ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-04


Mereka mendapatkan tempat beteduh di dalam sebuah goa yang cukup besar akan tetapi kalau malam sedang indah dan udara baik, terkadang mereka tidur di atas pantai berpasir. Dalam waktu satu minggu itu mereka berbulan madu dan merasa bahwa di dunia ini hanya terdapat sepasang manusia, yaitu mereka berdua!

Kemudian Harun mengajak istrinya untuk mengunjungi sebuah dusun yang sudah pernah didatangi sebelumnya, yaitu dusun Gampingan yang berada di dekat pantai.

Dusun itu tampak tenang tenteram penuh kedamaian, dihuni oleh sekitar seratus rumah. Rumah-rumah di dusun itu memiliki pekarangan yang luas. Kehidupan penghuninya adalah sebagai petani merangkap menangkap ikan. Hasil pekerjaan mereka itu sebagian mereka jual ke dusun-dusun yang lebih besar dan jauh ke pedalaman untuk ditukar dengan segala keperluan hidup mereka sehari-hari.

Harun mempunyai simpanan uang dari hasil pekerjaannya selama dalam perantauan dan dengan uang itu dia membeli sebidang tanah. Didirikannya sebuah rumah sederhana dari bilik bambu di tanah itu dan atas usul istrinya, dia membuka sebuah warung nasi untuk melayani para penghuni dusun Gampingan.

Setelah rumah dan warung berdiri, semenjak hari itu mereka berdua hidup sederhana dan berbahagia di situ. Setiap hari Warsiyem berjualan nasi dan makanan serta minumannya di warung itu, dan Harun sendiri bekerja di ladang, atau pergi menangkap ikan di tepi laut.

Tenteram dan tidaknya kehidupan seseorang tergantung dari sikap dan kelakuan orang itu sendiri terhadap orang orang lain. Harun dan Warsiyem selalu bersikap ramah kepada para tetangganya di dusun Gampingan, dan mereka berdua juga selalu membuka tangan dan hati untuk membantu bila ada tetangga yang sedang kerepotan. Oleh karena itu, biar pun Harun merupakan seorang Sunda yang cara bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang asing, tetapi dengan sikap serta kelakuan yang sangat baik, penduduk dusun Gampingan menerimanya sebagai seorang tetangga yang baik dan mereka bergaul akrab dengannya. Terlebih lagi setelah Harun menunjukkan bahwa dia mengerti akan ilmu pengobatan, suka mengobati orang-orang sakit dan menyembuhkan mereka tanpa minta imbalan, maka para penghuni Gampingan jadi semakin segan dan suka kepadanya.

Baru sekarang Harun Hambali mengalami kehidupan yang benar-benar tenteram, tenang dan penuh kedamaian semenjak dia meninggalkan negerinya. Kehidupan di dusun dekat lautan itu jauh dari kota besar, jauh dari kerajaan dan jauh dari keramaian. Harun merasa yakin bahwa para pemburunya, orang-orang yang datang dari Galuh itu, tak akan sampai ke dusun yang jauh di selatan dan sunyi ini. Maka kini dia pun dapat mengerahkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk bekerja dengan hati mantap sehingga hasil sawah ladang ditambah hasil warung nasi istrinya lebih dari cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kini dia benar-benar bisa merasakan kebahagiaan orang berumah tangga. Istrinya amat mencintanya dan para tetangga juga akrab dan baik terhadap mereka.

Satu tahun kemudian Warsiyem mengandung. Tentu saja suami istri itu menjadi gembira dan merasa berbahagia sekali. Harun yang pernah mempelajari ilmu pengobatan menjaga agar istrinya selalu dalam keadaan sehat, supaya kandungannya menjadi sehat dan kuat pula.

Akan tetapi, ketika kandungan Warsiyem sudah berusia sembilan bulan, pada suatu pagi yang cerah, terjadilah bencana yang menggemparkan penghuni dusun Gampingan. Pagi itu Warsiyem sudah membuka warungnya.

“Dik War, kandunganmu sudah tua. Sudah dekat waktunya engkau melahirkan. Mengapa engkau tidak menutup saja warungmu dan beristirahat? Aku sendiri pun sudah tidak tega meninggalkanmu ke ladang.”

“Ahh, kang, pekerjaan melayani para langganan di warung ini tidak membutuhkan tenaga besar. Aku akan merasa tidak enak sekali kalau menganggur,” jawab Warsiyem.

Harun tidak membantah lagi dan dia pun tidak meninggalkan istrinya namun membantu mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan berjualan nasi dan makanan minuman di warung itu.

Tidak lama kemudian, empat orang laki-laki memasuki warung itu. Ketika mereka melihat Harun juga berada di warung, seorang dari mereka, laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berkata sambil tersenyum, “Ehh, Harun, engkau tidak pergi ke ladang?”

Harun tersenyum memandang kepada penanya itu. “Wah, kakang Parto bagaimana aku tega meninggalkan dia dengan perut sebesar itu bekerja di warung seorang diri?”

Mendengar ucapan ini, empat orang laki-laki itu tertawa bergelak dan Warsiyem melempar kerling ke arah suaminya dengan mulut tersenyum sipu. Dibantu Harun, Warsiyem segera menyediakan empat pincuk nasi pecel yang dipesan mereka. Tak lama kemudian mereka sudah menikmati nasi pecel dan menghadapi air teh kental ditambah gula kelapa.

Akan tetapi tiba-tiba saja segala yang berada di dalam rumah dan warung itu terguncang-guncang kuat sekali. Meja bergoyang-goyang, semua yang berada di atasnya tumpah ke tanah. Warsiyem terhuyung, tetapi untunglah cepat dirangkul suaminya sehingga dia tidak sampai terpelanting roboh. Tapi empat orang laki-laki yang sedang makan itu terpelanting jatuh dari bangku yang mereka duduki.

“Lini...! Aya Lini (Gempa...! Ada gempa)!” teriak Harun.

“Lindu...! Lindu (Gempa...! Gempa)!” teriak yang lain.

“Cepat lari ke luar...!”

Mereka berempat berlompatan lantas menghambur ke luar. Harun segera maklum bahwa di situ sedang terjadi gempa bumi yang sangat kuat. Dia harus cepat membawa istrinya ke luar, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, atap warung itu runtuh ke bawah, ke arah mereka!

Melihat dua balok penyangga atap yang melintang runtuh dan hendak menimpa mereka, Harun cepat menyambut dan menangkap dua tiang itu, menahan dengan dua tangannya. Tentu saja tiang itu berat bukan main karena dibebani atap. Namun dengan mengerahkan tenaga sekuatnya Harun masih bisa menahan atap itu, sedangkan Warsiyem yang berada di bawahnya karena wanita itu sedang berjongkok saking takutnya, dengan tubuh gemetar dan wajah pucat, memandangnya dengan mata terbelalak.

Ketika empat orang laki-laki yang kini berada di luar rumah itu melihat betapa atap runtuh dan kini ditahan oleh kedua tangan Harun, mereka cepat berlari masuk untuk menolong.

“Cepat, bawa istriku keluar!” teriak Harun.

Mendengar ini, orang yang bernama Parto segera menangkap lengan Warsiyem kemudian menariknya keluar rumah. Tiga orang lainnya hendak membantu, tapi tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

“Kalian keluarlah, cepat!” kata pula Harun kepada mereka.

Dengan bingung mereka hanya bisa menurut. Setelah tiga orang laki-laki itu keluar, Harun mengerahkan seluruh tenaganya dan mendorong dua tiang penyangga itu sehingga atap itu roboh ke samping warung. Suaranya terdengar hiruk pikuk dan pada saat itu, dengan cekatan Harun telah melompat keluar warung.

“Kang Uun, engkau tidak apa-apa?” Warsiyem berteriak sambil lari merangkul suaminya, lalu saking tegang dan khawatirnya dia menjadi lemas terkulai dalam pelukan Harun.

“Dik War...!” Harun memanggil khawatir, “Ahh, dia pingsan...!”

“Cepat bawa ke rumahku!” kata Parto, sedangkan tiga orang kawan lainnya sudah berlari untuk melihat keadaan rumah dan keluarga mereka masing-masing.

Karena rumah Parto berada di sebelah rumahnya, hanya terpisah kebun masing-masing, Harun menurut saran tetangganya itu. Untung bahwa rumah Parto tidak roboh dan istri serta dua orang anaknya hanya kaget dan bertangis-tangisan. Mereka cepat menyambut Parto, Harun dan Warsiyem yang dipondong Harun dengan muka pucat dan cepat mereka mempersilakan Harun membawa Warsiyem masuk dan merebahkannya ke atas sebuah dipan.

Harun segera melakukan usaha untuk menyadarkan istrinya. Dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di kedua pundak dan tengkuk, lalu mengurut punggung dan menekan titik di bawah hidung, akhirnya Warsiyem mengeluh panjang menggerakkan kepalanya dan membuka matanya. Begitu siuman, suara pertama yang keluar dari mulutnya adalah,

“Akang... kang Uun... engkau tidak apa-apa...?”

Harun yang duduk di tepi dipan merangkul istrinya. “Tidak, dik, aku selamat, kita semua selamat.”

Warsiyem menangis saking lega dan girangnya.

Atas kerja gotong royong penduduk yang rumahnya tidak roboh, rumah mereka yang roboh dapat dibangun kembali, demikian pula rumah-rumah lain yang roboh akibat gempa bumi yang sangat kuat itu.

Malam itu juga Warsiyem melahirkan, mungkin terdorong kekagetannya karena terjadinya gempa bumi pagi tadi, atau memang sudah tiba waktunya ia melahirkan. Dengan bantuan seorang dukun bayi yang berpengalaman di dusun Gampingan itu, Warsiyem melahirkan seorang bayi laki-laki dalam keadaan sehat selamat dan dia sendiri juga dalam keadaan sehat.

Malam itu, dalam rumah mereka yang sudah dibangun kembali, walau pun keadaan dalam rumah masih morat-marit akibat gempa, Warsiyem rebah di atas dipan mengeloni bayinya dan Harun duduk di pinggir dipan sambil memandang kepada istri dan anaknya dengan wajah bahagia.

“Lihat, kang Uun... anak kita sangat ganteng, ya? Mulut dan matanya mirip engkau,” kata Warsiyem lirih sambil tersenyum, senyum lembut yang masih membayangkan keletihan akibat melahirkan tadi.

Harun tersenyum lalu mengelus-elus dahi istrinya, menyingkirkan segumpal rambut halus yang terurai ke wajah Warsiyem. “Tentu saja ganteng, dik, dan yang penting, semoga dia menjadi seorang manusia yang baik dan berguna, tidak seperti ayahnya.”

Warsiyem menjulurkan tangan dan menangkap tangan Harun sambil memandang wajah suaminya penuh sinar kasih sayang. “Ihh, kang, engkau adalah seorang yang sangat baik dan sangat berjasa, setidaknya bagiku. Eh, akan kau beri nama apakah anak kita ini, kang Uun?”

Warsiyem cepat mengalihkan percakapan. Hatinya selalu merasa tidak enak kalau Harun sudah bicara mengenai dirinya sendiri yang dianggap tidak baik dan tidak berguna karena menjadi orang buruan dan tidak dapat memberi kehidupan yang lebih berkecukupan bagi istrinya tercinta.

“Namanya?” Harun mengerutkan alisnya, berpikir karena dia memang belum mencarikan nama untuk anaknya.

Dia teringat kepada gempa bumi itu yang seolah memberi pertanda bahwa anak itu akan lahir. “Bagaimana kalau anak kita beri nama dia Lini atau Lindu? Ingat pagi tadi. demikian perkasa dan hebat gempa bumi itu. Aku ingin anak kita kelak akan menjadi perkasa dan hebat pula.” Lindu adalah bahasa Jawa dari gempa bumi, Lini adalah bahasa Sundanya.

“Lindu...?” Warsiyem mengulang.

Dia langsung teringat akan kebiasaan di dusun asalnya, Bakulan, betapa orang-orang tua selalu memilihkan nama yang sangat sederhana bahkan condong jelek kepada anaknya. Akan tetapi sebaliknya nama Lindu sama sekali tidak sederhana, dan tidak jelek pula. Dan bagaimana pula panggilan anak itu kelak? Alangkah ganjil dan anehnya. Kalau ada anak-anak berseru memanggil namanya, mungkin saja akan mendatangkan kekacauan karena orang-orang akan mengira bahwa ada serangan gempa bumi!

“Aku setuju saja dengan pilihanmu itu, kang Uun, tetapi aku ingin memanggil anak kita ini dengan Aji. Kalau engkau setuju maka aku ingin memberi nama Lindu Aji agar sebutannya menjadi Aji.”

Harun mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Baiklah, anak kita ini bernama Lindu Aji. Semoga kelak dia bisa seperkasa gempa dan sekokoh bumi.”

Demikianlah, anak itu diberi nama Lindu Aji dan kehidupan mereka berjalan dengan lancer dan wajar. Harun dan Warsiyem membenahi warung mereka kembali dan Harun bekerja lagi seperti biasa.

Harun adalah seorang yang amat memperhatikan pendidikan bagi puteranya. Dia maklum dari pengalaman hidupnya sendiri, alangkah pentingnya ilmu pengetahuan bagi seseorang untuk bekal hidup di dalam dunia ini. Orang bodoh menjadi makanan orang-orang pintar, dan orang lemah menjadi korban penindasan orang kuat.

Oleh karena itu, sejak Lindu Aji berusia tujuh tahun dia sudah menggembleng anaknya itu dengan olah raga, terutama ilmu silat, dan dia pun mengundang seorang penduduk dusun Gampingan yang pandai membaca dan menulis supaya mengajar anaknya membaca dan menulis. Akan tetapi agaknya sudah ditakdirkan bahwa dia dan istrinya hanya mempunyai seorang anak, karena biar pun Lindu Aji sudah menjadi besar, Warsiyem tidak pernah lagi mengandung.

Pada suatu senja warung Warsiyem sudah tutup dan Harun juga telah pulang dari ladang. Seperti biasa pada setiap senja hari kalau tidak turun hujan Harun selalu melatih ilmu silat kepada Aji. Sudah tiga tahun dia melatih silat kepada anaknya semenjak Aji berusia tujuh tahun. Pada senja hari itu, Aji yang sudah berusia sepuluh tahun sedang dilatih jurus baru oleh ayahnya.

“Aji, jurus ini dipergunakan untuk menghadapi serangan lawan dari samping kiri, serangan yang datangnya tiba-tiba. Kalau pukulan itu datang mengarah ke mukamu, engkau harus mencondongkan tubuh ke kanan menjauhi pukulan itu, lalu gerakkan tangan kiri memutar untuk menangkis dan pada detik berikutnya pukulkan tangan kananmu dengan jari terbuka ke arah lawan kemudian angkat kaki kirimu, bengkokkan ke kiri lalu susulkan tendangan ke arah perut lawan. Begini gerakannya. Perhatikan dan tirulah!”

Harun lalu melakukan gerakan jurus itu. Aji mengikuti gerakan ayahnya dengan seksama dan karena sudah menerima gemblengan dasar selama tiga tahun, maka gerakan anak itu sudah cukup tangkas. Ketika tangan kanannya memukul sudah terdengar angin bersiutan tanda bahwa pukulannya itu mengandung tenaga.

“Kaki kirimu itu salah!” kata Harun yang menoleh untuk meneliti gerakan anaknya. “Ujung kaki kiri harus dibengkokkan ke kanan sehingga dengan begitu maka tendanganmu akan mengandung tenaga yang lebih kuat karena mendapat ancang-ancang.”

Aji menyadari kesalahannya lalu mengulang jurus itu, kali ini dengan gerakan yang benar. Harun menyuruh anaknya mengulang dan mengulang terus jurus itu sampai benar-benar hafal sehingga gerakannya sudah menyatu dan menjadi otomatis.

Demikianlah, setiap senja Harun mengajarkan semua ilmu silat yang dikuasainya kepada Aji. Apa bila hari hujan mereka berlatih di dalam rumah. Setiap malam Aji disuruh belajar membaca dan menulis dari Bapak Sastro, seorang penduduk Gampingan yang terpelajar dan di waktu mudanya tinggal di Mataram.

Dalam usianya yang sepuluh tahun itu Aji sudah pandai membaca serta menulis. Bahkan Pak Sastro mulai mengajarkan kesusastraan kepadanya, juga mengajarkan tata-krama, bertembang, bahkan menabuh gambang, meniup suling dan menari! Semuanya itu tanpa imbalan karena Pak Sastro sendiri senang mengajar Aji yang ternyata cerdik dan mudah menguasai pelajarannya. Di samping itu Pak Sastro merasa berhutang budi kepada Harun yang pernah mengobati dan menyembuhkan dia dari penderitaan penyakit yang berat dan gawat.

Pada masa itu Agama Islam belum begitu diresapi secara mendalam sampai ke pelosok dan daerah yang terpencil. Umatnya yang benar-benar mendalami Agama Islam sebagian besar adalah mereka yang berdiam di pantai utara Nusa Jawa. Malah ajaran yang sempat mencapai daerah pedalaman di selatan, diterima setengah-setengah sehingga bercampur dengan tradisi yang berasal dari agama terdahulu, yaitu Agama Buddha yang juga sudah bercampur dengan tradisi berasal dari Agama Hindu. Dari perpaduan agama-agama inilah muncul semacam filsafat Kejawen yang disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan.

Aji dibesarkan dalam tradisi alam pikiran dan kebudayaan ini. Pak Sastro adalah seorang ahli filsafat Kejawen yang banyak mengandung pelajaran Agama Islam. Dia tidak sempat mendalami pelajaran Agama Islam maka tidak dapat disebut ahli dalam agama itu. Semua pengetahuan filsafatnya itu dia ajarkan pula kepada Aji. Semua ini ditambah lagi dengan filsafat yang diajarkan ayahnya sendiri.

Harun adalah seorang yang dahulu ketika masih tinggal di negerinya pernah mempelajari Agama Islam yang juga sudah bergaul dengan filsafat Agama Hindu dan agama Buddha. Dalam keadaan yang demikian, Aji berangkat dewasa didasari pelajaran filsafat kehidupan yang bersumber dari berbagai agama. Namun, atas bimbingan ayahnya sendiri, dia dapat menerima pelajaran agama itu karena ayahnya menekankan kebijaksanaan untuk mencari inti dari semua filsafat yang pada dasarnya serupa.

Inti dari semua agama dan filsafat adalah agar menjadi seorang manusia yang baik budi, membangun, bermanfaat bagi manusia dan alam sekitarnya, berbakti kepada Sang Maha Pencipta dengan memupuk perbuatan yang baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan berserah diri kepadaNya. Aji digembleng untuk mempunyai watak yang baik. Dia mencari persamaan dalam semua agama itu dengan mengabaikan perbedaannya karena maklum benar bahwa yang berbeda itu hanyalah soal kulitnya saja, upacara, sejarah dan cara beribadat. Intinya menuju ke arah Satu. hanya caranya menuju ke arah Satu itu yang berbeda.

Sang waktu adalah sebuah kekuasaan yang tidak terkalahkan oleh siapa pun juga. Sang waktu adalah Sang Bathara Kala yang melahap semua yang ada. Sang waktu adalah satu di antara Kekuasaan Yang Maha Kuasa yang tak terhitung banyaknya.

Tampaknya Sang waktu hanya diam tanpa melakukan apa-apa, tetapi pada kenyataannya segala sesuatu dilahapnya, segala sesuatu akan lenyap digulung waktu. Waktu juga dapat menjadi obat yang sangat manjur bagi segala macam penderitaan batin. Tiada kesusahan yang tidak lenyap pula bersama lewatnya waktu.

Waktu amat ajaib. Kalau kita memperhatikan, maka Sang Waktu merayap lebih lambat dari pada majunya seekor siput. Namun apa bila kita lengah dan tidak memperhatikannya, dia akan melaju lebih cepat dari pada kilat! Bila tidak diperhatikan, waktu bertahun-tahun rasanya seperti baru kemarin saja, sebaliknya kalau kita memperhatikan, waktu satu hari rasanya seperti bertahun-tahun.

Begitu pula dengan kehidupan keluarga Harun Hambali. Sang Waktu melesat sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu lima belas tahun sudah lewat semenjak Lindu Aji dilahirkan! Padahal jika Harun dan Warsiyem mengenang kelahiran anak tunggal mereka itu, rasanya seperti baru terjadi kemarin!

Kini Lindu Aji sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun. Tubuhnya tinggi tegap, kaki tangannya kelihatan kokoh karena terlatih dan terbiasa dengan pekerjaan berat. Dadanya bidang dan menyembunyikan tenaga yang dahsyat.

Wajahnya sangat tampan dengan dahi lebar dan alis hitam yang tebal. Sepasang matanya membayangkan kesabaran dan kelembutan, tapi terkadang pandang mata itu mencorong dan bersinar penuh kekuatan dan wibawa. Hidungnya mancung dan mulutnya yang kecil serta dagunya membuat wajahnya tampak manis. Ia selalu berpakaian sederhana, dengan celana komprang sebatas betis dan baju dengan potongan bersahaja yang bagian dadanya setengah terbuka.

Sesudah digembleng selama kurang lebih sepuluh tahun, dalam usianya yang lima belas tahun pemuda itu sudah dapat menguasai semua ilmu silat yang diajarkan oleh ayahnya. Namun sikapnya yang bersahaja yang rendah hati itu sama sekali tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang tangguh, melainkan lebih mirip seorang pemuda tani yang polos dan jujur.

Padahal dia pandai membaca menulis seperti seorang pemuda bangsawan terpelajar, dan dia pandai menabuh gambang, meniup suling, bertembang bahkan menari seperti seorang seniman yang berbakat dan ahli! Dia pun amat tekun membantu ayahnya di sawah ladang atau menangkap ikan di antara gelombang air Laut Kidul yang bermain-main di pantai.

Karena seringnya dia menangkap ikan menggunakan jala di lautan ini, Lindu Aji kini pandai pula berenang dan bermain-main di air.

Harun Hambali merasa berbahagia sekali dalam hidupnya. Selama lebih dari enam belas tahun dia hidup berbahagia bersama istrinya di dusun Gampingan. Apa lagi sesudah Aji terlahir. Kebahagiaannya terasa lengkap! Dia sudah terbebas sama sekali dari perasaan menjadi orang buruan. Sesudah lewat sedemikian lamanya dia merasa yakin bahwa para pemburunya tentu sudah kembali ke Galuh dan dia tidak menjadi pelarian lagi.

Dia dan anak istrinya hidup tidak kekurangan di dusun itu, tenang tenteram penuh damai dan seluruh penghuni dusun Gampingan yang hanya terdiri dari sekitar seratus keluarga akrab dengan keluarganya. Semua penghuni dusun Gampingan itu seakan-akan menjadi keluarga besar, hidup rukun dan bergotong royong.

Kebahagiaan pasti terasa setelah orang tidak membutuhkan atau tidak mengejar apa-apa. Merasa cukup dengan apa yang ada dan selalu bersyukur kepada yang Maha Kasih atas segala yang diperolehnya meniadakan keinginan untuk mendapatkan apa pun yang tidak dimilikinya. Pengejaran terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya inilah, apa lagi yang tidak akan terjangkau olehnya, akan meniadakan kebahagiaan.

Pengejaran terhadap sesuatu itu tentu didasari anggapan bahwa yang dikejar itu adalah lebih baik dan akan lebih menyenangkan dari pada apa yang sudah dimilikinya. Keinginan mendapatkan sesuatu yang belum kita miliki ini menghancurkan nilai dari apa yang sudah kita miliki. Padahal pengejaran ini hanya mendatangkan dua macam akibat. Kalau tidak bisa didapatkan maka akan menimbulkan kecewa, marah dan duka, sebaliknya jika bisa didapatkan akhirnya akan menimbulkan kebosanan! Karena pengejaran terhadap sesuatu itu bukan lain adalah pengejaran terhadap kesenangan, dan kesenangan dunia ini pastilah akan berakhir dengan kebosanan.

Ini adalah ulah napsu setan. Setan selalu menyeret kita untuk mengejar kesenangan demi kesenangan sehingga kita manusia yang lemah ini terkecoh, terpikat lantas lupa bahwa di dalam kesenangan yang dipamerkan setan dengan segala daya tariknya itu hakekatnya terkandung racun yang teramat berbahaya, yang dapat menyeret kita ke dalam kesesatan dan kedosaan. Demi mencapai kesenangan, kita sering tidak mempedulikan lagi dengan cara apa kita mencapainya. Dengan cara apa pun, halal atau haram, asalkan kita dapat mencapai kesenangan yang kita kejar-kejar itu.

Harun Hambali bersama anak istrinya merasa menjadi orang yang berkecukupan. Hal ini karena mereka tak pernah menginginkan sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka. Orang seperti Harun itulah yang patut disebut orang kaya yang sesungguhnya. Dia tidak pernah merasa kekurangan dan merasa kecukupan.

Orang yang merasa berkecukupan berarti orang kaya! Sebaliknya orang yang selalu masih merasa tidak cukup, merasa kekurangan, biar pun dia memiliki segudang emas, dia adalah orang miskin, orang kekurangan! Jadi jelaslah bahwa kaya atau miskin tidak dapat diukur dari isi kantongnya, melainkan dilihat keadaan isi hatinya! Kekayaan materi manusia tidak mungkin dapat diukur.

Tak ada seorang pun yang dapat mengatakan dengan pasti berapakah ukuran banyaknya harta bagi seorang yang dapat disebut kaya? Kalau memakai angka, berapakah nolnya? Tidak ada yang kaya mutlak, semua relatif adanya. Sepeti banyak dan sedikit. Berapakah banyak itu? Berapakah sedikit itu?

Yang kekurangan tentu menganggap yang lebih itu banyak, sebaliknya yang lebih tentu menganggap yang kurang itu sedikit. Yang Maha Kaya dan Maha Banyak hanyalah Hyang Maha Wisesa Hyang Maha Tunggal karena sesungguhnya segala sesuatu di jagad raya ini adalah milikNya, tidak terhingga, demikianlah kalau dibuat perhitungan.

Tapi tidak ada yang langgeng (abadi) di dunia ini. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat terlepas dari pengaruh dua unsur yang berlawanan. Sudah demikianlah kenyataannya dan karena kemampuan pikiran manusia takkan mampu menangkap rahasia besar ini, maka kita hanya bisa mengatakan bahwa memang sudah begitulah rupanya kehendak Tuhan.

Segala sesuatu di dunia ini pasti ada imbangannya atau lawannya. Justru adanya lawan itulah yang membuat sesuatu itu ada. Tidak akan ada siang kalau tidak ada malam, tidak akan ada yang disebut terang apa bila tidak ada gelap. Yang satu menentang yang lain, akan tetapi justru yang satu mendukung adanya yang lain. Saling bertentangan tapi juga saling mendukung. Justru kedua unsur yang saling bertentangan inilah yang menjadikan sesuatu. Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu melalui bersatunya dua unsur yang saling bertentangan ini, bahkan diri manusia ini pun terdiri dari dua unsur yang saling bertentangan ini, yaitu baik dan buruk.

Roh baik dan roh buruk saling berebut menguasai diri manusia dan kita tidak mungkin sepenuhnya dikuasai oleh yang baik atau yang buruk saja. Bila kita ini baik sepenuhnya, maka kita bukan manusia lagi, melainkan mungkin disebut malaikat. Sebaliknya bila kita ini sepenuhnya buruk, kita bukan manusia lagi, melainkan setan!

Susah senang silih berganti mengisi kehidupan manusia. demikian pula yang terjadi dalam kehidupan Harun sekeluarga. Sesudah bertahun-tahun hidup aman dan tenteram di dusun Gampingan, pada suatu hari terjadi hal itu, yang akan mendatangkan perubahan besar di dalam kehidupan mereka.

Pada suatu senja, seperti biasanya Harun melihat Aji berlatih silat di pekarangan depan. Kini pemuda itu sudah mempelajari ilmu silat dengan mempergunakan sebatang tongkat. Gerakannya gesit dan tangkas. sambaran tongkatnya kuat sekali sehingga setiap pukulan membuat ujung tongkat kayu itu bergetar dan mengeluarkan bunyi menggetar.

Harun menonton dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa bangga bukan main. Anaknya ini mempunyai bakat besar, lebih besar dari pada dirinya. Dia menyesal kenapa dia tidak dapat memberi pelajaran yang lebih tinggi kepada Aji. Semua ilmu silat yang dia kuasai sudah diturunkan kepada puteranya itu.

“Tok! Tok! Tok!”

Mendadak terdengar suara dan tampaklah seorang laki-laki memikul dua buah keranjang yang berisi bermacam barang kelontong berjalan di jalan depan rumah Harun, Dia adalah seorang lelaki pedagang kelontong keliling. Selama ini tidak pernah ada pedagang keliling yang sampai ke dusun Gampingan, maka munculnya orang itu sangat menarik perhatian orang-orang, terutama kanak-kanak yang banyak mengikutinya.

Begitu melihat Aji bersilat tongkat, pedagang keliling yang usianya sekitar lima puluh tahun itu segera berhenti lalu menonton dengan kagum dan heran. Kemudian pandang matanya bertemu dengan Harun yang juga memandang kepadanya.

Harun bangkit dari tempat duduknya sedangkan Aji telah menghentikan latihannya dan dia memandang kepada laki-laki itu. Harun melihat laki-laki itu dengan mata terbelalak.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)