ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-03


“Kang Uun! Tunggu, jangan tinggalkan aku...!” Warsiyem berlari mengejar sambil menjerit-jerit.

“Dik War, maafkan aku. Aku tidak berhak mencampuri persoalan ini!” jawab Harun sambil terus berlari. Dia tahu bahwa dia tidak berhak mempertahankan atau mencegah Warsiyem menikah dengan orang yang agaknya sudah dipilih oleh uwa gadis itu, malah disetujui oleh seluruh penduduk.

“Kang Uun...!”

Harun berlari terus dan lenyap dalam keremangan sinar bulan purnama.

“Kang Uun...!” Warsiyem menjerit-jerit sambil menangis ketika merasa dirinya didekap dan dipanggul oleh Ki Singowiro seperti seorang panglima perang memanggul wanita.

Sambil diiringi para penduduk dusun, Mbok Rondo Saritem berkata kepada pengantin pria itu. “Nah, pondonglah pengantinmu baik-baik, Singowiro, jangan sampai dia terlepas dan lari lagi. Dasar anak bandel. Kalau orang jahat itu berani muncul lagi, biar kami yang akan menghajarnya!”

“Lepaskan aku, lepaskan!” Warsiyem meronta-ronta. “Mbokde, aku tidak sudi menjadi istri pembunuh ayah ini, lebih baik aku mati! Kang Uun...!”

Harun menghentikan larinya ketika mendengar jerit Warsiyem, Dari ratap tangis itu tahulah dia bahwa Warsiyem kembali terjatuh ke tangan laki-laki bernama Singowiro itu. Seluruh hasrat hatinya mendorongnya untuk kembali dan menolong gadis itu supaya terlepas dari cengkeraman serigala berujud manusia itu. Akan tetapi dia menggelengkan kepala keras-keras.

Tidak! Tidak pantas baginya yang bukan apa-apanya Warsiyem untuk merebut gadis itu dari tangan mereka yang berhak. Akan tetapi terbayanglah di benaknya betapa Warsiyem diperkosa laki-laki jahat dan kejam itu, bagai seekor domba yang dirobek-robek, berdarah-darah dan hanya dapat merintih dan mengembik lemah dan memelas, sepasang matanya basah memandang kepadanya dengan penuh permohonan.

“Jahanam!” Mendadak dia memaki dan tubuhnya membalik, lalu dia melompat dan berlari cepat sekali mengejar rombongan itu.

Dengan hati sangat girang Ki Singowiro memanggul tubuh Warsiyem dan membayangkan kesenangan yang akan dinimatinya nanti bersama pengantin wanita di dalam kamar.

Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Harun telah berada di belakangnya. Dua tangan Harun bergerak, yang kanan merenggut tubuh Warsiyem dari atas pondongan Ki Singowiro dan tangan kirinya menghantam dengan amat kuatnya ke arah tengkuk laki-laki tinggi besar itu.

“Wuuttt...! Desss...!”

“Aughhh...!” Tubuh Ki Singowiro terpelanting dan dia roboh tak berkutik lagi karena sudah pingsan seketika.

Tubuh Warsiyem sudah terlepas dari dekapan Ki Singowiro dan sekarang gadis itu berdiri di atas tanah, lengannya masih dipegang Harun.

“Kang Uun...!” Warsiyem berseru girang.

“Mari kita pergi!” Harun menggandeng tangan Warsiyem dan diajaknya gadis itu melarikan diri.

Para penduduk dusun itu tertegun sejenak. Peristiwa itu terjadi dengan begitu cepat, tahu-tahu mereka melihat Ki Singowiro sudah terpelanting dan Warsiyem melarikan diri dengan orang itu. Mbok Rondo Saritem segera sadar dari kagetnya.

“Maling...! Rampok...! Cepat kejar mereka!” Jeritnya.

Penduduk yang berjumlah dua puluh orang itu baru menyadari dan mereka pun melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak.

Harun yang menggandeng dan menarik tangan Warsiyem melihat betapa gadis itu sangat lemah dan tersaruk-saruk. Dia tahu bahwa gadis itu lelah sekali dan juga sudah beberapa hari Warsiyem bersusah hati dan hampir tidak makan sehingga dia tidak mempunyai sisa tenaga lagi.

“Dik War, engkau ingin kembali kepada mereka?” tanya Harun yang terpaksa berhenti.

“Tidak! Ahh... tidak, kang!”

“Engkau ingin melarikan diri dari mereka?”

“Ya, aku tidak sudi kembali. Lebih baik aku mati dari pada terjatuh di dalam tangan mereka lagi. Aku akan bunuh diri...”

“Ke mana engkau hendak melarikan diri?”

“Ke mana saja, kang. Ke mana saja engkau membawa diriku pergi, aku ikut denganmu...!”

Para pengejar sudah datang semakin dekat.

“Kelak engkau tidak akan menyesal kalau ikut aku? Aku orang miskin, dik War.”

“Tidak peduli! Aku ikut engkau, akang Uun!”

“Kalau begitu maaf, terpaksa aku harus memondongmu agar dapat berlari cepat!” Setelah berkata demikian, Harun memondong tubuh Warsiyem yang begitu ringan. Kemudian dia melompat jauh dan berlari cepat sebelum ada orang dusun yang sempat menyerangnya. Larinya demikian cepat sehingga Warsiyem terpaksa harus memejamkan kedua matanya karena merasa ngeri, seperti dibawa terbang.

Mbok Rondo Saritem dan para pengikutnya masih mencoba untuk melakukan pengejaran. Tetapi tidak lama kemudian mereka terpaksa menghentikan pengejaran itu karena mereka sudah sangat kelelahan dan kehilangan jejak orang yang mereka kejar. Akhirnya dengan tubuh lemas mereka semua kembali ke dusun Bakulan.

Ketika mereka tiba di tempat di mana Ki Singowiro tadi roboh pingsan, mereka sudah tidak melihat laki-laki itu lagi. Agaknya karena merasa kecewa, marah dan juga malu, laki-laki ini diam-diam meninggalkan tempat itu.....

********************

Air yang mancur keluar dari belahan batu-batu itu jernih sekali. Hanya seperti cucuran air kendi, namun sangat jernih dan dingin sejuk. Pegunungan itu disebut Pegunungan Seribu atau ada pula yang mnyebutnya Pegunungn Kidul karena letaknya di selatan Nusa Jawa, memanjang dari barat ke timur, seolah-olah menjadi barisan penjaga pantai Laut Kidul atau seperti sebuah bendungan raksasa yang mencegah agar air laut Laut Kidul yang amat luas itu jangan sampai membanjiri dan menenggelamkan Nusa Jawa.

Langit bersih dan pagi itu amat cerah. Matahari mulai memancarkan sinarnya yang hangat dan mengandung penuh daya hidup dan kekuatan. Pegunungan yang mengandung ribuan bukit itu memiliki banyak perbukitan kapur yang tandus sebab permukaannya mengandung kapur. Akan tetapi ada pula perbukitan yang tanahnya cukup subur dan hijau.

Setelah tiba di lereng salah satu di antara bukit-bukit yang kehijauan, Harun baru berhenti. Warsiyem merasa kagum bukan main. Tadi sudah berulang kali dia meminta agar Harun menurunkannya dari pondongan untuk membiarkan laki-laki itu beristirahat, tetapi pemuda itu tidak mau dan terus berlari. Kadang dia berjalan bila jalannya sukar, licin dan mendaki. Namun sepanjang malam dia tidak pernah berhenti dan setelah tiba di lereng bukit barulah dia berhenti. Dia memang sengaja berhenti di tempat yang sangat indah itu ketika melihat pancuran air yang bening itu.

“Kita berhenti mengaso di sini. Sekarang sudah aman, dik,” kata Harun sambil menekuk kedua lututnya dan duduk di atas sebuah batu.

“Engkau tentu lelah sekali, kang Uun. Salahmu, sejak tadi disuruh berhenti mengaso tidak juga mau,” kata Warsiyem seolah menegur halus.

Harun tersenyum. “Aku khawatir kalau kita akan tersusul.”

“Apa yang dikhawatirkan? Engkau akan mampu mengalahkan semua orang itu. Bukankah dengan mudah engkau dapat merobohkan jahanam busuk itu tadi?” kata Warsiyem sambil memandang kagum, teringat betapa dengan amat mudahnya laki-laki ini merebutnya dari tangan Ki Singowiro.

“Aku tidak mau berkelahi dengan penduduk dusun itu, dik War. Mereka tak bersalah, tapi hanya ikut-ikutan saja.”

Warsiyem juga duduk di atas sebuah batu, kemudian dia mengeluh. “Uhh, tubuhku benar-benar penat sekali... dan lapar... dan haus...!”

“Itu ada air jernih.” Harun menudingkan telunjuknya.

Warsiyem menoleh dan berseru girang ketika melihat air yang jernih memancur keluar dari belahan batu-batu di belakangnya. Heran sekali betapa kegembiraan mendapatkan air itu seolah-olah sudah mencuci bersih semua ketegangan, ketakutan dan kesedihan perawan itu. Bagaikan anak kecil dia lalu berjingkat ke arah pancuran air dengan hati-hati karena di bagian bawah pancuran itu tanahnya basah dan licin.

“Aahhhhh... segarnya...” Warsiyem menadah air dengan kedua telapak tangan yang telah dicucinya terlebih dulu, lalu minum air sepuasnya. Terasa segar sejuk, dingin dan manis. Setelah puas minum, ia lalu menadah air untuk mencuci mukanya, lehernya, kedua lengan dan kakinya dari lutut ke bawah.

Setelah selesai dia tampak segar kembali. Lenyaplah semua bekas air mata dan debu dari mukanya, membuat kulit wajahnya semringah segar berseri, hanya di sekeliling matanya saja yang masih agak sembab karena terlalu banyak menangis. Bahkan dia sudah dapat tersenyum manis sekali, seolah telah melupakan semua perasaan takut dan sedihnya.

“Segar sekali mencuci muka dan minum air jernih itu. Cobalah, kang Uun!” katanya sambil menghampiri Harun.

Lelaki muda itu mengangguk, cepat mengalihkan pandang matanya agar jangan ketahuan betapa matanya memandang penuh kagum pada wajah gadis itu. Dia lalu mencuci muka, kaki dan tangannya, bahkan membiarkan air mengucuri rambut kepalanya hingga rambut yang panjang itu menjadi basah semua. Diminumnya pula air jernih itu. Setelah selesai dia kembali ke atas batu sambil memeras rambutnya yang basah.

Pada saat itu pendengaran Harun yang terlatih baik dan menjadi amat peka itu mendengar suara lirih berkeruyuk. Tentu saja warsiyem juga mendengarnya, karena suara itu keluar dari dalam perutnya yang lapar sekali. Wajah Warsiyem berubah kemerahan karena malu, akan tetapi Harun segera berkata.

“Ahh, perutku terasa lapar sekali sampai perih.”

Mendengar ini berkuranglah rasa malu di hati Warsiyem karena kata-kata itu dapat berarti bahwa yang ‘berkeruyuk’ tadi mungkin juga perut laki-laki itu. Dia menoleh ke kiri di mana terdapat seladang singkong (ketela pohon).

“Itu di sana ada pohon singkong. Kalau melihat pohonnya, tentu sudah tua dan singkong bakar enak sekali, kang Uun.”

Harun menoleh dan dia tersenyum. “Akan tetapi ladang singkong itu bukan milik kita, dik War.”

“Apa salahnya kalau kita mengambil dari sebatang pohon saja, kang? Harganya kan tidak seberapa dan andai kata yang mempunyai ladang melihatnya, dia tentu akan rela memberi kita yang kelaparan ini singkong dari sebatang pohonnya.”

Mendengar kata-kata Warsiyem itu, Harun lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah ladang singkong. Dicabutnya sebatang pohon singkong dan hatinya amat gembira melihat bahwa pohon itu mempunyai empat buah umbi singkong yang sebesar lengannya. Dia membawa singkong itu ke tempat duduk mereka di tepi pancuran, kemudian tanpa berkata-kata dia membuat api unggun dan membakar empat batang umbi singkong itu. Segera tercium bau sedap.

“Wah, sedap sekali baunya. Perutku jadi terasa semakin lapar, kang,” kata Warsiyem dan kini sikap gadis itu gembira sekali.

Tidak lama kemudian kedua orang itu sudah duduk di atas batu sambil makan singkong bakar. Hangat, mempur, dan gurih manis rasanya, diterima pencernaan mereka dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih. Setelah minum air jernih, perut mereka menjadi kenyang dan nyaman rasanya. Mereka masih duduk berjemur matahari pagi di atas batu sambil bercakap-cakap.

“Dik War, sekarang ceritakan kepadaku semua yang sudah terjadi menimpa dirimu,” kata Harun sambil menatap wajah gadis itu.

Warsiyem juga mengangkat muka balas memandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling menyelidiki. Harun menemukan sepasang mata jernih yang memandang penuh rasa terima kasih, sebaliknya Warsiyem menemukan sepasang mata yang memandang kepadanya dengan penuh kesabaran dan pengertian, sepasang mata yang menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya.

“Sejak kematian bapakku, karena aku tidak mempunyai anggota keluarga lain, maka Mbok Rondo Saritem lalu tinggal di rumahku dan dia menguasai rumah itu. Dia adalah kakak tiri mendiang ayahku. Karena dia bersikap baik dan mengurus semua keperluan pemakaman bapak, maka aku pun menerima dengan senang hati ketika ia pindah ke rumahku, setelah menjual rumahnya sendiri. Walau pun hatiku merasa tak senang, tapi seperti semua gadis dusun lainnya, aku tidak dapat menolak ketika dia memaksaku untuk menikah karena dia telah menerima mas kawin. Tidak ada gadis dusun yang berani menolak perjodohan yang diatur orang tua, dan mbokde Saritem adalah pengganti orang tuaku. Aku hanya mampu menangis. Pada saat sepasang pengantin dipertemukan, barulah aku melihat bahwa yang dijadikan calon suamiku itu ternyata adalah Ki Singowiro, pembunuh bapak itu! Maka aku segera melarikan diri dan tentu saja aku dikejar-kejar. Tetapi untung sekali engkau muncul dan menolongku, kang Uun. Kalau tidak ada engkau yang menolongku dan aku terjatuh ke tangannya lagi, pasti aku akan bunuh diri dari pada dijamah jahanam pembunuh bapakku itu.”

“Engkau tidak mau kembali ke rumahmu, dik War?”

“Tidak! Mbokde Saritem tentu akan memaksaku menikah dengan Singowiro atau pria lain. Aku tidak sudi.”

“Akan tetapi, apakah engkau masih mempunyai anggota keluarga lainnya yang dapat kau tumpangi?”

Warsiyem menggeleng kepala dengan wajah sedih, “Kang Harun, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Apakah... apakah engkau tidak sudi menerimaku, tidak sudi kuikuti?”

Harun menghela napas panjang, “Tentu saja aku suka menerimamu, bahkan aku pun siap membelamu dengan taruhan nyawa. Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik bagimu kecuali ikut dengan aku. Akan tetapi, dik War, aku seorang pengembara yang miskin. Aku tidak punya tempat tinggal yang tetap, selalu berpindah-pindah, bahkan sekarang pun aku tidak punya tempat tinggal. Engkau akan hidup sengsara dan serba kekurangan kalau ikut dengan aku.”

“Aku tidak peduli, kang Uun. Kita bisa bekerja untuk mencari makan. Lebih baik aku hidup miskin namun aman tenteram dari pada hidup kaya namun tidak berbahagia. Akan tetapi dari manakah engkau sebenarnya, kang? Engkau seorang asing yang datang dari jauh di barat, bagaimana bisa sampai ke sini?’

Harun menghela napas panjang. Kalau bukan kepada Warsiyem, gadis yang menimbulkan rasa iba sekaligus juga pesona di dalam hatinya, tentu dia tidak akan mau menceritakan riwayat dirinya.

“Sepuluh tahun lebih yang lalu, aku tinggal di Negara Pasundan, di tepi laut. Ketika itu aku berusia dua puluh satu tahun dan aku sudah beristri, mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia satu tahun.”

“Ahh, engkau sudah beristri dan mempunyai anak?” tanya Warsiyem mengulang dengan suara datar dan aneh. Hatinya merasa kecewa sekali mendengar ini.

Harun mengangguk. “Benar. Lalu datanglah mala petaka itu menimpa keluargaku. Seorang pembesar dari Galuh berpesiar ke pantai dan ia tergila-gila ketika melihat istriku. Dengan mengandalkan kekuasaannya dia lalu mengerahkan pasukan pengawalnya untuk menculik istriku. Aku mengamuk dan dikeroyok banyak pengawal, sementara istriku dilarikan oleh pembesar itu. Ketika aku berhasil merobohkan para pengeroyok dan melakukan pencarian, aku mendapatkan istriku telah membunuh diri karena diperkosa oleh pembesar itu...”

“Ahhh..., keparat...! Jahat sekali pembesar itu!” teriak Warsiyem penasaran.

“Di mana-mana kejahatan dilakukan orang-orang yang sudah kemasukan kekuasaan iblis, dik.”

“Kasihan engkau, kang Uun. Lalu bagaimana?”

“Aku lalu membalas dendam. Kudatangi pembesar itu dan akhirnya aku dapat membunuh dia, tetapi karena pembunuhan itu aku lalu menjadi seorang buruan. Pembesar itu orang penting dari kerajaan Galuh. Aku menjadi buruan kerajaan, maka aku terpaksa melarikan diri dan karena aku tidak ingin membiarkan anakku turut terancam bahaya, maka aku pun meninggalkan anakku pada seorang kawan kemudian aku melarikan diri. Aku dikejar-kejar terus hingga akhirnya aku terpaksa melarikan diri ke sini, dik War. Kehidupan di kampung susah. Aku tidak bebas karena dikejar-kejar. Karena mendengar bahwa Mataram adalah sebuah kerajaan yang makmur, aku lalu merantau sampai ke Mataram, akan tetapi sekutu pembesar yang kubunuh itu masih terus mengejar dan mencariku di daerah ini. Mereka mengirim orang-orang yang berilmu tinggi untuk menangkap atau membunuhku. Karena itu, meski pun sudah berada di Mataram, aku tetap saja masih terus menjadi buruan. Aku terpaksa berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak sebab pemburu-pemburu itu adalah orang-orang yang amat tangguh. Selama lebih dari sepuluh tahun aku merantau di seluruh pelosok Mataram, tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih lama dari setahun. Dan dalam perjalanan merantau itu, tempo hari aku melihat engkau diculik oleh Singowiro kemudian aku menolongmu.”

“Engkau ikut melayat ketika jenasah bapak dikubur, lalu engkau pergi dan aku sudah tidak mengharapkan akan bisa bertemu lagi denganmu. Lalu bagaimana tiba-tiba saja semalam engkau dapat muncul dan menyelamatkan aku untuk yang kedua kalinya, akang Uun?”

Harun menatap wajah gadis itu dan menghela napas panjang. “Agaknya Gusti Allah yang mengatur semua itu, dik.”

“Siapa Gusti Allah itu, akang Uun?”

“Dalam bahasamu ialah Hyang Maha Wisesa yang mengatur seluruh jagad raya! Setelah meninggalkan Bakulan, aku tidak pergi jauh, tapi berkeliaran di pedusunan daerah pantai laut Kidul. Aku sangat tertarik dengan daerah ini karena mengingatkan aku akan kampung halamanku di pantai lautan ketika aku masih berada di Galuh.”

“Galuh?”

“Maksudku Negeri Pasundan. Nah, di suatu dusun aku mendengar bahwa di Bakulan akan ada pesta pernikahan. Entah mengapa hatiku tertarik dan malam tadi aku berada di luar pekarangan rumahmu. Aku melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah engkau. Ketika aku melihat pengantin pria masuk, aku amat terkejut mengenal orang jahat itu. Kemudian aku melihat engkau melarikan diri dan dikejar-kejar. Maka aku pun berlari mendahului dan menghadang, lalu menolongmu dari tangan penjahat itu. Demikianlah, dik War. Sekarang engkau tahu bahwa aku hanyalah seorang pelarian, seorang buruan yang hidup merantau tanpa tempat tinggal yang tetap, orang miskin, seorang duda yang meninggalkan anaknya di barat sana. Bagaimana seorang gadis seperti engkau dapat ikut dengan aku dan hidup sengsara dan miskin?”

Warsiyem merasa terharu. “Akang Uun, aku pun hanya seorang gadis dusun yang miskin dan bodoh. Bahkan sekarang aku dipandang sebagai seorang gadis yang tak tahu aturan, yang melanggar adat di dusun, menolak dikawinkan bahkan melarikan diri dengan seorang laki-laki asing. Tentu aku dianggap kotor dan hina oleh penduduk dusunku.”

“Sama sekali tidak, dik War. Engkau adalah seorang gadis yang bijaksana dan cantik,” kata Harun dengan suara tegas.

Senyum manis berkembang di bibir gadis itu dan ia memandang wajah Harun dengan geli karena merasa lucu.

“Benarkah itu, kang? Aku cantik dan bijaksana? Hik-hik-hik, alangkah lucu dan anehnya. Padahal namaku hanya sebuah nama yang jelek dan tidak ada artinya. Dulu ketika masih kecil aku suka merengek kepada orang tuaku karena tidak suka dengan nama ini.”

“Ahh, dik War, apa artinya sebuah nama? Menilai seseorang bukan dari namanya. Nama hanya seperti pakaian. Yang penting adalah orangnya, sikap dan kelakuan orang itu. Dan bagiku, engkau adalah seorang gadis yang bijaksana dan baik budi.”

“Dan bagiku engkau adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berjiwa satria, sopan dan berbudi luhur. Karena itu aku ingin ikut denganmu untuk selamanya, akang Harun.”

“Ah, dik War! Sadarkah engkau akan ucapanmu tadi? Kalau engkau ingin ikut dengan aku untuk selamanya, berarti engkau harus menjadi... istriku! Engkau... engkau mau menjadi istri seorang miskin seperti aku?”

Kedua orang muda ini saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sepasang mata bertemu dan bertaut sampai lama. Akhirnya Warsiyem mengangguk dan wajahnya berubah kemerahan.

“Dik War...!” Harun memegang kedua tangan gadis itu. Jantungnya berdebar-debar penuh kebahagiaan.

“Akan tetapi, kang. Bagaimana kita akan dapat menikah? Siapa yang akan mengesahkan pernikahan kita?” tanya Warsiyem, suaranya berbisik penuh keharuan dan kesedihan.

“Jangan khawatir, dik. Perjodohan ditentukan dan disucikan oleh Tuhan. Kita bisa menikah di hadapan Allah dengan diresmikan oleh seorang penghulu atau Suranggama.”

“Apa maksudmu, kang?”

“Marilah kita berangkat, dik. Nanti engkau akan mengerti sendiri.”

Sungguh pun pada waktu itu Agama Islam sudah mulai tersebar di Nusa Jawa, terutama di pesisir utara, bahkan Sultan Agung sebagai raja Mataram juga seorang muslim, namun agama ini merupakan agama baru bagi penduduk pedalaman, apa lagi di daerah selatan. Memang ada beberapa orang yang sudah beragama Islam memperkenalkan agama ini di dusun-dusun daerah selatan, namun penduduk menerimanya tanpa meninggalkan tradisi yang terpengaruh agama lain, yaitu agama Hindu dan Buddha. Karena itu, tidak mudah bagi Harun untuk menemukan seorang penghulu yang dapat mengesahkan pernikahannya dengan Warsiyem secara Islam, yaitu agama yang dianutnya.

Akhirnya, di sebuah dusun Klitren di daerah Gunung Kidul itu, dengan girang dia berhasil menemukan seorang Suranggama yang bisa menikahkan mereka secara Islam. Upacara pernikahan dilakukan dengan sederhana sekali di rumah sang suranggama. Tak ada tamu yang hadir dan sebagai saksinya adalah istri dan putera sang suranggama sendiri karena baik Harun mau pun Warsiyem tidak mempunyai seorang sanak keluarga di daerah itu.

Kerena tidak memiliki apa-apa, sebagai emas kawin, Harun menyerahkan sebatang keris pusaka yang diberi nama Kyai Kukuhan. Sedangkan bagi Warsiyem yang belum pernah berkenalan dengan agama baru Islam, pada saat upacara pernikahan itu dia baru masuk agama Islam dan diwajibkan mengucapkan kalimah syahadat.

Dengan penuh khidmat untuk menghormati calon suaminya, tapi dengan suara yang agak kaku karena masih asing, Warsiyem menirukan suara sang suranggama mengucapkan syahadat.

“Asyhadu Alla Ilahailallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!”

Untuk memasukkan pengertian kepada calon istrinya, Harun membisikkan arti dari pada dua kalimat syahadat itu, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan lain kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah!”

Setelah selesai upacara yang sederhana namun khidmat itu, pasangan suami istri baru ini menyerahkan sebuah cincin emas milik Warsiyem kepada sang suranggama ditambah ucapan terima kasih.

“Selamat, selamat!” kata Pak Wahab sang Suranggama.

“Mulai sekarang kalian telah menjadi suami istri yang sah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’allah selalu memberi taufik dan hidayat kepada kalian.”

Harun dan Warsiyem menghaturkan terima kasih lalu meninggalkan rumah sederhana Pak Wahab di dusun Klitren itu. Sesudah keluar dari dusun dan melangkah perlahan, tiba-tiba Warsiyem menangis.

“Ehh? Ada apakah, Warsiyem?” Tanya Harun sambil menaruh kedua tangannya di atas kedua pundak istrinya.

“Aku... aku merasa nelangsa, kang... tidak ada seorang pun yang menghadiri dan menjadi saksi pernikahan kita...” Dia terisak dan menangis dalam rangkulan Harun.

Harun mendekap kepala istrinya dan berkata menghibur, “Jangan bersedih, istriku. Kalau pernikahan kita sudah disahkan di hadapan Gusti Allah, berarti seluruh jagad raya sudah menjadi saksi. Marilah, mari kita pergi ke pantai Laut Kidul dan kita rayakan pernikahan kita di sana, disaksikan semua unsur ciptaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa.”

Warsiyem tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh suaminya, akan tetapi dia menurut saja ketika digandeng dan diajak berjalan menuju selatan oleh Harun.....

********************

Pantai itu indah dan bersih, hamparan pasir putih berkilauan tertimpa cahaya matahari. Di perbatasan antara pantai berpasir putih dengan daratan yang mengandung tanah padas, tumbuh banyak pepohonan, di antaranya pohon nyiur yang batangnya tinggi dan buahnya lebat. Tempat itu sunyi sekali.

Air laut yang bergelombang selalu bergerak dan menimbulkan suara bergemuruh, kadang mendesis, kadang seperti suara air mendidih dan sesekali terdengar menggelegar apa bila ada ombak besar menghantam dinding batu karang di sebelah sana. Laut Kidul terhampar luas tanpa tepi, membayangkan sebuah alam lain yang penuh rahasia, hanya tampak kebiruan dan sejauh mata memandang hanya tampak garis melintang lurus. Tidak tampak sebuah pun perahu.

Pantai Laut Kidul di daerah ini memang amat ganas ombaknya sehingga tak seorang pun nelayan berani menjelajahi bagian ini. Terlalu berbahaya bagi mereka!

Harun dan Warsiyem bergandeng tangan melintasi pantai pasir putih menghampiri lautan. Pada waktu mereka melangkah maju, muncul dua pasang tapak kaki di belakang mereka, sepasang kecil dan dangkal, sepasang lagi lebih besar dan lebih dalam. Akhirnya Harun berhenti di pesisir yang sekiranya tak akan terjilat lidah ombak. Air berhenti sejauh kurang lebih sepuluh meter di depan kaki mereka.

“Lihat ke sekelilingmu, dik War. Di sini tampak lima unsur di jagad raya yang menjadi bukti akan kekuasaan Allah. Di sini ada bumi, lautan, matahari, udara, dan pohon-pohon. Lima unsur yang menjadi landasan kehidupan kita. Kalau tidak ada satu saja di antara mereka berlima, kita tidak akan dapat hidup dan lihatlah kita berdua. Kita ini sama-sama manusia ciptaan Tuhan, jasmani kita diciptakan dari lima unsur yaitu air, api, kayu, logam dan tanah dan roh kita datang dari Sumbernya, yaitu Tuhan sendiri. Kalau kelak kita mati, jasmani kita kembali kepada tanah di mana ada lima unsur jagad raya dan roh kita kembali kepada Sang Sumber. Sebenarnya kita berdua adalah sama, hanya secara lahiriah kita dibedakan oleh pakaian, termasuk nama, rupa, bangsa, bahasa dan agama. Kita ini wanita dan pria, dua unsur yang memang telah menjadi pasangan dan imbangan, oleh karena itu tak akan melanggar kehendak Tuhan bila kita bersatu menjadi suami istri, Biarlah kita merayakan pernikahan di hadapan Tuhan dan disaksikan Lautan, Langit, Bumi, Matahari dan Pohon-pohonan.”

Warsiyem hanya mengangguk terharu. Walau pun dia tidak mengerti seluruhnya akan apa yang diucapkan calon suaminya itu, namun dia dapat merasakan getaran yang terkandung dalam ucapan itu, yang mendatangkan suasana khidmat dan haru kepadanya.

Harun mengajak Warsiyem berlutut, kemudian merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti menyembah. Gerakan ini diikuti Warsiyem dengan patuh.

“Gusti Allah Yang Maha Kuasa, hamba berdua, Harun Hambali dan Warsiyem, saat ini bersumpah untuk menjadi suami istri yang saling setia dan saling mencinta di hadapan Paduka dan disaksikan oleh Bumi, Langit, Lautan, Matahari dan Pohon-pohonan. Semoga Tuhan memberkati hamba berdua.”

Harun lalu bersujud sampai dahinya menyentuh tanah sebanyak tiga kali, diikuti pula oleh Warsiyem. Setelah selesai melakukan upacara pernikahan yang sangat bersahaja namun khidmat itu, Harun lalu bangkit berdiri dan menarik tangan Warsiyem supaya berdiri. Dia melihat betapa Warsiyem menangis. Dia memeluk dan Warsiyem balas merangkul.

“Dik War, kau istriku...”

“Kang Harun, suamiku...”

Angin laut semilir. Ombak menggelegar menghantam batu karang, kemudian mendesis dan bergemuruh. Lidah air mengalir dan makin menipis di pasir, kemudian lenyap terhisap pasir. Alun berkejaran, bermain-main seperti sekawanan kanak-kanak bersuka ria berlari-larian menuju pantai, bergelut, bertabrakan dan berteriak-teriak.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)