Kemelut Blambangan Jilid 17
"Nak Sie Tiong dan Nona Swi Hong, kami mengucapkan terima kasih kepada kalian berdua yang telah membantu perguruan Driya Pawitra menghadapi penyerbuan orang-orang Blambangan."
"Paman, perbuatan kami itu sudah semestinya kami lakukan sebagai suatu kewajiban." kata Sie Tiong.
"Benar, Paman." kata pula Swi Hong menyambung ucapan tunangannya.
"Bukan hanya kewajiban membela yang benar, melainkan terutama sekali karena orang-orang Blambangan itu pun musuh saya. saya harus membalas dendam karena kematian Ayah saya yang dibunuh oleh mereka!"
Kini Bagus Sajiwo berkata kepada mereka dengan suara lembut. "Swi Hong. seperti pernah kukatakan kepadamu, kematian Paman Tan Beng Ki terjadi karena beberapa sebab yang berkaitan. Pertama sekali karena Kam Leng yang marah kepada mendiang Ayahmu. Kam Leng mengajak orang-orang Blambangan untuk menyerang perahu kita, tentu saja Kam Leng bermaksud untuk membunuh Paman Tan Beng Ki dan Sie Tiong, lalu menawan dan memaksamu menjadi isterinya. adapun orang-orang Blambangan suka bekerja sama dengan dia karena besar kemungkinan kami berdua, aku dan Joko, dianggap sebagai mata-mata Mataram yang menjadi musuh Blambangan. Jadi sesungguhnya, kematian Ayahmu bukan disebabkan oleh orang-orang Blambangan, melainkan oleh Kam Leng."
"Apa yang dikatakan Bagus itu benar, Hong-moi. Kukira tidak semestinya kalau kita melibatkan diri dalam permusuhan antara Kadipaten Blambangan dan Mataram. Banyak urusan dan pekerjaan menanti kita di Tuban, dan tentang Kam Leng yang curang itu, masih ada waktu bagi kita untuk menghukumnya."
Ki Sarwaguna berkata, "Apa yang dikatakan Nak Sie Tiong itu benar, Nona. Musuhmu bukan Blambangan, melainkan Kam Leng itu, seperti yang aku dengar dari penuturan Anakmas Bagus Sajiwo. Urusan Blambangan adalah pemberontakan terhadap Mataram dan engkau tidak perlu mencampurinya. Kami telah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan tempat ini dan mengungsi ke daerah di luar wilayah Blambangan karena kalau kami masih tinggal di sini, pasukan Blambangan yang besar sekali jumlahnya tentu akan segera datang dan menggempur kami. Tentu saja, dengan jumlah kami yang kecil, melawan ribuan tentara Blambangan, sama dengan membunuh diri. Kami sudah membuat persiapan dan berkemas."
Mendengar ucapan mereka, Swi Hong dapat mengerti dan tidak membantah lagi ketika Sie Tiong mengajak ia pulang ke Tuban.
Demikianlah, pada hari itu juga, Ki Sarwaguna dan semua murid Perguruan Driya Pawitra meninggalkan perkampungan mereka di tepi Teluk Grajagan. Mereka menuju ke barat untuk keluar dari wilayah Blambangan agar terbebas dari ancaman Blambangan. Atas bujukan dan desakan Ratna Manohara, Joko Darmono akhirnya setuju untuk sementara ikut dengan rombongan Driya Pawitra mengungsi ke barat. Bagus Sajiwo juga menuruti ajakan Joko Darmono dan permintaan Ki Sarwaguna untuk ikut pula.
"Anakmas Bagus Sajiwo, karena terpaksa oleh tindakan Kadipaten Blambangan, kami yang semula tidak ingin mencampuri pemberontakan Blambangan terhadap Mataram kini kami akan membantu Mataram. Di antara kita ada persamaan pendapat, yaitu bahwa Kadipaten Blambangan dipimpin orang-orang dari golongan sesat. Oleh karena itu, kami harap andika suka untuk sementara mengungsi ke barat, keluar dari daerah kekuasaan Blambangan untuk kemudian menyusun rencana bagaimana untuk dapat membantu Mataram dan menentang gerakan Blambangan yang angkara murka."
Demikian antara lain Ki Sarwaguna membujuk dan terutama sekali karena Joko Darmono sudah memutuskan ikut pergi mengungsi, dia pun akhirnya ikut pula rombongan itu. Sie Tiong dan Swi Hong juga meninggalkan perkampungan Driya Pawitra dan berpisah dari rombongan itu untuk kembali ke Tuban. Atas nasihat Bagus Sajiwo, Swi Hong tetap menyamar sebagai seorang pemuda agar perjalanan dua sejoli itu tidak mengalami banyak gangguan perjalanan mereka.
Dugaan Ki Sarwaguna memang tepat. Beberapa hari setelah semua murid Driya Pawitra pergi mengungsi meninggalkan Teluk Grajagan, datang pasukan Blambangan yang terdiri dari lima ratus orang menyerbu perkampungan Driya Pawitra. Akan tetapi pasukan itu mendapatkan perkampungan yang kosong!
Untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahan mereka, Dwi Kala dan para pimpinan pasukan lalu membakar perkampungan itu, baru meninggalkannya.
Setelah melakukan perjalanan selama belasan hari dengan cepat, hanya berhenti di waktu malam, dan memilih-milih tempat di luar daerah Blambangan yang tepat, akhirnya rombongan Driya Pawitra menemukan sebuah bukit di pegunungan selatan, yang disebut Bukit Parangsari. Mereka lalu memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru dan mereka membangun sebuah perkampungan di lereng bukit.
Selama dalam perjalanan itu, Bagus Sajiwo melihat kenyataan yang membuat dia terkadang senyum sendiri. Hatinya ikut merasakan girang melihat betapa akrabnya hubungan antara Joko Darmono dan Ratna Manohara. Kedua orang itu seringkali dia dapatkan sedang bercanda dan tertawa-tawa, bahkan pernah dia melihat mereka bercubit-cubitan! Akan tetapi mereka segera menghentikan canda mereka dan tampak alim dan serius kalau di depan orang lain.
Tahulah ia bahwa Joko Darmono dan Ratna Manohara saling jatuh cinta dan dia merasa girang. Gadis itu memang pantas menjadi jodoh Joko Darmono. Kalau tadinya dia merasa suka memiliki sahabat Joko Darmono yang lincah gembira dan gagah perkasa itu, kini dia merasa semakin suka karena dicampuri perasaan iba setelah pemuda tampan itu kematian gurunya yang merupakan pengganti ayah bundanya.
Juga selama menemani mereka mengungsi meninggalkan daerah Blambangan, Bagus Sajiwo melihat kenyataan bahwa para warga Driya Pawitra memang merupakan sekumpulan orang gagah dan berwatak pendekar. Maka dia pun merasa kagum kepada Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara, terutama kepada gadis cantik itu. Gadis ini pendiam dan serius, membuat kecantikannya tampak agung dan anggun.
Dia sudah melihat sendiri kedigdayaan gadis ini ketika dalam menandingi paman gurunya sendiri, yaitu Bhagawan Sarwatama yang pernah ia temui ketika orang itu membunuh Sakitri murid Driya Pawitra. Jelas bahwa Ratna telah menguasai ilmu dari perguruannya dengan baik sekali dan menjadi seorang gadis tangguh yang gagah perkasa. Cocok dan serasi sekali kalau menjadi jodoh Joko Darmono, sahabatnya yang juga memiliki kepandaian tinggi itu.
Dengan kerja keras, dalam waktu beberapa hari saja para murid Driya Pawitra telah dapat membangun rumah-rumah sederhana di lereng bukit sehingga merupakan sebuah perkampungan baru. Pada suatu sore, setelah membantu kesibukan membuat penyelesaian terakhir pada rumah induk, Bagus Sajiwo dan Ki Sarwaguna duduk di pendapa rumah induk itu. Tiba-tiba mereka melihat Joko Darmono dan Ratna Manohara jalan berdampingan menuju ke sebelah rumah di mana Ratna Manohara akan membuat sebuah taman.
Untuk membuat taman disitu, mereka terpaksa mengangkut tanah dari bagian yang tanahnya tebal dipindahkan ke sebelah rumah agar tanaman dapat tumbuh subur. Tanah di situ tidaklah begitu baik karena mengandung kapur. Melihat Bagus Sajiwo tersenyum lebar, Ki Sarwaguna bertanya,
"Anakmas Bagus, mengapa Andika tersenyum?"
Bagus Sajiwo terkejut, tidak menyangka bahwa senyumnya mendapat perhatian Ki Sarwaguna. "Ah... anu, Paman... saya senang sekali melihat Joko demikian akrab dengan Nimas Ratna..."
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya, "Mengapa Andika merasa senang sekali, Anakmas?"
"Mengapa, Paman? Tentu saja saya senang sekali. Saya melihat Joko Darmono cocok sekali dengan Nimas Ratna, mereka merupakan pasangan yang serasi, keduanya sakti dan gagah perkasa, juga tampan gagah sedangkan Nimas Ratna Manohara cantik jelita dan digdaya"
Ki Sarwaguna diam saja dan tampak termenung agak lama. Kemudian dia mengangkat mukanya yang tadi ditundukkan, memandang kepada Bagus Sajiwo. Pandang matanya tajam penuh selidik.
Melihat sepasang mata Ki Sarwaguna menatapnya seperti itu, Bagus Sajiwo diam-diam merasa heran dan dengan pandang matanya dia bertanya-tanya.
"Anakmas Bagus, berapakah usia Andika sekarang?" Ditanya usianya secara tiba-tiba begitu, Bagus Sajiwo menjadi semakin heran, akan tetapi dia menjawab juga. "Kalau tidak salah, saya berusia hampir dua puluh satu tahun, Paman."
"Maafkan aku, Anakmas, kalau aku banyak bertanya tentang keadaanmu. Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui apakah Anakmas Bagus Sajiwo sudah beristeri, ataukah sudah bertunangan?"
Bagus Sajiwo tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Belum, Paman."
"Akan tetapi, tentu Ayah Ibumu sudah mendapatkan seorang gadis pilihan mereka untuk kelak menjadi isterimu, bukan?"
Kembali Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya. "Saya kira tidak, Paman. Saya yakin bahwa Ayah Ibuku tidak akan memaksakan sesuatu kepada saya, terutama soal perjodohan."
"Akan tetapi sungguh aneh, Anakmas. Andika adalah putera tunggal Ki Tejamanik yang terkenal dengan julukan Si Pecut Bajrakirana, Ibumu Nyi Retno Susilo juga terkenal sebagai seorang wanita sakti. Andika sendiri seorang pemuda sakti mandraguna dan usia Andika sudah cukup dewasa untuk memasuki kehidupan berumah tangga, beristeri dan beranak."
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. "Sama sekali belum terpikirkan oleh saya untuk berumah tangga, Paman."
Diam-diam di dalam hatinya, Ketua Driya Pawitra itu merasa lega dan girang sekali. Sejak pertemuan pertama dengan Bagus Sajiwo, sudah timbul keinginan dalam hatinya untuk menjodohkan anak tunggalnya, Ratna Manohara, dengan pemuda ini. Apalagi setelah dia menyaksikan sendiri betapa saktinya pemuda putera Pendekar Pecut Sakti Bajrakirana itu.
Pemuda yang menjadi putera pasangan pendekar sakti yang terkenal sebagai pahlawan dan berwatak satria, sakti mandraguna, berwajah cukup ganteng dan gagah, dan ternyata sekarang masih belum menikah dan belum terikat perjodohan dengan gadis lain! Alangkah akan bahagianya hatinya kalau dapat memiliki mantu seperti pemuda ini, berbesan dengan Ki Tejomanik yang terkenal! Kalau menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali dia pada saat itu juga mengeluarkan isi hatinya kepada Bagus Sajiwo.
Akan tetapi dia menahan diri. Kalau dia menyatakan keinginannya kepada Bagus Sajiwo dan pemuda itu mau menerimanya sebagai ayah mertuanya, tentu saja hal itu akan membuatnya berbahagia sekali. Akan tetapi begaimana kalau pemuda itu menolak? Dia tentu akan merasa malu bukan main. Tidak sepatutnya kalau pihak wanita yang melamar pria! Selain itu, dia harus mengingat akan puterinya sendiri. Ratna Manohara adalah seorang gadis yang biarpun lembut, sopan dan pendiam, namun berhati keras kalau mempertahankan pendiriannya.
Melihat Ketua Driya Pawitra itu berdiam diri, Bagus Sajiwo yang tidak ingin meneruskan pembicaraan mengenai dirinya, lalu membelokkan percakapan.
"Paman, saya telah mengenal Joko Darmono dengan baik. Kami menjadi sahabat yang akrab sekali. Saya tahu bahwa dia adalah seorang pemuda yang selain tampan, juga sakti mandraguna. Sungguh kasihan sekali nasibnya. Begitu bertemu dengan gurunya di sini, gurunya tewas dan dia hidup sebatang kara."
Ki Sarwaguna menghela napas panjang. "Aku pun merasa kasihan dan menyesal sekali, Anakmas. Dahulu, sekitar dua puluh tahun yang lalu, aku sudah mengenal Nini Kuntigarba dan sekarang, Joko Darmono yang menjadi muridnya membela perguruan kami, bahkan Nini Kuntigarba tewas ketika bertempur membela pihak kami."
"Memang benar, Paman. Sungguh Joko Darmono berjasa besar terhadap Driya Pawitra sehingga dia mengorbankan gurunya yang menjadi pengganti orang tuanya. Mengingat akan itu semua, Paman, bukankah sudah tepat sekali andaikata Joko Darmono menjadi jodoh Nimas Retno Manohara? Apalagi melihat hubungan di antara mereka begitu akrab!"
Mendengar ucapan Bagus Sajiwo, orang tua itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Mestinya begitu, Anakmas. Hanya sayang ada beberapa kendala yang membuat aku ragu dan belum berani mengambil keputusan. Pertama, walaupun aku dulu mengenal Nini Kuntigarba, namun aku tidak pernah mengenal Joko Darmono dan baru sekarang aku mengetahui bahwa mendiang Nini Kuntigarba mempunyai seorang murid laki-laki. Aku belum mengenal dan belum mengetahui benar bagaimana watak Joko Darmono walaupun Andika telah mengatakan bahwa dia berbudi baik. Kedua, urusan perjodohan ini harus diketahui lebih dulu dan disetujui anakku Ratna Manohara. dan yang ke tiga dan inilah yang meragukan hatiku adalah bahwa dulu aku mengenal Nini Kuntigarba sebagai seorang yang berwatak aneh dan keras sekali, juga amat kejam terhadap musuh-musuhnya, walaupun dia bukan termasuk golongan sesat atau jahat. Aku khawatir kalau wataknya yang amat kejam itu ia turunkan atau wariskan kepada muridnya itu."
Diam-diam Bagus Sajiwo harus mengakui bahwa keraguan Ki Sarwaguna itu cukup beralasan maka dia tidak menyinggung lagi urusan perjodohan antara Joko Darmono dan Ratna Manohara. Mereka lalu bicara tentang pemberontakan yang sedang dipersiapkan oleh Blambangan terhadap Mataram. Ki Sarwaguna menyatakan bahwa dia akan mempersiapkan para murid untuk kelak membantu Mataram apabila Blambangan dan sekutunya mulai melakukan penyerban ke dalam wilayah Mataram.
"Kami harap Andika dan Joko Darmono dapat bekerja sama dengan kami untuk membantu Mataram menghadapi Blambangan, Anakmas. Sesungguhnya, tadinya kami sama sekali tidak mempunyai niat untuk terlibat dalam pertentangan antara Kadipaten Blambangan dan Kerajaan Mataram. Akan tetapi setelah kami dimusuhi Blambangan karena tidak mau membantu mereka memusuhi Mataram sehingga kami kehilangan sembilan orang murid yang tewas, maka kami tidak dapat tinggal diam dan harus menentang Blambangan, membantu Mataram."
"Maafkan saya, Paman. Saya sendiri ingin bergerak bebas dalam perjuangan saya membela Kerajaan Mataram. Kalau saya bergabung dengan perguruan Paman atau bahkan dengan pasukan Mataram sekalipun, saya tidak akan dapat bergerak bebas. Saya tidak akan ikut bertempur seperti para perajurit. Melihat betapa Blambangan didukung banyak orang sakti mandraguna, maka tugas saya adalah menhadapi dan menentang mereka, orang-orang sakti mandraguna yang menyalah-gunakan kepandaian mereka untuk bertindak sewenang-wenang. Saya akan membujuk Joko Darmono, mungkin dia mau bekerja sama dengan perguruan Paman."
Ki Sarwaguna tentu saja merasa kecewa karena dia berniat untuk mendekatkan puterinya dengan pemuda ini. Dia tidak percaya kalau pemuda ini tidak akan tertarik dan jatuh hati kepada puterinya. Banyak sekali pemuda yang tergila-gila kepada puterinya, akan tetapi Ratna selalu menolak pendekatan pemuda mana pun. Kalau keduanya sudah saling suka, tentu akan lebih mudah menjodohkan mereka. Akan tetapi dia menyimpan kekecewaannya dalam hati.
Mereka lalu bicara tentang kekuatan Kadipaten Blambangan dan Bagus Sajiwo mendapat banyak keterangan dari Ketua Driya Pawitra ini, walaupun dia juga sudah mendapat banyak keterangan tentang persekutuan di Blambangan itu dari Joko Darmono. Sementara itu, di dalam taman yang sedang dibangun Ratna, gadis itu membersihkan tanah di situ, dibantu oleh Joko Darmono. Joko Darmono sudah pulih kembali ketenangan dan kelincahannya. Kedukaan tidak akan dapat bertahan lama dalam hati gadis periang yang menyamar pria ini. Kesedihannya ditinggal mati gurunya juga sudah hampir dapat ia lupakan.
"Eh, Niken..."
"Hushh! Engkau pikun amat sih? Sudah berulang kali kukatakan agar engkau jangan menyebut Niken kepadaku, tetapi Joko Darmono, dan engkau lupa terus! Terlalu engkau, Ratna. Kalau sampai Bagus Sajiwo mendengarnya, kan celaka aku!" Joko Darmono cemberut.
"Eh, kenapa sih, Ni... eh, Joko? Kalau Kakangmas Bagus Sajiwo mendengarnya dan tahu bahwa engkau perempuan, kenapa? Bukankah itu akan jauh lebih baik bagimu?"
"Baik apanya?" Joko memandang dengan alis berkerut.
"Tentu saja lebih baik. Engkau dan Kakangmas Bagus tampak begitu akrab. Ketika kalian saling bertemu dan melihat keduanya selamat, aku melihat Kakangmas Bagus begitu gembira dan bahagia. Kalau dia melihat bahwa engkau seorang gadis..."
"Jangan! Aku takut, aku khawatir..."
"Eh? Engkau ini aneh sekali! Mengapa khawatir? Mengapa takut kalau Kakangmas Bagus Sajiwo mengetahui bahwa engkau seorang gadis yang menyamar sebagai pria?"
"Aku... aku takut... akan kehilangan dia, Ratna. Aku khawatir, kalau dia mengetahui bahwa aku seorang wanita, dia tidak mau bergaul dekat dengan aku lagi. Aku takut dia lalu akan meninggalkan aku, Ratna." Suara Joko Darmono agak gemetar, membuktikan bahwa di adalam hatinya ia merasa gelisah. Ratna memandang sahabatnya dan merasa iba dan terharu, akan tetapi juga geli.
Ratna menaruh kedua tangannya di atas pundak Joko Darmono dan berkata lirih, "Niken Darmini, engkau amat mencinta Bagus Sajiwo, bukan?"
Wajah Joko Darmono berubah merah dan dia tersenyum malu, mengangguk. "Aku... tergila-gila kepadanya, Ratna..." akunya dengan jujur.
Sejak pertama kali bertemu dan berkenalan, kedua orang gadis ini memang sudah merasa saling cocok dan saling suka. Ketika mereka keduanya menjadi tamu dalam pertemuan yang diadakan Adipati Blambangan, keduanya sepaham dan menolak ajakan Blambangan untuk bergabung dan menentang Mataram.
"Dan dia juga mencintamu?"
"Dia sayang kepada Joko Darmono. Karena itulah aku takut untuk membuka rahasia penyamaranku kepadanya, Ratna. Dia sayang kepada aku sebagai Joko Darmono. Bagaimana kalau aku kehilangan rasa sayangnya kalau aku menjadi Niken Darmini?"
"Ah, Niken, jangan begitu. Aku yakin bahwa Kakangmas Bagus Sajiwo pasti akan sayang padamu. Pemuda mana yang tidak sayang kepada gadis yang cantik jelita dan perkasa seperti kamu? Biarlah aku yang akan mengatakan kepadanya bahwa engkau adalah Niken Darmini yang cantik jelita"
"Jangan! Sekali lagi, jangan buka rahasia, dan jangan panggil aku Niken! Awas, kalau engkau membuka rahasia penyamaranku, aku akan menganggap engkau musuhku, bukan lagi sahabat!"
Ratna mengangkat kedua tangannya dan tersenyum. "Sabar dan tenanglah, Ni... eh, Joko. tentu saja aku tidak akan membuka rahasia penyamaranmu kalau engkau tidak menyetujuinya. Akan tetapi, apakah selamanya engkau akan tetap menjadi Joko Darmono untuk Kakangmas Bagus Sajiwo? Lalu bagaimana engkau akan dapat mengtahui apakah dia mencinta Niken Darmini atau tidak kalau engkau tetap menjadi Joko Darmono terus?"
"Biarlah! Aku lebih suka menjadi Joko Darmono selama hidupku asal selalu dapat berdampingan dengan dia, daripada menjadi Niken darmini akan tetapi dia lalu menjauhkan diri dariku."
"Aneh, aneh sekali! Cintamu membuat engkau menjadi aneh dan tidak lumrah orang, Joko!"
"Biar saja aneh, asal hatiku senang!"
"Akan tetapi, kalau engkau tetap dianggap sebagai seorang laki-laki oleh Kakangmas Bagus Sajiwo, pada suatu waktu tentu dia akan bertemu dengan seorang gadis dan jatuh cinta kepada gadis itu!"
Tiba-tiba wajah Joko Darmono berubah merah sekali, sepasang matanya yang indah itu terbuka lebar dan mncorong penuh kemarahan, sepasang bibirnya terkatup kuat-kuat, lalu terdengar suaranya mendesis seperti ular menyemburkan bisa sebelum terdengar kata-katanya.
"Tidak mungkin! Kalau ada seorang wanita berani merampasnya dariku, akan kubunuh wanita itu!" Kedua tangannya terkepal, hidungnya kembang kempis, bibirnya terkatup dan matanya mencorong.
Ratna bergidik melihat sikap sahabatnya itu dan ia maklum bahwa Niken Darmini pasti akan melaksanakan ucapan dan acamannya itu. Cinta dapat membuat seorang wanita menjadi gila, pikirnya.
"Sudahlah, jangan marah dulu, Joko. Tidak ada yang mau merampas dia darimu. Kalau engkau marah-marah begini, rupamu menjadi jelek dan aku pun ngeri melihatmu. Hayo kita ke rumah, senja mulai gelap."
Untuk menyabarkan dan menenangkan sahabatnya itu, Ratna lalu menggandeng tangannya dan ditariknya, menuju ke rumah Ki Sarwaguna. Di pendapa, Bagus Sajiwo berkata kepada Ki Sarwaguna.
"Paman, lihat, puterimu demikian akrabnya dengan Joko Darmono!"
Ki Sarwaguna memandang dan dia mengerutkan alisnya melihat puterinya bergandengan tangan amat mesranya dengan Joko Darmono. Karena senja mulai gelap dan dipasangi lampu, maka Ratna dan Joko tadi dari jauh tidak melihat adanya orang di pendapa. Setelah dekat dan melihat bahwa Bagus Sajiwo dan Ki Sarwaguna duduk di situ, Joko Darmono cepat melepaskan tangannya yang digandeng Ratna. Dengan alis berkerut dan suara digin Ki Sarwaguna menegur puterinya.
"Ratna, senja telah mulai gelap dan engkau belum juga pergi mandi? Nyalakan dulu semua lampu penerangan dan siapkan santapan untuk malam nanti."
"Baik, Kanjeng Rama." jawab Ratna halus dan ia lalu masuk ke dalam rumah yang baru selesai dibangun itu. Masih sederhana, akan tetapi sebagai rumah induk, bangunan tempat tinggal Ketua Driya Pawitra ini lebih besar daripada pondok-pondok lain yang menjadi tempat tinggal para murid. Setelah berada berdua saja, Bagus Sajiwo berkata kepada Joko Darmono.
"Joko, aku ikut gembira melihat hubunganmu yang amat akrab dan mesra dengan Nimas Ratna Manohara!"
"Hemm, tentu saja akrab. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik keluarga Driya Pawitra? Kita senasib, sama-sama dimusuhi persekutuan Blambangan."
Bagus Sajiwo tersenyum. "Tentu saja kita telah menjadi sahabat baik mereka dan terutama sekali engkau telah menjadi sahabat baik Nimas Ratna. Kalian berdua memang merupakan pasangan yang serasi dan cocok sekali, Joko. Aku ikut merasa gembira dan kuucapkan selamat, Joko!"
Joko Darmono membelalakkan sepasang matanya. "Eh? Apa-apaan engkau mengucapkan selamat kepadaku! Untuk apa?"
"Hemm, jangan pura-pura lagi, Joko. Pandang mataku tidak akan menipuku. Engkau dan Nimas Ratna jelas saling mencinta! Sebaiknya diresmikan saja, Joko. Aku bersedia untuk menjadi walimu dan mengajukan pinangan kepada Paman Sarwaguna agar ikatan perjodohanmu dengan Nimas Ratna diresmikan. Kalau engkau berbahagia, akupun ikut senang sekali, Joko."
"Meminang Ratna? Untuk menjadi jodohku? Engkau gila, Bagus!!"
Bagus Sajiwo tertegun. Dia tidak merasa heran kalau Joko Darmono memaki dia gila. Pemuda itu memang bersikap keras dan ugal-ugalan yang membuat dia merasa heran adalah sikap Joko Darmono yang tampak marah. Akan tetapi dia tersenyum.
"Joko, tidak perlu berpura-pura. Bukan aku yang gila, melainkan engkau yang sudah tergila-gila kepada Nimas Ratna. Hayo, coba kalau engkau dapat menyangkal!"
Joko Darmono mengerutkan alisnya dan memandang wajah Bagus Sajiwo penuh selidik. Mereka duduk berhadapan terhalang meja dan saling dapat menatap wajah satu sama lain yang diterangi sinar lampu gantung di atas meja.
"Bagus, engkau iri, cemburu? Aku lihat engkau akrab sekali dengan Paman Sarwaguna. Kalau dia ingin mencari mantu, pasti engkau yang akan dipilihnya. Engkau bilang bahwa aku tergila-gila kepada Ratna, itu hanya untuk menutupi bahwa sebetulnya engkau yang tergila-gila kepadanya, bukan? Ratna Manohara cantik jelita dan ayahnya suka kepadamu. Kalau engkau yang meminang, pasti akan diterima dengan senang oleh mereka!"
"Hemm, jangan menyangka yang bukan-bukan, Joko. Engkau tahu bahwa aku sama sekali belum berpikir tentang perjodohan. Jangan anggap aku sainganmu. Kalau memang engkau saling mencinta dengan Nimas Ratna Manohara, lanjutkanlah dan jangan sungkan kepadaku."
Joko Darmono tersenyum dan Bagus Sajiwo merasa heran. Baru saja sahabatnya itu marah-marah, kini tiba-tiba tersenyum cerah dan suaranya juga terdengar gembira.
"Sudahlah, hentikan bicara tentang Ratna. Kasihan kalau ia menjadi bahan pembicaraan kita. Sekarang yang terpenting, kapan kita akan melanjutkan pejalanan kita, Bagus?"
Mendengar suara Joko Darmono yang bersungguh-sungguh itu, Bagus Sajiwo merasa heran. Sahabatnya ini agaknya tidak merasa berat meninggalkan Ratna, padahal tadi tampak akrab dan mesra ketika bergandengan tangan! Cintakah Joko dan Ratna, atau tidak? Bagus Sajiwo mengerutkan alisnya. Dia akan merasa tidak senang kalau Joko Darmono mempermainkan Ratna, bersikap mesra merayu dan kalau gadis itu sudah tertarik lalu ditinggalkan begitu saja! Akan tetapi mengenal watak yang aneh dan terkadang pemarah dari Joko Darmono, Bagus Sajiwo hanya menyimpan keheranan dan rasa penasaran dalam hatinya.
"Kalau memang engkau menghendaki, besok pagi pun boleh kita pergi meninggalkan tenpat ini, Joko."
Ternyata Joko Darmono tidak tampak terkejut atau kecewa mendengar ucapan ini, seolah meninggalkan tempat itu, meninggalkan Ratna merupakan hal biasa baginya.
"Kita akan pergi ke mana, Bagus?"
"Aku ingin pergi ke Pasuruan karena kita sudah mendengar bahwa Blambangan akan mulai gerakan mereka dengan menyerbu Kadipaten Pasuruan. Apakah engkau juga akan pergi bersamaku ke sana?"
Tentu saja! Mengapa engkau bertanya begitu, bagus? Apakah engkau tidak suka kalau aku pergi bersamamu?"
"Ah, bukan begitu, Joko. Tentu saja aku suka pergi bersamamu. Akan tetapi kukira engkau ingin tinggal dulu beberapa lamanya di sini."
"Hemm... mau mengungkit Ratna lagi, ya? Sudah, jangan bicara lagi tentang itu, Bagus!" Joko Darmono cemberut dan tampak marah sehingga Bagus Sajiwo yang merasa heran tidak berani lagi menyinggung nama gadis itu.
Sementara itu, di ruangan belakang juga terjadi percakapan menarik antara Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara. Gadis itu duduk di atas bangku, berhadapan dengan Ayahnya yang berdiri sambil berjalan mondar-mandir dalam ruangan itu.
"Ratna, aku hanya ingin melihat engkau hidup bahagia, anakku. Kuharap engkau juga menjadi seorang anak yang sayang dan berbakti kepada Ayahmu ini, dan juga ingin membahagiakan hati Ayahmu. Hati Ayahmu ini akan merasa berbahagia sekali dan dalam usia tuaku aku akan menyambut datangnya akhir kehidupanku ini dengan senyum kalau melihat engkau hidup berbahagia di samping seorang suami yang sempurna. Aku tidak salah memilih, Ratna, dan engkau pun tidak akan salah memilih kalau dapat menjadi istri Anakmas Bagus Sajiwo. Keputusan hatiku sudah bulat dan kalau engkau bersedia, aku akan pergi mengunjungi Ki Tejomanik untuk membicarakan urusan perjodohan ini dengan kedua orang tua Anakmas Bagus Sajiwo."
"Kanjeng Rama, tadi sudah saya katakan bahwa saya sama sekali belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga." kata gadis itu dengan suara lirih karena ia merasa takut kalau-kalau suaranya akan terdengar orang lain. Terutama sekali ia khawatir kalau-kalau Niken Darmini akan mendengar niat Ayahnya untuk menjodohkannya dengan Bagus Sajiwo.
"Ratna," kata Ki Sarwaguna dengan suara lembut mengandung kasih sayang dan kesabaran. "Ingatlah, anakku, usiamu sekarang sudah hampir sembilan belas tahun, berarti sudah lebih dari cukup dan dewasa untuk berumah tangga. Selama dua tiga tahun ini engkau selalu menolak kalau ada pria yang melamar, dan aku tidak menyalahkanmu, Ratna karena memang aku juga belum melihat adanya pemuda yang pantas untuk menjadi jodohmu. Akan tetapi kalau engkau menjadi jodoh Anakmas Bagus Sajiwo, engkau akan hidup berbahagia sekali! Dia seorang pemuda yang arif dan bijaksana, sakti mandraguna, cukup tampan dan gagah, keturunan suami isteri pendekar besar pula. Ah, Ratna, aku tidak melihat adanya seorang pemuda yang lebih tepat untuk menjadi suamimu daripada Anakmas Bagus Sajiwo."
Ratna Manohara menjadi bingung sekali. Apa yang harus ia katakan kepada Ayahnya? Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia juga amat kagum dan tertarik kepada Bagus Sajiwo, satria muda yang bukan saja tampan gagah, akan tetapi juga sakti mandraguna dan bijaksana. Semua pujian Ayahnya itu memang benar dan ia pun dapat membayangkan bahwa kalau ia menjadi isteri satria itu tentu hidupnya akan berbahagia. Akan tetapi, masih terngiang di telinganya ketika Niken Darmini mengancam akan membunuh wanita yang merampas Bagus Sajiwo! Ia bukan takut akan ancaman itu, akan tetapi bagaimana mungkin ia mau bersaing dengan Niken Darmini untuk memperebutkan seorang pemuda? Memalukan sekali!
"Bagaimana, Ratna? Jawablah, maukah engkau kalau kujodohkan dengan Anakmas Bagus Sajiwo? Engkau harus mengambil keputusan dan menjawab sekarang sebelum dia pergi meninggalkan kita."
Ratna mengangkat mukanya memandang wajah Ayahnya. "Akan tetapi Kanjeng Rama..."
"Akan tetapi apa lagi, Ratna?" Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya. "Jangan katakan bahwa engkau jatuh cinta kepada Joko Darmono! Terus terang saja aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!"
Ratna merasa geli akan tetapi di simpannya saja dalam hati dan ia ingin mengetahui mengapa Ayahnya tidak suka kepada Joko Damono. "Kenapa, Kanjeng Rama? Kenapa tidak suka kepada Joko Darmono? Bukankah dia juga seorang satria gagah perkasa dan tampan, juga sudah membantu Driya Pawitra menghadapi orang Blambangan?"
Ki Sarwaguna menghela napas panjang. "Tidak kusangkal, Ratna. Joko Darmono memang gagah perkasa dan tampan pula. Juga dia telah berjasa membantu kita. Aku sama sekali bukan tidak senang kepada pribadinya, akan tetapi kalau aku teringat akan watak gurunya dahulu, aku jadi ragu."
"Kenapa, Kanjeng Rama? Apakah gurunya, Nini Kuntigarba itu jahat?"
"Tidak, Nini Kuntigarba memang tidak jahat. Akan tetapi dahulu aku mengenalnya sebagai seorang wanita yang berwatak aneh, keras dan kejam sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya. Saking kejamnya, orang memberi julukan Iblis Betina Pencabut Nyawa kepadanya. Aku khawatir watak itu menurun pada muridnya. Nah, itulah yang membuat aku ragu dan tidak suka kalau Joko Darmono menjadi jodohmu."
"Harap Kanjeng Rama jangan khawatir. saya tidak akan menjadi jodoh Joko Darmono." kata Ratna dengan suara mantap.
Wajah Ki Sarwaguna berseri, hatinya lega. "Ah, jadi engkau tidak mencintanya seperti yang kukhawatirkan?"
"Saya memang suka dan sayang sama padanya, akan tetapi kami hanya bersahabat dan akrab. Dia tidak akan menjadi jodoh saya, hal ini harap Kanjeng Rama yakin benar."
"Bagus! Girang hatiku mendengar pengakuanmu ini, Ratna. Jadi engkau setuju dengan niatku menjodohkanmu dengan Anakmas Bagus Sajiwo?"
"Nanti dulu, Kanjeng Rama! Saya kira tidaklah begitu mudah. Andaikata saya setuju, Kanjeng Rama masih melupakan dua hal yang akan menentukan, yaitu persetujuan Bagus Sajiwo sendiri dan persetujuan orang tuanya."
"Ha, itu soal nanti. Yang terpenting sekarang, engkau setuju!"
Ratna merasa tidak enak sekali. Kalau ia berkeras menolak, ia tentu akan membuat ayahnya kecewa, menyesal dan bersedih. Ia tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Alasan yang paling penting kuat adalah kalau ia bercerita tentang Joko Darmono yang sebetulnya adalah Niken Darmini dan bahwa gadis itu amat mencinta Bagus Sajiwo. Akan tetapi ia sudah berjanji kepada Niken Darmini untuk tidak membuka rahasianya.
"Bagaimana, anakku? Jawablah! Setujukah engkau kalau dijodohkan dengan Anakmas Bagus Sajiwo?"
Ratna Manohara menghela napas panjang. "Yah, terserah kepada Kanjeng Rama sajalah!" Setelah berkata demikian ia meninggalkan Ayahnya dan menuju ke dapur untuk mempersiapkan makan malam.
Kehidupan setiap orang manusia selalu dibayangi oleh konflik (bentrokan), Konflik dalam batin sendiri yang dapat menimbulkan penyakit akibat jiwanya tertekan (stress). Atau konflik dengan orang lain yang menimbulkan permusuhan sebagai buah kebencian. Konflik terjadi karena masing-masing mempertahankan kepentingan sendiri sehingga terjadilah bentrokan keinginan atau kepentingan. Setiap orang ingin dipenuhi keinginannya. Setiap orang ingin dipenuhi keinginannya, setiap orang ingin dilayani. Maka timbullah petentangan, timbullah perang!
Dapatkah kita belajar untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan kita sendiri, atau setidaknya membagi perhatian terhadap semua kepentingan itu? Dapatkah kita membagi perhatian untuk melayani, bukan selalu ingin dilayani? Dapatkah kita juga memberi bukan selalu meminta? Sesungguhnyalah, memberi dengan ikhlas lahir batin tentu saja amat membahagiakan hati, jauh lebih membahagiakan daripada menerima.
Memberi dengan ikhlas berarti pencurahan kasih sehingga yang menerima, dengan ucapan TERIMA KASIH berarti membuat pengakuan bahwa yang sudah diterima adalah kasih si pemberi, bukan menerima sekadar bantuan. Memberi dengan ikhlas berarti tanpa adanya pamrih untuk kesenangan diri pribadi. Memberi dengan ikhlas berarti menyalurkan berkat dari gusti Allah sehingga si pemberi mendapat tugas suci menjadi alatNya karena dia menyadari bahwa apa pun yang dia berikan, baik berupa benda, tenaga, maupun pikiran, semua itu adalah milik Gusti Allah.
Jadi bukan miliknya yang diberikan kepada orang lain, melainkan milik Gusti Allah. Jadi bukan dia yang memberi kepada orang lain, melainkan Gusti Allah yang memberi melalui dirinya sebagai alat penyalurNya.
********************
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Langit hitam pekat dan semua penghuni perkampungan baru Driya pawitra berada dalam p[ondok masing-masing, bahkan lebih senang merebahkan diri dalam kamar berlindung dalam selimut karena hawanya dingin bukan main. Tidak terdengar suara orang atau kalau ada suara pun tidak akan terdenar karena tertutup gemuruh suara air hujan menimpa atap rumah, pepohonan dan tanah. Masih ditambah pula desah suara angin dan terkadang diselingi gelegar halilintar yang cahayanya menembus kegelapan untuk sedetik.
Sejak lewat senja tadi, sehabis makan malam bersama Ki Sarwaguna, Bagus Sajiwo, dan Joko Darmono, Ratna Manohara merasa kepalanya agak pening dan ia memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan. Ia merasa pening dan ini tentu akibat percakapan dengan ayahnya tadi tentang perjodohan itu, pikirnya. Sudah, ia tidak mau memikirkannya lagi dan lebih baik tidur agar kesehatannya pulih. Sebentar saja Ratna sudah tidur pulas.
Menjelang tengah malam hujan berhenti. Cuaca masih gelap dan hawanya dingin menyusup tulang. Semua penghuni perkampungan Driya Pawitra sudah tidur pulas. Lima orang murid yang bertugas jaga malam itu juga lebih suka duduk berselimut sarung dalam gubuk penjagaan yang berada di sebelah dalam pintu gerbang perkampungan. Suasananya sunyi sekali.
Tidak ada seorang pun melihat ketika dua sosok bayangan memasuki kamar Ratna Manohara. Dengan mudah dua orang itu memasuki kamar karena daun pintunya tidak dipalang dari dalam. Agaknya karena pening, Ratna lupa memalangi pintu kamarnya. Tak lama kemudian, dua sosok tubuh itu muncul keluar dari kamar dan menggotong tubuh Ratna Manohara yang dibungkus selimut!
Agaknya gadis itu pingsan, karena tidak mungkin kalau dia tidur pulas dapat digotong dua orang begitu saja tanpa terbangun. dan dua orang itu memakai pakaian jubah hitam dan celana hitam pula, muka mereka pun ditutupi kain hitam dan hanya tampak mata mereka dari balik kain yang dilubangi. Namun gerakan mereka tangkas dan langkah kaki mereka tidak menimbulkan suara membuktikan bahwa keduanya bukan orang biasa, melainkan orang-orang yang digdaya.
Juga tampak ringan saja mereka menggotong tubuh yang dibungkus selimut itu. Mereka keluar dari perkampungan Driya Pawitra tidak melalui pintu gerbang yang terjaga lima orang murid perguruan itu, melainkan dari belakang melalui kebun yang hanya dipagari bambu sebagai pagar sementara sehingga mudah bagi mereka untuk melompati pagar bambu yang tidak terlalu tinggi itu.
Setelah agak jauh meninggalkan perkampungan menuju ke arah selatan, mereka berhenti dan seorang di antara mereka menyalakan sebatang obor. Dengan obor ini mereka dapat melanjutkan perjalanan menggotong tubuh Ratna Manohara yang masih belum sadar. Mereka menuju ke sebuah tebing bukit dan berhenti di depan sebuah gua yang besar. Banyak terdapat batu gunung besar di daerah itu. Mereka menggotong tubuh gadis itu memasuki gua yang ternyata cukup luas, tidak kurang dari empat tombak persegi luasnya dan tingginya ada dua tombak.
Di lantai terdapat banyak damen (batang padi kering) yang seolah menjadi tilam tebal. Mereka menurunkan tubuh Ratna di sudut gua, di atas rerumputan kering yang cukup bersih. Kini seorang dari mereka mengeluarkan segulung besar tali terbuat dari kulit sapi yang amat kuat lalu dengan hati-hati dia mengikat kedua kaki tangan Ratna dengan tali itu. Kalau hanya diikat tali serat atau bambu saja, kiranya akan dapat direnggut putus oleh gadis sakti itu.
Akan tetapi tali kulit sapi ini selain liat, juga lentur dan agak mulur sehingga biarpun orang yang memiliki tenaga lebih kuat dari Ratna, masih akan sulit untuk dapat melepaskan diri dari ikatannya. Orang itu mengikat dengan kuat namun berhati-hati agar kulit kaki dan tangan gadis itu tidak sampai terluka. Untuk menjaga ini, dia menggunakan kain tebal untuk melindungi kulit pergelangan kaki tangan itu dari gigitan ikatan tali yang amat kuat itu. Kemudian, dua orang yang berpakaian serba hitam dan memakai kain hitam penutup muka itu duduk dekat Ratna yang masih rebah telentang.
Obor tadi mereka tancapkan di dinding di seberang dan agak tertutup batu menonjol pada dinding itu sehingga sinarnya terhalang dan keadaan di mana Ratna rebah itu remang-remang. Tak lama kemudian Ratna merintih lirih dan tubuhnya bergerak, akan tetapi ketika ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, gadis itu membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedip-ngedipkan matanya untuk dapat melihat dengan jelas dalam keremangan cuaca itu.
Ketika melirik ke arah kaki tangannya, ia merasa heran bukan main melihat kaki tangannya terikat. Ia mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali pengikat kai tangannya, akan tetapi ternyata ia gagal dan setelah dicobanya berkali-kali, ia pun maklum bahwa ikatan itu kuat sekali.
"Heh-heh, cah ayu (anak cantik), percuma engkau meronta, tidak akan dapat terlepas ikatan itu." terdengar suara parau dan aneh logatnya.
Ratna menengok dan melihat dua orang bertopeng hitam duduk di sebelah belakang kepalanya sehingga ia tadi tidak melihat mereka. Ia semakin heran dan terkejut. Ini tidak mungkin, pikirnya. Ia ingat benar bahwa tadi ia tidur dalam kamarnya sendiri, di rumah baru ayahnya, dalam perkampungan Driya Pawitra.
"Apakah aku sedang mimipi...?" Ia bertanya dan ia mengangkat kedua kakinya yang terikat lalu membanting-banting kedua kaki itu ke atas lantai gua. Ia merasakan nyeri pada tumit kakinya yang terbanting ke atas lantai yang bertilamkan jerami.
"Ha-ha, engkau tidak mimpi, cah ayu. Engkau menjadi tawanan kami, ha-ha-ha!"
"Siapa kalian? Kenapa menawan aku dan bagaimana kalian dapat membawa aku ke sini tanpa kuketahui?" tanya Ratna Manohara, seperti biasa suaranya halus karena gadis ini memiliki batin yang kuat sehingga dapat menahan gejolak hatinya dan tidak mudah dipengaruhi kemarahan.
Betapapun juga, tentu saja diam-diam ia merasa khawatir sekali melihat kenyataan betapa ia sama sekali tidak berdaya. Seorang di antara mereka yang bertubuh sedang dan suaranya parau dan sumbang, kembali terkekeh.
"Heh-he-heh, siapa kami? Kami ada dua belas orang, siapa kami tak perlu kau tahu. Yang jelas kami adalah musuh-musuhmu dan kami menawanmu, membawamu ke tempat ini, heh-he-heh!"
"Kalian pengecut! tak tahu malu! Dua orang laki-laki menculik seorang gadis dengan cara licik dan curang. Kalian tentu menggunakan obat bius, keparat!" Biarpun marah dan memaki, namun tetap saja Ratna menggunakan bahasa yang halus.
"Heh-he-he-heh! Kau sudah tak berdaya masih banyak lagak!" kata laki-laki pertama.
"Jahanam! Kalau berani, lepaskan ikatanku dan mari kita bertanding. Kalian boleh mengeroyok aku!" tantang Ratna, sedikit pun tidak memperlihatkan wajah gentar walaupun hatinya merasa kecut karena ia menduga bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang mungkin berwatak liar dan ganas. "Kawan, perempuan bermulut lancang ini kita bunuh saja sekarang agar jangan banyak cakap lagi!" kata orang ke dua yang bertubuh kurus.
"Biar kutusuk dadanya, biar pedangku ini menembus dada dan jantungnya!" laki-laki kurus itu mencabut pedangnya yang panjang dan runcing, lalu menempelkan ujung pedang di dada Ratna, hendak menusuknya.
Ratna sudah merasakan gigitan ujung pedang menembus baju dan mengenai kulitnya, terasa dingin dan runcing. Akan tetapi ia melindungi kulit dadanya dengan pengerahan tenaga sakti. "Wah, dadanya kuat dan keras sekali!" seru Si Kurus.
"Tentu saja! Ia puteri ketua Driya Pawitra! Akan tetapi kedua matanya tentu tidak kebal!" kata orang pertama yang suaranya parau.
"Ha-ha-ha, kalau begitu biar kutusuk kedua matanya!" Si Kurus lalu mendekatkan ujung pedangnya kepada mata kiri Ratna.
Tentu saja, betapapun tabah dan beraninya, Ratna merasa ngeri ketika ujung pedang itu mendekati matanya dan terpaksa ia memejamkan kedua matanya dan wajahnya berubah pucat, jantungnya berdebar tegang membayangkan ia disiksa dan menjadi buta!
"Ha-ha-ha, akan kucokel biji matanya yang indah!"
"Jangan! Simpan pedangmu, kawan. Sayang kalau ia dibikin buta, kehilangan kecantikannya. Sayang kalau dibunuh, lebih baik kita ajak ia bersenang-senang dulu!"
Tangan Si Suara Parau dijulurkan dan jari-jari tangannya meraba leher Ratna, seperti laba-laba merayap. Meremang semua bulu tengkuk dan tubuh Ratna ketia itu merasa jari-jari tangan itu membelai kulit lehernya. Ia tahu bahwa ia terancam bahaya yang baginya lebih mengerikan daripada maut.
"Keparat! Bunuh aku, hayo bunuh saja aku!" bentaknya dan suaranya mengandung tangis saking ngeri membayangkan dirinya diperkosa dan dipermainkan dua orang itu.
"Ha-ha-ha!" Dua orang itu tertawa dan Si Kurus menggerakkan kedua tangannya. "Brettt... brettt...!" Baju depan di tubuh Ratna direnggut robek sehingga tampak sebagian dada dan perut gadis itu.
"Jahanam! Bunuh saja aku... bunuh aku...!" kini Ratna tidak kuat menahan siksaan batin itu dan saking ngeri dan takutnya menghadapi ancaman perkosaan atas dirinya, ia menangis. Kemudian tiba-tiba Ratna Manohara menjerit melengking. "Tolooooonnnngggg...!"
Dua orang itu terkejut dan Si Suara Parau cepat mengeluarkan sehelai kain dan mengikatkan kain itu di depan mulut Ratna, dibelitkan ke belakang kepala. Ratna tidak mampu menjerit lagi, hanya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh dan tubuhnya meronta-ronta, namun ikatan kaki tangan itu terlampau kuat. Tangan yang tadinya menggerayangi kulit leher itu kini ditarik kembali.
"He, kawan. Jangan kita bersenang-senang dulu, nanti kawan-kawan yang lain menjadi iri dan marah. Sebaiknya kita tunggu sampai mereka semua datang ke sini, baru kita berpesta pora, beramai-ramai. Lebih menggembirakan, bukan?"
"ah, engkau benar! Sebaiknya kita jangan menyentuhnya dulu. Nantu kalau kawan-kawan sudah datang, baru kita mulai. Aku yang mendapat bagian pertama!"
"Enak saja engkau! Aku yang pertama."
Mereka cekcok sebentar. Ratna Manohara mendengarkan dengan perasaan ngeri dan takut. Ia tidak takut mati, disiksa sampai mati pun ia tidak takut dan tidak akan berteriak atau menangis. Ia berani menghadapi kematian dengan mata terbuka dan senyum di bibir. Sejak kecil ia telah digembleng sifat gagah oleh ayahnya. Akan tetapi menghadapi ancaman dipermainkan dan diperkosa, kehormatannya diperhina dan diinjak-injak, ia merasa ngeri dan takut sekali. Kalau saja kaki tangannya tidak terikat kuat-kuat, ia tentu akan mengamuk sampai mati!
Membayangkan dirinya terjatuh ke tangan dua belas orang laki-laki liar biadab seperti ini, sungguh amat mengerikan. Ia mencoba untuk memperhatikan kedua orang itu. Akan tetapi karena muka mereka tertutup kain hitam dan tempat itu tidak terang, hanya remang-remang, ia tidak dapat mengenal, bahkan tidak dapat melihat seperti apa wajah mereka. Usia mereka pun tidak dapat ia duga, sudah tua ataukah masih muda. Agaknya kedua orang itu sengaja mengejek dan mengancam untuk membuat tawanan mereka itu semakin ketakutan. Setelah ia mampu meredakan tangisnya yang hanya terisak, Ratna bertanya.
"Siapakah kalian? Mengapa kalian melakukan ini kepadaku? Mengapa kalian amat membenciku?"
Kembali kedua orang itu tertawa-tawa. Untuk mengatasi rasa ngerinya yang dapat membuatnya menjerit-jerit akan tetapi tidak mampu ia melakukannya karena mulutnya tertutup ikatan kain, Ratna lalu menenangkan hatinya dan memejamkan kedua matanya. Akhirnya ia dapat menenggelamkan hati akal pikirannya dan berada dalam keadaan setengah tidur. Ketika cuaca mulai agak terang, tanda bahwa fajar mulai menyingsing, dua orang itu memadamkan obor. Ratna juga mulai mendengarkan gerak-gerik mereka yang tadinya terdiam, agaknya mereka juga tertidur. "Cah ayu, tunggu sebentar, ya? Kami akan mengundang sepuluh orang kawan kami dan kita mulai berpesta dan besenang-senang nanti. kau tunggu saja manis!"
Ratna membuka matanya dan melihat Si Kurus tadi meninggalkan gua. Ia tidak melihat orang yang satu lagi, yang tubuhnya sedang. Ia ditinggalkan seorang diri di gua itu, dan mulailah ia berusaha melepaskan diri dengan meronta-ronta sekuat tenaga. Namun hasilnya sia-sia. Tali-tali itu terlalu kuat.
Sementara itu, jauh lewat tengah malam tadi, ketika semua penghuni rumah Ki Sarwaguna masih tidur pulas, Ki Sarwaguna mengetuk pintu kamar Bagus Sajiwo. Joko Darmono, seperti biasa, tinggal dalam sebuah kamar terpisah seperti permintaannya.
"Anakmas Bagus, bukalah pintunya." kata Ki Sarwaguna sambil mengetuk daun pintu kamar itu.
Bagus Sajiwo, seperti hampir semua ahli kanuragan, memiliki kepekaan luar biasa sehingga sekali namanya dipanggil dia tersentak bangun. Mendengar suara di luar pintu kamarnya itu, dia mengenal suara Ki Sarwaguna. Maka cepat dia turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Dia melihat wajah Ketua Driya Pawitra itu tampak tegang dan gelisah sekali. Ki Sarwaguna segera menyelinap masuk.
"Anakmas Bagus, tolonglah, Anakmas...!" bisiknya dengan mata tampak bingung.
"Ada apakah, Paman?"
"Celaka, Anakmas, Si Ratna, anakku... ia... hilang dari kamarnya... semalam sekitar tengah malam aku mendengar suara mencurigakan, namun lirih sekali dan kusangka hanya suara kucing, maka aku tidur lagi. Akan tetapi baru saja, aku terbangun dengan perasaan tidak enak. Tentu terjadi sesuatu, maka aku lalu keluar kamar dan melakukan pemeriksaan, kalau-kalau ada musuh datang mengganggu. Tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Akan tetapi ketika aku lewat kamar Ratna, sekali dorong daun pintu kamarnya terbuka, tidak terpalang dari dalam dan Ratna tidak berada dalam kamarnya. Ia hilang, Anakmas!"
"Hemm, harap Paman tenang. Nimas Ratna bukan anak kecil dan ia memiliki kesaktian untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Kalau ia tidak berada di kamarnya, berarti ia keluar dari kamar, enah sedang ada keperluan apa."
"Tadi aku juga berpikir begitu, Anakmas. Aku sudah mencarinya di sekeliling rumah, akan tetapi tidak ada. Ketika aku kembali ke kamarnya, aku mencium bau dupa yang aneh, yang baunya mulai menipis. Mungkin asap pembius! Dan agaknya Ratna tidak berganti pakaian, selimutnya juga hilang dan tusuk penghias sanggulnya masih di atas meja, berarti ia belum menyanggul rambutnya. Pedangnya juga masih tergantung didinding! Ah, Anakmas Bagus, aku khawatir sekali. Ia agaknya... diculik orang...!"
Bagus Sajiwo mengerutkn alisnya. "Kalau begitu, mari saya bantu mencari dan melakukan pengejaran, Paman!"
Mereka berdua pergi ke kamar Ratna dan setelah melakukan pemeriksaan dan melihat bahwa semua keterangan Ki Sarwaguna tadi benar, Bagus Sajiwo lalu keluar dari rumah bersama Ki Sarwaguna.
"Tadi sudah kutanyakan kepada lima orang murid yang bertugas jaga, kata mereka tidak ada yang melihat Ratna atau orang lain lewat. Akan tetapi seorang dari mereka, ketika melakukan perondaan ke bagian selatan dalam kampung, tiba-tiba ditampar orang dari belakang dan roboh pingsan. Setelah siuman kembali dia segera memberitahu kawan-kawannya."
"Mari kita tanyai dia, Paman!"
Mereka segera pergi ke tempat jaga di dekat pintu gerbang dan ketika mereka bertanya kepada Sarun, murid yang tadi terpukul pingsan, Sarun menceritakan pengalamannya. "Saya sedang berjalan meronda, tiba-tiba saya dipukul, terkena tengkuk saya dan saya tidak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, saya lalu kembali ke sini menceritakan kepada teman-teman."
Bagus Sajiwo memeriksa tengkuk Sarun, akan tetapi tidak terdapat luka. Hanya tamparan biasa namun cukup kuat sehingga Sarun roboh pingsan. "Apakah Andika tidak melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan ketika Andika belum dipukul?" tanya Bagus.
"Rasanya saya ada mendengar orang bicara dan berlari ke arah kebun di bagian selatan perkampungan, akan tetapi suara-suara itu tidak jelas dan sebelum saya memeriksa, tiba-tiba saya dipukul."
"Mari, Paman!" Ajak Bagus Sajiwo.
Mereka berdua segera pergi ke ekbun. Fajar mulai menyingsing dan caca tidak begitu gelap lagi. "Lihat itu, pagarnya rusak!" kata Ki Sarwaguna.
Mereka berlari mendekati dan memeriksa. Benar saja, pagar dari bambu itu tercabut sebagian yang menandakan bahwa ada orang lewat di sini.
"Itu ada tapak kaki!" kata Bagus Sajiwo.
keduanya berjongkok dan memeriksa. Ada tapak kaki yang jelas sekali, melesak ke dalam tanah. "Hemm, coba Paman periksa tapak kaki kita sendiri. Tidak begitu dalam, bukan? Tapak-tapak kaki ini dalam sekali! Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang itu berat, atau membawa beban berat sehingga tapak kaki mereka lebih dalam dari tapak kaki biasa. Dan bentuknya aneh. Lebarnya melebihi ukuran normal dan tidak tampak tapak jari kakinya. Hemm, tidak salah lagi, orang-orang ini tentu menggunakan alas kaki untuk menghilangkan jejak! Mari Paman, kita ikuti jejak tapak kaki mereka."
"Mereka?" tanya Ki Sarwaguna.
"Ya, mereka. Jelas mereka lebih dari satu orang. Lihat tapak kaki ini, saling tindih, berarti ada dua orang di belakang yang menginjak tapak kaki orang pertama di depan. Agaknya ada dua orang menggotong sesuatu yang berat..."
"Menggotong Ratna ....?"
"Mungkin begitu, Paman. Mari kita ikuti dan kita kejar."
Mereka berdua mengikuti tapak kaki itu. Akan tetapi ketika tapak kaki itu tiba di belakang kebun di mana tanahnya keras mengandung kapur, tapak kaki itu lenyap, atau tidak meninggalkan bekas di atas tanah yang keras.
"Ah, tapak-tapak itu menghilang. Kita harus melakukan pengejaran dengan kira-kira saja, Paman."
"Anakmas Bagus, dari sini ada dua jurusan yang dapat dituju para penculik itu. yang menurun ini menuju ke sebuah dusun di lembah bawah sana, sedangkan yang lain itu menuju ke bagian bukit yang bertebing dan berkapur. Sebaiknya kita berpencar. Biar aku yang mengejar ke dusun itu karena aku sudah mengenal penduduknya. Aku akan mencari keterangan di sana. Adapun Andika sebaiknya mengejar ke jalan yang menuju ke daerah tebing berkapur itu. Bagaimana pendapatmu, Anakmas?"
Bagus Sajiwo mengangguk-angguk, "Baik sekali, paman. Mari kita berpencar melakukan pengejaran secara cepat. Mungkin mereka belum pergi jauh."
Mereka berdua lalu berpencar dan melanjutkan pengejaran mereka. Matahari pagi memandikan permukaan bumi dengan cahayanya yang cerah dan masih kekuningan, belum panas benar, hangat-hangat menghidupkan dan menyegarkan. Bagus Sajiwo mempergunakan kesaktiannya, berlari cepat sekali melalui daerah yang berbatu sambil dengan penuh kewaspadaan meneliti keadaan sekeliling dengan pandang matanya.
Setelah mencari-cari beberapa lamanya, tiba-tiba hatinya merasa girang sekali melihat tapak kaki di atas tanah yang basah. Biarpun tapak kaki itu hanya tampak sepanjang dua tombak, namun setidaknya dapat menjadi petunjuk jalan ke mana orang-orang yang meninggalkan tapak kaki itu menuju. Dia berjalan terus sampai akhirnya tiba di daerah yang berbatu-batu dan di situ terdapat tebing-tebing tinggi dan pada tebing itu terdapat beberapa buah gua. Tiba-tiba Bagus Sajiwo berhenti melangkah dan mendengarkan penuh perhatian.
"Emmm... mmm... emmmmm...!!"
Suara itu tidak terlalu keras namun dia dapat mendengarnya. Seperti bukan suara manusia atau suara binatang dan suara itu datang dari sebuah gua di depan sana. Bagus Sajiwo cepat melompat dan berlari sampai di depan gua. Sinar matahari pagi masih terlalu lemah untuk menerangi sebelah dalam gua yang menghadap ke barat itu. Sinar matahari terhalang tebing tinggi dan cuaca dalam gua itu hanya remang-remang.
Akan tetapi ada yang menarik perhatian Bagus Sajiwo. Di mulut gua berserakan jerami. Ini menandakan bahwa gua itu dihuni manusia. Dia menghampiri dan melihat sesuatu bergerak-gerak di sudut gua. Setelah dia terbiasa dengan keremangan di situ, dia melihat bahwa yang bergerak-gerak itu adalah seorang manusia yang terikat kaki tangannya, dan muka orang itu, bagian mulutnya, tertutup kain yang diikatkan ke belakang kepalanya.
Rambut orang itu panjang terurai dan pakaiannya terobek sehingga tampak perut dan sebagian dada yang berkulit putih. Dia mendekat dan merasa terkejut, juga girang sekali ketika mengenal bahwa orang itu adalah Ratna Manohara! Bagus Sajiwo cepat memutar tubuh, memandang ke sekeliling dalam gua dengan waspada, mencari kalau-kalau di situ terdapat penculik yang melarikan Ratna. Akan tetapi tidak tampak ada orang lain, maka cepat dia berjongkok dan dengan hati-hati melepaskan ikatan kain dari depan mulut Ratna.
Sejak ditinggal pergi dua orang penculiknya, Ratna rebah dengan kaki tangan terikat dan mulut tertutup kain. Mendengar dua orang itu hendak memanggil sepuluh orang orang kawan mereka kemudian selusin orang laki-laki liar biadab itu akan memperkosanya, Ratna mengalami kengerian dan ketakutan yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya.
Selama ditinggalkan itu, ada suara sedikit saja sudah membuat jantungnya berdegup keras dan seluruh tubuhnya gemetar saking ngeri dan takutnya. Selama ditinggalkan itu, bayangan macam-macam siksaan dan penghinaan terhadap dirinya membuat ia mengeluarkan keringat dingin. Segala usahanya mengerahkan tenaga agar terbebas dari ikatan gagal. Untuk berteriak minta tolong, suara yang keluar dari mulut tertutup itu hanya em-em-em saja.
Komentar
Posting Komentar