Kemelut Blambangan Jilid 14


"SAYA Sudah menaruh curiga kepada Adi Kiswoyo, Bapa. Kemarin dulu isteri dan anaknya meninggalkan perkampungan. Kemudian pagi ini, saya melihat banyak murid yang tidak bekerja di luar perkampungan, seolah-olah mereka itu berkumpul di perkampungan menanti sesuatu yang akan terjadi. Ketika saya pergi ke rumah Kiswoyo, ternyata rumahnya kosong. Dia telah pergi meninggalkan rumah dan perkampungan!"

"Hemm...!" Ki Ageng Branjang menghela napas panjang beberapa kali dan menggeleng-geleng kepalanya.

"Sungguh tidak kukira Si Kiswoyo tetap saja belum menyadari kesesatannya. Sejak kecil dia menjadi muridku dan banyak sudah kuberi pendidikan budi pekerti yang baik. Beberapa kali aku sudah mengampuni kesalahannya dan memperingatkan agar dia benar-benar bertaubat. Ah, semua ini adalah karena pengaruh buruk dari isterinya, bahkan anaknya juga menjadi anak murid Bromo Dadali. Ini merupakan bukti lagi bahwa kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari. Kebaikan hanya datang melalui kesadaran, penyerahan diri kepada Gusti Allah yang memberi bimbingan dan membersihkan segala kekotoran yang melekat. Sanuri, mungkin sekali kekhawatiranmu benar. Akan terjadi sesuatu yang buruk pada Bromo Dadali. Beruntung bahwa Muryani dan suaminya yang sakti mandraguna berada di sini sehingga merupakan bantuan yang dapat diandalkan untuk menanggulangi gangguan ini."

"Akan tetapi justru hari ini, pagi tadi, Adimas Parmadi dan Adi Muryani, bersama putera mereka dan anak saya Niken Arum pergi bertamasya untuk menikmati keindahan alam di sekitar pegunungan ini. Mungkin sehari ini mereka tidak berada di sini dan baru pulang sore nanti, Bapa."

Ki Ageng Branjang bangkit berdiri, "Wah, kalau begitu bisa gawat keadaannya! Aku harus turun tangan sendiri. Biar aku yang akan menghadapi mereka! Kita harus siap sedia menghadapi mereka dan kalau mereka melakukan kekerasan hendak memaksa kita menuruti kehendak mereka, kita lawan mati-matian! Sanuri, sekarang keluarlah dan siapkan semua murid!" kata kakek itu bersemangat.

Biarpun sudah tua, mendengar Bromo Dadali terancam bahaya, dia menjadi bersemangat untuk membela perguruannya. Setelah Sanuri keluar, Ki Ageng Branjang bertukar pakaian, menanggalkan jubah longgar yang biasa dia pakai bersamadhi dan mengenakan pakaian ringkas lalu mengambil Kyai Jamus, yaitu tombak pusakanya yang ampuh.

Sanuri sendiri lalu mengumpulkan para murid Bromo Dadali. Karena pada pagi hari itu, sebagian besar murid bekerja dalam perkampungan, maka mudah memanggil mereka untuk berkumpul di halaman depan rumah induk Bromo Dadali yang ditempati Ki Ageng Branjang. Jumlah murid ada lima puluh lima orang dan ketika mereka berkumpul, ternyata yang hadir ada empat puluh sembilan orang.

Enam orang murid berada di luar, tahu bahwa di antara para murid itu, sekitar tiga puluh orang telah dipengaruhi Kiswoyo dan condong menyetujui kerja sama dengan Blambangan demi mendapatkan kemakmuran sebagai imbalannya. Setelah empat puluh sembilan orang murid itu berkumpul, Sanuri yang berdiri di atas pendopo berkata dengan lantang.

"Kalian semua telah mengetahui bahwa kita mendapat ancaman dari para utusan Blambangan yang hendak memaksa kita bekerja sama dengan Blambangan untuk menentang Mataram. Kalian semua tahu pula bahwa kita tidak pernah campur tangan dengan perang antara Mataram dan daerah-daerah yang menentangnya, akan tetapi berkali-kali Bapa Guru menekankan bahwa kita harus setia kepada Mataram. Karena itu, kita tetap menolak ajakan Blambangan untuk menentang Mataram. Para utusan mengancam bahwa sebulan setelah kinjungan mereka dahulu, mereka akan datang lagi dan kalau kita tetap menolak, mereka menganggap kita musuh! Waktu sebulan itu tinggal lima hari lagi mereka akan muncul, sesuai dengan ancaman mereka. Akan tetapi kita tidak boleh lengah. Mulai hari ini, semua murid dilarang bekerja di luar perkampungan dan harus berada di dalam perkampungan dan mempersiapkan diri untuk membela perguruan kita apabila para utusan Blambangan menyerang kita. Apakah ada pertanyaan? Kalau ada, silakan bertanya!"

Seorang murid yang berusia tiga puluh tahun lebih, bertubuh jangkung kurus, mengangkat tangan ke atas lalu bertanya, "Kakang Sanuri, saya ingin bertanya. Kita ini bukan orang Mataram, mengapa kita harus setia kepada Mataram? Bukankah kesetiaan kita hanya kita tujukan untuk perguruan kita, untuk Bapa Guru Ki Ageng Branjang, untuk Bromo Dadali, dan bukan untuk Mataram?"

Pertanyaan itu saja sudah cukup bagi Sanuri untuk menduga bahwa murid itu pasti telah terkena bujukan atau hasutan Kiswoyo yang mendukung kerja sama dengan Blambangan. Maka dia menjawab dengan tegas.

"Memang benar apa yang dikatakan Aji Sendaru tadi. Kita hanya setia kepada Bromo Dadali dan guru kita! Nah, karena Bapa Guru Ki Ageng Branjang sendiri yang mengambil keputusan untuk tidak menentang dan setia kepada Mataram walaupun tidak membantu dalam perang, maka sebagai bukti kesetiaan kita kepada Bromo Dadali, kita harus mentaati perintah Bapa Guru itu. Kalau kita menentang atau mengingkari perintah guru kita, apakah itu dapat disebut setia kepada Bapa Guru?"

Setelah mengeluarkan jawaban itu, Sanuri memandang kepada mereka semua lalu bertanya lagi. "Nah, siapa lagi yang ingin bertanya?"

Seorang murid lain yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan bertubuh kekar berkulit hitam mengacungkan tangan lalu bertanya, suaranya nyaring. "Kakang Sanuri, saya ingin beranya. Kalau para utusan Blambangan menyerang Bapa Guru Ki Ageng Branjang, tentu saja kami semua harus membela Bapa guru. Akan tetapi bagaimana kalau mereka datang dan bersikap lunak dan bicara baik-baik kepada kita, tidak mengganggu Bapa Guru? Apa yang harus kita lakukan?"

Mendengar pertanyaan ini, Sanuri menjawab. "Kalau mereka bersikap lunak dan baik, maka kita serahkan saja kepada Bapa Guru untuk memutuskan, apa yang harus kita lakukan. Kita sudah bersumpah setia kepada Bapa Guru, kepada Bromo Dadali, maka apa pun yang diputuskan oleh beliau, harus kita taati."

Setelah tidak ada yang bertanya lagi, Sanuri lalu membubarkan para murid dengan pesan ulangan bahwa mereka harus memepersiapkan diri sehingga setiap saat kalau ada bahaya, mereka akan dapat melawan dan membela Bromo Dadali.

Pagi itu tidak terjadi sesuatu. Sampai matahari naik tinggi, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu sehingga hati Sanuri merasa lebih tenang. Demikian pula Ki Ageng Branjang. Biarpun dia masih mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang dipakai dalam persiapan menghadapi serangan lawan, namun dia sudah memasuki sanggar pamujan di mana dia bersamadhi seperti telah menjadi kebiasaannya.

Lewat tengah hari keadaan di perkampungan Bromo Dadali sunyi. Siang itu panasnya bukan main dan orang-orang sedang beristirahat setelah bekerja sejak pagi. Baru saja mreka berhenti untuk makan siang dan kini mereka beristirahat sebelum melanjutkan pekerjaan mereka. Tiba-tiba terdengar ledakan keras yang mengguncang seluruh perkampungan dan mengejutkan semua orang.

Para murid Bromo Dadali berhamburan keluar dan mereka terkejut sekali melihat api berkobar. Mereka cepat menyambar senjata masing-masing dan lari ke arah kebakaran itu. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat bahwa yang terbakar adalah sanggar pamujan, sebuah bangunan kecil di sebelah kiri rumah induk di mana biasanya Ki Ageng Branjang bersamadhi!

Dan mereka melihat betapa Ki Ageng Branjang yang menggunakan senjata tombak pusaka sedang bertanding melawan Ki Randujapang, tokoh Madura utusan Blambangan itu yang bersenjatakan sepasang kapak besar. Mereka bertanding dengan seru di pendopo rumah induk yang luas. Juga di pendopo itu tampak Kaladhama dan Kalajana yang berdiri di tepi pendopo dengan sikap bengis.

Kebetulan sekali ketika sanggar pamujan diledakkan dengan alat peledak yang diterimanya dari pihak Kumpeni Belanda, Ki Ageng Branjang sudah keluar dari sanggar pamujan dan makan siang di dalam rumah induk. dia pun terkejut mendengar ledakan itu dan begitu dia keluar sampai di pendopo rumahnya, Ki Randujapang telah menyerangnya dengan sepasang kapak.

Ki Ageng Branjang yang memang sudah siap membawa tombaknya lalu melawan sehingga terjadi perkelahian yang seru. Ada pun Dwi Kala, dua orang raksasa itu menjaga di tepi pendopo. Kiranya tiga orang yang berkepandaian tinggi ini telah berhasil menyusup ke dalam perkampungan Bromo Dadali. Tentu saja hal ini dengan mudah dapat mereka lakukan atas petunjuk Ki Kiswoyo, yaitu pada saat semua murid makan siang dan mengaso dan melalui kebun yang sunyi.

Melihat rumah yang menjadi sanggar pamujan itu berkobar dimakan api dan Ki Ageng Branjang membela diri mati-matian diserang oleh Ki Randujapang, para murid yang tadinya sudah dipengaruhi Ki Kiswoyo menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya Ki Kiswoyo tidak mengatakan bahwa para utusan Blambangan hendak menyerang atau mengganggu Ki Ageng Branjang. Akan tetapi kenyataannya sekarang, utusan Blambangan itu menyerang Ki Ageng Branjang, bahkan membakar sanggar pamujan.

Maka mereka menjadi marah dan penasaran. Bagaimanapun juga, mereka dapat terbujuk dan dipengaruhi Ki Kiswoyo hanya karena mereka ingin mendapatkan kedudukan dan harta benda supaya dapat hidup mewah dan makmur. Akan tetapi mereka semua masih amat setia kepada Ki Ageng Branjang dan melihat guru mereka itu diserang, mereka segera menjadi marah dan lupa akan niat mereka mendukung Ki Kiswoyo yang akan menerima kerja sama dengan Blambangan.

Randujapang adalah seorang tokoh dari Madura yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah seorang di antara murid-murid mendiang Ki Harya Baka Wulung yang terkenal sebagai datuk Madura yang sakti dan seorang yang membenci Mataram sampai akhir hidupnya. Ki Randujapang mewarisi bukan saja kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan juga perasaan benci kepada Mataram itu.

Ketika Madura ditundukkan Mataram dan Raden Prasena oleh Sultan Agung di Mataram diangkat menjadi Pangeran Cakraningrat yang meguasai Madura, Ki Randujapang tidak mau mengakui dan dia malah diam-diam menghimpun orang-orang yang sehaluan dengan dia. Karena dia memang seorang tokoh sesat, maka tentu saja yang dapat dia kumpulkan adalah golongan sesat seperti para perampok, pengganggu keamanan, dan sebagian lagi bekas pasukan yang kalah melawan Mataram.

Ketika dia mendengar akan pesekutuan yang dibentuk Blambangan dalam usahanya menentang Mataram, dia lalu mengumpulkan orang-orang sehaluan itu dan berhasil mengajak sekitar tiga ribu orang menyeberang ke Blambangan dan menggabungkan diri dengan pasukan Blambangan dan Bali. Kemudian dia dipercaya oleh Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi wakil Sang Adipati memimpin persekutuan itu untuk pergi membujuk para tokoh sakti termasuk perguruan Bromo Dadali untuk membantu dan bergabung dengan persekutuan yang diadakan oleh Blambangan.

Demikianlah, dengan petunjuk Kiswoyo yang berkhianat terhadap Bromo Dadali, rombongan Ki Randujapang pada lewat tengah hari itu menyerbu Bromo Dadali, padahal waktu yang dia janjikan masih lima hari lagi. Mula-mula, Randujapang bersama dua orang pembantunya, Kaladhama dan Kalajana, ditemani Kiswoyo sebagai penunjuk jalan, berhasil menyusup ke perkampungan Bromo Dadali tanpa diketahui para murid, kemudian dengan menggunakan bahan peledak yang dapat membakar, Dwi Kala meledakkan dan membakar sanggar pamujan atas petunjuk Kiswoyo yang mengira bahwa gurunya, Ki Ageng Branjang tentu sedang bersamadhi dalam sanggar pamujan itu. Akan tetapi, mereka terkejut sekali melihat Ki Ageng Branjang keluar dari dalam rumah induk membawa tombaknya.

Melihat ini, Kiswoyo bersembunyi dan tiga orang utusan Blambangan itu lalu menyambut Ki Ageng Branjang di pendopo. Randujapang segera menyerang ki ageng Branjang tanpa banyak cakap lagi, sedangkan Dwi Kala berjaga-jaga ditepi pendopo. Pertandingan antara Randujapang dan Ki Ageng Branjang amat seru dan mati-matian. sebagai murid mendiang ki Harya Baka Wulung, entu saja kepandaian Randujapang amat tinggi.

Sebetulnya, Ki Ageng Branjang yang mewarisi ilmu dari eyang gurunya, sunan Muria, juga seorang yang digdaya. akan tetapi usia tua telah menggerogoti kekuatannya dari dalam. Karena itu biarpun tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan Randijapang, namun usianya yang jauh lebih tua itu membuat dia kehabisan tenaga dan pertahanannya semakin melemah dan akhirnya dia terdesak sekali.

Melihat guru mereka terdesak, para murid Bromo Dadali, baik yang mendukung Kiswoyo maupun yang tidak, semua lalu berlari ke arah pendopo sambil membawa senjata mereka berupa pedang, golok, atau tombak. Yang berada didekat tempat itu ada sekitar tiga puluh orang murid. Mereka berlari menghampiri pendopo. Melihat betapa kawan-kawannya yang sudah dipengaruhinya itu ikut-ikutan menyerbu ke arah pendopo dan ikut berteriak untuk membunuh para pengacau, Kiswoyo terkejut dan marah sekali. Dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, mencoba menghadang mereka dan berseru nyaring.

"Heii, kawan-kawan! Ingat, mereka bukan musuh kita...!"

Akan tetapi para murid yang tadinya mendukung Kiswoyo untuk bekerja sama dengan para utusan Blambangan itu sama sekali tidak mempedulikan dia. Bahkan mereka merasa dibohongi karena sekarang buktinya, para utusan Blambangan itu melakukan pengacauan dan pengrusakan, membakar sanggar pamujan, bahkan sekarang menyerang guru mereka. Para murid itu kini mengepung pendopo dan hendak menyerbu naik.

Akan tetapi, Kaladhama yang tadi melihat para murid Bromo Dadali datang menyerbu, sudah siap dengan ilmu sihirnya. Dia berkemak-kemik membaca mantram dan menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Tampak asap hitam keluar dari tangannya dan ketia asap lenyap, tampak ratusan ekor ular merayap, mendesis-desis menyambut para murid Bromo Dadali!

Tentu saja para murid Bromo Dadali terkejut bukan main dan mereka sibuk dengan senjata mereka menyerang ular-ular itu. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika ternyata bahwa ular-ular itu tidak dapat mereka bacok dengan pedang dan golok, tidak dapat mereka gebuk atau tusuk dengan tombak. Ular-ular itu mengerikan sekali dan semua serangan mereka hanya mengenai tanah, seolah mereka menyerang bayang-bayang saja.

Tiba-tiba para murid Bromo Dadali menjadi semakin panik ketika kini kedua telapak tangan Kalajana juga mengeluarkan asap hitam yang berubah menjadi puluhan ekor kelelawar hitam yang menyambar-nyambar dari atas seolah hendak menyerang kepala mereka. Para murid itu diserang dari bawah oleh ular-ular dan dari atas oleh segerombolan kelelawar dan binatang-binatang itu sama sekali tidak dapat dibunuh dengan senjata mereka!

Sanuri berlari ke pendopo. Tadi dia berkeliling mengadakan penelitian, maka dia agak terlambat. Melihat keributan di pendopo dia terkejut bukan main. Dilihatnya gurunya sedang bertanding dengan Ki Randujapang dan berada dalam keadaan terdesak, sedangkan para murid Bromo Dadali sedang kebingunan dan ketakutan menghadapi ratusan ekor ular dan puluhan ekor kelelawar! Bagaimana mungkin di siang hari muncul kelelawar. pikirnya dengan heran.

Tiba-tiba muncul Kiswoyo menghadapinya. "Kakang Sanuri, semua ini akibat kebodohanmu yang menentang para utusan Blambangan. Sekarang Bromo Dadali pasti akan mengalami kehancuran!"

"Kiswoyo, jahanam busuk, pengkhianat!" Sanuri memaki marah dan dia sudah menerjang dan menyerang adik seperguruannya itu. Kiswoyo melawan dan mereka berdua sudah bertanding agak jauh dari para murid Bromo Dadali yang sibuk melawan banyak ular dan kelelawar itu.

Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan tiga puluh prajurit anak buah Ki Randujapang menyerbu masuk ke dalam perkampungan Bromo Dadali itu. Mereka ini adalah para jagoan dari Madura yang menjadi anak buah Randujapang, orang-orang yang ganas dan kejam, golongan sesat yang sudah terbiasa melakukan kejahatan. Dua orang segera membantu Kiswoyo menghadapi Sanuri sedangkan yang lain segera bertempur dengan murid-murid Bromo Dadali yang sudah panik oleh banyaknya ular dan kelelawar yang menyambar-nyambar itu.

Sementara itu, di lereng Gunung Muria, Parmadi, Muryani, Joko Galing, dan Niken Arum sedang menikmati keindahan alam yang terbentang luas di bagian bawah gunung. Warna-warna biru dan kuning pada dasar hijau menyamankan penglihatan. Hawa udara yang segar sejuk dan jernih membuat tubuh mereka terasa nikmat. Bau-bauan tanah, daun-daunan dan bunga-bunga harum sekali memasuki penciuman mereka. Kicau burung dan teriakan monyet menyelingi desah angin di daun-daunan dan gemercik air terjun di bawah sana menyedapkan pendengaran mereka.

Tiba-tiba Jaka Galing yang kebetulan memutar tubuhnya memandang ke atas di belakangnya, berseru. "Eh, ada kebakaran!"

Semua orang menengok dan melihat sinar api dan kepulan asap membubung ke atas. Muryani berseru kaget.

"Ah, di sana letaknya Bromo Dadali!"

Mendengar seruan ini, Parmadi berkata dengan sikap tenang-tenang namun cepat dan tegas. "Kalau begitu, mari kita kembali ke sana! Diajeng, engkau gendong Niken dan aku akan menggendong Joko agar kita dapat lebih cepat tiba di sana. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan kita!"

Tanpa menjawab Muryani segera menggendong Niken Arum di punggungnya dan Parmadi menggendong Joko Galing. Mereka berdua lalu mempergunakan ilmu yang mereka kuasai untuk berlari cepat, kembali ke arah perkampungan Bromo Dadali. Dengan ilmu mereka berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di perkampungan Bromo Dadali. Sebelum masuk perkampungan mereka telah melihat bahwa kebakaran itu memang berada di dalam perkampungan.

Setelah mereka cepat memasuki perkampungan, mereka melihat keributan terjadi di halaman dan pendopo rumah induk Bromo Dadali. Muryani terkejut melihat gurunya terdesak hebat oleh seorang laki-laki tinggi besar dan brewok yang memainkan sepasang kapak dengan dahsyatnya. Bahkan gerakan gurunya itu sudah lemah sekali, ada darah membasahi pundak kiri dan dadanya.

Namun gurunya yang tua itu dengan semangat yang tetap berkobar memainkan tombaknya melakukan perlawanan mati-matian. Melihat ini, Muryani segera mencabut pedangnya menurunkan Niken Arum dari gendongannya lalu melompat ke atas pendopo. Ia melihat betapa Ki Ageng Branjang terhuyung terkena sabetan kapak pada punggungnya lalu roboh! Randujapang mengejar dan mengayunkan kapaknya untuk memberi bacokan terakhir yang pasti akan menewaskan ketua perguruan Bromo Dadali itu. Kapak kanannya menyambar turun ke arah kepala Kakek yang sudah roboh itu.

"Wuuuuuttttt....!" Tiba-tiba tampak sinar terang menyambar dan menangkis kapak yang mengancam nyawa Ki Ageng Branjang.

"Singgg.... tranggg.... !" Kapak itu terpental. Randujapang terkejut melihat bahwa yang menangkis senjatanya adalah sebatang pedang dalam tangan seorang wanita cantik. Pedang yang tadi menangkis kapaknya kini meluncur ke arah dadanya dengan tusukan kilat. "Tranggg... cringgg.... !" Bunga api berpijar ketika dengan kaget Randujapang menggunakan sepasang kapaknya untuk menangkis serangan pedang yang cepat bertubi-tubi itu. Pedang di tangan Muryani itu digerakkan dengan cepat sekali sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung, menyerang dengan dahsyat sehingga menyulitkan dan menggetarkan hati Randujapang. Tokoh Madura melawan mati-matian dan terjadi perkelahian yang seru. Senjata mereka saling bertemu dan terdengar bunyi berdencingan disusul muncratnya bunga api berhamburan.

Sementara itu, Parmadi juga sudah menurunkan Joko Galing dari gendongannya. Joko Galing dihampiri dan digandeng Niken Arum dan diajak lari memasuki rumah induk Bromo Dadali melalui pintu samping. Parmadi melihat betapa para murid Bromo Dadali kebingungan dan ketakutan menghaadapi serbuan ular-ular dan kelelawar-kelelawar yang bermunculan sebagai hasil ilmu sihir Kaladhama dan Kalajana. Dia lalu berseru dengan suara nyaring karena suaranya mengandung tenaga sakti yang kuat.

"Saudara-saudara, para murid Bromo Dadali! Jangan takut! Ular dan kelelawar itu hanya bayang-bayang saja, tidak dapat melukai kalian! Maju terus, serang dan usir para pengacau!"

Mendengar seruan Parmadi yang mengandung wibawa kuat itu, para murid Bromo Dadali mengamuk dan benar saja, ketika mereka menyerbu maju, ular-ular dan kelelawar-kelelawar jadi-jadian itu ternyata hanya bergerak mengancam dan mengganggu saja, tidak mampu melukai mereka seolah kekuatan mereka telah punah oleh seruan Parmadi.

Kaladhama dan Kalajana menjadi marah bukan main dan mereka melompat tuun dari pendapa lalu menyerang Parmadi yang sudah tiba di bawah pendapa. Parmadi menyambut mereka dengan senjata seruling gadingnya. ketika seruling itu bertemu dengan senjata dua orang Dwi Kala yaitu golok gergaji yang besar, panjang, dan berat, terdengar suara berdentang nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.

Keparat, pecah kepalamu!" bentak Kaladhama dan tangan kirinya mendorong ke depan, mengerahkan Aji Kalabendu, aji pukulan andalannya yang mendatangkan angin yang mengandung bau amis memuakkan. Hawa pukulan dahsyat itu menyambar ke arah kepala Parmadi. Akan tetapi Parmadi yang mengenal aji pukulan ampuh, cepat medorongkan tangan kirinya pula menyambut.

"Bressss... !!" Bahkan para murid Bromo Dadali yang betempur melawan pasukan Madura yang terdiri dari tiga puluh orang itu, merasa tergetar oleh beradunya dua tenaga dahsyat itu. Akibat benturan tenaga itu, tubuh Kaladhama terdorong ke belakang.

"Hangus dadamu!" Kalajana kini juga mendorongkan tangan kirinya dengan Aji Tatit Geni. Dari telapak tangan kirinya itu menyambar cahaya seperti kilat yang membawa api panas menyambar ke arah tubuh Parmadi. Akan tetapi Parmadi dengan tenangnya menghantam dengan seruling gading ke arah cahaya berapi itu.

"Darrrr...." Cahaya berapi itu pecah berhamburan dan Kalajana hampir terjengkang, terhuyung ke belakang. Dia menjadi marah sekali seperti kakaknya, lalu dua orang jagoan Blambangan itu dengan nekat maju lagi dan menyerang dengan golok gergaji mereka. Parmadi menyambut dengan sulingnya dan terjadilah perkelahian yang seru.

Namun, dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi itu mulai menjadi gentar, karena mereka merasakan betapa beratnya lawan mereka itu. Diam-diam dua orang Dwi Kala ini merasa penasaran sekali. Tingkat kepandaian mereka sudah termasuk kelas atas di Blambangan. Bahkan mereka merasa yakin bahwa mereka masing-masing masih lebih tangguh dibandingkan Randujapang tokoh Madura itu. Akan tetapi kini, mengeroyok Si Seruling Gading, mereka berdua merasa kewalahan!

Baru sekarang mereka mengalami sendiri kebenaran berita yang mengatakan bahwa Si Seruling Gading Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan tentu akan menjadi penghalang besar bagi rencana penyerbuan Blambangan ke Pasuruan karena satria ini tinggal di Pasuruan.

Sementara itu perkelahian antara Randujapang melawan Muryani juga berlangsung seru. Namun, tokoh Madura murid mendiang Ki Harya Baka Wulung ini tidaklah sehebat gurunya. Laki-laki tinggi besar bermuka brewok ini mulai terdesak hebat. Pedang di tangan Muryani berubah menjadi gulungan sinar, seolah menjadi banyak sehingga membuat Randujapang repot. Sepasang kapaknya seolah menghadapi puluhan batang pedang yang menyambar-nyambar dan menyerang dari semua jurusan sehingga akhirnya dia hanya mampu menangkis, tidak dapat kesempatan untuk menyerang balik.

Pertempuran antara tiga puluh orang Madura melawan para murid Bromo Dadali juga berlangsung ramai sekali. Akan tetapi karena kini para murid yang tadinya terpengaruh oleh Ki Kiswoyo kini berbalik membela Bromo dadali, maka tentu saja jumlah para murid ini lebih banyak, sekitar dua kali lipat. Orang-orang Madura anak buah Randujapang itu rata-rata tangguh, akan tetapi lawan mereka adalah para murid Bromo Dadali yang sudah bertahun-tahun berlatih olah raga.

Maka dalam pertempuran itu pihak Madura mulai terdesak dan banyak diantara mereka sudah terluka. Sebagian dari murid Bromo Dadali sibuk berusaha memadamkan kebakaran di sanggar pamujan yang telah menjalar ke samping rumah induk. Muryani terus mendesak lawannya. Kalau saja Randujapang bertemu dengan Muryani sebelum menjadi isteri Parmadi dahulu, tentu dia sudah roboh dan tewas.

Melihat gurunya terkapar luka, Muryani yang dulu berwatak keras tentu marah sekali dan sudah menumpahkan kemarahannya dengan membunuh lawan yang melukai gurunya itu. Akan tetapi telah banyak terjadi perubahan pada watak wanita ini. Suaminya telah menuntunnya menjadi seorang wanita yang tidak lagi mudah dikuasai perasaannya. Maka ia pun tidak timbul keinginan untuk membalas dan membunuh Randujapang, melainkan hanya ingin merobohkan tanpa membunuhnya. Inilah yang membuat sampai sekian lamanya Randujapang masih dapat bertahan.

Kalau saja Muryani mengeluarkan serangan mautnya, tetu lawannya itu sudah roboh sejak tadi dan tewas. Randujapang merasa gentar bukan main. Dia melihat betapa Dwi Kala juga terdesak hebat oleh Parmadi dan orang-orangnya banyak pula yang roboh. Karena gentar maka gerakannya agak mengendur dan dia menjadi lengah, maka ujung pedang di tangan Muryani menyambar dan melukai pundak kirinya sehingga kapak yang dipegang tangan kirinya terlepas dan terlempar. Randujapang cepat membuang diri ke samping lalu bergulingan di atas tanah, bahkan lalu melompat keluar dari pendopo.

Muryani tidak mengejar karena ia segera berlutut mendekati gurunya. "Bapa Guru... bagaimana keadaan Bapa...?"

Muryani bertanya, cemas juga melihat dada, pundaknya dan punggung yang terluka sehingga bajunya berlepotan darah.

"Muryani... jangan hiaraukan aku... tinggalkan... cepat bantu samimu menghadapi semua pengacau..." kata Ki Ageng Branjang, terengah-engah.

Muryani menoleh dan melihat betapa pertempuran masih berlangsung, sungguhpun kini pihak Bromo Dadali berada di atas angin. Juga ia melihat Sanuri masih berkelahi mati-matian melawan Kiswoyo. Ia lalu memanggil dua orang murid Bromo Dadali yang berda paling dekat. Setelah dua orang murid laki-laki itu naik ke pendopo, ia menyuruh mereka cepat mengangkat tubuh Ki Ageng Branjang ke dalam. Ia sendiri lalu melompat turun dari pendopo.

Perkelahian antara Sanuri dan Kiswoyo berlangsung seru dan mati-matian. keduanya mengeluarkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh tenaga untuk saling merobohkan. Karena mereka seperguruan, maka tingkat mereka memang seimbang dan sukar diramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Tidak ada murid Bromo Dadali lain yang mencampuri pertandingan ini karena pertandingan ini diantara dua orang murid utama yang biasanya juga melatih para murid mewakili Ki Ageng Branjang. Karena dua orang murid utama itu berada terdekat dengan pendopo, maka Muryani menghampiri mereka.

"Hei, mengapa kalian saling hantam sendiri?" tegurnya ketika melihat Sanuri berkelahi mati-matian melawan Kiswoyo.

"Adi Muryani, dia pengkhianat. Dia bersekongkol dengan para penyerang!" kata Sanuri.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Jahanam!" Muryani menerjang dan biarpun Kiswoyo mencoba untuk menghindarkan diri, tetap saja tamparan tangan Muryani mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting jauh. Beberapa orang murid Bromo Dadali yang sudah tahu akan pengkhianatan Kiswoyo menyambut dengan serangan senjata mereka!

Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Kiswoyo menjadi korban amukan sehingga dia tewas seketika!

Kaladhama dan Kalajana yang memang sudah repot dan terdesak menghadapi Parmadi, melihat betapa Randujapang melarikan diri, Kiswoyo roboh dan tewas dan anak buah Randujapang juga sudah kewalahan. Maka tanpa diperintah lagi, mereka berdua melompat jauh ke belakang dan melarikan diri.

Parmadi juga tidak mau mengejar. Dia bertemu Muryani dan suami isteri ini lalu membantu para murid Bromo Dadali menghadapi anak buah Randujapang. Para prajurit Madura memang sudah kewalahan menghadapai murid Bomo Dadali yang jauh lebih besar junlahnya, apalagi kini ditambah suami isteri yang gagah perkasa itu. Mereka tidak kuat bertahan lagi. Banyak di antara mereka yang roboh terluka, bahkan ada enam orang yang tewas. Melihat betapa Randujapang dan Dwi Kala melarikan diri, tentu saja hilang nyali mereka dan mereka pun berserabutan melarikan diri sambil menolong teman-teman yang terluka dan meninggalkan mayat teman-teman yang tewas!

Kebakaran pun dapat dipadamkan. Para murid Bromo Dadali merasa gembira bahwa mereka dapat mengalahkan dan mengusir musuh dan dipihak mereka hanya terdapat beberapa orang yang terluka. Akan tetapi kegembiraan ini segera berubah menjadi kedukaan ketika mendengar bahwa Ki Ageng Branjang tewas karena luka-luka yang dideritanya.

Para murid yang menderita luka dirawat dan pemakaman jenazah Ki Ageng Branjang dilakukan dengan khidmat. Juga jenazah enam orang parjurit musuh yang ditinggalkan kawan-kaeannya itu dikubur dengan sepatutnya oleh para murid Bromo Dadali, dipimpin oleh Ki Sanuri. Demikian pula jenazah Ki Kiswoyo.

Sementara itu, peristiwa pertempuran hebat di perkampungan Bromo Dadali itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Niken Arum dan Joko Galing. Kedua orang anak itu adalah anak-anak yang sejak kecil sudah akrab dengan ilmu kanuragan (olah raga), akan tetapi belum pernah mengalami pertempuran besar yang mengakibatkan banyak korban luka-luka, bahkan ada yang tewas.

Setelah semua upacara pemakaman selesai dan para murid Bromo Dadali mengadakan pertemuan di pendopo rumah induk, dan semua anak-anak dan ibu mereka yang bukan murid Bromo Dadali berdiam di dalam rumah masing-masing karena masih terkejut dan tegang oleh pertempuran yang terjadi kemarin, Niken Arum dan Joko Galing duduk di dalam taman berdua.

Mereka pun masih merasa tegang, akan tetapi bukan pertempuran kemarin yang amat menegangkan hati mereka, melainkan kematian Ki Ageng Branjang yang oleh kedua orang anak itu sudah dianggap seperti eyang (kakek) sendiri. Kematian kakek itu amat mencekam hati mereka, terutama sekali karena tadi mereka diberi kesempatan memberi hormat terakhir kali kepada jenazah itu.

Mereka sempat menyentuh tangan jenazah itu dan merasakan hawa dingin menjalar ke tangan mereka yang menyentuhnya, melihat betapa wajah kakek itu pucat dan seolah tersenyum aneh, seperti orang yang pura-pura tidur! padahal sebelumnya, mereka membayangkan kakek itu sebagai seorang yang sakti, arif bijaksana, gagah perkasa, berjiwa satria utama. Akan tetapi jenazah itu sama sekali tidak berdaya, dan semua sifat-sifat yang tadinya amat mereka kagumi itu sama sekali tidak tampak bekasnya!

Sampai lama dua orang anak itu duduk diatas bangku, tenggelam ke dalam renungan masing-masing. Bayangan tenang kakek mereka yang telah menjadi jenazah itu selalu tampak dalam ingatan mereka.

"Joko, sejak tadi engkau tampak murung dan tak pernah bicara. Agaknya ada yang kau pikirkan atau risaukan? Ada apakah, Joko?"

"Mbakayu Niken, aku selalu mambayangkan jenazah Eyang..."

Niken Arum menghela napas panjang, "Aku pun begitu, Joko. Ketika menyentuh tangan Eyang tadi, rasanya begitu dingin." Ia bergidik, kedua pundaknya terguncang seperti menggigil.

"Aku merasa ngeri Mbakayu..."

"Ngeri? Engkau takut, Joko?"

Joko menggelengkan kepalanya, "Tidak takut kepada Eyang, Mbakayu. Eyang sayang kepada kita, mengapa harus ditakuti? Bukan, aku tidak takut kepada jenazah Eyang, hanya aku merasa ngeri. Semua orang akhirnya akan mati, bukankah begitu, Mbakayu Niken?"

Gadis remaja itu mengangguk. 鈥淭entu saja, Joko. Tidak ada manusia dan para makhluk lain yang dapat terbebas dari kematian."

"Kita juga, Mbakayu?"

"Tentu saja! Kalau sudah tiba saatnya, setiap orang pasti akan mati."

"Itulah yang membuat aku merasa ngeri, mbakayu! Mengapa manusia harus mati? mengapa harus hidup kalau akhirnya mati? Tadinya hidup, tupi, begitu diam... lalu apa yang terjadi selanjutnya dengan kita kalau sudah mati?"

"Wah, mana aku tahu, Joko? Kalau belum mati, bagaimana dapat menjawab pertanyaan itu? Dan orang yang sudah mati juga tidak dapat menjawab karena tidak dapat bicara lagi, Joko."

"Mari kita tanyakan kepada Ayahku. Ayah pasti akan dapat memberi jawaban!" kata Joko. Dua orang anak itu lalu bangkit dan kembali ke rumah induk.

Sementara itu, di pendopo rumah induk, para murid Bromo Dadali, dipimpin oleh Ki Sanuri, mengadakan pertemuan untuk membicarakan keadaan perguruan mereka setelah guru mereka, Ki Ageng Branjang, meninggal dunia. meeka semua, termasuk Ki Sanuri sendiri, memilih Muryani untuk menggantikan kedudukan ketua bromo dadali. Akan tetapi Muryani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

"Maaf, Kakang Sanuri dan saudara sekalian. Bukannya aku tidak sayang kepada Perguruan Bromo Dadali, akan tetapi ada beberapa hal yang membuat aku tidak mungkin dapat menjadi ketua Bromo Dadali. Pertama, aku bukan murid tertua."

"Akan tetapi Andika adalah murid yang memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi diantara kami. Adi Muryani!"

Sanuri membantah dan hal ini disetujui oleh semua murid.

"Justeru itu juga merupakan alasan mengapa aku tidak mungkin dapat menjadi ketua Bromo Dadali. Seperti kukatakan tadi, pertama karena aku bukan murid tertua. Dan kepandaianku tidak asli lagi, bukan sepenuhnya aliran Perguruan Bromo Dadali karena aku dahulu menjadi murid mendiang Nyi Rukma Petak. Yang pantas menjadi Ketua Bromo Dadali haruslah memiliki ilmu-ilmu asli Perguruan Bromo Dadali dan mengembangkan ilmu-ilmu tersebut. Ini merupakan kenyataan ke dua mengapa aku tidak dapat menjadi ketua di sini. Ke tiga, aku bersama suami dan anakku tinggal di Pasuruan dan memiliki tugas membela Pasuruan sebagai benteng pertama Mataram di timur, dan ke empat, aku adalah seorang wanita. Yang pantas menjadi ketua Bromo Dadali haruslah seorang pria. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dan sudah tepat kalau kita semua mengangkat Kakang Sanuri menjadi Ketua Bromo Dadali menggantikan mendiang Bapa Guru. Kuharap semua Saudara Saudara dapat menyetujui usulku ini"

Karena alasaan penolakan Muryani memang tepat dan tidak dapat dibantah, maka semua murid menyatakan persetujuan mereka untuk mengangkat Ki Sanuri menjadi ketua. Memang sudah kurang lebih dua tahun ini, segala urusan bromo Dadali ditangani oleh sanuri sebagai wakil Ki Ageng Branjang, dibantu oleh mendiang Ki Kiswoyo. Melihat semua murid setuju memilih dia dengan suara riuh rendah, ki sanuri lalu mengangkat tangan ke atas memberi isyarat agar para murid tidak gaduh dan mendengarkan kata-katanya. Setelah semua orang diam, Ki sanuri berkata lantang.

"Terima kasih atas kepercayaan kalian menyerahkan tugas memimpin Bromo Dadali kepadaku. Akan tetapi tentu kalian semua mengetahui bahwa keadaan kita sebetulnya masih amat lemah. Dalam peristiwa yang baru saja terjadi, kalau sekiranya di sini tidak ada Adi Muryani dan suaminya, Adi Parmadi yang sakti mandraguna, kita tahu bahwa sudah pasti Bromo Dadali akan hancur dan dikuasai oleh murid yang murtad dan berkhianat. Inilah yang membuat kita condong memilih Adi Muryani menjadi pemimpin, yaitu agar perguruan kita menjadi kuat."

Muryani segera menjawab. "Kakang Sanuri! Pendapat Andika itu kurang tepat. Mendiang Bapa Guru tidak pernah gentar menghadapi ancaman apa pun juga terhadap perguruan kita dan tidak penah merasa lemah selama kita berada di pihak yang benar. Yang dikhawatirkan oleh Bapa Guru adalah kalau kita menyimpang daripada kebenaran. Kalau kita selalu berdiri di pihak yang benar, ancaman dari manapun datangnya akan kita lawan tanpa merasa jerih sedikit pun. Berkorban nyawa sekalipun, kalau demi kebenaran, bahkan merupakan kebanggaan para satria. Bukankah begitu, saudara-saudara seperguruanku?"

Para murid Bromo Dadali terbakar semangatnya dan mereka menyambut ucapan Muryani dengan teriakan setuju dan mendukung.

"Saudara-saudara sekalian. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman para pejahat dan aku pun setuju dengan ucapan Adi Muryani. Aku siap berkorban nyawa demi mempertahankan kebenaran, demi membela perguruan kita. Ucapanku tadi hanya hendak menyatakan keinginanku melihat kemajuan perguruan kita, agar perguruan kita menjadi lebih kuat. Karena bagaimanapun juga, semangat haruslah diimbangi dengan kekuatan untuk melawan pihak yang jahat dan sewenang-wenang seperti gerombolan yang menyerbu kita kemarin.

"Maafkan saya dan perkenankan saya sebagai orang luar mengajukan usul." tiba-tiba Parmadi berkata dengan lembut namun suaranya dapat terdengar jelas oleh semua orang.

"Ah, mengapa Adi Parmadi berkata begitu? Biarpun Andika bukan murid Bromo Dadali, akan tetapi dengan menjadi suami Adi Muryani berarti Andika bukan orang luar, melainkan menjadi keluarga kami. Bahkan lebih daripada itu, Andika telah menjadi penolong Bromo Dadali ketika terjadi penyerbuan kemarin. Ajukanlah usul Andika itu, Adi Parmadi, dan kami sekalian akan mendengarkan dengan saksama!" kata Sanuri.

"Begini, saudara-saudara sekalian. Kami berdua, isteri saya dan saya, datang ke Bromo Dadali dengan niat menitipkan putera kami Joko Galing untuk sementara di sini karena kami ingin berjuang membela Pasuruan dari ancaman musuh. Kalau bahaya telah lewat, akan kami ambil kembali anak kami. Dan melihat bahwa Bromo Dadali juga terancam oleh musuh yang sama, maka sudah sepatutnya kalau kami membantu untuk memperkuat Bromo Dadali dengan memberi latihan sehingga keampuhan aji-aji dari perguruan ini meningkat. Untuk itu, kami berdua siap melatih selama kurang lebih satu bulan, baru kami akan kembali ke Pasuruan."

Usul Parmadi ini disambut sorak sorai para murid Bromo Dadali, dan Muryani juga mengangguk-angguk menyetujui usul suaminya itu. Pada saat itu, terdengar ribut-ribut suara orang berteriak-teriak di luar rumah induk. Tenyata terjadi keribuan di luar rumah induk. ternyata terjadi keributan di luar itu. Ketika Joko Galing dan Niken Arum kembali dari taman di sebelah kanan rumah dan mereka tiba di pekarangan, tiba-tiba dari luar pekarangan muncul Sangkolo! Begitu memasuki pekarangan, Sangkolo sudah menangis dan melihat Joko Galing dan Niken Arum, dia berteriak-teriak.

"Kembalikan Bapakku...! Kalian telah membunuh Bapakku! Kembalikan Bapakku...!" Dia berteriak-teriak di antara tangisnya.

Niken Arum yang sudah mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan Ki Kiswoyo, menjadi marah melihat munculnya sangkolo. ia cepat menyambut dan menghampiri Sangkolo, diikuti Joko Galing dan gadis remaja itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Sangkolo dan berkata ketus.

"Sangkolo! Mau apa engkau ribut-ribut!? Ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Dia bekhianat, bersekutu dengan orang-orang jahat menyerbu perkampungan kita! Engkau semestinya malu dengan perbuatan Ayahmu itu, tidak berteriak-teriak seperti ini!"

"Kau....! Kubunuh kau! Akan kubunuh semua orang Bromo Dadali!" teriak Sangkolo dan dia sudah mencabut golok yang diselipkan diselipan di pinggang lalu menyerang Niken Arum dengan ganas.

Niken Arum terkejut dan cepat melompat ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi Sangkolo memutar tubuh menyerang lagi seperti orang gila mengamuk. Melihat serangan berbahaya bagi Niken Arum, Joko Galing tidak tinggal diam. Dari samping dia menubruk, menangkap pergelangan tangan kanan Sangkolo yang memegang golok. Mereka bersitegang, saling tarik dan Joko Galing merasa betapa dia kalah tenaga, maka cepat kakinya mencuat ke depan mengirim tendangan.

"Bukkkk!" Perut Sangkolo tertendang dan pemuda remaja itu meringis kesakitan. Saat itu dipergunakan Joko Galing untuk merenggut lepas golok dari tangan Sangkolo dan membuangnya jauh-jauh. Sangkolo mengamuk dengan tangan dan kakinya. Akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan Joko Galing. Sangkolo mengamuk sambil berteriak-teriak, memaki-maki dan sambil menangis pula.

"Kembalikan Bapakku...! Kubunuh semua orang Bromo Dadali...!"

Pada saat itu, para murid Bromo Dadali yang mendengar ribut-ribut itu berlarian keluar dari pendopo rumah induk. Melihat Sangkolo mengamuk, menyerang Joko Galing namun selalu dapat dielakkan dan ditangkis, Sanuri cepat berlari menghampiri dan dia menangkap kedua lengan Sangkolo yang mengamuk seperti gila itu.

"Sangkolo, tenanglah!" bentak Sanuri.

Sangkolo tidak mampu meronta dan dia berhenti mengamuk, kini menangis sambil duduk mendeprok di atas tanah, kedua tangannya mengogosk-gosok mata.

"Kembalikan Bapakku... kembalikan Bapak ku..."

"Sangkolo, Bapakmu tewas dalam pertempuran yang dimulainya sendiri. Dia mengajak orang-orang jahat untuk menyerang Bromo Dadali. Dalam pertempuran dia tewas dan kami sudah merawat dan mengubur jenazahnya dengan baik-baik."

"kalian telah membunuh Bapakku...! Aku tidak akan melupakan ini! Aku akan membalas dendam kelak. Kalian semua akan kubunuh! Bromo Dadali akan kujadikan karang abang (lautan api)...!"

Sangkolo meloncat berdiri dan sambil menangis dan berteriak-teriak dia lari keluar dari perkampungan itu. Semua orang menahan napas, tertegun menyaksikan ulah anak itu.

"Biarlah, kalau dia datang, aku yang akan menghadapinya!" kata Joko Galing dan ucapan ini mengejutkan semua orang.

"Joko...! Jangan lancang kau!" kata Muryani menegur anaknya.

"Ibu, dia jahat dan mengancam! Harus kita tentang, bukan?" bantah Joko Galing.

"Joko, Sangkolo adalah putera seorang murid Bromo Dadali, maka kalau dia menyimpang dari kebenaran, kewajiban kita untuk menyadarkannya dan menuntunnya kembali ke jalan yang benar. Dia juga masih kanak-kanak dan dia sedang mengalami guncangan batin karena kematian Ayahnya." kata pula Muryani.

Mendengar ini joko Galing menundukkan mukanya. "Maafkan, ibu, aku memang bersalah."

Kemudian joko galling dan Niken arum bicara dengan parmadi dan Muryani berempat saja di dalam taman, ini atas permintaan joko Galing kepada orang tuanya.

"Joko, engkau dan Niken mengajak kami bicara di sini. Apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?" Tanya Parmadi.

"Ayah, tadi aku dan Mbakayu Niken bercakap-cakap dan kami berdua tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hati kami sehubungan dengan meninggalnya kakek Guru."

"Hemm, apakah yang kalian tanyakan itu?" Tanya Parmadi heran.

"Mbakayu Niken Arum mengatakan bahwa setiap orang, termasuk kami berdua, pasti akan mati seperti Kakek Guru kalau saatnya sudah tiba. Nah, pertanyaan kami yang pertama, mengapa kita harus hidup kalau akhirnya hanya akan mati?"

Diam-diam suami isteri itu terkejut. Pertanyaan itu sama sekali tidak pernah mereka sangka. Yang bertanya adalah seorang anak-anak dan biarpun Joko Galing mempunyai pikiran yang lebih maju daripada anak-anak biasa seumurnya, namun dia masih belum dewasa, mungkin hanya setingkat dengan pengertian Niken Arum yang berusia dua belas tahun, belum juga remaja. Masih kanak-kanak.

Karena itu, mereka harus berhati-hati memberi jawaban karena harus berhati-hati memberi jawaban karena masalah kematian dan kehidupan terlampau rumit bagi batin kanak-kanak. Maka, Muryani yang merasa bingung memandang suaminya dan menyerahkan kepada suaminya untuk menjawab pertanyaan itu. Parmadi tersenyum dan setelah menatap wajah puteranya, dia pun memandang wajah Niken Arum.

"Niken, apakah engkau juga ingin mengetahui jawaban petanyaan itu?"

Niken Arum menangguk. "Benar Paman, Adi Joko dan saya memang tadi membicarakan dan mempertanyakan hal itu. Setelah melihat dan menjamah tangan jenazah mendiang kakek guru, kami berdua merasa heran mengapa kita hidup kalau akhirnya hanya akan mati. Apa gunanya kita hidup, Paman?"

Parmadi memandang ke sekeliling. Begitu pandang matanya bertemu dengan penglihatan di sekelilingnya, maka bertemulah dia dengan jawaban yang tepat untuk memberi penerangan kepada batin dua orang kanak-kanak itu.

"Lihatlah di sana itu, Joko dan Niken. Kalian dapat melihat pohon kelapa itu juga hidup, walaupun tampaknya tidak mampu bergerak seperti kita, pohon kelapa itu hidup, sejak kecil muncul sebagai tunas, tumbuh menjadi tinggi dan kelak pada saatnya akan mati. Akan tetapi sebelum mati, ia amat berguna bagi pihak lain. Burung-burung dapat bersarang di atasnya, ia menghasilkan batang, daun, dan terutama buahnya yang amat dibutuhkan dan dimanfaatkan manusia. Lihat pohon-pohon mangga itu. Sama saja, mereka pun kelak akan mati, namun sebelum mati banyak manfaat mereka hasilkan bagi mahluk lain terutama manusia. Pohon mawar dan melati itu pun besar sekali gunanya, menghasilkan bunga-bunga segar yang indah dan harum, dinikmati manusia. Itu di sana ada sapi sedang makan rumput. Bahkan tumbuh-tumbuhan seperti rumput itupun hidup dan kelak akan mati, akan tetapi sebelum mati, rumput-rumput itu amat berguna bagi hewan yang membutuhkannya untuk makan. Sapi itu sendiri pun hidup dan kelak mati, akan tetapi iapun menghasilkan banyak manfaat. Tinjanya menyuburkan tanah, air susunya, dagingnya, bahkan kulit dan tulangnya dapat dimanfaatkan manusia. Nah, kalau semua yang hidup itu, tanam-tanaman sampai binatang, hidup dan sebelum mati dapat bermanfaat bagi pihak lain, apalagi kita manusia! Kita juga hidup dan kelak akan mati, maka seperti juga mereka itu, tumbuh-tumbuhan dan hewan, sebelum mati sepatutnya kalau kita juga menghasilkan mafaat bagi semua makhluk lain, terutama sesama manusia. Nah, mengertikah kalian sekarang apa gunanya kita hidup ini?"

Kini Joko Galing dan Niken Arum saling berpandangan. Anak laki-laki itu lalu berkata,

"Ayah dan ibu, kalau begitu, kita hidup ini harus berguna dan ada manfaatnya bagi orang-orang lain?"

"Benar, Anakku. Kalau selagi hidup kita ini tidak ada guna dan manfaatnya bagi sesama manusia, bahkan sesama hidup, maka kehidupan ini kosong dan tidak ada artinya." kata Muryani sambil merangkul puteranya.

"Paman, berguna dan bermanfaat bagi orang lain itu berarti bahwa kita harus melakukan kebaikan terhadap sesama manusia?" tanya Niken Arum.

"Benar, Niken. Baik yang berarti tidak mementingkan kesenangan diri sendiri, setiap saat siap membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan keangkara-murkaan. Tidak memamerkan kepandaian sendiri melainkan dengan rendah hati menyadari kekurangan sendiri. Mengertikah kalian berdua?"

"Aku tidak memahami sepenuhnya, Ayah, akan tetapi kukira yang Ayah maksudkan adalah watak satria seperti yang sering Ayah Ibu ceritakan. Sekarang, pertanyaan kami yang kedua. Ayah. Apa yang terjadi selanjutnya dengan kita kalau kita mati seperti Eyang Guru itu?"

Parmadi tercengang. Pertanyaan ini rumit dan sebetulnya belum tiba waktunya bagi anak seusia Joko Galing untuk mengerti tentang urusan ini. Akan tetapi karena pertanyaan sudah diajukan dan kalau tidak dijawab hanya akan menimbulkan rasa penasaran sehingga anak itu dapat membuat atau mereka-reka jawabannya sendiri yang mungkin tersesat, dia pun menjawab dengan hati-hati.

"Joko, dan engkau Niken, kita ini, seperti juga semua makhluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak, hidup bukan atas keinginan kita sendiri. Kita hidup ini ada yang menghidupkan. Sejak kecil kalian ini tumbuh menjadi besar, ada yang menumbuhkan, seperti juga tumbuh-tubuhan dan hewan. Seperti juga rambut dan kuku jari kalian, semua itu tumbuh bukan karena kemauan kalian, melainkan ada yang menumbuhkan, ada yang meguasai, ada yang memiliki! Tahukah kalian, siapa yang menghidupkan, menguasai dan memiliki semua itu, termasuk diri dan kehidupan kita?"

"Aku tahu, Ayah! Sudah sering Ayah dan Ibu ceritakan. Yang menguasai adalah Gusti Allah!" kata Joko Galing.

"Benar, Paman. Ayah dan Ibu saya juga sering menceritakan bahwa yang menguasai segala apa pun di dunia ini, yang menciptakan, dan yang memiliki, adalah Gusti Allah."

"Bagus kalau kalian mengerti akan hal itu. Nah, kalau yang mencipta, menguasai, dan memiliki Gusti Allah maka kalau yang memiliki itu berkenan mengambil milikNya, termasuk jiwa kita, maka tidak seorangpun dapat mencegahnya. Jadi, hidup dan mati kita ini adalah atas kuasaNya, atas kehendakNya, dan apa pun yang akan terjadi kepada kita setelah mati pun sepenuhnya berada dalam kekuasaanNya. Kita hanya tinggal menerima saja. Nah, mengertikah kalian?"

Joko Galing mengerutkan alisnya an memegang tangan ibunya, lalu berkata. "Melihat jenazah Kakek Guru, aku merasa ngeri, Ayah! Jenazah itu begitu dingin dan tampak tak berdaya. Di mana Kakek Guru sekarang, Ayah?"

"Jasmaninya Kakek Guru telah mati dan akan kembali ke tanah, seperti semua benda dan makhluk, kalau sudah mati tentu menjadi tanah. Akan tetapi jiwa kakek Gurumu tidak akan lenyap, walaupun tidak dapat tampak oleh mata kita. Mati adalah kelanjutan dari hidup, dan yang penting adalah bahwa ketika hidup, kita harus hidup sesuai degan kehendak Gusti Allah, yaitu melaksanakan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Selagi hidup kita berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah sehingga selalu mendapat bimbinganNya dalam langkah hidup kita. Kalau sewaktu hidup kita selalu dibimbingNya, maka kita yakin bahwa setelah kita diambil kembali oleh Sang Pemilik, kita pun akan berada dalam bimbinganNya dan karenanya tidak perlu khawatir. Aku percaya bahwa sekarang Kakek Gurumu juga berada dalam bimbingan Gusti Allah, mengingat bahwa ketika hidupnya beliau selalu melaksanakan kehendakNya, yaitu melaksanakan kebaikan dan menolak perbuatan jahat."

Dua orang anak itu, biarpun tidak dapat mengerti sepenuhnya, namun merasa lega dengan semua keterangan Parmadi yang dilakukan dengan hati-hati dan gamblang agar mudah dimengerti dua orang anak itu. Mulai hari itu, Muryani mengajarkan beberapa ilmu pukulan aliran Bromo Dadali yang sudah ia sempurnakan sehingga tingkat ilmu-ilmu aliran Bromo Dadali itu menjadi jauh lebih tinggi daripada biasanya.

Parmadi juga mengajarkan cara menghimpun tenaga sakti kepada para murid-murid golongan atas sehingga mereka kelak dapat mengajarkan kepada murid-murid yang lebih muda. Selama satu bulan, suami isteri itu menggembleng para murid Bromo Dadali, terutama Ki Sanuri yang kini menjadi Ketua Bromo Dadali menerima gemblengan khusus dari suami isteri itu.

Setelah berada di Bromo Dadali selama satu bulan lebih, pada suatu pagi, Parmadi dan Muryani meninggalkan perkampungan itu. Mereka menitipkan Joko Galing kepada Sanuri. Joko Galing bukan seorang anak cengeng. Biarpun tentu saja dia akan lebih senang kalau dapat ikut ayah ibunya, namun dia mengerti bahwa ayah ibunya menitipkan dia di Bromo Dadali untuk kebaikan dirinya sendiri. Ayah ibunya akan membantu Pasuruan menghadapi pertempuran kalau diserang Blambangan dan mereka akan dapat mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian mereka kalau mereka tidak harus melindungi anak mereka dalam pertempuran itu.

Suami isteri itu meninggalkan Bromo Dadali dengan menunggang dua ekor kuda, menuruni Pegunungan Muria menuju ke timur. Para murid Bromo Dadali, juga Joko Galing dan Niken Arum, mengantar kepergian mereka sampai di luar perkampungan Bromo Dadali dan Joko Galing melambaikan tangan sampai bayangan kedua orang tuanya lenyap di sebuah tikungan.

********************

Dua orang permuda itu berindap-indap keluar dari dalam sebuah hutan menuju ke jalan umum. Mereka adalah Bagus Sajiwo dan Parto, yaitu Tan Swi Hong yang menyamar sebagai seorang pria dan oleh Bagus Sajiwo diberi nama Parto. Biarpun gadis Cina itu tampak sebagai seorang pemuda yang terlalu putih kulitnya dan terlalu tampan lembut wajahnya, namun dengan pakaian sebagai seorang pemuda ia tidak akan menarik banyak perhatian seperti kalau ia tampil sebagai seorang gadis Cina.

Seperti kita ketahui, setelah perahu yang mereka tumpangi pecah dan mereka semua yang berada di perahu itu terlempar ke laut, Bagus Sajiwo bertemu dengan Tan Swi Hong mengkhawatirkan nasib ayahnya, Tan Beng Ki, dan Sie Tiong, tunangannya. Akan tetapi Bagus Sajiwo yang juga mengkhawatirkan nasib sahabatnya, Joko Darmono, menghiburnya dan menasihati gadis Cina itu agar menyerahkan segalanya kepada Tuhan.

Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati-hati untuk mencari Tan Beng Ki, Sie Tiong, dan Joko Darmono. Sedapat mungkin mereka menjauhi dusun-dusun dan menjaga agar jangan dilihat orang karena mereka berada di daerah Blambangan, daerah kadipaten yang merencanakan permusuhan dengan Mataram. Tan Swi Hong adalah seorang gadis Cina yang tidak lemah. Bahkan ia telah mengalami banyak bahaya, menempuh pelayaran dari Cina ke Nusa Jawa untuk mencari kehidupan baru mengikuti ayahnya.

Sejak kecil ia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, kemudian oleh Kam Leng yang lihai dan yang menjadi pembantu ayahnya. Akan tetapi, malapetaka yang menimpa dirinya sekarang ini membuat ia hampir putus asa. Ia melihat sendiri betapa ayahnya roboh tertembak dan ia tidak tahu bagaimana keadaan ayahnya sekarang. Ia merasa bahwa ayahnya tentu tewas, akan tetapi ke mana ia harus mencari jenazah ayahnya?

Ayahnya tewas dan jenazahnya lenyap, tidak dapat dirawat dan dikubur sebagaimana mestinya! Juga ia kehilangan Sie Tiong, tidak tahu apakah tunangannya itu masih hidup ataukah mati. Kalau saja ia tidak bertemu dengan Bagus sajiwo, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berhari-hari mereka naik turun bukit, masuk keluar hutan di sepanjang pantai, mencari-cari tanpa hasil. Karena merasa tidak leluasa kalau gadis Cina itu berada di sampingnya, akhirnya setelah berhari-hari mencari tanpa hasil, Bagus Sajiwo mengusulkan untuk mengantarkan Swi Hong ke Tuban melalui darat.

Dia akan mengantar gadis itu pulang, barulah dia akan kembali ke Blambangan, selain untuk mencari apakah sahabatnya, Joko Darmono dan Sie Tiong, masih hidup, juga untuk menyelidiki gerakan Blambangan hendak menyerang Mataram. Demikianlah, dengan cara sembunyi-sembunyi dia mengajak Swi Hong melakukan perjalanan menyusuri pantai ke utara.

Pada pagi hari itu, mereka muncul dari dalam hutan dan tiba-tiba di sebuah jalan umum. tiba-tiba Bagus Sajiwo menarik tangan Swi Hong atau kita sebut saja nama samarannya Parto, diajak menyelinap ke balik semak-semak. Ada dua orang laki-laki sedang bercakap-cakap dengan suara keras, agaknya marah-marah, di jalan umum itu.

Bagus Sajiwo mengintai dan melihat seorang laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh tahun, berhadapan dengan seorang laki-laki berpakaian pendeta, usianya sekitar lima puluh tahun, kepalanya dibalut sorban kuning, pakaiannya jubah longgar dan tangannya memegang sebatang tongkat ular hitam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)