PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-08


"Mundur...!" Dan dia sendiri melompat ke atas punggung kudanya.

Perbuatan ini dicontoh Tumenggung Janumendo. Ki Warok dan Ki Baka Kroda. Bagaikan berlomba mereka membalapkan kuda masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu. Dalam kemarahannya Sutejo hendak mengejar, namun dia segera teringat akan keadaan gurunya, maka dia menahan niatnya untuk mengejar dan dia berlutut di dekat gurunya.

Diangkatnya tubuh gurunya dan dibawa masuk ke dalam pondok. Sesudah merebahkan tubuh Bhagawan Sidik Paningal ke atas dipan, Sutejo memeriksa tubuh gurunya dan dia mendapat kenyataan bahwa gurunya memang menderita luka yang parah. Napas gurunya terengah-engah dan dia menahan rasa nyeri yang hebat, wajahnya pucat sekali.

"Bapa, biarlah saya berusaha mengobati dengan pengerahan hawa sakti," kata Sutejo, siap hendak menempelkan kedua tangan di dada kakek itu.

Bhagawan Sidik Paningal menggeleng kepalanya dan menarik napas untuk menegangkan pernapasannya.

"Tiada gunanya lagi, Sutejo Kurasa... lukaku tidak dapat... disembuhkan lagi..."

"Bapa...!"

"Tenanglah, angger... usia berada di tangan Hyang Widhi... tidak ada yang disesalkan... sekarang dengarlah baik-baik..."

Dengan hati prihatin karena merasa bahwa gurunya hendak meninggalkan pesan terakhir, Sutejo duduk di tepi dipan dan mendekatkan mukanya agar dapat mendengarkan dengan baik.

"Pertama-tama akan kupesankan tugas-tugas kewajiban untukmu," kata Bhagawan Sidik Paningal dengan suara lirih dan terputus-putus.

"Karena hidup berarti memenuhi kewajiban-kewajiban, tanpa adanya kewajiban-kewajiban hidup tidak ada artinya. Pertama, engkau harus berusaha untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana. Pecut itu adalah pusaka keramat dari perguruan Jatikusumo, menjadi lambang keadilan dan penegak kebenaran. Kalau pusaka itu sampai terjatuh ke tangan orang jahat dan digunakan untuk kejahatan maka nama baik perguruan Jatikusumo akan tercemar. Engkau harus mendapatkan kembali pecut itu dan menyerahkannya kepada Bapa Guru Resi Limut Manik atau tokoh Jatikusumo, dalam hal ini kakak seperguruanku Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidul daerah Pacitan adalah tokoh utamanya setelah eyang gurumu. Sesudah itu, kewajibanmu yang kedua adalah kau harus menghambakan dirimu kepada Kanjeng Sultan Agung, Sang Prabu Pandan Cokrokusumo Raja Mataram, Berbaktilah kepada Negara dan Bangsa, kulup, karena itu merupakan kewajiban seorang satria sejati. Nah, sanggupkah engkau melaksanakan dua tugas itu?"

"Saya sanggup, Bapa," jawab Sutejo dengan suara mantap.

"Sekarang soal kedua, yaitu mengenai dirimu dan riwayatmu..."

Berdebar rasa jantung Sutejo mendengar ini. Dia memang ingin sekali mendengar tentang riwayat dirinya, tentang ayah bundanya. Selama ini bila ditanya, Bhagawan Sidik Paningal hanya mengatakan bahwa dia sendiri tidak tahu siapa ayah bundanya dan tidak memberi keterangan lebih jauh. Kali ini, di saat-saat terakhir, agaknya gurunya itu akan membuka rahasianya!

"Sutejo, berulang kali engkau menanyakan siapa ayah bundamu dan aku tidak berbohong ketika aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Beginilah riwayatnya. Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, ketika aku merantau sampai di kaki Gunung Anjasmoro, pada suatu pagi aku mendengar tangis seorang anak kecil di dalam sebuah hutan. Karena merasa curiga mendengar anak itu terus menerus menangis, aku segera memasuki hutan dan mencari dari manakah suara itu datang. Kemudian aku melihat seorang wanita cantik berambut panjang, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih muda dan cantik, sedang duduk menangis dan dia memangku seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun. Anak itulah yang menangis keras, sedangkan wanita itu hanya terisak perlahan saja. Kemudian wanita itu membentak, menyuruh anak itu supaya diam. Si anak tidak mau diam bahkan menangis semakin keras. Tiba-tiba saja wanita itu menotok leher anak itu dengan dua jari tangannya dan seketika tangis itu terhenti, atau anak itu tetap menangis akan tetapi tidak mengeluarkan sedikit pun suara! Aku menjadi curiga melihat kekejaman wanita itu, dan kudengar wanita itu berkata,

Mengingat sakit hatiku terhadap orang tuamu, sudah sepatutnya kalau engkau kubunuh sekarang juga. Akan tetapi aku bukan orang sekejam itu!

Setelah berkata demikian, dia memodong anak itu dan hendak melompat pergi."

Sutejo mendengarkan dengan jantung berdebar-debar penuh ketegangan dan dugaan. Mudah saja menduga bahwa dialah kiranya anak berusia tiga tahun itu. Akan tetapi dia diam saja, menanti gurunya mengatur pernapasannya sebelum melanjutkan.

"Aku menghadangnya dan minta kepadanya supaya dia melepaskan anak yang kusangka diculiknya itu. Ia menjadi marah kemudian menantangku, menanyakan namaku dan juga mengakui dirinya seorang wanita bernama Ken Lasmi. Kami bertanding dan harus kuakui bahwa dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dengan susah payah akhirnya aku dapat mengalahkannya sehingga dia melarikan diri meninggalkan anak itu. Dan anak itu adalah..."

"Sayakah anak itu, Bapa?" tanya Sutejo penuh gairah.

"Benar, engkaulah anak itu. Aku lalu membebaskan engkau dari pengaruh totokan yang membuat engkau tidak dapat bersuara. Engkau menyebut namamu Tejo, maka kuberi nama Sutejo. Ada dua buah tanda kudapati pada dirimu. Pertama adalah ini..."

Bhagawan Sidik Paningal mengambil sebuah benda dari saku jubahnya lalu memberikan benda itu kepada Sutejo. Dengan tangan agak gemetar karena terharu Sutejo menerima benda itu yang ternyata sehelai kalung emas dengan mainan yang indah sekali berbentuk seekor naga berwarna putih, terbuat dari gading terukir.

"Benda ini kutemukan tergantung di lehermu. Entah itu hanya mainan biasa ataukah ada artinya, tetapi sedikitnya kalung itu merupakan tanda ketika engkau kutemukan. Pakailah kalung itu, Sutejo."

Sutejo mengenakan kalung itu di lehernya. "Dan apakah adanya tanda kedua Bapa?"

"Tanda kedua adalah sebuah tembong pada punggungmu, sebesar tiga buah jari tangan. Sampai sekarang tembong itu tidak hilang dan dapat menjadi tanda bagimu. Mereka yang menjadi ayah bundamu tentu masih ingat akan adanya tembong di punggungmu itu."

Sutejo mengangguk-angguk. Memang tidak banyak petunjuk untuk dipakai mencari ayah ibunya, akan tetapi setidaknya ada tanda-tanda itu.

"Satu-satunya jalan bagimu untuk mencari orang tuamu..." mendadak pertapa itu berhenti bicara dan kini napasnya semakin terengah-engah. Ternyata dia sudah terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk bicara sejak tadi. Mukanya pucat sekali dan napasnya tinggal satu-satu.

Sutejo memandang dengan gelisah. "Sudahlah, Bapa, harap jangan memaksa diri banyak bicara," katanya, walau pun sesungguhnya dia ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh gurunya itu.

Tapi Bhagawan Sidik Paningal menggelengkan kepala, menggigit bibirnya dan memaksa dirinya bicara. "...kau... carilah Ken Lasmi... dia tahu... siapa... orang tuamu..., Sutejo..., sesudah aku mati... kuburkanlah... aku sudah mantap... masuk agama... baru... Agama Islam...!"

Kakek itu memejamkan kedua matanya, mulutnya tersenyum dan napasnya tinggal satu-satu. Sutejo mendekatkan mulutnya di telinga gurunya dan berbisik dengan hati terharu. "Bapa, sebutlah Nama Hyang Widhi...!"

"Allah Hu Akbar... Allah Hu Akbar...Laillah Hailallah...!" Sang Bhagawan Sidik Paningal menghembuskan napas terakhir dengan nama Tuhan di bibirnya!

Dengan khidmat Sutejo menggunakan jari tangannya untuk merapatkan mata serta bibir gurunya. Barulah dia melepas perasaan hatinya dengan menangis mengguguk di samping jenazah gurunya. Guru ini baginya juga merupakan pengganti orang tuanya, sahabatnya dan pembimbingnya. Kurang lebih dua puluh tahun dia tidak pernah terpisah dari gurunya dan sekarang dia ditinggal mati!

Setelah puas menangisi kematian gurunya, Sutejo lalu duduk termenung. Masih terngiang pesan terakhir gurunya agar dia memenuhi kewajiban-kewajibannya. Hidup memang tidak ada artinya tanpa adanya kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban sebagai seorang murid yang menaati pesan terakhir gurunya.

Dia harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dan mengembalikan kepada eyang gurunya sungguh pun eyang gurunya pernah menyatakan bahwa pecut sakti itu diberikan kepadanya untuk dipakai membela Mataram.

Kewajiban sebagai seorang anak membuat dia harus mencari keterangan tentang orang tuanya. Dia harus mencari wanita yang bernama Ken Lasmi, yang menurut gurunya dulu menculik dia dari orang tuanya. Hanya Ken Lasmi seorang yang akan bisa memberi-tahu kepadanya siapa adanya ayah bundanya! Dia akan mencari tokoh sakti itu sampai dapat ditemukan!

Sesudah dia memenuhi dua kewajibannya ini dengan tuntas, barulah dia akan memenuhi kewajiban sebagai seorang Kawulo Mataram, yaitu menghambakan diri kepada Kanjeng Sultan Agung, untuk membela Nusa dan Bangsa.

Dahulu gurunya pernah memberi wejangan bahwa dia harus menjadi seorang manusia utama yang seutuhnya, yang memenuhi semua kewajibannya sebagai manusia. Apakah artinya menjadi sorang satria yang baik kalau dia tidak menjadi seorang anak yang baik? Apa artinya menjadi anak yang baik kalau dia tidak menjadi seorang kawulo yang baik? Kebaikan harus meliputi seluruh kehidupan, bukan hanya sebagian saja. Kebaikan harus berada pada sumbernya, seperti matahari yang cahayanya menyinari semua perbuatan dalam kehidupannya.

Setelah hatinya mulai tenang, Sutejo lalu mengubur jenazah gurunya di belakang pondok, di bukit kecil. Setelah itu dia pun berkemas, dibawanya pakaiannya yang tidak banyak dan sederhana, kemudian dia meninggalkan pondok, mulai dengan perantauannya.

Sutejo tidak tahu harus mencari Ken Lasmi ke mana, akan tetapi dia tahu ke mana harus mencari Pecut Sakti Bajrakirana, yaitu ke Kadipaten Wirosobo. Dia harus sangat hati-hati sebab di Wirosobo terdapat banyak orang pandai yang pasti akan menyambutnya sebagai musuh.....

********************

Bukit itu disebut Bukit Ular, bukan karena bentuknya seperti ular, tetapi karena di bukit itu terkenal banyak ularnya. Ular yang besar seperti pohon kelapa sampai yang kecil sebesar kelingking. Akan tetapi yang kecil itu bahkan lebih berbahaya dari pada yang besar karena ular-ular besar sebangsa Ular Sawah Kembang Itu tidak akan menyerang orang bila tidak sedang kelaparan, hanya berdiam di goa-goa atau melibatkan dirinya di batang pohon.

Sebaliknya ular sebesar kelingking seperti Ular Welang dan sebangsanya itu mudah sekali menggigit kaki orang yang tanpa sengaja menginjaknya dan gigitannya merupakan taring maut. Sekali gigit dapat membuat nyawa manusia melayang!

Karena terkenal dengan ular-ularnya, tidak sembarang orang berani menjelajah bukit ini. Bahkan para pawang ular, kalau hendak mencari ular hanya berani mencari di tepi-tepi hutan yang berada di bukit itu, tidak berani mendaki bukit.

Apa lagi di puncak bukit kecil itu terdapat sebuah goa yang keramat dan menyeramkan. Betapa berbahayanya goa itu bisa terlihat dari adanya beberapa kerangka dan tengkorak manusia yang berserakan di luar dan di dalam goa. Karena banyaknya tengkorak di sana, maka goa itu disebut orang Goa Tengkorak. Goa ini merupakan satu di antara beberapa sebab mengapa orang tidak berani memasuki daerah bukit ini.

Apa lagi pada waktu malam, keadaan di bukit itu sungguh menyeramkan. Karena jarang didatangi manusia, tempat itu menjadi sarang berbagai macam burung malam yang suka berbunyi di waktu malam, memperdengarkan suara mereka yang aneh-aneh dan sangat menyeramkan. Di waktu siang hari sekali pun, keadaan di dalam hutan di bukit itu sudah sangat menyeramkan. Pohon-pohonnya lebat dan besar-besar, dikelilingi semak belukar dan mengandung duri, di mana bersembunyi ular-ular kecil yang berbahaya.

Akan tetapi, sungguh akan membuat orang terheran-heran kalau kebetulan melihatnya. Pada siang hari itu tampak seorang gadis memasuki daerah itu dengan langkah-langkah yang tenang namun gesit.

Ia adalah seorang dara jelita berusia delapan belas tahun, pakaiannya ringkas dan cukup mewah, memakai perhiasan terbuat dari emas permata. Wajahnya cantik jelita, terutama sekali mata dan mulutnya yang berbentuk menggairahkan.

Di balik kecantikan dan kelembutan pada diri gadis itu terdapat sesuatu yang membuat orang menaruh hormat, yakni sikapnya yang demikian tenang. Sinar matanya yang tajam dan gerak geriknya menunjukkan bahwa dia bukan seorang gadis sembarangan. Apa lagi sebatang pedang yang tergantung di punggungnya jelas menandakan bahwa dia seorang gadis yang memiliki ilmu kanuragan sehingga tidak boleh dipandang ringan atau dijadikan permainan! Gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo!

Seperti sudah kita ketahui, Retno Susilo meninggalkan Hutan Kebon Jambe yang menjadi perkampungan Sardulo Cemeng di mana ayahnya menjadi ketua. Keluarganya tak dapat menahannya ketika dia menyatakan hendak pergi mencari gurunya untuk memperdalam Ilmu kanuragan yang sudah dikuasainya. Tujuannya hanya satu, ialah memperdalam ilmu kanuragan, agar kelak dia dapat mengalahkan Sutejo!

Ia mendaki Bukit ular karena maklum bahwa tempat angker ini merupakan satu di antara tempat-tempat yang kadang kala dijadikan tempat tinggal Nyi Rukmo Petak, gurunya itu. Pernah satu kali dia diajak oleh gurunya tinggal di tempat ini selama sebulan. Karena itu tanpa ragu ia memasuki hutan dan mendaki Bukit Ular dengan hati-hati karena ia maklum bahwa tempat ini amat berbahaya dengan ular-ularnya.

Ia maklum bahwa yang berbahaya adalah ular-ular kecil yang suka bersembunyi di balik daun-daun kering yang berserakan di atas tanah. Sekali saja ia salah injak dan menginjak tubuh seekor ular welang, ia akan terancam bahaya maut!

Dengan penuh kewaspadaan dan hati-hati sekali, mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali, setapak demi setapak Retno Susilo maju memasuki hutan menuju ke Goa Tengkorak yang berada di tengah hutan.

Setibanya di goa besar, di depan mana masih berserakan tulang-tulang dan tengkorak manusia, Retno Susilo berhenti dan memandang ke arah goa. Goa itu tampak kosong. Akan tetapi dia tidak putus asa karena dia tahu bahwa di dalam goa terdapat beberapa ruangan yang tidak terlihat dari luar. Mungkin gurunya berada di dalam ruangan itu. Retno Susilo lalu berseru dengan suaranya yang merdu dan nyaring.

"Nyi Dewi...! Apakah engkau berada di dalam goa? Ini muridmu Retno Susilo yang datang menghadap!"

Gurunya itu bernama Nyi Rukmo Petak, namun semenjak dahulu minta disebut Nyi Dewi olehnya dan hubungan mereka tidak seperti guru dan murid, melainkan lebih merupakan sahabat! Karena itu Retno Susilo sudah terbiasa tidak memakai terlalu banyak tata-krama kalau bicara dengannya.

Setelah mengeluarkan seruan itu, Retno Susilo menanti sebentar. Tidak lama kemudian terdengar suara tawa terkekeh dari dalam goa dan terdengar suara lembut namun tajam dan berwibawa.

"Hi-hi-hik, Retno, jauh-jauh engkau datang mencariku, tentu ada maumu! Masuklah saja, aku sedang membuat ramuan dan engkau dapat membantuku!"

Girang sekali hati Retno Susilo mendengar jawaban ini. Seperti diduganya, gurunya benar berada di tempat itu. Tidak sia-sialah perjalanan jauhnya menuju ke Bukit Ular. Ia segera melangkah maju, tetap dengan hati-hati karena goa itu pun merupakan tempat yang amat berbahaya.

Dimasukinya goa itu dan ternyata di sebelah dalamnya cukup terang karena mendapat cahaya dari atas yang terbuka dengan adanya lubang besar. Dia melihat gurunya sedang duduk bersila menghadapi sebuah keranjang besar dan di dekatnya ada sebuah periuk tanah yang bermulut lebar.

Dengan tangan kirinya nenek itu membuka tutup keranjang, kemudian cepat sekali tangan kanannya menyambar ke dalam keranjang. Ketika tangan itu keluar, dia sudah menjepit leher seekor ular welang sebesar ibu jari kaki. Ular itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangan nenek itu, akan tetapi tidak dapat melepaskan diri dari jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kanan nenek itu yang demikian kuatnya sehingga mau tidak mau ular itu membuka mulutnya lebar-lebar.

Tampak dua pasang gigi taringnya yang runcing melengkung dan putih kebiruan. Dengan tangan kirinya nenek itu mengambil sebatang pisau kecil, lalu menekan dan menggurat-guratkan pisau itu pada dua pasang taring ular. Ular itu kesakitan dan dari kedua pasang taringnya itu menetes cairan berwarna putih kebiruan, menetes-netes dan ditampung oleh Nyi Rukmo Petak ke dalam periuk tanah yang telah dipersiapkan di situ.

Retno Susilo memandang gurunya dengan penuh perhatian dan mengertilah dia bahwa gurunya sedang memaksa ular itu supaya mengeluarkan racunnya yang amat berbahaya. Agaknya gurunya sedang mengumpulkan racun ular-ular yang paling berbahaya.

Dia memandang wajah gurunya penuh perhatian. Wajah yang terlalu muda bagi seorang nenek yang sesungguhnya sudah berusia enam puluh lima tahun. Tampaknya wajah itu seperti baru berusia tiga puluh tahunan saja. Akan tetapi yang sangat menyolok adalah warna rambutnya. Rambut yang panjangnya sampai ke punggung itu putih semua, halus seperti benang-benang sutera perak. Tubuhnya pun masih ramping padat, kulitnya masih halus belum dipenuhi keriput.

"Nyi Dewi, untuk apa engkau menampung racun ular itu?" Retno Susilo bertanya sambil berjalan menghampiri gurunya.

"Jangan bertanya sekarang, nanti kuceritakan. Sekarang lebih baik engkau membantu aku. Atau, engkau sudah lupa lagi bagaimana untuk menangkap ular dan engkau takut?"

"Takut?" tanya Retno Susilo penasaran sambil berjongkok dekat gurunya. "Sudah lama engkau mengusir rasa takut dari hatiku."

"Kalau begitu bantulah. Gunakan pisau itu untuk menekan taringnya agar ia mengeluarkan liurnya yang beracun," katanya sambil menunjukkan dengan dagunya ke arah pisau kecil yang berada tidak jauh dari situ.

Retno Susilo lalu duduk bersila di dekat keranjang. Seperti yang dilakukan gurunya tadi, dengan tangan kiri dibukanya keranjang itu sedikit. Ternyata di dalamnya penuh dengan ular-ular yang berbisa, ada ular welang, ular sendok, ular hijau, ular keling dan bermacam ular berbisa lainnya. Tangan kanan Retno Susilo cepat menyambar ke dalam keranjang dan tahu-tahu ia telah menjepit leher seekor ular sendok yang besarnya sepergelangan tangannya.

Ular itu membelit-belit tangannya, akan tetapi gadis itu mengerahkan tenaga menjepit leher dekat kepala sehingga ular itu terpaksa membuka mulutnya terpentang lebar dan tampaklah dua pasang taringnya yang mengerikan. Seperti yang dilakukan oleh gurunya tadi, Retno Susilo menekan-nekan dan menggurat-gurat pada taring ular itu sehingga dari taring itu keluar liur berbisa yang ditampungnya dengan periuk tanah tadi.

Setelah bisanya habis, seperti yang dilakukan oleh gurunya, ia melemparkan tubuh ular itu keluar dari goa. Ular yang sudah kehabisan bisa itu merayap perlahan meninggalkan goa itu dengan lemas.

Guru dan murid bekerja tanpa bicara dan akhirnya semua ular di dalam keranjang sudah dikuras bisanya. Periuk itu menampung bisa banyak ular, tampak cairan keruh kebiruan yang agak berbusa di dalam periuk.

Setelah ularnya habis Retno Susilo lalu bertanya kepada gurunya. "Nah, sekarang engkau harus menceritakan, untuk apa engkau menampung semua bisa yang berbahaya ini, Nyi Dewi."

"Heh-heh-heh, aku sedang merangkai untuk menciptakan sebuah aji baru yang ampuh, Retno. Aji pukulan itu kuberi nama Aji Wiso Sarpo dan untuk melatihnya kubutuhkan semua bisa ini. Aji pukulan ini akan ampuh sekali, Retno. Terkena pukulan ini sama dengan terkena gigitan beberapa ekor ular berbisa yang membuat seluruh tubuh melepuh dan mendatangkan kematian yang mengerikan."

Retno Susilo terbelalak, ngeri juga membayangkan aji yang sangat menyeramkan itu. Dia memang ingin sekali memperdalam ilmunya, akan tetapi kalau dia mempergunakan aji itu kemudian tubuh Sutejo melepuh semua dan terancam maut, alangkah mengerikan dan ia tidak akan tega melakukan hal itu terhadap pria yang amat dicintainya itu.

"Wah, hebat sekali. Jadi, siapa saja yang terpukul dengan Aji Wiso Sarpo ini tidak akan dapat ditolong lagi, Nyi Dewi?"

"Hi-hi-hik, tentu saja kalau menciptakan sebuah aji, tentu juga mengadakan penawarnya yang disebut Wisopoho. Siapa yang menguasai Aji Wiso Sarpo, tubuhnya akan kebal terhadap segala macam racun, juga hanya ia yang akan mampu mengobati orang yang terkena pukulan dengan aji itu."

"Bagus sekali. Aku ingin mempelajari ilmu itu, Nyi Dewi!" kata Retno Susilo gembira.

"Hah! Untuk apa engkau hendak mempelajarinya? Tidak cukupkah aku melatihmu selama itu?"

"Sama sekali tidak cukup, Nyi Dewi. Justru kedatanganku berkunjung ini adalah untuk minta tambahan ilmu kanuragan karena aku telah dihina dan dikalahkan orang. Nyi Dewi harus mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadaku agar supaya aku bisa membalas kekalahan itu. Kebetulan sekali kalau engkau menciptakan ilmu baru ini, aku ingin sekali mempelajarinya."

"Siapa dia yang telah mengalahkanmu?" tanya Nyi Rukmo Petak (Wanita Rambut Putih) dengan penasaran.

"Namanya Sutejo. Tapi sudahlah, engkau tidak akan mengenalnya. Dia adalah urusanku sendiri. Engkau hanya perlu menggembleng aku lebih lanjut agar aku dapat mengalahkan dia."

"Baiklah. Kebetulan sekali jika begitu. Aku jadi mempunyai teman untuk berlatih Aji Wiso Sarpo ini dan aku akan mengajarkan pula aji pamungkas lainnya supaya engkau dapat membalas kekalahanmu."

"Berapa lama aku harus membuang waktu untuk mempelajari Aji Wiso Sarpo berikut aji pamungkas lainnya, Nyi Dewi? Kuharap jangan terlalu lama. Aku tidak akan betah tinggal terlalu lama di tempat menyeramkan ini!"

"Engkau pernah bertahun-tahun belajar dariku. Bakatmu cukup baik, dasarmu juga sudah cukup kuat, maka da|am waktu seratus hari saja engkau akan dapat menguasai Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lain yang disebut Aji Gelap Sewu."

"Bagus, terima kasih Nyi Dewi. Aku akan belajar dan berlatih dengan tekun!" kata Retno Susilo dan suaranya mengandung sorak kemenangan seolah-olah ia sudah merasa yakin bahwa setelah menguasai dua macam ilmu itu ia akan mampu mengalahkan Sutejo.....!

********************

Pagi hari itu Resi Limut Manik tampak lesu dan tidak bersemangat. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh empat tahun ini tampak lebih tua dari pada biasanya. Rambut, alis dan kumis jenggotnya yang panjang, ditimpali pakaiannya yang serba putih, membuat dia tampak seperti bukan seorang manusia biasa.

Kini dia duduk bersila di atas dipan bambu, dihadap dua orang cantriknya, Penggik yang berusia enam belas tahun dan Pungguk yang berusia delapan belas tahun. Dua orang cantrik yang masih muda remaja ini tampak sehat dan wajah mereka cerah gembira, berbeda dengan wajah sang resi.

"Pungguk dan Penggik, kalian majulah dan duduklah dekat denganku," kata Sang Resi Limut Manik dengan suaranya yang khas, lembut dan halus.

Melihat sikap sang Resi yang tidak seperti biasanya, dua orang cantrik itu merangkak dan duduk bersila di atas lantai dekat dipan bambu.

"Eyang Resi, tidak seperti biasanya paduka tampak lesu dan tidak bergembira, membuat kami berdua ikut merasa prihatin," kata Pungguk.

"Eyang Resi, apa gerangan yang mengganggu hati paduka? Kami ingin sekali menghibur paduka," kata pula Penggik.

Kedua orang cantrik ini adalah kakak beradik yang sudah tidak memiliki ayah bunda lagi, tidak memiliki sanak keluarga dan sejak kecil mereka dipelihara oleh Resi Limut Manik, maka tidak mengherankan kalau mereka sangat mencinta kakek itu. Hati mereka terikat kuat kepada junjungan mereka.

Mendengar ucapan dua orang cantriknya, Resi Limut Manik menghela napas panjang dan berkata, "Yang menjadi pengganggu pikiranku adalah kalian berdua. Apa bila aku sudah tidak ada, bagaimana dengan kalian berdua? Siapakah yang akan kalian ngengeri? Itulah pertanyaan yang mengganggu hatiku sehingga hari ini aku tidak merasa bergembira."

"Wah, Eyang Resi. Eyang hendak pergi ke manakah? Eyang, kalau eyang pergi, kami berdua mohon diperkenankan untuk ikut. Kami tidak dapat berpisah dari Eyang. Paduka merupakan pelita hidup kami, tanpa adanya paduka, kami seperti kehilangan pelita dan hidup dalam kegelapan." kata Pungguk.

"Benar, Eyang Resi. Mati hidup kami berdua akan ikut paduka!" kata Penggik.

"Mati hidup hendak ikut aku?" Resi Limut Manik berucap dengan suara terharu. "Jagad Dewa Bathara...! Kehendak Sang Hyang Widhi tidak mungkin diubah oleh apa pun atau siapa pun!"

"Eyang Resi, mohon jangan tinggalkan kami berdua!" Pungguk berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

"Mohon perkenan paduka agar kami dapat mengikuti paduka ke mana pun paduka pergi, Eyang Resi," kata pula Penggik.

Resi Limut Manik mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk dan tersenyum. "Baiklah, Pungguk dan Penggik. Kalian boleh ikut bersamaku ke mana pun aku pergi. Sekarang keluarlah, aku hendak bersemedhi dan ingat, siapa pun juga tidak boleh mengganggu semedhiku dan kalian harus menjaga dan mempertahankan larangan ini."

"Sendhiko Eyang. Mari, Penggik, kita berjaga di luar." kata Pungguk dengan sikap gagah dan setelah menyembah dengan hormat, dua orang bersaudara itu lalu keluar dari dalam pondok dengan wajah berseri karena sudah diperkenankan ikut ke mana pun sang resi pergi.

Setelah kedua orang cantrik itu keluar, Resi Limut Manik lalu mengangkat kedua tangan menengadah ke atas.

"Hamba menyerah atas semua kehendak Paduka. Segala kehendak Paduka jadilah!" Dan dia lalu duduk diam dan tenggelam dalam semedhi.

Matahari mulai naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan empat orang penunggang kuda mendaki puncak Semeru di mana Resi Limut Manik mendirikan padepokannya. Pungguk dan Penggik memandang mereka dengan heran. Jarang ada tamu yang datang berkunjung, apa lagi empat orang berkuda yang kesemuanya mengenakan pakaian serba indah itu.

Akan tetapi setelah mereka datang lebih dekat. Pungguk dan Penggik segera mengenal seorang di antara mereka. Dua orang cantrik itu mengerutkan alisnya ketika mengenal Bhagawan Jaladara. Tentu saja mereka tahu bahwa murid ke tiga dari Resi Limut Manik ini pernah datang berkunjung, bermalam di situ dan pergi sambil mencuri pecut pusaka Bajrakirana! Sekarang dia muncul kembali bersama tiga orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan! Tiga orang itu bukan lain adalah Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan Tumenggung Janurmendo!

Ketika mereka tiba di depan pondok, empat orang itu lalu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka dan Bhagawan Jaladara memandang kepada dua orang cantrik itu.

"Heh, Pungguk dan Penggik! Di mana Bapa Resi?" tanyanya dengan kasar.

Pungguk menjawab. "Eyang Resi sedang bersemedhi di dalam pondok."

"Cepat beri-tahukan kepada Bapa Resi bahwa kami datang untuk bertemu dan berbicara dengannya!" perintah Bhagawan Jaladara.

Dua orang cantrik itu saling pandang dan Pungguk lalu menjawab dengan suara tegas. "Sekarang Eyang Resi sedang bersemedhi dan tadi sudah memerintahkan kepada kami berdua agar tidak membiarkan siapa pun juga mengganggu semedhinya."

Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya dan membentak. "Bedebah! Tidakkah kau lihat siapa aku? Katakan aku Bhagawan Jaladara yang datang dan dia harus keluar sekarang juga untuk bicara! Lihat, apa yang kubawa ini? Kalian harus mentaati perintahku!" Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengangkat tinggi-tinggi Pecut Sakti Bajrakirana di tangan kanannya.

"Maaf, Paman Bhagawan Jaladara. Kami tetap tak dapat memenuhi permintaanmu untuk mengganggu Eyang Resi," kata Pungguk.

"Jahanam! Kalau begitu minggirlah, kami akan masuk pondok dan menemui sendiri Bapa Resi!" Sesudah berkata demikian Bhagawan Jaladara melecut dengan cambuknya.

Pecut Bajrakirana meledak di udara.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)