PECUT SAKTI BAJRAKIRANA : JILID-41
Ki Klabangkolo tidak mau kalah. Dia pun segera melangkah maju dan menantang sambil memandang ke arah rombongan Puteri Wandansari. “Dan siapakah di antara kalian yang berani menandingiku?” teriaknya dengan suara parau.
Sungguh pun dia tidak memegang senjata apa pun karena datuk ini memang tidak pernah menggunakan senjata, tapi dia terlihat menakutkan. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya yang brewok itu mirip muka singa.
Retno Susilo yang tahu akan kedigdayaan kakek ini hendak maju, akan tetapi ia didahului ayah Sutejo. Ki Harjodento yang lebih dulu maju menghadapi Ki Klabangkolo.
“Akulah yang akan menandingimu!” katanya dengan tegas.
“Hua-ha-ha, manusia lancang dan bosan hidup. Siapakah engkau yang berani melawan Ki Klabangkolo sang bahurekso Pegunungan Ijon?” bentak Ki Klabangkolo sambil tertawa mengejek.
“Ki Klabangkolo, perkenalkanlah lawanmu ini. Aku bersama Harjodento, ketua perguruan Nogo Dento dan aku tidak akan mundur selangkah pun untuk melawanmu!”
Diam-diam Ki Klabangkolo terkejut. Tentu saja dia pernah mendengar nama besar ketua Nogo Dento ini.
Bhagawan Jaladara juga maju dan menantang. “Siapa berani melawan aku?”
Terdengar jawabnya nyaring. “Akulah lawanmu, manusia iblis. Aku akan membalaskan kematian orang-orang tak berdosa yang telah menjadi korban kejahatanmu!”
Yang berseru ini bukan lain adalah Retno Susilo yang sudah mencabut pedang pusaka Nogo Wilis karena kakek itu juga sudah memegang tongkat hitamnya.
Sekarsih yang melangkah maju segera dihadapi oleh Padmosari, isteri Ki Harjodento yang masih tampak cantik itu. Ibu kandung Sutejo ini adalah seorang wanita yang mempunyai kesaktian yang cukup tinggi, dan suaminya yang cukup mengenal kedigdayaan isterinya, tidak merasa khawatir ketika Padmosari menyambut tantangan Sekarsih.
Pada saat Tumenggung Janurmendo maju, dia segera disambut oleh Cangak Awu yang dibantu oleh Pusposari yang mendampingi tunangannya itu. Sedangkan Maheso Kroda sudah dihadapi oleh ayah dan paman Retno Susilo, yaitu Mundingsosro dan Mundingloyo, dua orang pimpinan perkumpulan Sardulo Cemeng.
Biar pun tidak ada yang memberi komando, kedua pihak sudah mulai bergerak dan saling terjang sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian.
Seorang perwira pembantu Puteri Wandansari sudah memanggil pasukan yang tadinya mengepung perkampungan itu dan kini mereka berkumpul di depan pintu gerbang. Akan tetapi perwira itu tidak memberi aba-aba untuk menyerang karena pihak anak buah lawan juga belum bergerak dan dia masih menanti komando dari Puteri Wandansari yang telah mulai bertanding dengan lawannya.
Perwira itu bersama pasukannya hanya menonton dengan penuh kewaspadaan. Mereka pun tahu bahwa para pimpinan mereka sedang bertanding melawan pimpinan lawan yang tangguh. Mereka hanya mengharapkan agar para pimpinan mereka akan keluar sebagai pemenang karena kemenangan pimpinan tentu akan memperbesar semangat bertempur mereka untuk menggempur musuh.
Pertempuran itu benar-benar dahsyat. Terutama sekali pertandingan yang terjadi antara Sutejo melawan Priyadi. Priyadi memegang kerisnya yang mengeluarkan sinar berkilat, yaitu keris pusaka Ilat Nogo yang berhawa panas. Ada pun Sutejo yang telah tahu betapa saktinya orang yang dilawannya, juga sudah melolos Pecut Bajrakirana dan memegang gagang pecut itu dengan tangan kanannya, siap menghadapi terjangan lawan.
Sejenak mereka memasang kuda-kuda tanpa bergerak, hanya mata mereka saja saling tatap dengan tajam, laksana dua ekor ayam jantan hendak berlaga mengukur kekuatan lawan melalui tatapan mata.
Diam-diam Priyadi mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo untuk membuat lawan lemah dan mengantuk agar mudah dia serang dan robohkan. Sutejo dapat merasakan ini karena tiba-tiba saja sepasang matanya merasa pedas dan mengantuk. Hampir saja ia menguap, akan tetapi karena menyadari bahwa ini merupakan pengaruh ilmu lawan, maka cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawannya. Kesadarannya kembali sepenuhnya dan rasa lelah serta mengantuk itu pun lenyap.
Maklum bahwa lawannya tidak mempan diserang dengan Aji Penyirepan Begonondo, Priyadi menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan keadaan sekelilingnya, membuat semua orang terkejut. Terutama sekali Sutejo yang diserang langsung dengan Aji Jerit Nogo ini merasa seperti ada halilintar menyambarnya! Akan tetapi pemuda ini segera mengerahkan tenaga sakti untuk menolak dan dia pun tidak terguncang oleh serangan melalui pekik melengking Itu.
Melihat ini Priyadi lalu menerjang dengan kerisnya. Keris Ilat Nogo yang berhawa panas itu menyambar dengan tusukan kilat ke arah dada Sutejo. Serangan itu amat dahsyatnya dan seandainya mengenai dada Sutejo, kiranya aji kekebalan yang dikuasai Sutejo tidak akan kuat menahannya. Namun, dengan gerakan yang indah dan cepat sekali Sutejo telah menghindarkan diri dengan lompatan ke belakang, kemudian dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya.
“Tarr-tarrr...! Syuuuuuttt...!” Ujung pecut menyambar ke arah kepala Priyadi.
Priyadi juga maklum akan ampuhnya pecut pusaka yang menjadi benda keramat bagi Jatikusumo itu, maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan kekebalannya. Dia mengelak dengan merendahkan diri lalu menubruk lagi ke depan, kerisnya menusuk ke arah leher lawan! Sutejo menyambut serangan itu dengan membalikkan pecutnya sehingga ujung pecut menangkis keris.
“Crinnggg...!”
Tampak bunga api berpijar ketika keris bertemu ujung perut dan keduanya tergetar ke belakang.
Mereka lalu saling menyerang dengan dahsyatnya. Ujung pecut menyambar-nyambar dengan lecutan maut, dibalas tusukan-tusukan keris yang kalau mengenai sasaran tentu akan merenggut nyawa. Bahkan kadang-kadang tangan kiri mereka melakukan serangan pula dan serangan tangan kiri sebagai selingan ini tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata mereka karena Priyadi menggunakan tangan kirinya untuk memukul dengan Aji Pamungkas Margopati ada pun Sutejo juga menggunakan Aji Pamungkas Bromokendali.
Pertandingan antara Wandansari melawan Resi Wisangkolo juga hebat sekali. Ketika mereka mulai bertanding, Resi Wisangkolo memandang rendah lawannya. Hanya seorang dara jelita yang masih amat muda! Bagaimana akan mampu menandinginya? Sang resi yang tidak mudah lagi terpikat wajah cantik, tidak seperti watak Ki Klabangkolo yang masih mata keranjang, sekali ini terpesona oleh kecantikan Puteri Wandansari dan timbul niat buruknya untuk mempermainkan dara bangsawan itu. Dia menggerakkan tongkat ular hitamnya dengan cepat dan kuatnya. Serangan pertama dia tujukan ke arah dada sang puteri, dengan maksud untuk mencolok dada mempergunakan tongkatnya secara kurang ajar sekali, sambil terkekeh.
“Singggg...! Trangggg ...!”
Bunga api berpijar-pijar dan kakek itu terkejut bukan main karena tangkisan pedang pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental keras dan telapak tangannya tergetar hebat! Sungguh bukan tenaga sembarangan yang mampu menggerakkan pedang sekuat itu! Senyumnya mulai berubah masam, akan tetapi tetap saja dia masih memandang ringan. Lengan kirinya yang panjang itu terjulur ke depan, cepat sekali menuju ke pundak Puteri Wandansari untuk menotok jalan darah.
“Haiiiittt...!” Sang puteri membentak nyaring diikuti gerakan pedangnya yang mendesing.
Dengan amat kaget Resi Wisangkolo terpaksa harus menarik kembali tangannya jika tidak ingin pergelangan tangannya terbacok pedang! Bukan main aneh dan cepatnya gerakan pedang di tangan puteri itu! Kini mulai lenyaplah keheranannya tadi mengapa seorang puteri muda berani menentangnya. Kiranya puteri dari Sultan Agung ini memang sakti mandraguna. Teringatlah Resi Wisangkolo akan kesaktian Sultan Agung, maka dia pun tidak berani lagi memandang rendah .
“Bagus! Engkau ingin melihat kesaktian Resi Wisangkolo?” teriaknya dan kini tongkat ular hitamnya bergerak cepat sekali, berubah menjadi segulungan sinar hitam yang datang bergelombang menerjang ke arah Puteri Wandansari.
Tetapi tidak percuma puteri itu menjadi puteri Sultan Agung, apa lagi ia telah menerima gemblengan khusus dari Resi Limut manik. Ia pun segera mainkan ilmu pedang Kartika Sakti dan pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang berkeredepan hingga menyilaukan mata.
Pedang itu merupakan pusaka yang dikeramatkan oleh perguruan Jatikusumo, sebatang pedang langka yang kabarnya terbuat dari logam yang berasal dari bintang jatuh. Kuatnya melebihi baja dan ampuh bukan main! Apa lagi dimainkan dengan ilmu pedang Kartika Sakti yang memang khusus dirangkai untuk pedang pusaka itu. Kini tubuh sang puteri seperti dilindungi oleh gulungan sinar yang teramat kuat.
Ke arah mana pun tongkat ular hitam menyambar, selalu membalik dan terpental ketika bertemu dengan gulungan sinar itu. Bukan dalam pertahanan saja ilmu pedang Kartika Sakti itu sangat kuat, melainkan juga dalam penyerangan. Sambil bertahan dengan kokoh kuat, kadang dari gulungan sinar putih berkeredepan itu mencuat sinar kilat, yaitu ketika pedang itu membuat gerakan membalas dengan serangan yang sangat cepat dan kuat. Dan setiap kali pedang itu menyerang, baik menusuk atau pun membacok, selalu yang dituju adalah bagian-bagian yang lemah dan berbahaya dari tubuh lawan!
Beberapa kali Resi Wisangkolo mengeluarkan seruan kaget dan heran. Makin lama makin lenyaplah sikapnya yang sombong memandang rendah tadi. Kini dia mulai mengerahkan semua tenaga dan ilmunya untuk menandingi puteri itu. Bahkan dia venyelingi serangan tongkatnya dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dengan pengerahan Aji Guntur Bumi, bahkan juga mengeluarkan Aji Pamungkasnya Guntur Geni.
Namun aji-aji pukulan yang amat ampuh dan kuat itu tertahan oleh gulungan sinar putih pedang Kartika Sakti dan hanya dapat membuat sang puteri terpental mundur dua tiga langkah saja. Meski pun demikian, diam-diam Puteri Wandansari harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, memiliki kedigdayaan yang luar biasa.
Kalau saja dia tidak menguasai ilmu pedang Kartika Sakti dan tidak memegang pedang pusaka itu, tentu dia sudah kalah dan dapat dirobohkan lawan yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi untung sekali baginya, pedangnya sangat ampuh dan ilmu pedangnya juga merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang dapat membendung serangan lawan sehingga dia masih mampu bertahan dan bahkan balas menyerang. Walau pun dia lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun kiranya tidak akan mudah dan akan berlangsung lama sebelum kakek itu mampu mengalahkannya.
Perkelahian antara Ki Klabangkolo yang ditandingi Ki Harjodento juga berlangsung seru dan hebat sekali. Ki Klabangkolo yang tidak biasa. mempergunakan senjata itu sekali ini juga hanya mengandalkan kaki tangannya yang besar dan panjang. Akan tetapi karena kakek ini mempunyai sepasang lengan yang kebal, maka sepasang tangannya itu sudah merupakan senjata yang ampuh dan berbahaya sekali.
Dengan menggunakan Aji Singarodra gerakan dan ulahnya tiada bedanya seperti gerakan seekor singa yang mengamuk! Serangan-serangan berupa tubrukan dan cakaran kedua tangannya, kadang diseling tendangan kedua kakinya yang panjang, diperkuat dengan gerengan yang menggetarkan kalbu. Gerengan itu bukan sembarang teriakan, melainkan Aji Pekik Singanada yang mempunyai wibawa seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan lawan.
Tapi yang dilawan Ki Klabangkolo sekarang bukanlah orang sembarangan. Ki Harjodento adalah seorang pendekar yang sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, sudah banyak pengalamannya bertanding dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dengan pengalamannya yang banyak dan pengetahuannya yang luas, Ki Harjodento bisa menahan serangan Pekik Singanada dari lawannya itu. Getaran-getaran yang diakibatkan pekik itu dapat ditahannya dengan pengerahan tenaga saktinya. Dia mainkan tombaknya dengan gerakan yang mantap dan kuat sekali. Bukan hanya pertahanannya yang kokoh, melainkan serangan baliknya juga amat berbahaya.
Ketua perkumpulan Nogo Dento ini maklum bahwa lawannya memiliki aji kekebalan yang sangat kuat, maka ujung tombaknya selalu menyerang bagian-bagian yang lemah seperti mata, tenggorokan, bawah pusar sehingga serangan-serangannya cukup membuat Ki Klabangkolo kerepotan karena harus melindungi bagian-bagian lemah yang terancam itu dengan tangkisan tangan atau elakan. Serang menyerang terjadi antara dua orang jago tua ini dan sukar diramalkan siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang.
Memang tepat sekali pilihan lawan pihak Puteri Wandansari. Semua ini atas petunjuk Sutejo yang pernah menghadapi semua lawan itu. Sutejo dapat mempertimbangkan siapa di antara anggota rombongan Puteri Wandansari yang akan mampu menandingi anggota pihak lawan. Oleh karena itulah ketika tadi pihak lawan memunculkan jago-jagonya, pihak Puteri Wandansari sudah siap seseorang untuk menandinginya, seperti telah diatur dan ditentukan sebelumnya.
Mungkin pertandingan yang paling hebat dan sengit di antara mereka yang bertanding itu adalah pertandingan antara Bhagawan Jaladara yang melawan Retno Susilo. Mula-mula Bhagawan Jaladara memandang rendah lawannya. Tetapi setelah menerima gemblengan lagi dari gurunya. Nyi Rukmo Petak atau Ken Lasmi, tingkat kepandaian Retno Susilo telah meningkat dengan hebat. Bukan saja ia telah menguasai Aji Gelap Sewu, pukulan yang amat hebat, dan juga Aji Wiso Sarpo yang mengandung racun ular-ular berbisa yang amat berbahaya, ia juga mempunyai sebatang pedang pusaka, yaitu Pedang Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan.
Apa lagi Retno Susilo yang berwatak keras itu telah mendengar akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan Bhagawan Jaladara terhadap pria yang dikasihinya. Hal ini membuat dia merasa benci sekali dan dia berkelebat dengan ganas bukan main. Pedang Nogo Wilis di tangannya bergerak amat cepat sehingga tidak tampak bentuknya, berubah menjadi sinar kehijauan yarg bergulung-gulung.
Bhagawan Jalalara menjadi terkejut bukan main. Setelah dia mainkan tongkat hitamnya dan ke mana pun dia menyerang, selalu tongkat hitamnya terpental ketika bertemu sinar hijau, maka tahulah dia bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu adalah seorang yang memiliki kesaktian. Bahkan setiap kali tongkatnya bertemu dengan pedang hijau itu dengan keras sekali, dia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan tergetar.
Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini. Bahwa dia seorang datuk persilatan yang tangguh, tokoh ke tiga dari perguruan Jatikusumo, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda yang belum tentu ada dua puluh tahun usianya! Saking penasaran, beberapa kali ia menggunakan tangan kirinya untuk mengirim pukulan tenaga sakti dalam Aji Gelap Musti. Pukulannya itu hebat sekali, mendatangkan angin dahsyat menyambar ke arah Retno Susilo.
Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan berani menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Sewu yang tidak kalah dahsyatnya. Setiap kali dua tenaga sakti itu bertemu, Bhagawan Jaladara terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Dengan marah dan nekat Bhagawan Jaladara mengerahkan segenap tenaganya, mengeluarkan seluruh ilmunya untuk menyerang. Retno Susilo menyambut dengan semangat bernyala-nyala dan mereka pun saling serang dengan sengitnya.
Sekarsih yang cantik genit dan juga tangguh itu, sebagai murid tersayang Ki Klabangkolo, memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia bertemu tanding yang mampu mengimbanginya, yaitu Padmosari, isteri Ki Harjodento.
Sebagai isteri ketua Nogo Dento yang sakti Padmosari juga menguasai aji kanuragan yang tinggi. Ketika ia memainkan kerisnya, ia bagaikan sekor singa betina yang tangkas dan berbahaya. Sekarsih menggunakan pedangnya, namun semua serangan pedangnya dapat dihindarkan oleh Padmosari dengan elakan atau tangkisan kerisnya Dua orang wanita yang sama cantiknya ini bertanding mati-matian, saling serang dan saling desak dalam keadaan yang seimbang.
Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan hebat, mempergunakan keris pusakanya yang disebut Jalu Sarpo. Akan tetapi dia dikeroyok oleh Cangak Awu dan tunangannya, Pusposari. Cangak Awu adalah murid ke empat dari mendiang Bhagawan Sindusakti ketua Jatikusumo dan dia seorang pemuda gagah perkasa, tinggi besar yang memiliki tenaga raksasa sehingga permainan tongkatnya amat menggiriskan.
Ada pun Pusposari yang cantik manis adalah anak angkat dan murid dari Ki Harjodento. maka tentu saja sejak kecil ia sudah digembleng dengan aji kanuragan yang membuat ia kini menjadi seorang gadis yang tangguh. Biar pun Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan keris pusakanya, dan menyelingi serangan kerisnya dengan pukulan tenaga sakti Aji Wisang Geni, namun sepasang kekasih itu bekerja sama dengan rapi dari kanan kiri membuat senopati Wirosobo itu menjadi cukup repot.
Demikian pula dengan Maheso Kroda. Kepala perampok tinggi besar bermata lebar yang telah menjadi sekutu Priyadi ini mengamuk dengan senjatanya, yaitu sebatang keris yang besar. Tapi yang dihadapinya adalah kakak beradik yang menjadi pimpinan perkumpulan Sardula Cemeng, yaitu Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, ayah dan paman Retno Susilo. Biar pun tingkat kepandaian Maheso Kroda masih lebih tinggi dibandingkan lawan, akan tetapi karena kakak beradik itu maju bersama dan mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan kompak sekali, maka Maheso Kroda juga merasa kewalahan menghadapi terjangan mereka. Ki Mundingsosro bersenjata golok sedangkan adiknya, Ki Mundingloyo menggunakan sebatang tombak trisula.
Walau pun yang bertanding itu hanya tujuh pasang, namun pertempuran itu hebat sekali. Angin pukulan menyambar-nyambar membuat pohon-pohon bergoyang seperti diamuk angin badai dan debu mengepul tinggi. Suara senjata bertemu berdencingan dan tampak bunga api berpijar-pijar di sana sini. Semuanya ini diseling pekik-pekik yang mengandung hawa sakti sehingga membuat semua anak buah yang hanya menonton merasa tergetar dan tegang.
Kini Priyadi mulai terdesak hebat oleh Sutejo. Priyadi sudah mengerahkan seluruh tenega dan mengeluarkan seluruh ilmunya, akan tetapi semua ilmunya dapat dipunahkan oleh kehebatan Pecut Sakti Bajrakirana yang menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Beberapa kali hampir saja kepala Priyadi dapat dipatuk ujung pecut, membuat dia terkejut dan terhuyung ke belakang.
Priyadi juga melihat bahwa kawan-kawannya juga agaknya kerepotan menghadapi lawan masing-masing. Bahkan Resi Wisangkolo yang amat dia andalkan itu belum juga mampu mengalahkan Puteri Wandansari. Mulai patah semangat Priyadi. Tiba-tiba kembali pecut lawannya menyambar dan meledak di atas kepalanya.
“Tar-tarr-tattr...!”
Priyadi menjadi marah sekali. Pecut Bajrakirana itu benar-benar membuat dia kewalahan. Tiga kali dia menggerakkan keris pusaka Ilat Nogo untuk menangkis, kemudian secepat kilat tangan kirinya menghantam dengan pengerahan Aji Margopati. Melihat ini Sutejo cepat menyambut pukulan itu dengan Aji Bromokendali yang amat dahsyat.
“Blarrrr...!”
Begitu hebatnya pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, tubuh Priyadi terhuyung dan pada saat itu pula Pecut Bajrakirana telah menyambar lagi ke arah kepalanya. Priyadi cepat mengelak.
“Tarrrr...!”
Ujung pecut itu luput mengenai kepalanya, akan tetapi masih melecut punggungnya dan merobek bajunya, juga kulit punggungnya menjadi lecet berdarah. Priyadi terkejut sekali, cepat menjatuhkan tubuhnya ke samping lalu bergulingan menjauh. Ketika dia melompat bangun, dia berteriak kepada anak buahnya.
“Serbuuuuu...!”
Teriakan ini amat nyaring dan begitu besar pengaruhnya karena pada saat itu, seluruh anak buahnya yang terdiri dari dua ratus orang lebih langsung bersorak dan menyerbu keluar!
Perwira Mataram yang telah mendapat tugas dari Puteri Wandansari untuk memimpin pasukan, sudah dipesan oleh sang puteri bahwa pasukannya baru boleh bergerak kalau anak buah Jatikusumo mulai menyerang. Sekarang melihat anak buah Jatikusumo keluar sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata, dia pun segera memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyambut serbuan itu.
Terjadilah pertempuran hebat di pagi hari itu. Para anak buah pasukan mendapat lawan masing-masing dan tidak berani mencampuri para pimpinan yang sedang bertanding.
Sutejo kehilangan Priyadi yang sudah menghilang ke dalam perkampungan Jatikusumo. Dia merasa penasaran dan cepat melakukan pengejaran, menyelinap masuk ke dalam perkampungan yang sudah ditinggalkan oleh semua anak buah Jatikusumo yang kini telah bertempur di luar perkampungan.
Sutejo memasuki bangunan induk dan mencari Priyadi. Akan tetapi yang ada hanya dua orang gadis yang tampak ketakutan dan saling rangkul di ruang belakang. Tidak tampak seorang pun pelayan, agaknya mereka semua telah menyembunyikan diri. Ketika melihat Sutejo kedua orang gadis itu tampak semakin ketakutan.
“Katakan, di mana adanya si jahanam Priyadi?” tanya Sutejo kepada mereka.
Ketika melihat sikap Sutejo yang menyebut jahanam kepada Priyadi, dua orang gadis itu hilang rasa takutnya, Mereka adalah dua orang gadis dusun yang semalam dipaksa untuk melayani Priyadi sehingga mereka amat membenci laki-laki itu.
“Ke sana... dia lari ke sana...!” Gadis tertua menunjuk ke pintu yang menembus ke bagian belakang rumah itu. Melihat ini, Sutejo lalu melompat dan melakukan pengejaran.
Pada waktu Sutejo tiba di luar rumah bagian belakang, dia masih dapat melihat sesosok bayangan berlari cepat menuju ke kebun belakang, ke arah perbukitan yang berada di belakang kebun itu. Dia segera mengerahkan Aji Harina Legawa dan melompat dengan cepatnya, lalu berlari seperti terbang melakukan pengejaran.
Dia mendaki perbukitan di bagian belakang perkampungan Jatikusumo, akan tetapi sudah kehilangan jejak Priyadi. Melihat sebuah sumur tua, Sutejo menghampiri sumur itu. Dia berdiri di pinggir sumur yang letaknya agak meninggi, lalu memandang ke sekeliling. Tidak tampak bayangan Priyadi.
Kemudian dia mendapat sebuah pikiran. Jangan-jangan Priyadi bersembunyi di dalam sumur ini! Dia lalu menjenguk ke dalam sumur. Tidak tampak sesuatu, hanya hitam gelap. Kalau memang benar Priyadi bersembunyi di dalam sumur tua itu, berbahaya sekali untuk mengejarnya. Di dalam demikian gelap dan dia tidak tahu apa yang terdapat di dasar sumur.
Suara pertempuran masih terdengar dari situ. Ramai terdengar teriakan-teriakan mereka yang bertempur mati-matian, Dia teringat akan ayah ibu, Puteri Wandansari, Retno Susilo dan yang lain-lain. Mereka mungkin membutuhkan bantuannya. Lebih baik dia kembali ke sana.
Tiba-tiba saja, pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Hyaaaaattt!”
Pukulan itu datangnya dahsyat bukan main, disertai angin pukulan yang amat kuat. Itulah Aji Margopati yang dipergunakan oleh Priyadi yang memukul dari belakang. Kiranya tadi dia bersembunyi di balik batu besar di dekat sumur itu dan selagi Sutejo menjenguk ke dalam sumur dan membelakanginya, dia langsung memukul dengan Aji Margopati sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Sutejo tidak dapat mengelak sepenuhnya, maka dia hanya memutar tubuh mengangkat tangan untuk menangkis sambil mengerahan aji kekebalannya.
“Desss...!”
Karena kedudukannya yang tidak menguntungkan itu, karena sedang berjongkok di tepi sumur sambil membalikkan tubuh menangkis, pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebatnya membuat tubuh Sutejo terjungkal ke dalam sumur tua itu!
“Ha-ha-ha, mampus kau, Sutejo!” Priyadi tertawa-tawa sambil berjongkok dan menjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Priyadi ketika pada saat itu, tubuh Sutejo tiba-tiba melayang naik dari dalam sumur!
Kiranya ketika terjungkal tadi, tangan Sutejo meraih dan kebetulan sekali tangan kirinya dapat menangkap sebuah batu besar yang menonjol di dinding sumur. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan sekali mengenjot tubuhnya bertumpu pada batu itu, tubuhnya melayang naik ke atas, melewati tubuh Priyadi yang sedang berjongkok. Sesudah tiba di atas, karena tidak ingin didahului lawan yang pasti akan menyerangnya lagi, Sutejo cepat berjungkir balik seperti seekor burung srikatan dan pergelangan tangan kanannya lantas bergerak.
“Tar-tarrr...! Cuiiiittt...!”
Ujung pecut Bajrakirana menyambar ke arah mata dan ubun-ubun kepala Priyadi dengan kecepatan kilat.
Ternyata dalam keadaan melayang berjungkir balik dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Sutejo mampu melakukan serangan yang sangat hebat, Priyadi tidak sempat mengelak terhadap sambaran kedua yang mengarah ubun-ubun kepalanya. Maka dia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap ujung pecut yang menyambar ke arah ubun-ubunnya.
Akan tetapi pada saat itu pula secepat kilat Sutejo menyusulkan pukulan Bromokendali dari atas, Hebat bukan main pukulan jarak jauh ini, mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Priyadi masih berusaha untuk miringkan tubuh, namun pundaknya terdorong keras dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya terjengkang masuk ke dalam sumur tua!
Sutejo turun di tepi sumur, berdiri dan siap sedia untuk bertanding lagi kalau Priyadi dapat keluar dari sumur. Dia mendengar suara gedebukan di bawah sana, lalu terdengar suara tertawa yang membuat bulu tengkuknya meremang karena suara tawa itu menyeramkan sekali, bukan seperti tawa manusia melainkan suara iblis yang tertawa!
Kemudian terdengar jeritan melengking berkali-kali, jeritan mengandung rintihan kesakitan yang semakin lama semakin mengerikan seakan-akan orang yang berteriak itu menderita kesakitan yang amat hebat.
“Auuurrrggghhh... ah-ah-auurrhh...!”
“Hua-ha-ha-ha ha-ha!” Suara tawa iblis itu terdengar menyelingi pekik kesakitan. Pekik itu makin melemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Sunyi di bawah sana.....
Komentar
Posting Komentar