan sekarang sudah mempunyai anak laki-laki berusia enam tahun, dia langsung berangkat seorang diri ke Pasuruan!

Secara kebetulan sekali, ketika dia melakukan perjalanan menuju Pasuruan, dia melihat Parmadi dan Muryani dikeroyok orang-orang yang menurut pakaiannya adalah orang Bali. Dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Bali yang menjadi sekutu Blambangan. Tadinya dia hendak menyelamatkan Muryani yang tampak terdesak walaupun tentu saja menurut tugasnya dia harus membantu orang-orang pendukung Blambangan.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat seorang wanita pakaian putih membantu suami isteri itu dan sepak terjang wanita itu demikian hebat sehingga dia tahu bahwa Muryani tidak terancam bahaya lagi. Maka timbul akalnya. Kiranya tidak akan mudah merampas Muryani begitu saja dari Parmadi yang menjadi suaminya. Selain Parmadi tentu akan menghalanginya, juga Muryani belum tentu mau. Maka dia harus menggunakan akal.

Melihat putera mereka, Joko Galing seorang diri, dia cepat menangkap anak laki-laki itu dan membawanya lari! Menurut perhitungannya, perbuatan ini akan mendatangkan dua keuntungan baginya. Pertama, Adipati Blambangan tentu akan senang mendengar dia telah menawan putera Parmadi pembela Mataram setia itu. Kedua, dia akan dapat menggunakan anak laki-laki itu untuk memaksa Muryani mau menjadi isterinya!

Semula Joko Galing meronta-ronta dan memaki-maki ketika dia dilarikan di atas kuda oleh Satyabrata. Akan tetapi Satyabrata diam saja dan pegangan tangan kirinya membuat anak itu tidak mampu banyak meronta lagi. Setelah semua usaha perlawanannya tidak ada gunanya, Joko Galing yang memiliki kecerdikan maklum bahwa tidak ada artinya kalau dia melawan. Dia lalu duduk di atas punggung kuda, di depan penculiknya itu dengan tenang, tidak memaki atau mencoba untuk meronta lagi.

Satyabrata merasa senang dan dia pun tidak lagi menekan pundak anak itu dengan tangan kirinya. Kuda dilarikan dengan cepat dan baru berhenti setelah malam tiba. Karena malam tiba ketika mereka masih berada di tengah jalan, jauh dari kota atau desa, Satyabrata berhenti di kaki sebuah bukit, di bawah sebatang pohon johar besar yang tumbuh dekat sebatang anak sungai yang airnya bersih.

Tanpa bicara dia menurunkan Joko Galing dari atas kuda, lalu mengumpulkan ranting pohon dan rumput kering, membuat api unggun karena di situ terdapat banyak nyamuk dan mimik yang amat mengganggu. Joko Galing merasakan juga gigitan nyamuk, maka dia menghampiri api unggun dan duduk dekat api unggun, berhadapan dengan Satyabrata. Anak ini mulai memperhatikan keadaan laki-laki itu.

Sekarang dia mendapat kesempatan untuk mengamati orang itu. Seorang laki-laki yang agaknya sedikit lebih tua daripada ayahnya. Tubuhnya tinggi tegap mengenakan pakaian dari kain tebal berwarna biru. Kakinya memakai sepatu kulit yang menutupi kaki sampai ke betis, berwarna hitam mengkilat. Rambutnya berombak dan indah, wajahnya tampan dan matanya tampak aneh, agak kebiruan. Joko Galing pernah mendengar cerita ayah ibunya tentang bangsa Belanda yang berkulit bule dan bermata biru bahkan ada yang rambutnya kuning!

Orang ini kulitnya tidak bule walaupun cukup putih, rambutnya yang berombak itu pun hitam seperti rambutnya sendiri. Hanya matanya memang agak kebiruan, tidak biru benar. Satyabrata juga memperhatikan Joko Galing dan hatinya merasa senang. Anak ini mirip benar dengan Muryani. Dia mengeluarkan bungkusan dari buntalan pakaian yang tadi digendongnya. Ternyata bungkusan itu berisi sepotong besar roti. Dia membagi roti itu menjadi dua potong lalu menyodorkan yang sepotong kepada Joko Galing.

Anak itu menerimanya dan tanpa berkata-kata lalu keduanya makan roti. Rasanya asin manis, enak bagi Joko Galing, maka dimakannya roti itu sampai habis. Satyabrata mengeluarkan sebuah botol dan mendekatkan botol itu ke mulutnya lalu dia minum beberapa teguk, lalu menyerahkan botol yang berwarna hijau itu kepada Joko Galing. Anak itu pun menerimanya dan meniru perbuatan penculiknya, minum isi botol. Wah, enak sekali rasanya, terasa air jeruk yang manis!

"Apakah engkau seorang Belanda?" Joko Galing bertanya sambil menatap mata yang kebiruan itu, yang baginya tampak aneh ketika mata itu terkena sinar api unggun. Mendengar pertanyaan ini, Satyabrata tersenyum dan wajahnya memang masih tampan ketika dia tersenyum.

"ibuku seorang Jawa, seperti juga Ibumu."

"Engkau mengenal Ibuku?"

"Tentu saja, juga Ayahmu. Aku mengenal baik Parmadi dan Muryani, terutama sekali Muryani."

Joko Galing menjadi semakin berani. penculiknya ini sikapnya lembut, tidak kasar seperti penjahat. "Siapakah namamu, Paman?"

"Namaku Satyabrata. Ayah Ibumu, terutama Ibumu, mengenal aku dengan baik."

"Kalau benar Paman merupakan kenalan baik Ayah Ibuku, mengapa Paman sekarang menculikku?" tanya Joko Galing penasaran sekali. Satyabrata menghela napas panjang.

"Apa yang terjadi sekarang ini adalah kesalahan Parmadi, akibat dari perbuatannya menyakitkan hatiku. Ketahuilah... eh, siapa sih namamu?"

"Namaku Jaka Galing."

"Nama yang bagus. Nah, dengarlah. Dahulu, ketika Ibumu Muryani itu masih gadis, ia adalah pacarku. Kami saling mencinta dan ia tentu menjadi isteriku yang tercinta kalau tidak muncul Parmadi yang merampas Muryani dariku."

"Ayah merampas Ibu dari Paman? Apa maksud Paman?"

"Parmadi muncul, merayu dan menggunakan guna-guna sehingga Muryani tergila-gila kepadanya, melupakan dan meninggalkan aku, lalu menjadi isteri Parmadi."

Hening sejenak. Joko Galing yang baru berusia enam tahun itu tentu saja tidak mengerti benar apa yang diceritakan Satyabrata itu. "Akan tetpi mengapa sekarang Paman menculik aku? Apa hubungannya dengan cerita Paman tadi?"

"Aku akan menuntut hakku! Muryani harus menjadi isteriku karena aku adalah pria yang pertama kali dicintanya dan sampai sekarang aku masih sangat mencintanya. Ia harus menjadi isteriku. Karena itu membawamu agar Muryani mau menjadi isteriku. Kita bertiga hidup berbahagia menjadi sebuah keluarga."

Joko Galing mengerutkan alisnya. "Akan tetapi... bagaimana dengan Ayah?"

"Ah, biar tahu rasa dia! Sudah belasan tahun lamanya dia menjadi suami Muryani yang sebetulnya harus menjadi isteriku. Kalau dia hendak menghalangi niatku ini, dia akan kubunuh!"

Joko Galing melihat betapa mata yang kebiruan itu mengeluarkan sinar aneh dan mencorong mengerikan. Akan tetapi dia tidak takut. Hati anak kecil ini panas dan marah sekali mendengar ibunya hendak dipaksa menjadi isteri Satyabrata dan ayahnya hendak dibunuh.

"Hemm, enak saja engkau bicara! Jangan harap engkau akan dapat membunuh Ayahku. Engkau tidak akan mampu menandinginya, bahkan kalau engkau berani melawannya, engkaulah yang akan mati! Ayahku adalah seorang yang sakti mandraguna, terkenal sebagai Si Seruling Gading!"

Tiba-tiba Satyabrata tertawa dan Joko Galing merinding (meremang bulu tubuhnya) karena ngeri. Dia pernah melihat seorang gila dan seperti itulah tawanya. Seperti bukan tawa manusia, melainkan tawa hantu dalam dongeng!

"Hyeh-heh-heh! Lihat kelelawar terbang itu!"

Dia menuding ke atas. Joko Galing memandang ke atas. Ada beberapa ekor kelelawar terbang di atas pohon. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang mengejutkan hati anak itu, "Dar! Dar!" Dua ekor kelelawar itu jatuh dengan tubuh pecah dihantam peluru. Joko Galing memandang dan melihat Satyabrata sambil terkekeh memegang sebatang pistol yang masih berasap!

"Nah, apa artinya kesaktian Parmadi menghadapi pistolku ini? Dan aku mahir menggunakan dua buah pistol!"

Kini tangan kirinya meraih ke pinggang, lalu dengan kedua tangan masing-masing memegang sebuah pistol, beberapa kali dia menembakkan pistolnya ke atas. "Dar-dar-dar-darrr....!!" Dua buah pistol itu memuntahkan bunga api dan mengepulkan sedikit asap. Dengan cepat kedua tangan Satyabrata bergerak dan senjata api itu telah kembali ke pinggangnya.

Joko Galing memang pucat melihat kehebatan ini, juga terkejut oleh suara ledakan-ledakan nyaring, akan tetapi dengan muka angkuh dia berkata, "Ayahku memiliki kekebalan! Tidak takut senjata apimu!"

"Heh-heh-heh! Kalau pistolku berpeluru emas, ayahmu tidak akan mampu menahan dengan kekebalan. Dan selain pistol-pistol ini, lihat, apakah Parmadi lebih sakti daripada aku!"

Satyabrata bangkit berdiri lalu dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk dia lalu mendorong kedua tangannya ke arah sebatang pohon yang tumbuh dalam jarak dua tombak di depannya.

"Heeeiihhh... !" Mulutnya membentak. Hawa yang dahsyat menyambar ke arah batang pohon sebesar tubuh manusia itu.

"Wuuuttt... braaakkk... !" pohon itu tumbang, mengeluarkan suara berisik, tidak kuat menahan Aji Pukulan Margopati yang dilakukan dengan tenaga sakti yang amat dahsyat.

"Heh-heh-heh, apa Parmadi mampu menahan tembakan pistol dan pukulanku tadi?" Satyabrata tertawa-tawa.

Biarpun hatinya berdebar menyaksikan kehebatan Satyabrata, namun Joko Galing memang memiliki ketabahan luar biasa. Dia tidak mengenal takut dan sama sekali tidak cengeng.

"Hemm, belum tentu Andika akan dapat mengalahkan Ayahku. Dan ada satu hal lagi yang Andika lupakan, Paman Satyabrata!"

"Hemm, apa itu?"

"Bagaimanapun juga, Ibuku dan aku sudah pasti tidak sudi menjadi isteri dan anakmu!"

Satyabrata mengerutkan alisnya dan mukanya yang tampan bersih itu berubah kemerahan, matanya yang bersinar aneh itu semakin mencorong karena marah. Dia tidak tersenyum atau tertawa lagi.

"Begitukah pendapatmu? Kita sama lihat saja nanti! Muryani harus dan pasti mau menjadi isteriku kalau ia menghendaki kamu selamat dan hidup. Kalau ia menolak, aku akan meledakkan kepalamu dengan peluru pistolku!"

Mendengar ancaman yang mengerikan terhadap ibu dan ayahnya itu, Joko Galing marah sekali. Lebih baik mati sekarang agar dia jangan dipergunakan untuk memaksa ibunya menjadi isteri orang jahat ini, tekadnya.

"Keparat kau! Iblis jahat kau!" Setelah berkata demikian, Joko Galing melompat dan menyerang Satyabrata dengan nekat, menggunakan kedua tangan dan kepalanya untuk menyeruduk perut Satyabrata. Akan tetapi tentu saja serangan seorang anak kecil berusia enam tahun itu tidak ada artinya bagi seorang yang demikian saktinya seperti Satyabrata. Sekali kaki kirinya mencuat terdengar suara berdebuk dan tubuh anak itu terlempar dan jatuh bergulingan sampai empat lima tombak jauhnya!

Pada saat itu tampak sesosok bayangan putih berkelebat dan seorang wanita cantik berpakaian putih sudah berdiri membelakangi Joko Galing dan menghadapi Satyabrata dengan senyumnya yang manis. Satyabrata terkejut dan heran melihat betapa tiba-tiba muncul seorang wanita tetapi setelah dia memandang penuh perhatian, wajahnya berseri, matanya bersinar gembira.

"Maya Dewi....!" Dia berseru girang. "Senang sekali dapat bertemu denganmu di sini. Sudah lama aku mencarimu kemana-mana tanpa hasil."

Maya Dewi tersenyum dan sikapnya tenang sekali. Hal ini sudah mengherankan hati Satyabrata karena dia mengira bahwa wanita cantik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan menubruk, merangkul dan mencumbunya kalau mereka saling bertemu. Semenjak dia datang di Tanah Jawa dari negeri Belanda, dia mendengar pemberitahuan Mayor Jakues bahwa Maya Dewi telah keluar dari pekerjaannya sebagai mata-mata Kumpeni Belanda, bahkan wanita itu berani memberontak dan menentangnya, tentu saja Mayor Belanda ini tidak menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.

Tidak menceritakan bahwa dia hendak memaksa Maya Dewi menjadi isterinya. Satyabrata lalu berusaha menemukan bekas kekasihnya itu. Akan tetapi sampai berbulan-bulan dia tidak berhasil menemukan Maya Dewi. Maka tentu saja dia girang bukan main melihat Maya Dewi tiba-tiba muncul di malam hari itu.

"Satyabrata, setelah usiamu bertambah belasan tahun, ternyata watakmu masih juga belum berubah! Engkau menyerang anak ini yang tentu saja bukan tandinganmu."

Satyabrata tertawa geli dan menambahkan beberapa potong kayu kering ke dalam api unggun sehingga api bernyala semakin terang.

"Hua-ha-ha, Maya Dewi, bagaimana manusia dapat berubah? Mungkin aku lebih tua sekarang, akan tetapi semakin tua makin matang dan berpengalaman bukan? Kulihat engakau pun makin tua akan tetapi malah semakin manis dan menggairahkan, heh-heh-heh!"

"Satyabrata," kata Maya Dewi dengan sabar akan tetapi suaranya mengandung wibawa. "Aku melarang engkau memukul anak ini!"

Kembali Satyabrata tertawa. "Ah, tentu saja! Aku tahu akan kesenanganmu. Maya Dewi. Anak itu memang tampan dan sejak dulu engkau paling menyukai pemuda yang tampan dan kuat! Akan tetapi ingat, anak ini bukan pemuda, hanya anak-anak yang masih kecil! Untuk apa engkau menginginkannya? Tidak ada gunanya bagimu, Maya Dewi! Nanti aku bantu mencarikan pemuda-pemuda pilihan untukmu. Kita seperti dulu lagi!"

"Cukup, Satyabrata! Aku tidak ingin mengobrol denganmu. Aku hanya ingin engkau tidak memukul anak ini dan membebaskannya!"

"Maya Dewi, kekasihku yang manis! Lupakah engkau akan hubungan kita yang mesra pada masa lalu? Jangan bersikap menentangku seperti itu. Engkau tidak tahu siapa anak ini. Dia adalah anak dari sepasang suami isteri musuh kita, Maya. Dia anak muryani dan Parmadi."

"Hemm, kalau dia anak mereka, mau kau apakan dia?"

"Maya, engkau tahu betapa aku mencinta Muryani. Sampai sekarang pun aku masih rindu untuk memperisteri wanita itu. Aku menculik anaknya agar Muryani suka menjadi isteriku. Bantulah aku, Maya Dewi."

"Engkau salah sangka, Setyabrata. Aku bukan Maya Dewi yang dulu, yang suka melakukan segala macam kejahatan. Aku tidak mau lagi membantumu. Aku telah bertaubat, Setyabrata. Aku bahkan akan menentang semua perbuatan jahat. Aku tidak sudi lagi menjadi hamba Setan melakukan kejahatan, aku ingin menjadi hamba Gusti Allah untuk menyalurkan berkahNya, melakuan kebaikan dan menentang kejahatan."

Setyabrata tertawa, sekali ini tawanya nyaring seolah dia mendengar sesuatu yang lucu sekali. "Hua-ha-ha-ha-ha! Engkau, Maya Dewi Si Iblis Betina Cantik dari Banten, bertaubat dan menjadi hamba Gusti Allah menentang kejahatan? Ah, Maya Dewi, jangan main-main! Mana mungkin seorang seperti engkau ini, berkeinginan untuk bertaubat dan menebus dosa? Kalau ada dosa, maka dosamu sudah bertumpuk setinggi gunung! Kalau dikatakan kotor, kekotoran dirimu sudah berkarat tebal, rasanya tidak mungkin dibersihkan lagi. Ha-ha, lucu sekali, jangan engkau membadut, Maya!"

Kembali Satyabrata terpingkal-pingkal menertawakan Maya Dewi. Tentu saja hati Maya Dewi kembali terpukul hebat oleh ucapan Satyabrata itu, akan tetapi ia mampu mengendalikan perasaannya dan menerima pukulan batin itu sebagai satu kewajaran. Sama sekali semua ucapan yang menghantam perasaannya itu tidak dipikirkan karena pikirannya sedang dicurahkan untuk mencari jalan terbaik sehingga ia dapat menyelamatkan anak itu.

Ia masih ingat bahwa Satyabrata adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa dan hebat sekali. Dia sakti mandraguna, mempelajari ilmu-ilmu yang selain membuat dia sakti sekali, juga membuat dia seperti orang yang terkadang tidak waras pikirannya. Seorang yang berbahaya sekali. Dulu, ia sama sekali tidak akan mampu menandingi pria ini. Sekarang, tentu saja dengan ilmu yang ia pelajari bersama Bagus Sajiwo, mungkin ia akan mampu menandinginya.

Akan tetapi ia belum yakin karena tingkat kesaktian Satyabrata memang sudah tinggi sekali dan kalau ia tidak mampu mengalahkannya, tentu ia tidak dapat menyelamatkan putera Parmadi dan Muryani. Padahal yang penting bukannya bertanding dan mengalahkan Satyabrata, melainkan menyelamatkan anak itu. Maya lalu menoleh dan melihat anak laki-laki itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan mata penuh selidik.

"Anak yang baik, engkau ikutlah aku."

"Tidak!" Joko Galing berteriak. "Engkau adalah sahabatnya, engkau sama jahatnya dengan dia!"

"Hua-ha-ha, ia malah lebih jahat!" Satyabrata tertawa mengejek.

cerita silat online karya kho ping hoo

Tiba-tiba Maya Dewi mendorongkan kedua tangannya ke arah api unggun. Angin menyambar dahsyat dan kayu-kayu yang terbakar itu tersapu angin, cerai berai dan apinya padam. Cuaca menjadi gelap dan pada saat itu Maya Dewi sudah menyambar tubuh Joko Galing dan dipanggulnya.

"Lepaskan! Aku tidak mau ikut denganmu. Lepaskan aku!"

Anak itu meronta-ronta dan karena Maya Dewi memanggulnya dengan memegangi kedua kakinya, tubuh bagian atas anak itu berada di belakang. Joko galling tidak dapat menggerakkan kedua kakinya maka dia meronta dengan kedua tangan, memukuli punggung yang lunak akan tetapi yang agaknya tidak merasakan pukulan kedua tangan, memukuli punggung yang lunak akan tetapi yang agaknya tidak merasakan pukulan kedua tangan Joko Galing itu.

"Maya! Apa yang kau lakukan ini!" bentak Satyabrata terkejut ketika api unggun padam dan cuaca menjadi gelap.

Dia tidak mendengar wanita itu menjawab, akan tetapi ketika mendengar teriakan Joko Galing, Setyabrata maklum bahwa Maya Dewi menangkap anak itu dan agaknya hendak merampas anak itu darinya, Ia dapat mendengar gerakan Maya Dewi yang mulai berjalan pergi, maka cepat dicabutnya sebuah pistol dari balik bajunya. Pistol ini berbeda dengan dua buah yang terselip di ikat pinggangnya. Hanya sebuah pistol kecil dan suaranya pun tidak terlalu bising.

"Tar-tar-tarrr...!" Tiga kali moncong pistol kecil itu mengeluarkan bunga api, akan tetapi tidak terdengar sesuatu dan Satyabrata tidak dapat mengejar Maya Dewi karena selain cuaca amat gelap, juga wanita itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang luar biasa. Joko Galing masih meronta-ronta sambil memaki-maki.

"Hemm, anak yang gagah pantang menangis dan berteriak-teriak!" kata Maya Dewi dan mendengar ini, Joko Galing berhenti berteriak, akan tetapi masih memukuli punggung wanita yang memanggulnya.

Diamnya Joko Galing semakin mempersulit Satyabrata melakukan pengejaran terhadap Maya Dewi. Dia hanya menyumpah-nyumpah. Akan tetapi dia masih tidak percaya bahwa Maya Dewi kini sudah bertaubat dan pantang melakukan kejahatan lagi. Dia menduga bahwa tentu Maya Dewi suka kepada pemuda remaja itu, walaupun masih terlalu kecil dan Maya Dewi merampasnya untuk dimilikinya sendiri. Biarlah, biar anak itu menjadi korban Maya Dewi.

Ini berarti bahwa dia telah membalas dendam kepada Parmadi dan Muryani. Dia akan mencari cara lain untuk mendapatkan diri Muryani, kalau perlu dengan kekerasan. Dulu dia tidak mau melakukan kekerasan terhadap Muryani karena dia memang sungguh mencintanya dan ingin memperisterinya. Akan tetapi setelah kini Muryani menjadi isteri orang lain, dia hanya ingin merampasnya dari Parmadi dan ingin memuaskan nafsu berahinya terhadap wanita yang dicintanya akan tetapi yang memilih laki-laki lain menjadi suaminya itu.

********************

Menjelang pagi, ketika matahari mulai mengirim cahayanya lebih dulu ke permukaan bumi sebelum dia sendiri muncul, Maya Dewi yang tadinya berlari, kini berjalan biasa memasuki sebuah hutan kecil. Joko Galing tidak meronta lagi. Anak itu kelelahan setelah sejak dipanggul dia menggunakan kedua tangan yang tergantung di belakang tubuh Maya Dewi untuk memukuli punggung wanita itu. Saking lelahnya, tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak meronta lagi.

Setelah tiba di dalam hutan dan matahari mulai meneroboskan sinarnya melalui celah-celah daun pohon, Maya Dewi berhenti di bawah sebatang pohon lalu menurunkan tubuh anak yang sejak malam tadi dipanggulnya. Karena lelah, setelah diturunkan dan kedua kakinya menyentuh tanah, Joko Galing segera membiarkan dirinya jatuh terduduk dengan lemas.

"Anak yang baik, engkau tidak apa-apa, bukan?" Maya Dewi membungkuk akan tetapi tiba-tiba ia agak menyeringai dan memejamkan kedua matanya menahan nyeri yang membakar pangkal lengan kanannya.

Sebutir peluru telah menembus pangkal lengannya dan biarpun peluru itu tidak mengenai tulang dan menembus kulit daging pangkal lengannya, namun rasanya panas dan perih sekali. Ketika tadi terdengar tiga kali suara tembakan, Maya Dewi sudah mengerahkan kekebalan tubuhnya dan miringkan tubuh agar badan anak itu terlindung di belakang badannya sendiri. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tergetar ketika pangkal lengan kannanya terasa nyeri ditembusi peluru.

Ternyata kekebalannya tidak mampu menahan terjangan sebutir peluru emas! Ia tidak merintih dan terus berlari sehingga Joko Galing tidak tahu bahwa wanita yang memanggulnya itu terluka. Kini, ketika ia membungkuk hendak memeriksa keadaan Joko Galing, Maya Dewi baru merasa betapa nyerinya luka itu.

"Tidak perlu membujuk-rayu aku dengan sebutan anak baik!" kata Joko Galing ketus.

"Aku tahu bahwa engkau adalah seorang jahat!"

Kini Maya Dewi dapat melihat wajah anak laki-laki itu dengan jelas. Ia tersenyum melihat wajah yang tampan dan sinar mata yang tajam penuh keberanian itu. Ia mengambil saputangan putih untuk membalut lengannya sambil bertanya.

"Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku orang jahat?"

"Tentu saja aku tahu! Aku mendengar engkau bercakap-cakap dengan penculik itu. Engkau adalah sahabatnya, engkau musuh ayah ibuku!"

"Anak yang baik, dan engkau percaya kepadanya?"

"Tentu saja!"

"Dan engkau tidak percaya padaku? Engkau tidak percaya kalau aku mengatakan bahwa aku tidak mempunyai niat jahat terhadap dirimu?"

"Aku tidak percaya! Kalau tidak jahat, mengapa engkau menculik aku?"

Agak sukar bagi Maya Dewi untuk dapat membalut pangkal lengan kanannya hanya dengan tangan kiri dan ia gagal terus. Joko Galing melihat betapa baju putih di pangkal lengan itu berlepotan darah dan melihat wanita itu tidak juga berhasil membalut lengannya yang agaknya luka itu.

"Mengapa lenganmu itu?" dia bertanya.

"Terkena tembakan tadi." jawab Maya Dewi sambil lalu dan mencoba lagi untuk membalut pangkal lengannya.

"Mari kubalutkan!" kata Joko Galing.

Anak itu memang keras dan pemberani, namun dia mewarisi kelembutan dan kepekaan hati ayahnya sehingga dia mudah merasa iba kepada orang yang menderita. Melihat wanita itu terluka dan sukar membalut lukanya, timbul perasaan iba dan dia siap membantu, seketika melupakan kemarahannya. Maya Dewi tersenyum dan menyerahkan saputangan putih itu kepada Joko Galing yang segera membalutnya dengan kuat dan rapi.

"Terima kasih." kata Maya Dewi dan ia segera terkenang kepada Bagus Sajiwo.

Anak ini ternyata dapat bersikap dan berbuat baik penuh kelembutan seperti Bagus Sajiwo. Ia menghela napas panjang. Tidak mengherankan, anak ini adalah putera Parmadi dan Muryani, dua orang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Semakin yakinlah hatinya akan kenyataan betapa jauh bedanya antara watak para satria dan watak tokoh-tokoh dunia sesat di mana ia dahulu termasuk di dalamnya. Ia merasa bersyukur dan berbahagia bahwa ia telah dapat membebaskan diri dari dunia sesat itu.

Setelah selesai membalut pangkal lengan wanita itu, Joko Galing mengulangi pertanyaannya. "Bibi, kalau engkau tidak jahat, mengapa engkau menculik aku?"

Maya Dewi memandang anak itu dan menjulurkan tangan kirinya, mengusap rambut kepala yang hitam tebal itu. "Engkau aneh sekali, Setyabrata yang menculikmu dengan niat jahat tadi kau percaya, sedangkan aku yang membebaskanmu dari tangan penculik, yang berniat menolongmu dan mengembalikanmu kepada Ayah Ibumu, tidak kau percaya!"

Joko Galing memandang wajah Maya Dewi dengan mata terbelalak. "Bibi, engkau... engkau menolongku dan hendak mengembalikan aku kepada Ayah Ibuku?"

Maya Dewi mengangguk. "Tentu saja, kalau tidak hendak menolongmu dan mengembalikanmu kepada Ayah Ibumu, habis untuk apa aku membebaskanmu dari Satyabrata?"

Joko Galing lalu bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya, memandang ke arah dari mana dia dilarikan Maya Dewi dan mengamangkan tinjunya.

"Kalau begitu, jahanam keparat si.. siapa tadi namanya?"

"Satyabrata," Maya Dewi tersenyum.

"Keparat Satyabrata itu! Dia telah bicara bohong tadi tentang dirimu, Bibi!"

"Dia tidak berbohong. Memang aku bukan seorang manusia yang baik..."

"Ah, tidak! Siapa bilang? Engkau adalah seorang yang gagah perkasa dan berbudi baik, seperti Ibuku! Bibi yang baik, siapakah nama Bibi? Namaku Joko Galing!"

"Namaku Maya Dewi, Joko."

"Bibi Maya Dewi, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau telah menolongku dan mengorbankan diri sehingga lenganmu terkena senjata api jahanam Satyabrata itu. Apakah Bibi sahabat baik Ayah Ibuku?"

Mendengar pertanyaan ini, Maya Dewi tersenyum pahit. Ia dahulu adalah musuh Parmadi dan Muryani, musuh yang amat dibenci mereka karena memang ia melakukan segala macam perbuatan jahat.

"Aku mengenal Parmadi dan Muryani, Ayah Ibumu itu, Joko. Marilah, kita lanjutkan perjalanan kita dan agar kita dapat berjalan cepat, mari kugendong di punggungku. Engkau tampaknya lelah dan kalau berjalan sendiri, tentu tidak akan segera bertemu Ayah Ibumu."

"Akan tetapi, Bibi Maya. Engkau sendiri terluka, bagaimana masih akan menggendongku? Biarlah aku jalan sendiri."

"Tidak, Joko. Kalau engkau berjalan, tentu kita akan dapat disusul Satyabrata dan sukar melindungimu karena dia seorang yang amat sakti. Jangan khawatir, luka lenganku tidak menghalangi aku menggendongmu."

Maya Dewi lalu berjongkok di depan Joko Galing dan anak ini tidak menolak lagi. Dia lalu menempel di punggung Maya Dewi sambil merangkulkan kedua lengannya di pundak wanita itu, berhati-hati menjaga agar tidak menyentuh pangkal lengan yang terluka.

"Berpeganglah kuat-kuat, Joko, agar jangan terlepas dan jatuh. Aku akan berlari cepat." kata Maya Dewi.

Joko Galing tidak asing dengan ini karena dia pernah dingdong ayahnya atau ibunya dan dibawa lari cepat. "Jangan khawatir, Bibi. Aku tidak akan jatuh."

Maya Dewi lalu berlari cepat, mengerahkan seluruh tenaganya karena ia ingin cepat-cepat menyerahkan anak ini kepada orang tuanya. Hatinya gembira karena ia mendapat kesempatan untuk melakukan kebaikan terhadap suami isteri itu. Biarlah perbuatannya ini biarpun hanya sedikit dan tidak berarti, dapat menebus dan agak mengurangi semua kesalahan yang pernah ia lakukan kepada Parmadi dan Muryani belasan tahun yang lalu.

Mula-mula Joko Galing gembira dibawa lari cepat oleh Maya Dewi. Akan tetapi segera dia memejamkan kedua matanya karena kini Maya Dewi berlari cepat seperti terbang! Belum pernah Joko Galing dilarikan orang tuanya secepat itu sehingga dia merasa ngeri juga. Angin bersuitan di kedua telinganya dan rambutnya menjadi awut-awutan.

"Takut, Joko?" Suara Maya Dewi disapu angin sehingga terdengar seperti bisikan bagi Joko Galing.

"Ah... sedikit, Bibi. Habis engkau terbang begini cepat!"

Maya Dewi tersenyum dan memang tubuhnya berkelebat cepat sekali. Ia menggunakan tangan kirinya yang tidak terluka untuk memegangi tangan Joko Galing agar anak itu tidak sampai melepaskan rangkulannya dan terancam jatuh terguling. Lengan kanannya terasa semakin nyeri dan panas. Biarlah, kalau Joko sudah kembali kepada orang tuanya, baru ia akan mencari obat untuk menyembuhkan luka di pangkal lengan kanannya. Ia tidak harus pergi jauh.

Setelah matahari naik tinggi dan Maya Dewi berjalan cepat tidak berlari lagi, keluar dari sebuah hutan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan. Ia berhenti di tepi jalan untuk memberi ruang kepada dua orang penunggang kuda itu. Akan tetapi setelah mereka dekat, ia mengenal mereka yang bukan lain adalah Parmadi dan Muryani. Agaknya suami isteri itu berusaha untuk mencari jejak penculik yang melarikan putera mereka. Ketika mereka melihat Maya Dewi menggendong Joko Galing yang tampaknya tertidur di gendongan wanita itu, tidur atau mungkin juga pingsan, suami isteri itu berloncatan turun.

"Maya Dewi, Iblis jahat! Kembalikan anakku!" Muryani sudah membentak marah dan ia sudah menerjang ke depan, tangan kanannya siap menerjang ke depan, tangan kanannya siap merampas anaknya dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pukulan Bromo Latu yang berhawa panas sekali ke arah kepala Maya Dewi.

Maya Dewi yang tidak sempat bicara, tahu-tahu diserang sedemikian hebatnya, terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis karena selain tangan kirinya ia pergunakan untuk memegang kedua tangan Joko Galing yang tertidur, juga kalau ia mengelak, ia khawatir bahkan akan membahayakan keselamatan Joko Galing yang dapat terkena pukulan nyasar.

Wuuuttt.... desss...!"

Maya Dewi merasa betapa lengannya yang menangkis itu nyeri bukan main, kiut miut rasanya menusuk tulang dan menikam jantung. Ia tak dapat menahan dirinya lagi dan terpelanting. Ia khawatir kalau-kalau Joko Galing terbanting, maka cepat ia menggunakan kedua tangannya, walaupun lengan kananya terasa lumpuh, untuk mengangkat tubuh anak itu di depannya sehingga ketika ia terbanting telentang, tubuh Joko Galing tidak tertindih atau terbanting.

Akan tetapi Muryani menyangka bahwa Maya Dewi mengangkat tubuh Joko Galing di depannya untuk dipergunakan sebagai perisai. Ia marah sekali dan mencabut pedangnya, hendak menyerang Maya Dewi yang sudah roboh.

"Diajeng, tahan...!"

Parmadi berseru, petama karena dia tidak ingin melihat isterinya membunuh lawan yang sudah roboh, dan kedua karena kalau Maya Dewi nekat, bisa saja ia membunuh Joko Galing lebih dulu sebelum ia diserang Muryani dengan pedang. Seruan suaminya ini menahan gerakan Muryani dan ia memandang Maya Dewi dengan sinar mata penuh kebencian.

Joko Galing yang tadinya tertidur ketika dibawa lari cepat oleh Maya Dewi, segera terbangun ketika Maya Dewi roboh. dia melihat Maya Dewi roboh telentang dan ibunya dengan marah memegang pedang hendak membunuhnya. Dia cepat melepaskan diri dari pegangan Maya Dewi, lalu meloncat ke depan menghadapi ibunya dengan alis berkerut dan mata menyinarkan keheranan dan kemarahan!

"Joko... !" Muryani hendak merangkul anaknya akan tetapi Joko galling mundur mendekati Maya Dewi yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat dan rambut terurai lepas.

"Ibu boleh membunuh aku lebih dulu sebelum membunuh Bibi Maya Dewi!"

"Joko...!!" Teriakan ini keluar dari mulut Muryani dan Parmadi karena mereka terkejut bukan main.

"Jangan, Joko... !" kata Maya Dewi lembut dan suaranya tergetar, ia bangkit berdiri, mengelus rambut kepala Joko Galing lalu berlari pergi dengan cepat walaupun agak limbung.

"Bibi Maya...! Jangan pergi dulu...!" joko Galing berteriak an hendak mengejar.

Muryani maju dan merangkul anaknya. "Joko, apa artinya sikapmu ini?"

Muryani membalikkan tubuh anaknya dan menatap wajah anaknya penuh perhatian karena ia merasa khawatir sekali. Ia menduga bahwa tentu anaknya telah diguna-gunai dengan sihir oleh iblis betina itu.

Joko Galing meronta dan melepaskan diri dari rangkulan ibunya, lalu dia berdiri menghadapi ayah ibunya yang memandang bingung itu dan berkata lantang. "Apakah sekarang Ayah dan Ibu sudah menjadi jahat?"

"Joko... !" Muryani berseru kaget.

"Joko Galing, sadarlah engkau! Ini Ayah dan Ibumu yang akan membebaskanmu dari pengaruh sihir!"

Parmadi mendekat lalu meletakkan telapak tangan kirinya ke atas kepala anaknya. Joko Galing merasa hawa yang hangat menjalar ke dalam kepalanya. Akan tetapi dia pun meronta lepas dari tangan ayahnya.

"Jawablah dulu, Ayah. Apakah Ayah dan Ibu sudah berubah menjadi manusia-manusia jahat yang tidak mengenal budi?"

Muryani memandang suaminya. Dari pandang mata ini Parmadi tahu bahwa isterinya bertanya apakah anak mereka itu terpengaruh sihir guna-guna. Dia menggeleng kepala karena mendapat kenyataan tadi bahwa tidak ada hawa jahat mempengaruhi anaknya.

"Joko!" kata Parmadi dengan suara yang berwibawa. "Katakanlah, apa maksudmu mengatakan Ayah dan Ibumu berubah jahat dan tidak mengenal budi? Wanita tadi Maya Dewi, adalah seorang wanita jahat seperti iblis yang sejak dahulu menjadi musuh kami. Jelas bahwa ia tidak berniat baik terhadapmu, Joko. Kami mengenalnya baik dan ia dahulu adalah sahabat baik dan sekutu Satyabrata yang kemarin menculikmu!"

"Ayah, Bibi Maya Dewi itu sama sekali tidak jahat! Malam tadi ia datang dan membawa aku lari dari Satyabrata yang mennculikku itu. Bahkan ketika menolong dan melarikan aku, ia terkena tembakan yang dilepas Satyabrata sehingga peluru menembus pangkal lengan kanannya dan ia terluka parah. Ia sudah menolongku dengan taruhan nyawa sehingga lengannya terluka parah dan ia tadi sedang membawaku kembali kepada Ayah dan Ibu. Akan tetapi Ibu malah menyerangnya dan hendak membunuhnya!"

"aahhhh.... !" Muryani berseru, mukanya berubah pucat. Ia menubruk anaknya, merangkul dan menciuminya sambil menangis. "duh Gusti... apa yang telah hamba lakukan...? Ah, Joko... maafkan Ibumu... sungguh aku tidak menyangka..."

Joko Galing yang baru saja terlepas dari ketegangan semenjak dia diculik, kini dirangkul ibunya yang menangis tanpa suara karena dia pantang menangis, apalagi dengan suara nyaring. 鈥淚bu... ah, kasihan sekali Bibi Maya..."

"Ya Allah...!" Parmadi juga berseru. "Siapa yang akan mengira? Joko, Ibumu tidak bersalah. Kami sama sekali tidak pernah mengira kalau Maya Dewi benar-benar menolongmu seperti itu. Percayalah, Ayah Ibumu bukan orang jahat. Nanti kami ceritakan kepadamu siapa Maya Dewi itu yang kami kenal dahulu, belasan tahun yang lalu sebelum engkau terlahir."

"Kakangmas, kasihan ia, pergi kejar dan susullah. Kalau ia mau, undang ia ke sini agar kita dapat membantunya, mengobatinya. Kalau ia menolak, sampaikanlah maafku yang sebesar-besarnya..."

Parmadi menangguk dan cepat tubuhnya berkelebat dan berlari cepat mengejar ke arah larinya Maya Dewi. Muryani mengajak anaknya duduk di bawah pohon menanti kembalinya Parmadi. Akan tetapi tidak lama kemudian Parmadi datang sambil menggeleng kepala. Dia tidak berhasil menemukan jejak Maya Dewi. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Perguruan Bromo Dadali di gunung Muria. Karena kuda tunggangan Joko Galing sudah hilang ketika dilarikan Satyabrata, maka Joko Galing lalu diboncengkan ayahnya.

Di dalam perjalanan itu Joko Galing menceritakan segala yang didengarnya dari Satyabrata yang bermaksud merampas Muryani dari Parmadi. Diceritakannya pula tentang pertolongan Maya Dewi malam tadi dan tentang luka yang diderita Maya Dewi ketika ia ditembak Satyabrata. Setelah anak itu selesai bercerita, Muryani yang duduk di atas kudanya yang berjalan di samping kuda yang ditunggangi suami dan anaknya, menghela napas panjang.

"Aahhh... siapa dapat mengira bahwa Maya Dewi kini telah benar-benar bertaubat dan mengubah jalan hidupnya. Aku menyesal sekali telah salah sangka tadi."

"Tidak perlu menyesali diri, Diajeng. Bagaimanapun juga, perlakuan kita terhadap Maya Dewi itu kukira memang perlu baginya, agar ia semakin menyesali perbuatannya yang dulu-dulu dan benar-benar bertaubat. Aku yakin bahwa terjadi suatu keajaiban sehingga orang seperti Maya Dewi dapat berubah menjadi baik. Sungguh menakjubkan sekali."

"Dan aku merasa heran sekali melihat munculnya Satyabrata. Telah belasan tahun dia tidak pernah menampakkan diri, juga kita tidak pernah mendengar akan beritanya. Akan tetapi, bagaimana kini secara tiba-tiba manusia sesat itu dapat muncul dan mengganggu kita?"

"Entahlah, Diajeng. Mungkin selama itu dia tekun memperdalam ilmunya atau mendapat tugas lain dari Belanda, Akan tetapi, apa yang baru saja terjadi merupakan peringatan bagi kta bahwa kita harus waspada terhadap Setyabrata karena jelas bahwa dia mempunyai niat yang tidak baik terhadap kita.

"Ih, menyebalkan sekali orang itu! Heran, kukira tadinya bahwa orang jahat itu telah mati! Kalau kita bertemu lagi dengan dia, Kakangmas, kita harus membasminya karena orang seperti Satyabrata itu amat berbahaya bagi masyarakat pada umumnya dan terutama sekali bagi Mataram karena dia adalah orang penting dari Kumpeni Belanda."

"Engkau benar, Diajeng. Kita harus berhati-hati. Keadaan menjadi gawat. Persekutuan yang kuat agaknya dibentuk Blambangan yang mengancam Mataram dan kini muncul pula Satyabrata. Kita harus membantu Mataram untuk menentang mereka yang hendak memerangi Mataram dan hendak mengacaukan kehidupan rakyat. Akan tetapi kita mempunyai titik kelemahan dan mereka tentu akan menyerang kami pada titik kelemahan itu. Marilah kita mempercepat perjalanan kita ke Muria." berkata demikian, Parmadi mengerling kepada Joko Galing yang duduk di depannya. Muryani mengerti apa yang dimaksudkan suaminya.

Memang, anak mereka itu merupakan titik kelemahan mereka dan para lawan yang memusuhi mereka, seperti Satyabrata, tentu akan menyerang mereka melalui anak mereka dan kalau hal ini terjadi, mereka itu sudah berada di tempat aman, dititipkan di Perguruan Bromo Dadali, maka mereka berdua akan dapat mencurahkan seluruh perhatian dan tenaga untuk menentang persekutuan yang memusuhi Mataram itu. Mereka mempercepat perjalanan menuju Gunung Muria di tepi Laut Utara (Laut Jawa)

********************

Maya Dewi tertatih-tatih mendaki bukit yang penuh tumbuh-tumbuhan itu. Setelah tiba di tengah hutan lebat di lereng bukit, ia terkulai lemas, jatuh terduduk di bawah pohon besar dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon. Pangkal lengan kanannya terasa nyeri bukan main. Panas, pedih, dan berdenyut-denyut. Lukanya menjadi semakin parah karena pertemuan tenaganya dengan tenaga Muryani yang menyerangnya dan ditangkisnya tadi. Pertemuan tenaga itu mengguncang seluruh lengan kanannya dan membuat luka di pangkal lengannya semakin parah.

Namun, rasa ngilu dan nyeri pada pangkal lengan kanannya itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan rasa nyeri dalam hatinya. Kembali ia tidak dipercaya, dihina, bahkan diserang oleh golongan pendekar. Ia memang dapat menerima semua sikap dan perlakuan terhadap dirinya itu sebagai buah pahit yang ia petik dari pohon tanamannya sendiri. Akan tetapi bagaimanapun juga, ia adalah seorang manusia biasa yang merasa memiliki harga diri. Kini harga dirinya berulang kali dibanting hancur berkeping-keping!

Kalau golongan penjahat seperti Satyabrata membenci dan menentangnya, hal ini dapat ia terima sebagai suatu kewajaran karena ia sudah mengambil keputusan untuk menentang kejahatan membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi ternyata golongan pendekar juga menolaknya. Golongan ini tidak percaya kepadanya dan menganggap bahwa ia kini berpura-pura menjadi baik sehingga ia menjadi bahan ejekan dan tertawaan, bahkan dimusuhi. Golongan sesat tentu saja tidak dapat menerima perubahan ini dan hendak menyeretnya kembali ke jalan sesat mereka. Kedua belah pihak tidak mau menerimanya, menolaknya sebagai orang yang tidak berharga!

"Bagus... apa yang harus kulakukan...?" Ia berbisik lemah dan tanpa suara ia menangis. "Duh Gusti.... hamba mohon kekuatan untuk menerima semua hukuman ini..."

Kemudian ia seolah mendengar lapat-lapat sebuah diantara nasihat-nasihat yang diberikan Bagus Sajiwo kepadanya. "Dewi, keadaan apapun yang menimpa dirimu, yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, terimalah semua itu seperti apa adanya. Kewajibanmulah untuk berikhtiar sekuat tenagamu untuk mengubah keadaan yang tidak baik menjadi baik, yang tidak enak menjadi enak, yang tidak menyenangkan menjadi menyenangkan. Akan tetapi dilandasi keyakinan bahwa hasil terakhir sepenuhnya berada dalam kekuasaan Gusti Allah. Tidaklah mungkin bagi seluruh manusia untuk mengubah keadaan apa adanya kalau tidak dikehendaki Gusti Allah. Maka, kalau usahamu tidak berhasil, jangan putus asa, usahakanlah lagi disertai kepasrahan kepada Gusti Allah Yang Maha Kasih."

Dalam kenyerian lahir batin itu teringat akan ucapan Bagus Sajiwo, Maya Dewi tersenyum! "Terima kasih, Bagus!" katanya dan seolah mendapat kekuatan baru ia bangkit berdiri, menghapus air matanya. Kemudian, dengan penuh keyakinan, ia merangkap kedua tangan depan dada, memejamkan kedua matanya dan mengucapkan kata-kata lirih penuh khidmat. "Terima kasih, Gusti. Terjadilah semua kehendakMu."

Pangkal lengannya masih terasa nyeri sekali, akan tetapi itu hanya kenyerian sebuah anggauta badan. Dan ia bukanlah lengan itu! Ia harus menggunakan akal untuk menghilangkan perasaan nyeri itu dengan mengobati lukanya. Ia harus berikhtiar dengan landasan keyakinan bahwa Gusti Allah akan menolongnya, namun apapun yang akan terjadi dengan dirinya, tidak akan meleset seujung rambut pun dari apa yang telah ditentukan olehNya. Segala kehendakNya pasti terjadi, terhadap siapa pun, kapan pun dalam keadaan yang bagaimana pun!

Mulailah Maya Dewi mencari tanaman yang dapat dipergunakan untuk mengobati lukanya. Akan tetapi karena ia tidak tahu dimana tumbuhnya bahan-bahan yang ia perlukan sedangkan di situ hanya terdapat pohon-pohon besar, Maya Dewi lalu pergi ke sebuah dusun di kaki bukit. Ia memasuki sebuah pondok sederhana dan diterima oleh penghuninya, seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun.

"Wah, Den Ayu, Andika hendak mencari siapakah?" tanya wanita itu ramah dan seperti kebanyakan orang dusun, ia genbira sekali menerima kunjungan seorang yang dianggapnya sebagai priyayi (bangsawan)!

"Bibi, aku datang untuk minta pertolongan andika, akan tetapi harap jangan sebut aku Den Ayu, sebut saja namaku, Maya Dewi."

"Hemm, Maya Dewi... alangkah indahnya nama itu, seindah orangnya. Baiklah, Maya, silakan masuk dan duduk di dalam. Kita bicara di dalam saja."

Maya Dewi merasa girang karena wanita ini menerimanya dengan begitu ramah! Kalau saja para pendekar mau menerimanya seperti sikap nenek ini ketika menerimanya, alangkah akan senang hatinya. Mereka memasuki pondok dan duduk di atas tikar yang berada di ruangan itu. Dari keadaan prabotan rumah, Maya Dewi tahu bahwa nenek itu seorang miskin. Setelah duduk di atas tikar, Maya memandang ke sekeliling. Rumah itu sunyi, tak tampak ada seorang pun.

"Bibi, dengan siapakah Bibi tinggal di sini? Dan siapakah nama Bibi?"

"Aku dikenal sebagai Mbok Rondo Wiji (Ibu Janda Wiji) dan aku hidup sebatang kara, tinggal di sini seorang diri. Nah Maya Dewi, bantuan apakah yang dapat diberikan orang seperti aku ini, seorang janda tua miskin kepada seorang wanita muda cantik seperti Andika?"

"Bibi, saya terluka... " kata Maya Dewi dan tadi ketika ia bercakap-cakap sehingga perhatian terpecah, luka di pangkal lengannya tidak begitu terasa nyeri, akan tetapi begitu kini membicarakan lukanya dan perhatiannya tercurah, ia menyeringai.

"Terluka, Maya Dewi? Apamu yang terluka, nak?" Janda itu bertanya penuh perhatian dengan wajah tampak membayangkan iba dan kekhawatiran.

Melihat ini saja, terasa keharuan dan kebahagiaan menyelinap dalam hati sanubari Maya Dewi. masih ada orang yang menaruh iba dan memeperhatikannya!

"Pangkal lengan kanan saya ini, Bibi Wiji..."

Maya Dewi merasa heran dan gemas kepada diri sendiri mendengar betapa suaranya itu mengandung kemanjaan! Ia lalu membuka bajunya yang berlubang di bagian pangkal lengan bawah pundak dan tampaklah pangkal lengannya yang masih ada bekas聽darah dan luka itu tampak mengerikan. Masih untung bagi Maya Dewi bahwa peluru pistol yang terbuat dari emas itu tembus dan tidak mematahkan tulangnya, melainkan tembus di bagian agak pinggir. Namun karena peluru itu berbau obat peledak, rasanya panas dan perih seperti dibakar di bagian dalam.

"Aduh, kenapa terluka sampai seperti ini. Maya Dewi?"

"Panjang ceritanya, Bibi. Sekarang saya minta tolong kepadamu, carikan bahan obat, yaitu Getah Pohon Gondang, Akar pohon Trengguli, Daun Bayam Duri, dan madu murni. Kalau perlu belilah, Bibi, dan ini uangnya."

"Baik, Nak Maya." Janda itu menerima uang pemberian Maya Dewi. "Oya Bibi. Obat-obat tadi hanya obat luar, carikan juga Temu Lawak, Asam Trengguli, dan Gula Aren agar dimasak untuk obat minum."

Nyi Wiji lalu cepat keluar dari rumah. Maya Dewi lalu mencari di dapur dan setelah menemukan prabotnya ia lalu menjerang air untuk mencuci lukanya. Tak lama kemudian Nyi Wiji datang membawa semua bahan obat yang dibutuhkan Maya Dewi. Daun Bayam Duri lalu digerus lembut dan dicampur madu murni untuk mengompres luka dibagian depan dan belakang pangkal lengan di mana peluru masuk dan menembus keluar.

Kemudian Akar Pohon Trengguli ditumbuk halus, dicampur Getah Pohon Gondang dan Madu Murni dan dipanaskan di atas api kecil. Kemudian disaring dan disiramkan di atas luka dan dibalut. Kemudian temu Lawak, Asam Trengguli, dan Gula Aren dimasak dan diminum. Setelah minum jamu yang membersihkan darah menolak keracunan, dan memakai jamu yang ditempelkan pada luka, Maya Dewi merasa lega. Perlahan-lahan rasa panas perih pada pangkal lengan kanannya menghilang, diganti rasa sejuk dan nyaman.

Tahulah ia bahwa jamu itu telah bekerja dengan cepat dan ia yakin bahwa dalam beberapa hari saja lukanya akan sembuh. Selama tiga hari Maya Dewi tinggal di rumah Mbok Rondo yang melayaninya dengan ramah dan gembira. Wanita ini, seorang desa yang sederhana dan polos, merasa terhormat sekali dapat menerima seorang priyayi atau orang kota bermalam di rumahnya. Pada pagi hari ke empat, karena lukanya sudah sembuh, bahkan sudah mengering dan tidak perlu dibalut lagi, hanya diparami obat luar, Maya Dewi sudah siap untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah janda tua di dusun itu. Nyi Wiji yang sudah tahu bahwa tamunya akan pergi pagi hari itu, sibuk di dapur.

"Nanti dulu, Nak Maya Dewi! Aku sedang membuatkan sarapan yang enak untukmu, sarapan terakhir di gubukku! Harap engkau suka menunggu dan jangan pergi dulu sebelum sarapan!"

Maya Dewi tersenyum. Selama tiga hari hidup di pondok miskin bersama Nyi Wiji, ia mengalami keadaan yang amat menyenangkan hatinya. memang, setiap hari makan minumnya amat sederhana, tidurnya pun hanya di atas lincak (bangku dari bambu) reyot. Akan tetapi, sikap Nyi Wiji yang selalu tersenyum dan amat ramah kepadanya bagaikan sinar matahari yang menerangi semua kegelapan dam relung-relung hatinya. Betapa sudah teramat lama ia merindukan sinar kasih sayang seperti itu!

Kasih sayang seorang ibu atau ayah, seorang saudara, sahabat yang mengasihi bukan karena keadaan lahiriahnya belaka. Pagi ini Nyi Wiji melarang ia untuk membantu di dapur. Ini sarapan istimewa yang harus ia buat sendiri, demikian katanya. Maya Dewi menanti masaknya makanan yang akan dihidangkan sebagai sarapan itu dan ia keluar dari dalam pondok.

Udara pagi itu cerah sekali. Semua tampak bersih setelah semalam dicuci air hujan. Kini semua itu, pohon-pohon, tanaman-tanaman sampai rumput hijau, tanah dan apa saja yang masih tampak basah, seolah-olah pakaian yang habis dicuci dan kini dijemur di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Suasana pagi hari yang cerah itu mendatangkan kenikmatan dalam hati Maya Dewi dan ia pun tersenyum cerah sehingga wajahnya yang cantik tanpa polesan atau hiasan itu tampak berseri.

Ia lalu duduk di atas bangku panjang depan rumah, memberi keleluasaan kepada badannya untuk menikmati semua keindahan itu. Matanya seolah berpesta memandang segala sesuatu yang mandi cahaya, telinganya menikmati suara burung-burung berkicau, desah angin lembut pada daun-daun pohon, teriakan anak-anak agak jauh di sana, dan lapat-lapat terdengar tangis seorang bayi disusul gumam sayang dari ibunya. Hidungnya juga menikmati keharuman tanah yang segar, bunga dan daun, terutama seluruh dirinya menikmati hawa udara segar sejuk yang memasuki dada dan perutnya.

"Pagi yang indah sekali.... !"

Maya Dewi menoleh ke kanan dan di sana, sekitar dua tombak dari tempat ia duduk, berdiri deorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus sehingga mukanya seperti tengkorak terbungkus kulit. Sepasang matanya nakal, dan mulutnya tersenyum penuh arti, jelas membayangkan bahwa dia terpesona dan terkagum-kagum. Dia tadi berkata memuji keindahan pagi, akan tetapi mata dan sikapnya menunjukkan bahwa bukan pagi indah yang dia kagumi, melainkan wanita yang duduk di atas bangku reyot di depan pondok itu.

Bagi Maya Dewi, tatapan mata pria seperti itu bukan hal yang aneh atau asing lagi. Ia tahu benar bahwa laki-laki tinggi kurus ini sedang mengagumi kecantikannya secara terbuka, tidak disembunyikan sehingga mendatangkan kesan kurang ajar. Akan tetapi Maya Dewi tidak marah atau dongkol karena ia menganggap kelemahan laki-laki seperti itu masih wajar saja. Ia pun melihat bahwa dari pakaiannya, laki-laki ini bukan seorang desa yang miskin.

Pakaiannya cukup mewah dan dari cara dia membawakan dirinya, mengandung sikap congkak atau tinggi hati yang menjadi ciri khas sikap orang-orang yang memiliki kedudukan, harta, atau nama besar yang membuat dia merasa lebih daripada manusia pada umumnya. Maya Dewi hanya memandang sejenak lalu menundukkan muka, pura-pura tidak tahu dan tida mengacuhkan agar orang itu segera pergi dan tidak mengganggunya lagi.

"Nimas, siapakah Andika? Andika cantik jelita seperti bidadari dari kahyangan! Manusia atau bidadarikah Andika?"

Laki-laki itu maju menghampiri sehingga berdiri di depan Maya Dewi dalam jarak sedepa. Maya Dewi dapat mencium bau harum bunga kenanga dari orang itu. Agaknya dia suka memakai wangi-wangian dari bunga kenanga.

"Saya orang biasa, nama saya Maya Dewi." katanya jujur.

"Adu-aduh... !" Namanya indah seperti orangnya! Ketahuilah Nimas Maya Dewi yang cantik jelita. Aku adalah Ki Lurah Samin, lurah Dusun Waru ini. Eh, di mana Andika tinggal, Nimas?"

"Saya tinggal di sini menjadi tamu Bibi Wiji selama tiga hari, Ki Lurah."

"Sudah tiga hari? Ah, mengapa aku tidak tahu? Kalau aku tahu, tentu Andika kujadikan tamuku yang kami hormati, tinggal di kamar terbaik dalam rumah kami!"

Maya Dewi tidak menjawab. Ki Lurah Samin itu sudah mulai merayu dan kalau diberi hati, tentu akan semakin berani. Ia diam saja sambil menundukkan mukanya. Ki Lurah Samin lalu menghampiri pintu depan pondok dan berteriak ke dalam.

"Hei.... Nyi Wiji! Aku datang! Keluarlah engkau!"

Dari dalam terdengar suara Nyi Wiji menjawab dan segera tampak wanita itu keluar dari pondok. "Aduh, kiranya Ki Lurah yang datang! mohon maaf, Ki Lurah, saya tidak tahu bahwa Panjenengan (Andika, Paduka) yang rawuh (datang). Perintah apakah yang harus saya lakukan, Ki Lurah?

Nyi Wiji berkata dengan sikap ramah yang tidak wajar, keramahan dibuat karena takut.

"Nyi Wiji, engkau ini bagaimana sih? Ada tamu yang begini cantik jelita seperti bidadari, mengapa tidak memberi tahu padaku? Keluargamukah Nimas Maya Dewi ini?"

"Ampun, Ki Lurah. Nak Maya Dewi ini bukan sanak keluarga saya. Bahkan sebelumnya saya tidak pernah mengenalnya. Ia datang sebagai tamu dan ingin mondok beberapa hari di rumah saya. Ia tinggal di sini selama tiga hari tiga malam dan pagi ini sudah akan pergi meninggalkan rumah saya, Ki Lurah."

"Meninggalkan tempat ini? Nimas, andika hendak pergi ke manakah?" tanya Ki Lurah Samin sambil menatap tajam wajah Maya Dewi yang baginya tampak semakin lama semakin menggairahkan itu.

"Hendak melanjutkan perantauan saya, ki Lurah."

"Merantau? Seorang wanita cantik jelita seperti Andika ini merantau? Di manakah rumah Andika?"

Maya Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Saya tidak punya rumah."

"Aduh kasihan...! Di mana keluargamu... dan... eh, suamimu....?"

Maya Dewi tetap tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Saya hidup sebatang kara."

Sepasang mata Ki Lurah Samin terbelalak, lalu bersinar gembira. "Ah, kalau begitu sungguh tidak adil! Seorang wanita secantik bidadari seperti Andika ini sepatutnya tinggal di dalam istana, dipuja dan dihormati semua orang! Nimas Maya Dewi, kalau begitu marilah Andika ikut aku! Andika pantas menjadi sisihanku (pendampingku) yang paling kusayang. Andika akan diperlakukan sebagai seorang permaisuri, dipuja dan dihormati orang seluruh Dusun Waru, akan kusayangi dan kusanjung sebagai mustika! Marilah, Nimas, kuboyong ke dalam gedungku."

Maya Dewi tersenyum geli. Melihat tingkah Ki Lurah Samin, ia merasa seperti sedang nonton seorang dagelan (pelawak) bergaya di atas panggung ketoprak. "Terima kasih Ki Lurah, atas kebaikan hati dan tawaran Andika. Akan tetapi maaf, saya tidak dapat menerimanya karena saya lebih suka hidup sendirian dan merantau."

"Aeh, Nimas Maya Dewi! Apa enaknya hidup sendirian dan merantau, tak menentu tempat tinggalmu dan hidup serba kurang dan sukar? Kalau engkau menjadi sisihanku, beberapa almari penuh pakaian baru dan indah siap kau pakai, makanan apapun yang kau kehendaki, akan tersedia, gedung yang paling indah di dusun ini akan menjadi tempat tinggalmu! Sudah cukup terpenuhi dengan baik sandang pangan dan papan bagimu. Ditambah lagi kasih sayang dariku, sanjungan dan penghormatan dari seluruh warga Dusun Waru. Nah, apalagi yang kurang bagi kehidupan seorang wanita?"

Maya Dewi tersenyum, manis sekali. Diam-diam ia merasa iba kepada laki-laki ini. Pria seperti ini, seperti yang telah banyak dikenalnya dahulu, adalah seorang hamba nafsu dan yang dikenal pria seperti ini hanyalah cinta nafsu berahi belaka!

"Ki Lurah, kalau sebuah rumah tangga itu diumpamakan sepiring masakan, apa yang kau janjikan dan sediakan itu merupakan bahan-bahan dan bumbu-bumbu yang serba baik dan lengkap. Akan tetapi sayang, semua bahan masakan berikut bumbunya itu belum tentu menghasilkan sepiring masakan yang lezat."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)