ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-02
“Ahh, agaknya di segala tempat ada saja orang-orang jahat seperti dia,” gumamnya.
Dia teringat akan keadaan di kampung halamannya sendiri dari mana dia datang, teringat akan mala petaka yang menimpa keluarganya sehingga memaksanya pergi meninggalkan kampungnya dan kini berada di sini.
Mendadak dia mendengar isak tangis dan cepat dia memutar tubuhnya. Baru dia teringat akan wanita yang hampir saja menjadi korban kebiadaban orang jahat tadi. Dia melangkah maju menghampiri.
Warsiyem sedang terisak dan tubuhnya masih gemetaran sehingga dia tidak mampu turun dari gubug atau melarikan diri ketika melihat lelaki itu menghampirinya. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia cepat beringsut ke belakang sampai tubuhnya tertahan oleh dinding gubug. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan ketakutan dan suaranya juga terdengar gemetar.
“Jangan... jangan ganggu aku... jangan... ahh, kasihanilah aku...“ ratapnya.
Laki-laki itu berhenti melangkah dan kini berdiri dalam jarak dua meter dari gubug itu. Dia tersenyum. “Tenanglah dan jangan takut, nona. Aku takkan mengganggumu sama sekali. Aku hanya ingin membantumu kalau memang engkau membutuhkan bantuan. Katakan di mana tempat tinggalmu dan di mana orang tuamu berada, aku akan mengantarkan nona pulang sampai ke rumahmu.”
Tadi Warsiyem sudah menduga bahwa lelaki ini memang hendak membela dan menolong dirinya. Mendengar ucapan lelaki itu, maka dia menjadi lega dan dia pun melorot turun dari gubug kemudian segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada laki-laki itu.
“Ki sanak, terima kasih banyak atas pertolonganmu.”
Melihat ini, laki-laki itu hendak membangunkan. Akan tetapi melihat betapa kedua pundak Warsiyem bertelanjang karena gadis itu hanya mengenakan tapih pinjung untuk menutupi tubuhnya, dia urungkan gerakannya lalu membalikkan tubuh membelakangi gadis itu!
“Nona, jangan begitu. Bangkitlah dan mari bicara baik-baik. Aku tidak suka kalau engkau memberi hormat seperti itu.”
Warsiyem lalu bangkit berdiri dan laki-laki itu agaknya dapat mendengar gerakannya. Dia sudah berbalik dan menghadapi Wwarsiyem kembali.
“Nah, bagus begitu. Sekarang katakan siapa engkau dan di mana rumahmu.”
“Namaku Warsiyem dan aku tinggal di dusun Bakulan sana bersama ayahku...” Tiba-tiba dia teringat akan ayahnya. “Ahh, ayahku...!” keluhnya dan dia pun menangis.
“Tenanglah, nona. Engkau sudah terlalu banyak menderita dan menangis. Dengan tangis saja takkan menyelesaikan persoalan. Tadi engkau mengatakan bahwa ayahmu terbunuh oleh laki-laki jahat tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Warsiyem menarik napas panjang beberapa kali untuk menghentikan tangisnya, kemudian dengan lirih dan tersendat-sendat dia berceritera. “Tadi aku sedang mandi sambil mencuci pakaian di sungai ketika tiba-tiba muncul orang yang menamakan dirinya Ki Singowiro itu. Dia hendak menangkap aku, maka aku cepat melarikan diri dan dia mengejarku. Di dekat dusun Bakulan tempat tinggalku, muncul ayahku. Ayah bernama Ki Sutowiryo. Melihat aku dikejar-kejar, bapak membelaku. Akan tetapi dia... dia dibacok lehernya oleh penjahat tadi! Bapak roboh mandi darah, kemudian aku dilarikan jahanam tadi sampai ke sini. Untunglah engkau muncul dan menolongku, ki sanak.”
Lelaki itu mengerutkan alisnya dan memandang gadis itu dengan hati iba yang terpancar pada wajahnya.
“Tabahkan hatimu, nona. Jangan khawatir, aku akan mengantarmu pulang. Namaku Harun Hambali, orang-orang memanggilku Uun.”
“Namamu aneh, ki sanak. Engkau orang manakah?” tanya Warsiyem heran.
“Aku orang Sunda, aku datang dari daerah barat kurang lebih sepuluh tahun yang lampau. Mari kuantar engkau pulang dan kita lihat bagaimana keadaan ayahmu.”
Teringat akan ayahnya, Warsiyem lalu cepat melangkah dan menjadi penunjuk jalan. Biar pun tubuhnya terasa lelah sekali, akan tetapi bayangan ayahnya yang menggeletak mandi darah membuat dia mendapat semangat dan tenaga baru sehingga dia berjalan setengah berlari-lari.
Akhirnya mereka tiba di luar dusun di mana tadi Ki Sutowiryo tergeletak mandi darah, tapi tubuh ayah Warsiyem itu sudah tidak berada di situ lagi dan bekasnya hanyalah genangan darah di atas tanah. Pada saat itu nampak seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun yang membawa keranjang rumput dan arit menghampiri mereka. Dia lalu bertanya kepada Warsiyem.
“Mbakyu Siyem, ke mana saja engkau? Semua orang mencarimu.”
“Ahh, Kahar! Tahukah engkau di mana bapakku...?”
Anak itu terbelalak. Dia tidak menduga bahwa gadis itu telah mengetahui kalau bapaknya sudah meninggal dunia.
“Dia... dia... Paman Sutowiryo... dia telah tewas... kini jenasahnya sudah dibawa pulang,” katanya tersendat-sendat. Tentu saja Warsiyem tidak merasa kaget mendengar ini.
“Mari kita susul ke rumah kami,” katanya kepada penolongnya, pria Sunda yang bernama Harun atau Uun itu.
Harun mengangguk dan mereka berdua cepat memasuki dusun Bakulan, diikuti pandang mata Kahar yang merasa terheran-heran melihat Harun.
Warsiyem segera menuju ke rumahnya, diikuti dari belakang oleh Harun. Rumah itu sudah penuh oleh tetangga yang datang melayat. Warsiyem berlari masuk dan tentu saja Harun tidak berani mengikuti masuk ke dalam, melainkan duduk bersila di antara para tamu yang melayat di ruangan depan rumah itu.
Melihat jenasah ayahnya berada di atas dipan di ruangan dalam dan ditutup sehelai kain, Warsiyem lalu menjatuhkan diri di dekat dipan sambil menangis dan meratap.
“Bapak...! Bapak...! Uhu-hu-hu-hu... bapak...!” Dia menjadi pening, lalu terkulai lemas dan akhirnya pingsan.
Ketika siuman Warsiyem sudah berada dalam kamarnya, rebah di atas dipan dan seorang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun duduk di pinggir dipan. Wanita itu rambutnya sudah berwarna dua, tetapi pada wajahnya ada raut yang membayangkan kegalakan dan kebawelan. Warsiyem segera mengenal bahwa nenek itu adalah Mbok Rondo Saritem.
Dia merasa heran melihat kakak tiri ayahnya ini. Sudah bertahun-tahun uwak atau mbokde tirinya ini tak pernah mau berdekatan dengan dia dan ayahnya. Sudah lama terjadi ketidak cocokan antara ayahnya dengan mbokde tiri ini. Akan tetapi sekarang tahu-tahu dia sudah berada di situ.
“Mbokde Saritem...!” Warsiyem menyapa lirih sambil bergerak untuk bangkit duduk.
Mbok Rondo Saritem segera membantu gadis itu bangkit duduk. Sikapnya sangat ramah. “Mengasolah saja, Siyem. Tidurlah...“ dia membujuk.
“Mbokde, aku harus mengurus jenasah bapak.”
“Hushh, tenang sajalah. Aku sudah mengurus semuanya, Yem. Engkau tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali aku, mbakyu dari bapakmu. Aku yang akan mengurus jenasah adikku Sutowiryo hingga selesai dikebumikan dan aku pula yang selanjutnya akan mengurus rumah ini, mengurus dirimu. Serahkan saja segalanya padaku, nduk. Sekarang akulah pengganti orang tuamu.”
Karena kata-kata itu terdengar ramah dan manis, terharulah hati Warsiyem yang sedang kebingungan. Dia merangkul mbokde-nya dan menangis.
“Terima kasih, mbokde Saritem.”
Harun yang ikut duduk bersila di atas tikar bersama para pelayat, sejak masuk dan duduk, dia diam saja. Orang-orang yang melayat memandang kepadanya dengan kening berkerut dan pandang mata heran, namun tidak ada penduduk dusun Bakulan yang menyapanya. Maklum, mereka adalah orang-orang dusun yang malu menegur seorang asing.
Karena di tempat itu yang dikenal Harun hanya Warsiyem seorang, dan dia melihat betapa gadis itu sibuk di dalam dan tidak pernah keluar, bahkan agaknya tidak ingat lagi padanya, maka dia pun diam saja, hanya ikut makan dan minum ketika disuguhi makan dan minum. Dia merasa tidak enak untuk meninggalkan tempat itu begitu saja. Pertama, dia memang ingin melayat untuk menyatakan ikut berduka cita dan kedua, dia tidak mungkin bisa pergi begitu saja meninggalkan Warsiyem tanpa pamit kepada gadis itu.
Pada waktu jenasah Ki Sutowiryo diangkut menuju tanah pekuburan yang terdapat di luar dusun Bakulan, Harun juga ikut dalam iring-iringan mereka yang turut mengantar jenasah ke pekuburan. Dia mengikuti dengan khidmat upacara pemakaman yang diadakan orang-orang itu ketika mengubur jenasah dan dengan hati penuh iba dia hanya memandang dari jarak agak jauh kepada Warsiyem yang menangis sambil mendeprok di depan gundukan tanah di mana jenasah ayahnya terkubur.
Gadis itu nampak sangat menyedihkan. Pakaiannya kusut. Rambut yang digelung dengan sembarangan itu awut-awutan. Muka tanpa bedak itu tampak agak pucat dan air matanya membasahi kedua pipinya. Entah mengapa Harun sendiri tidak tahu, namun ada sesuatu yang terasa perih sekali dalam hatinya ketika dia memandang kepada Warsiyem.
Di dalam pandang matanya, gadis itu tidaklah terlalu cantik, akan tetapi pada wajah yang manis itu terdapat sesuatu yang membuat Harun terharu dan menimbulkan hasrat hatinya untuk melindunginya. Bahkan timbul keinginan dalam hatinya untuk menghibur kedukaan gadis itu, untuk membahagiakannya.
Satu demi satu para pelayat meninggalkan tanah pekuburan itu sehingga akhirnya yang tinggal di sana hanyalah Warsiyem dan Mbok Rondo Saritem yang menghibur gadis yang masih menangis sedih itu. Harun juga masih berada di situ, agak jauh dalam jarak sepuluh meter dari kedua orang wanita yang masih berjongkok di depan gundukan tanah kuburan baru itu.
“Sudahlah Yem. Tidak ada gunanya ditangisi lagi. Bahkan engkau hanya akan membikin gelap perjalanan bapakmu ke alam kelanggengan. Sebaiknya kita pulang saja. Aku harus membereskan rumah yang mulai sekarang menjadi tempat tinggal kita berdua. Rumahku sendiri yang berada di ujung dusun akan kujual agar aku dapat tinggal denganmu di rumah kita yang baru.”
Warsiyem dapat menenangkan hatinya dan pada saat itu teringatlah dia akan orang asing yang telah menolongnya. Sekelebatan tadi dia melihat Harun di antara para pelayat, akan tetapi dia tidak memperhatikan orang itu karena hatinya dipenuhi kesedihan. Sekarang dia teringat dan tiba-tiba menyadari betapa dia telah menyia-nyiakan dan tidak mengacuhkan orang yang telah menyelamatkannya itu.
“Di mana dia...?” katanya lirih sambil menoleh ke segala jurusan.
“Dia siapa, Yem?” tanya Mbok Rondo Saritem.
Akan tetapi Warsiyem tidak menjawab sebab pandang matanya sudah menemukan Harun. Dia segera bangkit berdiri lalu menghampiri pria muda yang kini duduk di atas sebuah batu besar itu. Melihat Warsiyem menghampiri, Harun segera turun dari atas batu dan mereka kini berdiri berhadapan saling pandang.
“Dik War...” kata Harun dan sebutan ini terdengar sangat lucu di telinga Warsiyem. Harun menyebut ‘War’ padahal orang-orang lain biasanya memanggil dia Siyem atau Yem begitu saja. “Aku merasa ikut berduka cita atas kematian ayahmu.”
Warsiyem mengusap air matanya. Dia tidak menangis lagi. “Ki sanak...”
“Dik War, jangan menyebut ki sanak padaku. Rasanya asing dan tidak enak didengarnya. Namaku Harun, Harun Hambali atau Uun.”
“Namamu aneh. Aku sulit menyebutnya.”
“Sebut saja aku akang Uun agar lebih mudah,” kata Harun.
“Akang Uun,” wajah Warsiyem agak cerah karena dia dapat menyebut nama penolongnya itu. “Aku berterima kasih sekali kepadamu, kang, dan maafkan aku bahwa sejak tadi aku sama sekali tidak memperhatikanmu karena aku...”
“Sudahlah, dik War, tidak apa-apa karena engkau sedang sibuk dan dilanda kesusahan.”
Pada saat itu Mbok Rondo Saritem sudah menghampiri mereka. Dengan alis berkerut dia menegur, “Siyem, siapakah orang ini?” Matanya memandang kepada Harun penuh selidik. “Apakah dia yang membunuh bapakmu?”
“Ah, sama sekali tidak, mbokde! Dia ini... Harun, dia yang sudah menolongku dari tangan penjahat yang menculikku!” kata Warsiyem cepat.
“Hemm, dia ini orang asing. Tidak boleh engkau bercakap-cakap dengan seorang laki-laki, apa lagi dia orang asing. Kalau tidak salah dia bukan orang sini! Selama ini aku tak pernah melihatnya. Hayo kita pergi, jangan pedulikan dia!”
“Akan tetapi, mbokde...!”
“Tidak ada tetapi! Ingat, Siyem, sekarang akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Kau harus menurut kata-kataku karena akulah pengganti orang tuamu. Mari kita pergi. Lihatlah, semua orang sudah pulang. Jangan-jangan orang ini berniat buruk!” Mbok Rondo Saritem lalu memegang tangan gadis itu dan ditariknya pergi dari situ.
Harun memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia tidak berani mencampuri urusan keluarga. “Selamat tinggal, dik War!” katanya lirih.
Warsiyem yang digandeng dan ditarik mbokde-nya menoleh. “Kang Uun...!”
Dalam pendengaran Harun, dalam suara panggilan Warsiyem itu terkandung sesuatu yang aneh. Sekarang semakin terasa dalam hatinya bahwa gadis itu memerlukan bantuannya dan membutuhkan perlindungannya. Di dalam suara gadis itu seperti terkandung keraguan, kekhawatiran dan juga harapan. Dia melihat betapa dua orang wanita itu sudah memasuki dusun Bakulan.
Harun menepuk kepalanya sendiri, “Tolol kau! Dia telah aman dalam lindungan wanita itu. Tidak baik mencampuri urusan orang lain dan gadis itu bukan apa-apamu.”
Setelah berulang kali menghela napas panjang akhirnya Harun meninggalkan kuburan itu, meninggalkan dusun Bakulan. Akan tetapi entah kenapa, hatinya merasa amat tidak enak, tidak senang dan semangatnya seolah tertinggal di dusun itu.....
********************
“Mbokde, aku belum ingin menikah! Aku tidak mau...“ kata Warsiyem kepada Mbok Rondo Saritem. Mereka berdua duduk di atas balai-balai bambu dalam rumah gadis itu.
Sudah satu bulan lebih Mbok Rondo Saritem tinggal di rumah Warsiyem dan menguasai rumah itu sebagai pengganti orang tua Warsiyem. Peristiwa ini agaknya disetujui oleh para tetangga karena janda itulah satu-satunya keluarga Warsiyem dan Mbok Rondo Saritem cukup kaya dan pandai membawa diri sehingga disegani penduduk dusun Bakulan.
“Yem, engkau tidak bisa menolak, Emas kawinnya telah kuterima dan kami telah sepakat, bahkan ikatan perjodohan ini disaksikan pula oleh Bapak Lurah. Calon suamimu adalah seorang yang cukup kaya, cukup terhormat dan disegani di semua pedusunan di daerah Gunung Kidul dan Pesisir Laut Kidul. Engkau akan hidup senang dan berkecukupan, juga terhormat.”
“Akan tetapi, mbokde, aku masih suka sendirian, belum ingin melayani...”
“Apa? Usiamu sudah hampir delapan belas tahun! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua dan menjadi gunjingan orang-orang di seluruh pedusunan? Kalau begitu aku yang akan malu karena aku adalah pengganti orang tuamu. Juga aku akan merasa berdosa kepada mendiang adikku Sutowiryo kalau engkau tidak segera memperoleh jodoh. Pendek kata, engkau tidak dapat menolak lagi. Hari pernikahannya juga sudah ditentukan. Besok Senin Pahing, kurang sepuluh hari lagi!” Sesudah berkata demikian, dengan sikap marah Mbok Rondo Saritem meninggalkan keponakannya dan melangkah ke luar.
Warsiyem bangkit, berlari memasuki kamarnya lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tanpa suara. Dia sadar bahwa nasibnya ternyata tiada bedanya dengan para perawan lain di dusun itu. Dijodohkan dan akan dikawinkan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak pernah dilihat sebelumnya. Dia pun tahu bahwa banyak kawannya yang dikawinkan jauh lebih muda dari pada usianya sendiri. Dan dia tahu pula bahwa andai kata ayahnya masih hidup, dia pun akan dinikahkan seperti itu pula, menurut pilihan ayahnya. Tapi dia tidak akan merasa seperti terlalu dipaksa seperti ini bila ayahnya yang memilih.
Warsiyem merasa takut. Dia takut membayangkan bagaimana rupa dan sikap suami yang belum pernah dilihatnya itu. Dia tidak berdaya! Siapa yang akan sanggup menolongnya? Minta tolong kepada orang-orang? Pasti dia hanya akan ditertawakan. Mana ada perawan yang akan dikawinkan merasa malu-malu akan tetapi gembira karena merasa telah ‘laku’ dan lebih gembira lagi karena tentu digoda oleh teman-temannya! Kepada siapa dia dapat minta tolong?
Tiba-tiba bayangan Harun menyelinap dalam benaknya. Sekarang barulah ia teringat akan laki-laki itu setelah ia membutuhkan pertolongan! Akan tetapi bagaimana mungkin? Harun sudah pergi, entah ke mana dan sudah sebulan lebih ia tidak pernah melihat orang itu lagi. Lagi pula, andai kata dia berada di Bakulan, bagaimana dia akan dapat menolong seorang perawan yang akan dikawinkan? Tentu akan menjadi buah tertawaan! Dia menjadi bingung dan bantal menjadi satu-satunya tempat menumpahkan rasa sedihnya.
Seperti para perawan dusun di masa itu, Warsiyem juga hanya dapat tunduk dan pasrah, menyembunyikan tangisnya di dalam hati. Setiap kali ia bersama kawan-kawannya mandi, mencuci pakaian atau bekerja di ladang, ia tentu menjadi bahan godaan teman-temannya.
Akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa gembira dalam hatinya, bahkan semua godaan itu semakin meremas perasaan hatinya. Di waktu malam Warsiyem tidak dapat tidur, gelisah di atas tempat tidurnya dan sering menangis tanpa suara. Makin dekat waktu perkawinan menjelang, semakin gelisah pula rasa hatinya.
Akhirnya hari pernikahan itu pun tiba. Rumah itu sudah dihias dengan janur, daun-daunan dan bunga-bunga. Pesta perayaan itu diadakan secara besar-besaran dan menurut berita yang sampai ke telinga Warsiyem, semuanya itu atas biaya calon suaminya. Tetapi berita yang dibawa oleh kawan-kawannya dengan penuh rasa kagum dan iri itu sama sekali tidak membesarkan hatinya.
Sejak sore hari Warsiyem sudah dirias sebagai seorang pengantin. Walau pun pertemuan sepasang pengantin akan diadakan sebentar lagi, malam nanti, akan tetapi tetap saja dia masih belum mengetahui siapa nama dan bagaimana macamnya calon suaminya!
Air mata duka yang mengalir pada kedua pipinya ketika dirias dianggap wajar oleh semua wanita yang merubungnya. Sudah jamak jika pengantin putri menangis ketika menghadapi upacara pernikahan. Kalau tidak menangis bahkan akan menjadi gunjingan dan mungkin cemoohan. Oleh karena itu, tangis yang sebetulnya keluar dari hati Warsiyem yang pedih, dianggapnya biasa saja, dianggap tangis buatan seperti yang terjadi pada semua perawan yang dikawinkan.
Gamelan telah ditabuh, mengiringi tembang yang dinyanyikan dua orang pesinden secara bergantian. Malam itu kebetulan bulan purnama dan langit bersih sekali sehingga ruangan di rumah itu penuh dengan tamu yang bergembira, bahkan di luar rumah pun penuh tamu yang kebagian duduk di bawah tarup sedangkan di pekarangan rumah berkumpul banyak anak-anak.
Malam yang amat indah. Semua orang kelihatan gembira karena Warsiyem yang terkenal sebagai kembang dusun Bakulan malam ini menikah! Suara riuh menyambut kedatangan pengantin pria.
Pengantin pria bertubuh tinggi besar dengan perut gendut memasuki ruangan diiringi para pengantarnya. Setelah upacara penyambutan, pengantin wanita lalu dituntun ke luar untuk menyambut.
Warsiyem melangkah perlahan sambil menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan tangisnya. Sesudah para pendampingnya berhenti melangkah sehingga dia pun berhenti, barulah dia memberanikan diri untuk sedikit mengangkat mukanya agar dia dapat melihat laki-laki calon suaminya yang sudah berdiri di depannya.
Begitu dia melihat wajah laki-laki tinggi besar berperut gendut yang berpakaian pengantin pria itu, Warsiyem terbelalak dan melotot seperti tidak percaya dengan pandang matanya sendiri. Yang berdiri di hadapannya itu bukan lain adalah Ki Singowiro! Orang yang dahulu menculiknya dan hampir memperkosanya, bahkan orang yang telah membunuh ayahnya!
Hanya dia dan Harun yang tahu akan hal itu. Agaknya mbokde-nya dan semua penduduk dusun Bakulan telah terkecoh dan tertipu, bahkan mungkin saja mbokde-nya sudah diberi banyak uang oleh Ki Singowiro sehingga dengan senang hati menerima pinangannya dan menyerahkan keponakannya itu kepada orang yang dianggap kaya raya dan berpengaruh itu.
“Aaaaiiihhh...! Tidak...! Tidaaaaakkkk...!”
Warsiyem menjerit sekuat tenaga sehingga jeritnya terdengar melengking mengatasi suara gamelan yang sedang memainkan lagu Kodok Ngorek. Semua orang terkejut dan mereka semua seperti terpukau ketika Warsiyem mendadak melarikan diri ke luar dari rumah itu. Sepasang sandalnya terlempar dan ia berlari kencang seperti seekor kijang betina dikejar!
Seperti juga semua orang yang berada di situ, Ki Singowiro yang tadinya terus tersenyum-senyum itu menjadi tertegun, kaget karena tak mengira sama sekali bahwa perawan yang membuatnya tergila-gila dan yang sudah hampir dapat dikuasainya sebagai istrinya yang sah itu tiba-tiba melarikan diri ke luar rumah. Bahkan para pesinden dan penabuh gamelan juga langsung menghentikan permainan mereka.
Akan tetapi Ki Singowiro yang paling dulu menyadari keadaan. Dia tidak ingin kehilangan calon istrinya. Dia khawatir sekali kalau-kalau perawan denok ayu itu melakukan bunuh diri. Maka dia segera melepaskan selopnya dan mencincing kainnya, melompat keluar lalu berlari mengejar Warsiyem yang sosoknya masih kelihatan di antara kegelapan bayangan pohon.
Tanpa disadarinya sendiri, Warsiyem yang merasa takut, ngeri dan marah itu berlari cepat sekali seperti telah kemasukan roh kijang. Dia pun berlari tanpa arah tertentu, akan tetapi di luar kesadarannya dia berlari menuju ke anak sungai.
Tapi bagaimana pun cepatnya lari seorang perawan yang ketakutan, akhirnya dia terkejar juga oleh Ki Singowiro. Dara itu sudah dapat mendengar jejak langkah kaki yang berat dari pengejarnya dan sudah mendengar dengus napasnya yang seperti kerbau berpacu. Ketika ia berlari sekuatnya dan berada di bawah sebatang pohon sehingga tempat itu agak gelap oleh bayangan pohon itu, tiba-tiba Warsiyem menabrak seseorang yang berdiri di situ.
Akan tetapi dia tidak merasa nyeri atau terjatuh karena orang yang ditabraknya itu sudah cepat menangkap lengannya dan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Warsiyem merasa terkejut dan takut sekali melihat bayangan hitam yang menangkapnya.
“Dik War, jangan takut. Aku akan menolongmu,” bisik bayangan itu.
“Akang...! Ahh, Kang Uun!” Warsiyem mengeluh, hatinya terasa lega seperti terlepas dari himpitan benda berat.
“Berdirilah di belakangku, dik. Biar aku yang menghadapinya,” kata Harun.
Ki Singowiro yang mengejar sudah tiba di situ dan melihat seorang laki-laki yang bertubuh tidak berapa besar namun cukup tinggi dan tegap. Dia tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas karena mereka berdiri di dalam bayangan pohon.
“Keparat! Siapa engkau? Minggir kau!” kata Ki Singowiro sambil mempergunakan tangan kanannya yang besar untuk mendorong dada orang itu.
Namun sekali ini Harun sudah sangat marah melihat orang yang dulu menculik Warsiyem, bahkan yang telah membunuh ayahnya, kini hendak memaksa gadis itu menjadi istrinya. Dorongan tangan itu ditangkis sekaligus ditangkap, lalu dipelintir dan sekali menggerakkan tangan dengan sentakan kuat, tubuh Ki Singowiro langsung terpelanting roboh!
Ki Singowiro terkejut dan marah sekali. Dia segera bangkit berdiri dan karena berpakaian pengantin, maka dia memakai sebatang keris. Dicabutnya keris itu dan sekarang dia dapat memandang wajah orang itu dengan jelas. Bukan main kagetnya ketika dia mengenal laki-laki yang pernah mengalahkannya sebulan lebih yang lalu. Hatinya merasa jeri, akan tetapi ketika mendengar langkah banyak kaki mendatangi, hatinya menjadi besar kembali.
Penduduk dusun itu tentu akan membantunya karena mereka semua telah setuju bila dia menikah dengan Warsiyem dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu akan perbuatannya dahulu terhadap Warsiyem dan ayahnya.
“Jahanam. lancang, berani engkau mencampuri urusanku dengan istriku sendiri!” Setelah berkata begitu dia membentak dan menerjang maju, menikamkan kerisnya ke arah perut Harun.
Namun serangan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini tentu saja disambut dengan tenang oleh Harun yang pernah menjadi murid yang cukup tangguh dari aliran Cimande. Dengan miringkan tubuhnya ke kiri, tusukan itu luput dan ketika tubuh Ki Singowiro lewat di sampingnya, tangan kanannya menghantam pundak kanan Ki Singowiro.
“Bresss...!”
Tubuh Ki Singowiro segera terpental dan terbanting kemudian terguling-guling. Keris yang terpegang tangan kanannya juga terlepas dan terlempar kerena pundak kanannya terkena hantaman dengan tangan miring sehingga seluruh lengan itu terasa lumpuh.
Kurang lebih dua puluh orang lelaki yang tadinya berada di tempat pesta pernikahan, pada saat itu telah tiba di sana. Harun melangkah mundur dan dia baru berhenti setelah merasa betapa lengan kirinya dipegang erat-erat oleh kedua tangan Warsiyem. Di antara orang-orang itu terdapat Mbok Rondo Saritem yang rupanya juga ikut mengejar hingga napasnya megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan.
“Siyem...! Apa yang kau lakukan ini? Ke sini kau!” bentak Mbok Rondo Saritem.
Singowiro yang licik dan sejak tadi memang sudah merencanakan siasatnya ketika melihat adanya laki-laki yang menolong Warsiyem, cepat berkata dengan suara nyaring.
“Inilah dia! Orang ini yang dulu membunuh Bapak Sutowiryo! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!”
Semua orang terkejut dan memandang marah kepada Harun.
“Bunuh dia! Tangkap pembunuh ini kemudian kita serahkan kepada Pak Lurah!” Terdengar teriakan-teriakan.
“Bohong! Semuanya itu bohong!” Warsiyem menjerit dan melangkah maju seolah hendak melindungi Harun yang sekarang berdiri di belakangnya. “Yang membunuh ayahku adalah jahanam Singowiro ini! Dia pula yang menculikku dan... kang Harun ini yang menolongku.”
“Fitnah keji!” teriak Singowiro membela diri. “Aku cinta padanya dan hendak mengambilnya menjadi istriku, mana mungkin aku membunuh ayah mertuaku sendiri? Orang jahat itulah yang membunuhnya!”
Penduduk Bakulan bergerak maju, Mbok Rondo Saritem juga maju dan berteriak, “Bunuh orang jahat itu! Agaknya dia telah mengguna-gunai Warsiyem sehingga anak itu membela dia. Dia membunuh adikku Sutowiryo dan kini hendak merusak kehormatan keponakanku Warsiyem!”
Penduduk dusun itu semakin marah.
“Kalian semua sudah buta!” jerit Warsiyem. “Kang Uun ini tidak bersalah. Singowiro itulah penjahat yang sebenarnya! Ahh, mundur kalian. Kalian telah buta!”
Akan tetapi orang-orang itu sudah terpengaruh lebih dahulu oleh keterangan Ki Singowiro dan Mbok Rondo Saritem. Tentu saja mereka lebih percaya pada dua orang itu dari pada kepada seorang asing yang mungkin benar saja telah mengguna-gunai Warsiyem. Mereka serentak maju untuk menyerang dan mengeroyok Harun.....
Komentar
Posting Komentar