ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-01
Di kejauhan tampak dua ekor kerbau gemuk digiring seorang bocah berusia sepuluh tahun bercelana pendek hitam tanpa baju, berjalan di belakang dua ekor kerbau. Mereka tampak serasi sekali. Angin bersilir lembut, tapi cukup kuat untuk menggugurkan daun-daun pohon trembesi. Daun-daun kecil itu berguguran bagai sekumpulan kanak-kanak bersenda gurau berlari-larian. Suara gemericik air anak sungai bercanda dengan bebatuan, berdendang tak henti-hentinya seperti dewi kahyangan sedang bertembang.
Nun jauh di sana sawah ladang terbentang luas berwarna kehijauan dengan bercak-bercak kuning menjanjikan hasil cucuran keringat dan jerih payah para petani. Maha Agung Sang Maha Pencipta! Matahari, embun, daun berguguran, riak air, padi di sawah yang berombak, semua itu seolah-olah merupakan puja-puji dan sembah sujud bagi Yang Maha Pengasih, Pencipta semua keindahan itu.
Anak sungai itu mengalirkan air yang jernih dan tidak dalam. Demikian jernihnya sehingga tampaklah batu-batuan dan pasir pada dasarnya. Ikan-ikan kecil yang warna kulitnya sama dengan air berenang menggerak-gerakkan ekor dalam upaya mereka untuk menahan arus. Di tengah-tengah bagian yang paling dalam dari anak sungai itu hanya sebatas pinggang orang dewasa.
Seorang gadis muda menuruni lereng yang menuju ke anak sungai itu. Gadis itu berjalan dengan langkah lembut namun pasti. Sepasang kakinya yang telanjang itu sudah terbiasa dengan jalan setapak menuju anak sungai itu. Setiap pagi dia menyusuri jalan itu, bahkan terkadang pada sore harinya juga. Langkahnya pendek-pendek dan pasti, agak berjingkat untuk menghindarkan injakan di atas batu runcing atau duri.
Dia menjinjing sebuah keranjang bambu yang berisi beberapa potong pakaian kotor. Gadis itu adalah seorang gadis dusun yang sederhana sekali, akan tetapi kesederhanaannya itu bahkan menonjolkan keindahan yang wajar, kemanisan yang mempunyai daya tarik yang amat kuat.
Badannya yang hanya tertutup sehelai tapih pinjung (kain sebatas dada) memperlihatkan kulit hitam manis yang halus lembut, dengan lekuk lengkung tubuh yang sedang tumbuh dewasa bagaikan buah yang ranum. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung agak ke atas. Sepasang buah dadanya yang ranum itu menyembul dari balik tapih pinjung seolah menantang. Bagian tubuh yang tidak tertutup kain, leher, dada bagian atas dan sepasang lengan, juga kaki dari lutut ke bawah, kelihatan bersih dan mulus, tanpa hiasan sepotong pun. Beberapa helai sinom (anak rambut) terurai di atas dahinya yang rata dan halus.
Setelah tiba di tepi anak sungai, gadis itu berjongkok di atas batu-batuan terdekat dengan air yang jernih. Dia hendak mencuci kain kotor yang dibawanya lebih dulu sebelum mandi pagi. Dengan gerakan jari tangan yang cekatan dan lincah mulailah dia mencuci pakaian, menggunakan biji lerak yang mengeluarkan buih untuk membersihkan pakaian itu.
Suasana yang sunyi, suara air gemericik mengiringi kicau burung, ditimpa sinar matahari pagi yang hangat mengimbangi semilirnya air pegunungan yang sejuk, mendatangkan rasa bahagia di hati dara itu. Mulailah ia bersenandung, rengeng-rengeng (bernyanyi tanpa kata) dalam tembang Sinom. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu ada seorang laki-laki yang mengintai dari balik rumpun bambu yang tumbuh di belakangnya, dalam jarak kurang lebih tujuh meter.
Lelaki itu berusia kira-kira empat puluh tahun dan penampilannya sungguh menyeramkan. Dia bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan tubuh itu membayangkan kekuatan otot yang dahsyat. Baju hitamnya terbuka sehingga tampaklah dadanya yang kokoh. Sebatang golok terselip pada sabuk celananya yang hitam pula. Sepasang matanya besar melotot, sepasang alisnya tebal hitam dan mukanya tertutup brewok pendek. Kepalanya memakai ikat kepala hitam pula.
Sepasang mata lelaki itu memandang kepada gadis itu laksana seekor serigala kelaparan memandang seekor kelinci muda yang gemuk. Mulutnya yang sedikit terbuka itu seakan penuh dengan air liur. Tangan kirinya berpegang pada sebatang pohon bambu dan tangan kanannya membentuk cakar seperti hendak segera menerkam dan mencengkeram tubuh yang bahenol itu!
Siapakah dara hitam manis, perawan dusun yang usianya baru sekitar tujuh belas tahun itu? Dia adalah seorang gadis yang tinggal di dusun Bakulan di jajaran Pegunungan Kidul tak jauh dari anak sungai itu. Namanya sederhana sekali seperti penampilannya. Memang di jaman itu orang-orang tua condong untuk memberi nama sesederhana mungkin kepada anak-anak mereka, dengan maksud agar sang anak tidak berat untuk menyangganya dan agar para setan dan demit tidak tertarik untuk menggoda anak yang namanya sederhana bahkan jelek itu.
Nama gadis itu adalah Warsiyem. Warsiyem hidup berdua dengan ayahnya. Ibunya sudah meninggal dunia ketika dia baru berusia sepuluh tahun dan sejak saat itu ayahnya hidup menduda. Ayahnya bekerja sebagai seorang petani dan meski pun hidup mereka berdua sederhana dan tidak berlebihan, namun tidak sampai kelaparan. Kedua ayah dan anak ini tidak mempunya keluarga lain di dusun Bakulan.
Mencuci pakaian dan mandi di anak sungai merupakan sebagian dari pekerjaan Warsiyem sehari-hari di samping mengurus pekerjaan rumah seperti masak, membersihkan rumah, dan sebagainya. Ada pun pak Sutowiryo, ayahnya, setiap hari bekerja di sawah ladang.
Warsiyem sudah selesai mencuci pakaiannya. Dia meletakkan semua pakaian yang sudah dicucinya ke dalam keranjang, kemudian dia pun turun dari atas batu dan masuk ke dalam air anak sungai yang jernih dan yang dalamnya hanya sebatas pinggangnya itu. Dia mandi tanpa menanggalkan tapih pinjungnya karena kadang-kadang di tempat itu datang orang-orang lain. Untuk pengganti kainnya gadis ini telah membawa kain bersih dari rumah yang sehabis mandi dan berganti kain nanti, baru dia akan mencuci kain yang dipakainya mandi itu.
Warsiyem masih rengeng-rengeng (bersenandung) dan kini dia mulai membersihkan kulit tubuhnya dengan menggosok-gosoknya dengan sebuah batu halus. Rambutnya dibiarkan tersanggul agar tidak sampai menjadi basah karena baru kemarin dia berkeramas.
Tiba-tiba saja dia terkejut sekali mendengar suara di belakangnya. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan begitu melihat seorang laki-laki brewok tinggi besar telah berdiri di atas batu dan memandangnya dengan mata melotot seperti harimau kelaparan, otomatis Warsiyem segera mendekap dadanya dengan kedua tangannya dan menahan jeritnya.
Dia merasa kaget sekali karena tidak mengenal laki-laki itu. Andai kata laki-laki itu adalah seorang penduduk dusunnya, tentu dia tidak akan sekaget itu. Akan tetapi lelaki itu adalah seorang asing yang menyeringai kepadanya dengan sikap kurang ajar.
“He-he-he, manis, denok sayang, teruskan mandimu, aku senang melihatmu mandi. Akan tetapi kenapa kain itu tidak kau tanggalkan saja?” kata laki-laki itu dengan sikap ceriwis.
Dari sikap, pandang mata dan kata-kata orang itu, sadarlah Warsiyem bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang laki-laki jahat yang kurang ajar. Maka tanpa menjawab ia lalu berusaha naik ke tepi sungai dan hendak meraih keranjang pakaiannya. Akan tetapi laki-laki itu segera memegangi keranjang pakaian itu sehingga Warsiyem tidak dapat menarik dan merebutnya.
“Lepaskan keranjangku dan biarkan aku pergi,” kata Warsiyem.
Akan tetapi laki-laki itu tidak melepaskan keranjangnya, dia malah tertawa bergelak sambil memelintir kumisnya dengan tangan kiri. “Ha-ha-ha! Perawan manis, siapakah namamu? Jangan takut padaku. Singowiro adalah seorang laki-laki yang bersikap mesra dan lembut kepada perawan manis seperti engkau, ha-ha-ha!”
Melihat sikap laki-laki yang menyebutkan namanya Singowiro itu, gadis ini menjadi makin ketakutan. Dia melepaskan keranjang pakaiannya dan cepat bangkit berdiri lalu melarikan diri meninggalkan tepi sungai itu.
“Ha-ha-ha-heh-heh! Jangan lari, manis. Mari kupondong, kugendong engkau, heh-heh!”
Singowiro mengejar dengan langkah-langkah lebar. Saking takut dan gugupnya, beberapa kali Warsiyem harus jatuh bangun dan sambil membetulkan tapih pinjungnya yang hampir terlepas, dia segera berlari lagi. Hatinya merasa ngeri sekali mendengar langkah-langkah kaki berat yang berada di belakangnya!
“Tolong... tolong..., bapak, tolong...!!” Warsiyem menjerit-jerit.
“He-heh-heh, percuma engkau menjerit, manis. Berhentilah dan biarkan aku memondong tubuhmu.”
Pada saat itu Warsiyem sudah berhasil lari ke luar dari tepi sungai dan kini kakinya yang telanjang dan sudah terbiasa berjalan di tanah pegunungan yang kasar itu, berlari sambil mengangkat kainnya sampai ke paha sehingga nampaklah pahanya yang berkulit mulus itu, membuat pengejarnya menjadi semakin bergairah.
Warsiyem adalah seorang gadis muda yang biasa bekerja berat sehingga dia mempunyai tubuh yang sehat dan kuat. Karena ketakutan, larinya kencang seperti seekor rusa muda sehingga agak payah juga si brewok yang berperut gendut itu mengejarnya. Tetapi karena langkah pengejar itu lebih panjang, maka biar pun napasnya ngos-ngosan tapi Singowiryo hampir dapat menusul Warsiyem.
Sesudah tiba di luar dusun Bakulan, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Laki-laki ini berpakaian seperti petani biasa, bajunya terbuka lebar memperlihatkan tubuh yang cukup berotot karena sudah terbiasa bekerja keras di ladang. Dia berkumis sedang dan sikapnya tenang. Akan tetapi, begitu melihat Warsiyem dikejar-kejar oleh seorang laki-laki, orang itu segera membelalakkan matanya dan cepat meloncat ke depan menyambut Warsiyem yang berlari-larian. Sedangkan gadis itu ketika melihat dia, cepat-cepat menghampirinya lalu menubruknya sambil menangis.
“Bapak...! Aku... aku dikejar-kejar orang itu...!” serunya sambil merangkul bapaknya.
Laki-laki itu adalah Pak Sutowiryo, ayah Warsiyem. Setelah mendengar ucapan anaknya, Pak Sutowiryo lalu melepaskan rangkulannya.
“Engkau minggirlah, Yem,” katanya, kemudian dia menghadapi Singowiro yang juga sudah berhenti berlari dan kini memandang kepada Sutiwiryo dengan mata dilebarkan.
“Ki sanak,” kata Sutowiryo sambil menahan kesabarannya melihat seorang laki-laki asing yang bukan warga dusunnya. “Siapakah andika dan mengapa pula andika mengejar-ngejar anakku ini?”
“Hmm, jadi andika ayah perawan itu? Kebetulan sekali! Aku bernama Singowiro, gegedug (jagoan) dari Gunung Kidul. Kebetulan sekali sudah setahun ini aku menduda dan melihat anakmu, aku... heh-heh-heh, aku jatuh cinta! Karena itu aku minta kepadamu agar engkau memperkenankan aku untuk memperistri anakmu ini. Dia akan hidup mulia dan terhormat sebagai istriku.”
Ki Sutowiryo mengerutkan alisnya, “Ki sanak, tidak ada caranya lelaki baik-baik melamar anak gadis orang di tengah jalan! Lagi pula andika sudah terlalu tua untuk menjadi suami anakku. Aku akan menjodohkan anakku dengan seorang pemuda dusun kami sendiri yang sepadan dengannya.”
“Apa...?! Andika berani menolak pinanganku yang kuajukan secara baik-baik?!” Singowiro membentak galak.
“Hmm, terpaksa aku menolaknya, ki sanak. Maafkan kami dan anggap saja bahwa anakku bukanlah jodohmu,” jawab Ki Sutowiryo dengan sikap masih tenang.
“Babo-babo, si keparat busuk. Berani andika menolak dan menentang Ki Singowiro jagoan Gunung Kidul? Apa engkau sudah bosan hidup?” Sesudah berkata demikian dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap. “Kalau begitu andika akan mampus di tanganku, ada pun anakmu itu tetap saja akan menjadi istriku!” Mendadak Singowiro menusukkan goloknya yang besar dan tajam itu ke arah dada Sutowiryo.
Ki Sutowiryo adalah seorang petani biasa yang tak pernah mempelajari ilmu pencak silat. Akan tetapi sebagai seorang ayah yang hendak melindungi kehormatan anak tunggalnya, tentu saja dia menjadi marah dan mencoba untuk melawan mati-matian. Dia masih sempat mengelak dengan loncatan ke belakang hingga tusukan yang mengarah dadanya itu luput, lalu meraih dengan kedua tangannya, berusaha untuk menangkap lengan Singowiro yang memegang golok.
Laki-laki ini sudah nekad sekali. Dia sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan kehormatan anaknya dengan taruhan nyawa. Karena serangannya yang nekad, akhirnya dia berhasil menangkap lengan kanan Singowiro.
Akan tetapi jagoan itu menendang perutnya sehingga Ki Sutowiryo tejengkang. Ketika Ki Sutowiryo melompat bangun lagi, Singowiro membacok dengan goloknya.
“Wuuuttt...! Crattt...!”
Ujung golok itu mengenai batang leher Ki Sutowiryo. Dia berteriak dan darah muncrat, tapi golok itu sudah menyambar lagi dan Ki Sutowiryo langsung roboh mandi darah. Warsiyem terbelalak dan menjerit.
“Bapak... bapaaakkk...!” Warsiyem berlari lalu menubruk tubuh ayahnya yang sudah tidak bergerak lagi, rebah dalam genangan darahnya sendiri.
Tanpa mempedulikan lengannya berlepotan darah Warsiyem memeluk tubuh ayahnya dan menangis mengguguk sambil memanggil-manggil bapaknya. Ki Singowiro menyeringai lalu menyarungkan kembali goloknya yang berlepotan darah.
“Sudahlah, nini perawan denok ayu, tak perlu menangis lagi. Mari ikut denganku dan hidup bahagia sebagai istriku.”
“Tidak, aku tidak sudi. Engkau pembunuh bapakku, penjahat keparat!” Warsiyem memaki-maki sambil menangis.
Namun sambil tertawa lelaki itu sudah menubruk dan mencengkeramnya, lalu mengangkat tubuh mungil gadis itu ke atas dan memanggulnya. Dara itu menelungkup di atas pundak kanannya dengan kepala di belakang dan kedua kaki di depan, pinggul dan pinggangnya dirangkul kedua lengan Ki Singowiro yang kokoh kuat. Biar pun dia menjerit-jerit, meronta-ronta sambil menangis, akan tetapi sama sekali dia tidak dapat terlepas dari pondongan Ki Singowiro.
Sambil menyeringai senang Ki Singowiro melarikan Warsiyem yang dipondongnya itu. Dia berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu menjauhi dusun Bakulan.
Sementara itu Warsiyem terus meronta sekuat tenaga sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil ayahnya. Dia bukan menangisi keadaan dirinya. Pada saat itu dia seolah tidak ingat lagi dengan keadaan dirinya yang terancam bahaya di tangan laki-laki yang hati dan akal pikirannya sedang dirasuki iblis itu. Yang tampak di depan matanya hanya bayangan ayahnya yang menggeletak bermandikan darah, ayahnya yang tewas dalam keadaan yang mengerikan. Dia berteriak-teriak, menjerit menangisi kematian ayahnya.
Warsiyem adalah seorang gadis yang sehat dan karena bergerak dan bekerja setiap hari, maka dia memiliki daya tahan dan kekuatan yang lumayan. Tiada hentinya dia meronta-ronta, menendang-nendang dengan kedua kakinya, memukul, mencakar punggung lelaki itu dengan kedua tangannya.
Rontaan yang kuat dan tiada hentinya ini tentu saja sangat melelahkan Ki Singowiro yang membawanya lari. Setelah lari hampir satu jam lamanya, Ki Singowiro sudah bermandikan peluh, napasnya terengah-engah dan kedua tangan mau pun kakinya terasa sangat lelah. Akhirnya dia terpaksa menurunkan Warsiyem untuk beristirahat di luar sebuah hutan yang sunyi,. Akan tetapi begitu diturunkan dari pondongan, Warsiyem lalu melarikan diri hendak kembali ke tempat dia dilarikan.
“Heii...! Mau ke mana engkau? Jangan lari! Berhenti!” Ki Singowiro mengejar gadis yang melarikan diri itu.
Walau pun tubuhnya juga sangat lelah karena tiada hentinya dia meronta sekuat tenaga, Warsiyem yang dilanda duka dan takut itu masih sanggup berlari cepat bagaikan seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau! Ki Singowiro terpaksa berlari juga, terengah-engah melakukan pengejaran.
Betapa pun juga bagaimana mungkin Warsiyem dapat melepaskan diri dari pengejaran Ki Singowiro yang dapat melangkah jauh lebih lebar? Betapa pun gesitnya Warsiyem, tetap saja ia seorang perawan yang gerakannya tidak leluasa terhalang tapih pinjung (kain) yang menyerimpat kedua kakinya ketika berlari sehingga langkahnya tidak dapat terlalu lebar.
Dan akhirnya Ki Singowiro yang sudah tiba dekat di belakangnya itu dapat menubruk dari belakang, menerkam dan mendekapnya. Mereka jatuh tersungkur di atas tanah berumput. Dengan kedua lengannya yang kokoh kuat Ki Singowiro mendekap tubuh gadis itu dengan kuat sehingga kedua lengan gadis itu tidak dapat digerakkan. Akan tetapi bagaikan seekor harimau betina marah, tiba-tiba Warsiyem menggigit lengan yang memeluknya itu sekuat tenaga.
“Aduhhh...!” Ki Singowiro berteriak.
Deretan gigi kecil putih itu ternyata kuat sekali dan sudah merobek kulit lengannya pada pergelangan tangan kiri! Karena kesakitan, rangkulannya mengendur dan kesempatan ini dipergunakan Warsiyem untuk melompat berdiri lalu berlari lagi sekuat tenaga! Dia sudah tidak memperhatikan lagi arah larinya. Yang penting baginya saat itu hanya lari menjauhi pria itu, sejauh mungkin.
Tentu saja Ki Singowiro tak mau melepaskan calon mangsanya dengan begitu saja! Ketika tadi memondong tubuh gadis itu kemudian menerkam dan mendekapnya, dua tangannya telah merasakan kelembutan dan kehangatan yang makin mengobarkan gairah berahinya. Nafsu berahi telah memenuhi otaknya dan memuncak sehingga pertimbangannya sebagai manusia telah hancur. Dalam keadaan seperti itu dia tak ubahnya seperti seekor binatang buas.
“Hei, calon istriku! Berhenti kau!” Dia berteriak dan melompat ke depan. Sekali tangannya meraih, dia telah berhasil menangkap pergelangan tangan kanan Warsiyem.
Gadis itu menjerit dan meronta sambil memukul dengan tangan kirinya, namun tangan kiri itu kembali ditangkap pergelangannya sehingga Warsiyem tidak dapat berkutik lagi.
“Ha-ha-ha, engkau seperti seekor kuda betina yang liar!” Singowiro tertawa. “Engkau perlu dijinakkan dulu!” Ia lalu mengangkat tubuh Warsiyem dan dipanggulnya di atas pundaknya sambil dipegangi kedua pergelangan tangannya dengan satu tangan kiri yang besar. Lalu dia melangkah lebar ke arah sawah yang sunyi.
Dari kejauhan dia melihat sebuah gubug berdiri di bawah pohon. Ke arah gubug itulah dia melangkah sambil terkekeh, agaknya gembira sekali merasakan betapa tubuh gadis yang dipanggulnya itu meronta-ronta. Terasa olehnya betapa tubuh yang padat dan mengkal itu menggeser-geser di pundaknya. Rambut yang panjang lebat dan halus itu mengusap-usap lehernya seolah membelainya.
“Ha-ha-ha, manis, engkau perawan denok ayu, sebentar lagi menjadi istriku, ha-ha-ha!”
“Tidak! Tidaaaakkk...! Lepaskan aku, aku tidak sudi menjadi istrimu!” Warsiyem menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi semakin keras dia meronta, gesekan tubuhnya malah lebih terasa lagi oleh Ki Singowiro yang membuat laki-laki itu menjadi makin gembira dan terangsang.
Sesungguhnya nafsu merupakan anugerah sang Maha Pencipta bagi manusia, yang diikut sertakan pada saat manusia lahir di dunia. Di antara semua gairah nafsu, nafsu berahi merupakan nafsu yang sangat kuat dan juga mengandung tugas yang sangat suci. Dari gairah nafsu inilah manusia dapat berkembang biak. Gairah nafsu berahi yang menjadi bunga cinta kasih adalah luhur dan suci. Tuhan Maha Murah! Nafsu diberikan kepada kita sehingga kita dapat merasakan segala macam kenikmatan melalui semua anggota tubuh kita.
Mata dapat melihat keindahan, hidung dapat mencium keharuman, mulut dapat mengenal kelezatan, telinga dapat mendengar kemerduan dan sebagainya, semua itu adalah karena adanya nafsu yang menjadi peserta kita. Akan tetapi justru semua kenikmatan inilah yang menjerat kita. Kalau nafsu tidak lagi menjadi peserta dan alat kita, sebaliknya kalau nafsu menjadi majikan dan memperalat kita, maka terseretlah kita ke dalam perbuatan sesat.
Pengejaran kenikmatan akan menyeret kita ke dalam perbuatan-perbuatan jahat. Seperti Ki Singowiro yang sudah sepenuhnya dikuasai dan diperalat daya rendah, yang ada dalam benaknya hanyalah pengejaran kenikmatan dengan menghalalkan segala cara. Bila mana nafsu berahi sudah memperalat dan mencengkeram kita, maka timbullah perbuatan sesat seperti perkosaan, perjinahan, pelacuran dan sebagainya. Hubungan pria dan wanita yang semestinya suci dan indah itu berubah menjadi kotor, hina dan menjijikkan!
Sambil tertawa-tawa Ki Singowiro membawa Warsiyem ke gubug kosong itu. Suasana di ladang dekat hutan itu sunyi sekali. Tak tampak seorang pun manusia. Hal ini membuat Ki Singowiro menjadi semakin berani. Dia menurunkan Warsiyem ke atas panggung gubug yang terbuat dari pada bambu itu.
Warsiyem menjerit-jerit ketika Ki Singowiro mendekap dan mencoba untuk menciuminya. Pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan kehormatan perawan dusun itu, tiba-tiba terdengar bentakan suara yang terdengar kaku namun cukup bisa dimengerti.
“Eh-ehh! Apa yang terjadi di sini? Sobat, jangan menghina dan memaksa seorang gadis yang tidak berdosa! Perbuatanmu ini salah sekali!’
Mendengar teguran yang keluar dari lidah asing ini, Ki Singowiro terkejut bukan main. Dia melepaskan dekapannya pada Warsiyem dan memutar tubuhnya dengan cepat, matanya terbelalak melotot kepada penegurnya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, dia menjadi marah sekali. Apa lagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah orang biasa saja dengan pakaian sederhana.
“Jahanam busuk, berani engkau mencampuri urusanku? Cepat pergilah kau dari sini atau akan kubunuh kau!” bentaknya sambil mencabut goloknya.
Orang yang rambutnya diikat kain itu segera melompat agak menjauhi gubug. Dia memilih tempat yang rata dan lapang, lalu berkata dengan sikap tenang. “Sobat, aku tidak mencari permusuhan. Aku hanya ingin mengingatkan engkau bahwa perbuatanmu terhadap gadis itu tidak baik!”
“Keparat. Agaknya engkau sudah bosan hidup!” Ki Singowiro marah sekali karena merasa kesenangannya terganggu dan dia langsung menyerang dengan goloknya, membacok ke arah orang itu dengan ayunan golok dari samping sambil mengeluarkan gerengan marah.
“Singgg...! Wuuttt...! Plakkk!”
Terjadinya demikian cepat. Goloknya menyambar tempat kosong ketika lawannya itu tiba-tiba mengelak dengan menarik tubuh ke belakang kemudian memutar tubuhnya membalik, tangan kiri orang itu menangkis pergelangan tangannya yang memegang golok sedangkan tangan kanan sang lawan itu menampar ke arah perutnya yang gendut. Tidak begitu nyeri karena lawannya itu agaknya tidak ingin mencelakainya, tetapi cukup kuat untuk membuat Ki Singowiryo terdorong ke samping dan terhuyung.
Tentu saja dia menjadi marah bukan main. Ki Singowiro adalah seorang gegedug (jagoan) yang sudah terkenal di Gunung Kidul. Jarang ada orang berani menentangnya dan sekali ini, bertemu lawan bertangan kosong saja dia sudah kena tamparan pada perutnya.
Dasar dia adalah seorang yang selalu mengagulkan kemampuan sendiri. Karena tamparan itu tidak terasa nyeri olehnya, dia tidak menyadari bahwa lawannya memang sengaja tidak ingin melukainya. Dia menganggap bahwa pukulan lawan itu terlalu lemah saja sehingga tidak mampu menembus kekebalan perutnya yang gendut.
“Setan alas! Mampus kau!” kembali dia membentak dan sekali ini dia menyerang dengan lebih ganas lagi.
Goloknya berkelebatan dan berdesingan saking kuatnya dia menggerakkan senjata tajam itu untuk membacok. Namun lawannya benar-benar memiliki gerakan yang amat gesit. Ke mana pun golok itu menyambar, orang itu selalu dapat mengelak dengan berloncatan ke sana sini dengan gerakan yang ringan dan cepat.
Sementara itu Warsiyem yang mendeprok di atas panggung gubug menonton pertarungan itu dengan muka pucat dan muka terbelalak. Ia menutupi mulutnya dengan tangan kanan yang gemetar dan meski pun dia tidak mengenal siapa laki-laki itu, namun dia tahu bahwa orang itu membelanya.
Dia merasa ngeri melihat sinar golok yang berkelebatan. Dia membayangkan penolongnya itu akan roboh mandi darah dan kebenciannya terhadap Ki Singowiro semakin bertambah. Tentu saja diam-diam Warsiyem mengharapkan kemenangan bagi penolongnya, biar pun dia belum tahu orang macam apa adanya dia.
Perkelahian itu berlangsung semakin seru. Tetapi orang itu agaknya tidak mau membalas. Ki Singowiro terus menerus menyerang secara bertubi-tubi. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, akan tetapi semua serangannya dapat dihindarkan oleh lawannya dengan cara mengelak atau pun menangkis. Sambil menghindarkan diri, dengan suara kaku tetapi cukup jelas orang itu membujuk Ki Singowiro agar menghentikan perkelahian.
“Sobat, sudahlah, aku tidak ingin berkelahi denganmu.”
“Kalau begitu minggatlah dari sini dan jangan ganggu aku yang sedang bercumbu dengan istriku!” Ki Singowiro membentak sambil menghentikan serangannya dan berdiri terengah-engah. Serangan beruntun yang dia lakukan dengan pengerahan seluruh tenaganya telah membuat dia kelelahan hingga napasnya memburu, keringatnya membasahi dada, leher dan mukanya.
Laki-laki itu terkejut sekali dan matanya yang jeli mengerling ke arah gubug. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi Warsiyem yang masih duduk mendeprok di panggung gubug. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.
Warsiyem memandang heran karena baru sekarang dia dapat melihat jelas. Seorang laki-laki asing, pikirnya. Selama hidupnya Warsiyem tinggal di dusun Bakulan dan tidak pernah melihat seorang asing seperti penolongnya itu. Maka gadis itu terheran-heran.
Lelaki itu berambut panjang dan diikat kain. Kulitnya bersih dan wajahnya cukup tampan, akan tetapi matanya tajam sehingga tampak gagah. Akan tetapi sinar matanya itu penuh kelembutan dan wajahnya juga membayangkan ketenangan dan keramahan. Pakaiannya sederhana saja. Sebuah celana biru sampai betis, bajunya juga sederhana berwarna putih bersih. Kedua kakinya telanjang dan lehernya berkalung sarung.
“Nona, benarkah nona adalah istri sobat ini?” Akhirnya laki-laki itu bertanya.
Warsiyem menggeleng kepalanya keras-keras sehingga kedua titik air mata yang tadinya berada di bawah matanya terpercik jatuh. “Tidak... tidak. Dia bohong! Aku bukan istrinya, dia... dia malah telah membunuh ayahku!” teriaknya dan jari telunjuk kanannya ditudingkan ke arah muka Ki Singowiro.
“Aehh...! Jahat sekali! Kalau begitu dia bukan sahabat, melainkan seorang penjahat!” kata laki-laki itu.
“Singgg...!”
Golok itu menyambar dari belakang tubuhnya, mengarah laki-laki itu. Ki Singowiro yang mendengar percakapan antara laki-laki itu dan Warsiyem tadi menggunakan kesempatan untuk menyerang lawan dari belakang. Dia hampir merasa yakin bahwa sekali ini bacokan goloknya tentu tidak akan dapat dihindarkan dan kepala lawannya itu tentu akan terlepas dari tubuhnya!
Akan tetapi laki-laki itu ternyata tangkas bukan main. Ketika golok menyambar berdesing, pendengarannya yang terlatih dan tajam dapat menangkap suara gerakan itu. Mendadak tubuhnya merendah dengan kedua lutut ditekuk dan berbareng dia memutar tubuh. Golok pun lewat di atas kepalanya dan sambil memutar tubuh tadi, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka sudah menghantam ke depan, ke arah dada Ki Singowiro. Sekali ini hantaman itu dilakukan dengan pengerahan tenaga.
Setelah mendengar dari Warsiyem bahwa Ki Singowiro sudah membunuh ayah gadis itu sehingga dia tahu bahwa orang tinggi besar gendut ini jahat dan kejam sekali, barulah dia memukul dengan sungguh-sungguh.
“Bukkk...!”
Dada yang bidang dan berotot itu terpukul tangan terbuka dan Ki Singowiro merasa seperti disambar petir. Dia langsung terjengkang dan terbanting jatuh. Dadanya yang terpukul dan punggungnya yang terbanting terasa nyeri sehingga napasnya menjadi sesak.
Akan tetapi dasar dia adalah seorang jagoan yang bandel dan tidak pernah merasa kalah, dia segera bangkit lagi dengan terengah-engah, memegang goloknya dengan kuat dan dia menerjang lagi ke depan sambil mengeluarkan teriakan seperti seekor singa marah.
Sekali ini lelaki itu menghindar ke samping, tangan kirinya menyambar ke depan memukul pergelangan tangan kanan Ki Singowiro dan kaki kanannya mencuat lantas menendang ke arah perut gendut itu.
“Plakk...! Bukkk!”
Golok itu terlepas dari pegangan dan untuk kedua kalinya Ki Singowiro terjengkang dan terbanting keras. Sekali ini jagoan itu tidak bisa segera bangun, melainkan merangkak dan akhirnya bangkit dengan sulit, meringis kesakitan kemudian pergi meninggalkan lawannya dengan langkah terhuyung-huyung. Sesudah menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh sekali, dia memilih melarikan diri dan menyelamatkan dirinya.....
Komentar
Posting Komentar