SERULING GADING : JILID-51


Kemudian, bagaikan diberi komando, ketiganya mendorongkan kedua telapak tangan ke depan sambil mulut mereka mengeluarkan seruan lantang.

“Aji Kukus Langking!”

“Aji Bayu Bajra!”

“Aji Anala Banu!”

Asap hitam itu menyambar, angin ribut bertiup, dan sinar api meluncur ke arah suami isteri itu.

Tetapi Sutejo dan isterinya telah bersiap siaga. Sambil mengerahkan tenaga sakti mereka, sepasang suami isteri itu menggerakkan senjata masing-masing, membentuk payung atau perisai untuk menyambut datangnya tiga serangan dari depan itu.

“Tar-tar-tarrr...!”

Pecut Bajrakirana meledak-ledak dan tampaklah gulungan sinar menyambut serangan tiga orang datuk.

“Wirrr...! Singggg...!”

Sinar hijau bergulung-gulung dan itulah gulungan sinar pedang Naga Wilis tiruan di tangan Retno Susilo.

Serangan ketiga orang itu tertolak ke belakang dan Ki Harya Baka Wulung menjadi marah sekali. Dia berseru nyaring sambil mencabut kerisnya yang besar panjang berluk sembilan yang mengeluarkan sinar hitam.

Wiku Menak Koncar juga menggunakan senjata penggada (ruyung), sedangkan Kyai Sidhi Kawasa mempergunakan tongkat ular kobra. Tiga orang datuk ini menerjang dengan buas, disambut oleh Sutejo dan Retno Susilo dengan trengginas sehingga terjadilah pertandingan tiga lawan dua yang seru.

Sementara itu, dari percakapan dengan para ksatria tadi Parmadi dapat menduga bahwa yang paling berbahaya di antara musuh-musuh itu adalah Satyabrata. Dan dia dapat pula menduga bahwa Satyabrata tentulah pemuda tampan bermata kebiruan dan berkulit putih yang berdiri di samping Nyi Maya Dewi. Karena itu dia pun segera melompat ke hadapan Satyabrata.

“Engkau tentu yang bernama Satyabrata, penjahat licik yang menyelundup dan mengacau di perguruan Jatikusumo. Ternyata engkau adalah antek Kumpeni Belanda yang membantu Madura!”

Satyabrata tersenyum dan nampak tenang-tenang saja. Dia memandang rendah pemuda sederhana ini dan sama sekali tidak diacuhkannya karena pandang matanya malah tertuju kepada Muryani. Sambil menggapai ke arah Muryani dia berkata, “Nimas Muryani! Engkau di situ? Kesinilah, tempatmu di sini, bersamaku, nimas!”

Dalam ucapan Satyabrata itu terkandung getaran kuat yang seakan memaksa kedua kaki Muryani untuk bergerak maju menghampiri pemuda itu. Dia terkejut sekali, akan tetapi dia cepat-cepat mengerahkan tenaga batinnya dan setelah tiba di dekat Parmadi, tiba-tiba ada kekuatan hebat yang menahan dorongan itu. Dia lalu berhenti melangkah dan tahu bahwa diam-diam Parmadi membantunya memunahkan kekuatan sihir Satyabrata.

Semalam dia tidak dapat tidur, teringat akan Satyabrata dan mengenang kembali semua perjalanan dan pengalamannya bersama Satyabrata yang membuatnya kini sadar bahwa selama ini dia seolah terbius dan tertipu oleh sikap Satyabrata yang amat baik, manis budi dan sopan santun.

“Satyabrata, tempatku di sini, bukan di sana bersamamu. Engkau adalah musuhku yang harus kubasmi!”

Satyabrata terbelalak dan pandang matanya kepada Muryani membayangkan kesedihan besar. Sebetulnya dia amat mencinta Muryani, bukan sekedar cinta berahi seperti cintanya kepada Maya Dewi dan semua wanita lain.

“Muryani, aku cinta padamu...!” Satyabrata sampai lupa bahwa di situ ada Nyi Maya Dewi dan orang-orang lain.

“Hemm, engkau boleh menyatakan cintamu kepada siapa saja dengan rayuan gombalmu, akan tetapi aku tidak pernah cinta padamu, aku membencimu! Membencimu!”

“Akan tetapi dulu engkau pernah mengatakan bahwa engkau merasa suka padaku, nimas. Hayo sangkal kalau engkau berani berbohong...!”

“Tidak kusangkal! Dahulu aku memang suka kepadamu sebagai seorang sahabat karena pandainya engkau berpura-pura. Kusangka engkau adalah manusia baik budi, tak tahunya engkau adalah iblis sendiri yang memakai kedok orang baik-baik. Kini aku baru menyadari bahwa orang yang dulu membebaskan Wiku Menak Koncar dan Dibyasakti adalah engkau sendiri! Aku benci kau dan akan membunuhmu ! Haiiitttttt...!” Muryani menyerang dengan senjata patrem di tangan kanannya dan aji pukulan Gelap Musti dengan tangan kirinya.

Akan tetapi dari samping Satyabrata, sabuk cinde kencana sudah menyambar dari tangan Nini Maya Dewi yang berseru marah dan sinar keemasan sabuknya menangkis serangan Muryani bahkan lalu membalasnya sehingga kedua orang wanita cantik itu sudah saling serang dengan seru.

Parmadi juga sudah menerjang maju, menggerakkan seruling gadingnya sambil berseru, “Satyabrata, sambut seranganku!”

Satyabrata cepat menggerakkan senjatanya, yaitu Keris Ilat Nogo yang ampuh.

“Trangg...! Trangg...! Cringgg...!”

Bunga api berpijar pada saat dua senjata ampuh itu bertemu dan kedua orang muda yang sama-sama sakti mandraguna itu terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara gerengan nyaring dan sesosok bayangan yang tinggi besar, menerkam dengan kedua lengan terpentang lebar ke arah Parmadi.

Parmadi cepat mengelak sambil mengelebatkan seruling gading yang mengeluarkan bunyi melengking sehingga getaran suara mengaum Resi Koloyitmo itu menjadi terpental dan membalik. Maka terjadilah perkelahian hebat pula antara Parmadi dan Muryani melawan tiga orang itu.

Ki Cangak Awu, Ketua Perguruan Jatikusumo juga telah memilih lawan. Dia menggunakan tongkat panjangnya untuk menyerang Dibyasakti. Dua orang yang sama-sama tinggi besar ini sudah saling terjang. Dibyasakti menggunakan keris, sedangkan ketua Jatikusumo itu menggunakan tongkatnya.

Sementara itu, Aki Somad, pertapa Nusakambangan yang selalu menentang Mataram itu, melihat bahwa di pihak lawan hanya tinggal satu orang yang masih belum mendapatkan lawan. Orang itu adalah Kyai Jayawijaya, pertapa di Lembah Bengawan Solo. Aki Somad tidak mengenal orang ini, maka dia cepat menghampirinya dan setelah saling berhadapan, Aki Somad memandang calon lawannya dengan penuh perhatian.

Seperti biasa orang yang dikuasai nafsunya sendiri, Aki Somad juga amat mengagungkan kemampuan sendiri dan selalu memandang rendah orang lain, merasa dirinya sendiri yang paling sakti dan paling hebat. Melihat wajah serta pakaian lawan biasa saja, dia terkekeh dan bertanya dengan suara mengejek.

“He-he-heh, siapakah andika ini, kisanak? Apakah orang seperti andika berani bertanding? Sudahlah, pulang saja dengan tubuh utuh, kasihan isteri, anak dan cucumu kalau sampai engkau mati di sini. Ingat, yang kau hadapi adalah Aki Somad yang mbaureksa (menjaga dan berkuasa) Nusakambangan, heh-heh-heh!”

Kyai Jayawijaya memang belum pernah bertemu dengan Aki Somad, akan tetapi dia telah mendengar nama besar itu. Maka dia memandang penuh perhatian.

Aki Somad berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, punggungnya bongkok dan berpunuk, mukanya memanjang mirip seperti muka kuda, pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung, pergelangan kedua lengan memakai akar bahar dan jari-jari tangannya bercincin dengan akik yang besar-besar!

Kyai Jayawijaya yang berwatak periang itu langsung tertawa terpingkal-pingkal sambil jari telunjuk kanannya menuding ke arah muka Aki Somad, tidak dapat bicara karena tawanya yang membuat dia menekan perutnya. Aki Somad mengerutkan alisnya.

“Heh! Mengapa engkau tertawa-tawa seperti orang gila? Siapa kamu?”

Kyai Jayawijaya menahan geli hatinya. “Masya'allah! Ada manusia kok seperti ini! Namaku Jayawijaya, tempat tinggalku di Lembah Bengawan Solo. Aku pernah mendengar namamu, Aki Somad, akan tetapi tidak kusangka rupamu seaneh dan selucu ini.”

“Setan! Kau kira seperti apa mukaku, heh?”

“Nanti, kulihat dulu! Hemm, engkau bongkok berpunuk seperti seekor onta, tetapi mukamu panjang seperti muka kuda dan tingkahmu seperti monyet! Lucunya, ha-ha-heh-heh-heh!”

“Keparat busuk!” Aki Somad marah sekali dan dia pun sudah menerjang maju, kemudian menyerang tanpa peringatan lagi.

Karena memandang rendah, Aki Somad sudah menyelipkan tongkat ular kering yang tadi dipegangnya ke ikat pinggang dan dia menerjang dengan pukulan kedua tangannya. Akan tetapi tangan yang bagaimana? Kedua telapak tangan itu bernyala! Itulah Aji Tapak Geni yang ampuhnya menggila! Aki Somad ini adalah seorang yang gentur tapa (tekun bertapa) sehingga dia menguasai aji pukulan yang amat ampuh itu.

Sebenarnya pada waktu mudanya Aki Somad bukan merupakan seorang yang sesat. Dia tekun bertapa, bahkan dia pernah mencari dan bertemu dengan Resi Tejo Wening untuk mohon diberi ilmu yang tinggi. Tetapi kakek pendeta itu menangguhkan dan mengatakan bahwa kelak kalau jiwanya sudah matang, mungkin dia akan dapat menerima suatu ilmu.

Kepergian Aki Somad ke Madura untuk membantu Madura menghadapi Mataram bukan lain karena pertama, dulu Mataram pernah mengirim penyelidik untuk menyelidiki keadaan Nusakambangan sehingga menimbulkan perasaan tidak senang dalam hatinya. Kedua, dia tergoda bujukan Ki Harya Baka Wulung yang mengunjunginya dan minta bantuannya, dan ketiga, dia ingin mengukur tingkat kesaktiannya dengan bertanding melawan orang-orang Mataram yang terkenal sakti mandraguna.

Melihat serangan dua buah telapak tangan yang bernyala itu, Kyai Jayawijaya tak menjadi gentar. Bagaimana pun juga ia adalah cucu murid Sunan Kalijaga, wali yang bijaksana dan sakti mandraguna itu. Maka, begitu dua telapak tangan itu menyambar, ia cepat mengelak kemudian membalas dengan pukulan Tapak Lesus. Aji pukulan ini membuat dua telapak tangannya mengeluarkan angin yang berputar amat kuatnya. Akan tetapi Aki Somad dapat menghindarkan dan dua orang sakti ini pun sudah bertanding dengan seru seperti yang lain.

Pertempuran antara orang-orang sakti itu terjadi dengan amat hebatnya. Tidak ada prajurit Mataram yang ikut bertempur. Mereka memang dilarang oleh Adipati Pragola yang melihat betapa para datuk itu bertempur mempergunakan aji kesaktian yang ampuh dan ilmu sihir sehingga kalau ada prajurit yang maju, sama saja dengan bunuh diri. Juga dia mengerti bahwa para ksatria itu akan merasa tersinggung apa bila di dalam pertandingan mereka itu mereka dibantu banyak prajurit yang mengeroyok musuh.

Pertempuran antara delapan orang pendukung Madura melawan enam orang pendukung Mataram itu memang hebat bukan kepalang. Tak dapat diragukan lagi bahwa pertempuran sehebat itu pasti hanya dapat berakhir apa bila satu pihak dapat dirobohkan dan terbunuh. Memang sudah tampak beberapa orang di antara mereka yang terluka, sungguh pun tidak parah dan masih dapat melakukan perlawanan dengan gigih.

Sutejo dan Retno Susilo sudah menderita lecet diserempet senjata tiga orang datuk yang mengeroyok mereka, namun ujung cambuk sakti Bujrakirana juga sudah sempat mencium pundak Ki Harya Baka Wulung dan paha Wiku Menak Koncar!

Parmadi dan Muryani juga sudah merasa lelah sekali melayani tiga orang lawannya yang amat tangguh. Biar pun mereka belum kalah namun Satyabrata, Nini Maya Dewi dan Resi Koloyitmo terus mendesak dan telah melukai pundak Muryani yang tersentuh ujung sabuk cinde kencana di tangan Maya Dewi. Sebaliknya Parmadi juga sudah melakukan dorongan ampuh yang membuat Resi Koloyitmo terhuyung dan sebuah tendangannya menyerempet paha Maya Dewi sehingga menimbulkan rasa nyeri.

Dibyasakti yang bertanding melawan Ki Cangak Awu menemukan lawan yang seimbang sehingga pertandingan antara kedua orang pria tinggi besar ini sangat ramainya. Demikian pula Aki Somad menemukan tandingan yang sukar dikalahkan dalam diri Kyai Jayawijaya.

Mendadak Resi Koloyitmo mengeluarkan sebuah senjata nenggala (tombak dengan kedua ujung runcing) yang berwarna hitam dan sambil mengeluarkan pekik yang membuat bumi tergetar, dia menerjang ke arah Parmadi. Itulah pekik yang disebut Aji Singanada, seolah-olah auman seekor singa marah dan nenggalanya berubah menjadi sinar hitam yang besar dan menusuk ke arah dada Parmadi yang sedang menangkis tusukan keris Ilat Nogo yang dilancarkan Satyabrata.

“Tranggg...!”

Keris di tangan Satyabrata terpental bertemu dengan seruling gading dan pada saat itulah nenggala di tangan Resi Koloyitmo menyambar dengan tusukan ke arah dada Parmadi.

Pemuda perkasa ini terkejut karena maklum bahwa lawannya melakukan serangan maut yang sangat berbahaya. Dia juga mengerahkan aji pamungkas yang didasari penyerahan kepada Kekuasaan Gusti Allah. Tangan kirinya menyambut ujung nenggala yang menusuk dadanya.

Resi Koloyitmo merasa betapa nenggalanya bertemu dengan hawa lunak seperti air yang menyedot sehingga seluruh tenaganya terasa tenggelam. Tiba-tiba Parmadi mengerahkan tenaganya, lantas mendorongkan senjata yang kedua ujungnya runcing itu ke arah pemilik senjata itu.

“Wuut...! Cepp...!”

“Auughhh...!” Resi Koloyitmo menjerit ngeri.

Ketika tadi nenggala itu didorongkan kepadanya, tenaga Resi Koloyitmo sedang kosong karena seakan-akan tenggelam oleh hawa lunak dari tangan kiri Parmadi. Maka dia tidak dapat mencegah menancapnya ujung belakang nenggalanya sendiri di ulu hatinya dan dia pun roboh terjengkang dan tewas seketika.

Nini Maya Dewi terkejut melihat ayahnya roboh dan tewas. Dia tidak merasa terlalu sedih karena dalam hatinya memang tidak ada rasa sayang terhadap orang tua itu, akan tetapi dia menjadi terkejut dan gentar juga.

Akan tetapi pada saat itu terdengar sorak-sorai menggegap gempita dari laut dan banyak sekali perahu datang mendarat, membawa prajurit-prajurit Mataram yang berlompatan ke darat membawa panji-panji sambil mengiringkan seorang kakek yang dipikul di atas tandu. Pasukan itu berjumlah besar dan semangat mereka meriggebu-gebu.

Melihat ini para datuk pendukung Madura menjadi gentar, apa lagi kalau mengingat bahwa Resi Koloyitmo yang tangguh sudah tewas dan mereka sendiri pun agaknya sukar untuk mengalahkan para pendekar pendukung Mataram. Melihat datangnya pasukan yang begitu banyak dan penuh semangat, mengiringi seorang kakek yang duduk di atas tandu dengan tenangnya, mereka menjadi jeri dan tanpa dikomando lagi mereka segera melarikan diri di senja yang mulai menjelang.

Siapakah kakek yang dipikul dengan tandu dan memimpin pasukan yang baru mendarat itu? Dia adalah seorang senopati Mataram yang sudah berusia lanjut bernama Kyai Juru Kiting yang pernah menjadi senopati di jamannya kakek dari Sultan Agung, yaitu Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo pendiri Mataram. Karena jasanya yang amat besar, ketika Sultan Agung menjadi raja, Kyai Juru Kiting dianggap sebagai sesepuh dan dia pun tidak diberi tugas namun amat dihormati dan selalu dimintai nasihatnya.

Ketika Sultan Agung menerima laporan dari Adipati Pragola tentang serbuan mendadak pasukan Madura sehingga menjatuhkan banyak korban, bahkan Adipati Sujanapura juga tewas sampyuh bersama lawannya, yaitu Adipati Pamekasan, lalu Adipati Pragola mohon petunjuk sang raja, Sultan Agung segera memanggil Kyai Juru Kiting.

Kakek ini tergopoh-gopoh datang menghadap karena kalau sampai sang prabu memanggil dia yang sudah tua renta, pasti ada masalah yang teramat penting. Sesudah menghadap dengan napas terengah-engah, alangkah kaget hati kakek tua renta ini ketika Sang Prabu Sultan Agung menunjuknya sebagai senopati perang yang harus memimpin pasukan dan seketika berangkat menyeberang ke Madura untuk membantu pasukan Mataram yang kini dipimpin oleh Adipati Pragola.

Kyai Juru Kiting segera menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah rajanya. “Duh gusti junjungan hamba. Bagaimana paduka mengutus hamba yang sudah tua bangka ini untuk maju berperang? Bergerak sedikit saja hamba sudah terengah-engah. Masih banyak para senopati paduka yang muda dan tangguh, gusti, sebaiknya mengutus mereka saja.”

“Tidak, paman Kyai Juru Kiting. Menurut wawasanku, justru andikalah yang akan mampu menggerakkan semangat para pasukan sehingga mencapai kemenangan dalam perang menundukkan Madura ini. Kumpulkan prajurit dan berangkatlah, paman, sekarang juga. Kalau perlu andika naik tandu. Semoga Sang Hyang Widhi membimbingmu.”

Kyai Juru Kiting tidak dapat membantah lagi. Maka berangkatlah dia bersama pasukannya menyeberang ke Madura.

Memang para prajurit lantas saja menjadi besar hati ketika melihat betapa senopati tua ini masih bersemangat untuk maju berperang. Mereka percaya akan kesaktian senopati tua ini.

Demikianlah, kebetulan sekali pasukan yang dipimpin Kyai Juru Kiting ini mendarat pada saat para datuk pendukung Madura sedang bertanding melawan pendekar-pendekar yang membela Mataram sehingga membuat para datuk menjadi jeri kemudian melarikan diri.

Tentu saja pihak Madura menjadi penasaran. Mereka ingin tahu tentang keadaan pasukan bantuan dari Mataram itu, maka mereka pun menyebar penyelidik untuk menguasai gerak-gerik pasukan Mataram.

Pada esok harinya, sesudah semalam mengadakan perundingan dengan Adipati Pragola dan para pembantunya, termasuk para pendekar yang menjadi pembantu suka rela, Kyai Juru Kiting lalu mengerahkan aji kesaktiannya untuk mempengaruhi dan membangkitkan semangat para prajurit.

Dia memerintahkan supaya bagian ransum menanak nasi yang cukup banyak. Kemudian dengan tangannya sendiri dia membagi rata nasi itu kepada semua prajurit. Lalu dia dipikul di atas tandu dan mengelilingi pasukan sebanyak tiga putaran. Sesudah itu, dengan duduk di atas tandu yang berada di puncak sebuah bukit kecil, dia memerintahkan semua prajurit untuk menengadah memandang langit kemudian menunduk ke bawah memandang bumi. Entah kekuatan apa yang membakar semangat para prajurit saat itu, tapi mereka bersorak dengan penuh semangat bertempur.

Melihat ini para penyelidik bergegas memberi laporan kepada atasannya masing-masing. Mendengar laporan ini, Raden Prasena yang menjadi penguasa di Sampang menjadi jeri dan timbul keraguan untuk melawan pasukan Mataram yang didukung begitu banyaknya orang sakti.

Setelah mengerahkan tenaga saktinya dan berhasil menggelorakan semangat para prajurit Mataram, dengan dipimpin Adipati Pragola dan dengan bimbingan nasihat Kyai Juru Kiting mulailah pasukan Mataram bergerak melakukan serangan besar-besaran. Ketika bertemu dengan pasukan Sampang, tanpa perlawanan berarti Sampang segera menakluk. Raden Prasena menakluk dan menyerahkan diri, diterima dengan baik oleh Kyai Juru Kiting dan menjadi seorang tawanan yang mendapat perlakuan cukup baik dan terhormat.

Tentu saja Adipati Pragola dan Kyai Juru Kiting girang sekali melihat Raden Prasena mau menakluk sehingga pertempuran besar dengan Sampang dapat dihindarkan. Kalau semua kadipaten di Madura mau menakluk seperti Sampang, tentu perang itu akan dapat segera diselesaikan tanpa banyak menumpahkan darah, tanpa banyak menimbulkan korban yang sama sekali tidak mereka kehendaki, bahkan Sultan Agung sendiri tidak menghendakinya. Akan tetapi ternyata tidak demikian sikap para adipati yang lain.

Pangeran Mas Arisbaya melakukan perlawanan mati-matian. Dengan bantuan para adipati lain yang menggabungkan pasukannya, mereka melawan sekuat tenaga. Apa lagi mereka dibantu pula oleh para datuk yang mengamuk dalam setiap pertempuran.

Akan tetapi pihak Mataram mempunyai jumlah prajurit yang besar sekali dan mereka juga dibantu oleh para pendekar. Setiap kali Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Dibyasakti, Maya Dewi dan Satyabrata mengamuk, mereka selalu dihadang oleh para pendekar, di antaranya Parmadi, Muryani, Sutejo, Retno Susilo, Ki Cangak Awu, Kyai Jayawijaya dan para senopati Mataram yang digdaya.

Dalam perang sampyuh yang terjadi selama beberapa hari, pasukan Madura terus didesak dari barat sampai ke ujung timur dan dalam suatu pertempuran yang mati-matian, Raden Dibyasakti, putera Ki Harya Baka Wulung, roboh dan tewas. Hal ini membuat Ki Harya Baka Wulung menjadi sedih bukan main, juga membuat dia lemas dan tidak bersemangat lagi walau pun kematian puteranya itu menanamkan bibit kebencian yang sangat besar di dalam hatinya terhadap Sultan Agung di Mataram.

Kemunduran semangat Ki Harya Baka Wulung mempengaruhi semangat para datuk lain yang membantunya. Bahkan Satyabrata yang belum juga melihat munculnya bantuan dari kumpeni seperti yang dia janjikan, merasa tidak enak kepada Ki Harya Baka Wulung dan pada suatu malam, diam-diam dia menghilang bersama Nini Maya Dewi, entah ke mana tidak seorang pun mengetahuinya.

Sesudah Satyabrata dan Nini Maya Dewi menghilang, kini tinggal empat orang datuk yang membantu pasukan Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung sendiri yang dibantu oleh Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad. Biar pun mereka berempat membantu sekuat tenaga, tetapi akhirnya pasukan Arisbaya berhasil dikalahkan sehingga adipatinya, Pangeran Mas Arisbaya melarikan diri ke Giri.

Ada pun empat orang datuk itu pun terpaksa harus melarikan diri. Tiga orang datuk yang membantu Ki Harya Baka Wulung kembali ke kerajaannya masing-masing, sedangkan Ki Harya Baka Wulung sendiri mengawal Pangeran Mas mengungsi ke Giri.

Pangeran Balega ditangkap pasukan Mataram setelah pasukannya dihancurkan. Tadinya dia hendak dibawa ke Mataram sebagai tawanan, akan tetapi di Jurang Jero dia dibunuh. Pasukan Sumenep dan lain-lain juga kalah. Adipati Sumenep sendiri melarikan diri, akan tetapi dia terbunuh dalam pelariannya.

Demikianlah, seluruh Madura telah ditaklukkan dan dikuasai Mataram. Akan tetapi, sesuai dengan niat semula pada saat menundukkan semua daerah, yaitu hendak mempersatukan mereka supaya bersatu dan kuat menghadapi Kumpeni Belanda, Sultan Agung bukannya menjajah Madura.

Sultan Agung menerima Raden Prasena yang dibawa ke Mataram oleh Kyai Juru Kiting, bahkan kemudian menganggapnya sebagai anak angkat dan memberinya gelar Pangeran Cakraningrat. Raden Prasena atau Pangeran Cakraningrat inilah yang kemudian diangkat menjadi penguasa seluruh Madura dengan berkedudukan di Sampang. Dengan demikian berarti bahwa Madura bukan menjadi taklukan, melainkan menjadi sekutu yang baik dari Mataram.

Setelah perang selesai, para pendekar dibujuk oleh Kyai Juru Kiting agar bersedia dibawa untuk menghadap Sultan Agung. Sultan Agung mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka, akan tetapi sia-sia belaka ketika raja itu hendak menghadiahkan pangkat kepada mereka. Mereka memilih hidup sebagai kawula biasa, tidak terikat oleh kewajiban negara.

Kyai Jayawijaya segera kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di lembah Bengawan Solo. Ki Cangak Awu kembali ke perguruan Jatikusumo. Sutejo dan Retno Susilo melanjutkan perantauan mereka untuk mencari anak mereka yang hilang.

Seperti juga semua pendekar yang lain, Parmadi dan Muryani menerima hadiah masing-masing seekor kuda yang amat baik dari Sultan Agung. Hadiah ini terpaksa mereka terima karena bila ditolak, tentu akan mendatangkan perasaan tidak enak. Setelah berpisah dari yang lain, Parmadi dan Muryani menunggang kuda keluar dari kota raja Mataram. Mereka menjalankan kudanya dengan congklang dan santai. Sesudah tiba di luar pintu gerbang, mereka menahan kuda masing-masing.

“Nimas Muryani, sekarang kita boleh bernapas lega. Selesai sudah tugas kita membantu Mataram menaklukkan Madura.”

“Benar, kakang. Aku akan kembali ke Gunung Muria. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, maka guruku Ki Ageng Branjang kini merupakan pengganti orang tuaku.”

“Ah, kenapa engkau berkecil hati, nimas? Bukankah di sini ada aku yang akan melindungi dan menemanimu selamanya? Aku akan mengantarmu sampai ke Gunung Muria, lalu aku akan mencari dulu keluarga orang tuaku di Pasuruan, agar aku mendapatkan pengganti orang tuaku atau wali. Sesudah itu barulah aku akan datang bersama waliku ke Gunung Muria untuk meminangmu kepada paman Ki Ageng Branjang.”

Muryani mengangguk. “Memang kita tak perlu tergesa-gesa dalam hal perjodohan, kakang. Berilah aku waktu untuk mempertimbangkan hal ini secara mendalam. Selain engkau akan mencari keluarga orang tuamu, juga aku masih merasa penasaran tentang diri Satyabrata yang sudah menipuku. Aku tidak akan merasa tenang kalau jahanam itu belum terbasmi dari muka bumi. Juga, kita masih harus bersiap siaga membantu Mataram kalau sewaktu-waktu Mataram berperang melawan Surabaya dan Giri, dua daerah yang belum tunduk. Setelah itu barulah kita benar-benar dapat bernapas lega dan bolehlah kita bicara tentang perjodohan.”

“Aku setuju, nimas. Mari kita berangkat.”

Dua orang muda yang elok itu membalapkan kuda mereka dan sebentar saja dua ekor kuda itu sudah berlari cepat, meninggalkan debu mengepul tinggi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)