ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-05


Tiba-tiba Harun berseru, “Ujang...! Ujang Karim...! Engkau... engkau Ujang Karim, bukan?” Harun segera berlari menghampiri orang yang masih berdiri bengong di pinggir jalan depan pekarangan rumahnya itu.

Laki-laki itu memandangi Harun dengan penuh perhatian dan ragu. Rasanya dia mengenal betul laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung, rambutnya sudah dipotong pendek seperti penduduk biasa, demikian pula pakaiannya. Tetapi dia mengenal benar wajah itu!

“Harun Hambali... engkaukah ini? Ya Tuhan, engkau benar Harun sahabatku itu?” Mereka tertawa dan berpelukan.

“Ujang, mari kita ke dalam dan bicara. Engkau harus menceritakan segalanya kepadaku!” seru Harun dan dia cepat membantu orang itu membawa barang dagangannya memasuki pekarangan dan rumah.

Dengan ramah Aji menyuruh anak-anak yang tadi mengikuti tukang kelontong itu bubaran dan dia pun ikut memasuki rumah. Ibunya yang sudah menutup warungnya sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam untuk mereka.

Aji adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah diajarkan sopan santun dan tata-krama. Maka, melihat ayahnya demikian asyik bercakap-cakap dengan tamunya itu dalam bahasa Sunda yang hanya dimengertinya sepotong-sepotong, dia pun tidak berani mendekat dan membiarkan mereka bercakap-cakap berdua saja di ruang depan. Dia sendiri lalu masuk ke dalam, terus ke dapur menemui ibunya.

“Aji, engkau sudah selesai latihan? Hayo cepat mandi, sebentar lagi kita makan malam.”

“Baiklah, ibu.” Akan tetapi dia tidak beranjak dari tempatnya.

“Ehh? Mengapa tidak segera mandi?” tegur ibunya.

“Ibu, tadi di luar ayah bertemu dengan seorang asing yang berjualan kelontong keliling dan agaknya mereka telah bersahabat. Jika aku tidak salah duga, dia tentu orang yang datang dari Pasundan.”

“Ehhh...?! Sekarang dia berada di mana?”

“Ayah mengajaknya masuk dan sekarang mereka berdua bercakap-cakap di dalam ruang depan. Mereka berbicara dalam bahasa Sunda, ibu.”

“Ahh, aku girang jika ayahmu bertemu dengan seorang sahabat sesuku. Kasihan ayahmu, di sini menjadi seorang yang terasing,” kata Warsiyem dengan wajah gembira. “Tentu dia girang sekali dapat bertemu dengan orang yang datang dari kampung halamannya. Jangan ganggu mereka bercakap-cakap, Aji. Aku akan membuatkan minuman untuk ayahmu dan tamu itu, nanti engkau yang membawakan keluar dan menyuguhkannya.”

Aji mengangguk senang. Baginya, ibunya adalah wanita yang terbaik di dunia. Wataknya lembut, ramah dan bijaksana. Juga amat mencinta ayahnya.

Sementara itu Harun terus bercakap-cakap dengan tamunya dalam bahasa Sunda. Tamu itu adalah seorang sahabat baiknya ketika dia masih berada di Galuh, bahkan tamunya ini yang dulu dia titipi anaknya!

Orang itu bernama Ujang Karim. Melihat Ujang tiba-tiba datang ke dusun Gampingan dan bertemu dengan dia, tentu saja Harun menjadi terkejut, heran dan girang karena dia ingin sekali mendengar cerita mengenai keadaan di perkampungannya, terutama sekali tentang anaknya.

“Kapan engkau datang ke Mataram, Ujang? Rasanya seperti mimpi saja aku bisa bertemu dan bercakap-cakap denganmu!” kata Harun.

“Aku juga merasa seperti mimpi, Uun. Baru setahun aku datang di Mataram. Sebenarnya aku pun ingin mencarimu, tapi di antara orang-orang Sunda yang berada di kota pasisiran tidak ada yang mengetahui siapa engkau dan di mana engkau berada. Aku sudah hampir putus asa untuk dapat berjumpa denganmu.”

“Nanti dulu, Ujang. Ceritakanlah dari permulaan tentang kehidupanmu di sana, bagaimana dengan anakku si Udin, dan bagaimana pula engkau sampai meninggalkan Galuh dan tiba di Mataram?” Harun bertanya dengan ingin tahu sekali.

Ujang menghela napas panjang dan pada saat itu, muncul Aji membawa baki berisi ceret air teh dan dua buah cangkir. Dengan membungkuk dan sikap hormat dia meletakkan poci teh berikut dua buah cangkir itu di atas meja, lalu berkata kepada tamu itu dalam bahasa Sunda yang patah-patah.

“Paman, silakan minum teh.” Kemudian dia membungkuk dan mengundurkan diri.

“Aihh, Harun. Anak itu bisa berbicara dalam bahasa kita. Siapakah dia?”

“Nanti saja kuceritakan semua tentang diriku, Ujang. Sekarang lanjutkan dahulu ceritamu tentang keadaanmu di sana sampai engkau datang di Mataram dan bertemu dengan aku di sini.”

“Sesudah engkau menitipkan Udin kepadaku kemudian pergi, aku menjadi bingung sekali. Aku mengira engkau pergi tidak akan lama, tidak tahunya engkau tidak pernah kembali ke dusun kita. Seorang lelaki muda diserahi tugas merawat seorang anak berusia satu tahun, tentu saja aku kerepotan bukan main. Karena adanya anakmu itu, terpaksa aku menikah dengan gadis dari dusun lain.”

“Aihh, engkau sudah menikah, Ujang?” tanya Harun gembira.

Yang ditanya cemberut. Dia seorang laki-laki yang agak gemuk, mukanya bulat sehingga ketika cemberut mukanya tampak lucu, kedua matanya yang sipit itu seperti terpejam.

“Sialan...! Kesialan menimpaku bertubi-tubi dan semua ini biang keladinya adalah engkau, Harun!”

“Maafkan aku, Ujang. Akan tetapi apakah yang telah terjadi?”

“Mula-mula engkau meninggalkan anakmu begitu saja kepadaku, itulah kesialan pertama karena engkau merepotkan aku dan memaksa aku menikah, padahal engkau tahu bahwa aku seorang yang miskin. Menikah dengan gadis itu adalah kesialan yang kedua karena ternyata dia seorang wanita yang cerewet, pencemburu, galak dan kejam. Bukan itu saja. Setelah tahu bahwa anakmu dititipkan padaku, orang-orangnya pembesar yang kau bunuh itu memaksaku untuk memberi-tahu di mana adanya engkau. Mereka memukuli aku dan bahkan nyaris saja membunuhku!”

“Aih, maafkan aku, Ujang. Aku sudah membuatmu begitu sengsara. Sungguh mati aku tak mengira bahwa karena kutitipi anakku, engkau mengalami itu semua. Maafkan aku.”

“Sudahlah, semua sudah terjadi. Terpaksa aku membawa istriku dan anakmu Udin pergi melarikan diri ke selatan. Kami hidup di dusun Kalipucang, jauh dari Galuh, lalu aku hidup sebagai petani di tempat baru itu. Tetapi aku gagal karena daerah tempat tinggal kami itu sering dilanda banjir. Kami hidup miskin dalam keadaan yang serba kekurangan. Akhirnya istriku pergi meninggalkan aku, minggat dengan laki-laki lain. Pada saat itu Hasanuddin, anakmu itu, baru berusia kurang lebih tujuh tahun. Aku hidup menyendiri, kemudian aku menitipkan Udin kepada Aki Somad, seorang pertapa dari Nusa Kambangan yang sedang berkelana ke dusun kami. Aki Somad menyatakan suka kepada Udin dan mau menerima Udin sebagai murid. Dia lalu membawa Udin pergi dan sampai bertahun-tahun aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia.”

“Apa? Kau serahkan anakku kepada orang lain?”

“Itu terpaksa, Harun. Bagaimana mungkin aku yang hidup menyendiri harus merawat dan mendidik dia? Lagi pula Aki Somad itu bukan orang sembarangan. Baru seminggu berada di dusun kami, orang-orang sudah mengabarkan bahwa dia adalah seorang pertapa sakti, bahkan sudah menyembuhkan banyak orang yang menderita sakit di dusun kami.”

“Dan engkau tidak menjenguknya?” tanya Harun penasaran.

“Mana aku sempat? Hidupku amat susah, aku terpaksa berpindah-pindah karena takut bila musuh-musuhmu itu tetap mencari aku. Akan tetapi, sesudah Udin pergi selama delapan tahun, aku bertemu dengan seorang pemuda yang mengaku mengenal Aki Somad dan dia membawa kabar tentang Udin. Katanya Udin telah meninggalkan Aki Somad dan konon... dia juga mencuri perhiasan berharga dan seekor kuda dari kepala dusun setempat.”

“Apa?!” Harun menggebrak meja. “Ahh, celaka! Anakku Hasanudin menjadi terlantar. Dia kurang pendidikan sehingga tersesat! Hemm, lalu bagaimana, Ujang?”

“Seperti kukatakan tadi, selama hampir dua puluh tahun aku tidak pernah bertemu dengan dia. Keadaanku yang amat susah memaksa aku mengambil keputusan untuk merantau ke Mataram dan mencarimu. Pada waktu aku bersiap-siap hendak pergi, muncullah seorang pemuda yang tidak kukenal. Setelah dia memperkenalkan dirinya barulah aku tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Hasanudin, anakmu!”

“Dia... dia datang kepadamu? Ahh, bagaimana keadaannya?”

“Ya, dia datang, kurang lebih setahun yang lalu ketika aku hendak berangkat ke timur, ke daerah Mataram. Usianya kira-kira dua puluh lima tahun dan dia sudah menjadi seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, tetapi sikapnya, Harun, ahhh...!” Ujang Karim menghentikan kata-katanya lalu menghela napas sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. “Dia memaksa dan mengamcam aku agar aku cepat pergi ke Mataram untuk mencarimu. Sikapnya kasar sekali dan sama sekali tidak menghargai aku yang sudah lebih dari enam tahun memelihara dan membesarkannya, menjadi pengganti orang tuanya, bahkan dahulu dia telah menganggap aku sebagai ayahnya sendiri, menyebut aku ayah dan dia pun tidak tahu bahwa dia bukan anak kandungku.”

“Tetapi mengapa dia menyuruhmu pergi mencariku?” tanya Harun bingung, hatinya penuh ketegangan dan juga penuh duka mengingat bahwa puteranya telah menjadi pemuda jahat yang mencuri, bahkan bersikap tidak selayaknya terhadap Ujang yang membesarkannya. “Bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan apa yang dia lakukan terhadap dirimu, Ujang?”

“Aku sendiri heran bagaimana dia bisa tahu tentang dirimu. Aku dan istriku tidak pernah bercerita bahwa dia adalah anakmu. Akan tetapi dia datang dengan sikap galak sekali dan engkau tahu apa yang dia lakukan? Aku memiliki sebuah arca kecil dari batu hitam yang amat keras dan kuat. Akan tetapi begitu dia memegang arca itu dan meremasnya, arca itu langsung hancur lebur seperti tepung! Selama hidupku belum pernah aku melihat kekuatan tangan seperti itu! Dan dia bilang bahwa kalau aku tidak cepat menemukanmu, maka dia akan membikin kepalaku hancur seperti arca itu!”

“Bocah keparat!” Harun berseru marah sekali, tapi diam-diam dia pun terkejut bukan main. Kekuatan tangan yang meremas hancur batu hitam seperti membuktikan bahwa anak itu sudah memiliki tenaga sakti yang amat hebat! “Lalu apa maksudnya dia memaksa engkau pergi mencariku sampai dapat kau temukan?”

Ujang Karim bangkit menghampiri dagangannya, kemudian mengambil sesuatu dari dalam keranjang dan memberikannya kepada Harun.

“Dia memaksa aku mencarimu untuk menyerahkan ini kepadamu.”

Harun menerima benda itu yang ternyata sehelai kain putih yang ditulisi huruf-huruf hitam. Dia membuka gulungan kain surat itu, tapi cuaca di dalam rumah itu sudah mulai gelap.

“Aji...!” Harun memanggil anaknya.

Aaji yang membantu ibunya menutup warung, cepat memasuki ruangan.

“Ya, ada apakah, Pak?”

“Aji, nyalakan lampu, cuaca sudah mulai gelap.”

“Baik, Pak.” Aji lalu cepat menyalakan lampu-lampu gantung di dalam rumah itu.

“Pergilah bantu ibumu mempersiapkan makan malam untuk kami. Sembelih seekor ayam, Aji,” kata pula Harun yang tidak menghendaki puteranya mendengar percakapan dia dan Ujang.

“Baik, Pak.” Aji lalu cepat keluar untuk membantu ibunya.

Sesudah anaknya pergi, Harun mendekatkan kain bertulis itu kepada lampu gantung dan dia mulai membaca. Tulisan itu cukup terang dan huruf-hurufnya pun indah dan kuat.

Harun Hambali,

Engkau adalah seorang pengecut dan seorang ayah yang tak bertanggung jawab. Engkau menyelamatkan diri sendiri dan menyia-nyiakan anaknya. Tunggu saja, aku pasti datang membunuhmu!

Hasanudin.

“Ampun Gustiii...!” Harun menjadi lemas. Surat itu terlepas dari tangannya yang menggigil, wajahnya pucat dan dia tentu akan jatuh terkulai jika saja sesosok bayangan tidak cepat-cepat berkelebat dan menangkap lalu merangkul tubuhnya. Bayangan itu adalah Lindu Aji yang tadi sempat mendengar seruan ayahnya dan cepat meloncat memasuki ruangan itu sehingga masih dapat mencegah ayahnya roboh terguling.

Ketika melihat ayahnya pingsan, pemuda itu memondongnya lalu merebahkan tubuhnya di atas sebuah dipan yang berada di ruangan itu. Kemudian dia melihat sehelai kain bersurat yang tadi terlepas dari tangan ayahnya. Sekilas dibacanya isi surat itu, kemudian dilipat dan disimpannya, diselipkan pada ikat pinggang celananya. Sesudah itu dia menghampiri ayahnya dan mempergunakan jari-jari tangannya mencubit otot besar di antara ibu jari dan telunjuk tangan ayahnya dan menekan-nekan bawah hidungnya.

Harun mengeluh dan siuman dari pingsannya. Dia mengalami guncangan hebat sekali dan ada rasa nyeri di dalam dadanya. Perasaan hatinya bagai ditusuk-tusuk. Anaknya sendiri, darah dagingnya, mengancam hendak membunuhnya dan dalam tulisannya itu terkandung kebencian yang amat hebat.

Ia tidak takut dengan ancaman itu, sama sekali tidak, akan tetapi dia merasa sedih bukan main karena dimusuhi oleh anak kandung sendiri. Ia bangkit duduk dan melihat Ujang dan Lindu Aji berada di sana, dia lalu ingat bahwa Aji tidak boleh mengetahui akan semua ini. Maka dia lalu memandang pemuda itu dan berkata. “Aji, keluarlah dan bantu ibumu. Juga penuhi kolam kamar mandi dengan air. Aku dan pamanmu Ujang ini akan mandi lebih dulu sebelum makan malam.”

Di dalam suara ayahnya terkandung nada perintah yang mendesak. Aji mengangguk dan melihat ayahnya sudah tidak apa-apa, dia segera keluar dari ruangan itu untuk memenuhi kolam kamar mandi dengan air lalu membantu ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan makan malam untuk suami dan tamunya.

Setelah anaknya pergi, Harun menarik napas panjang beberapa kali dan dia kembali duduk di atas kursi dekat meja, berhadapan dengan Ujang.

“Tenangkan hatimu, Harun. Tak mungkin Udin akan dapat menemukanmu di sini. Tempat tinggalmu ini cukup tersembunyi. aku sendiri hanya secara kebetulan saja dapat bertemu denganmu di sini.”

“Aku bukan takut menghadapi ancamannya itu, Ujang... eh, di mana suratnya tadi?” Harun memandang ke sekeliling, mencari-cari.

“Surat itu tadi diambil oleh anakmu,” kata Ujang.

“Aji...! Aji..., ke sinilah!” teriak Harun sambil menoleh ke arah belakang.

Aji muncul dengan cepat. “Ya, Pak?”

“Engkau mengambil kain bersurat tadi?”

“Benar, Pak. Ini suratnya.” Aji mengambil surat itu dari balik ikat pinggangnya, kemudian menyerahkannya kepada Harun.

“Tadi engkau membacanya?”

Aji mengangguk sambil menundukkan mukanya. “Benar, Pak.”

“Lupakan apa yang kau baca itu! Tidak ada artinya sama sekali.”

“Akan tetapi, Pak...”

“Aji, sejak kapan engkau membantah bapakmu? Turuti saja nasihatku, jangan pikirkan dan lupakan isi surat yang kau baca tadi. Mengerti?”

“Sumuhun, mangga, Pak,” kata Aji yang segera mengundurkan diri, kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Anakmu yang ini sungguh patuh kepadamu. Tampaknya dia anak yang baik dan kulihat ketika dia berlatih silat tadi, dia sudah trampil dan mahir sekali.”

Harun menghela napas panjang. “Mudah-mudahan begitu. semoga Allah Subhanahu Wa Ta’allah selalu membimbingnya melalui jalan kebenaran dalam hidupnya.”

“Kulihat beda sekali dengan Udin. Memang Udin tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya sungguh menyeramkan. Ada yang aneh dalam pandang matanya, begitu menakutkan dan mengandung wibawa hebat, seperti mata harimau.”

“Semoga Tuhan mengampuninya. Biarlah kalau dia hendak membunuhku, Ujang, karena aku pun merasa dan menyadari akan kesalahanku terhadap dia. Dia benar, aku seorang ayah yang tak bertanggung jawab. Lalu apa yang kau ketahui tentang orang-orang Galuh yang mencariku dan memukulimu? Aku memang menduga bahwa keluarga Aom Bahrudin pasti tidak akan berhenti begitu saja. Mendiang Aom Bahrudin adalah menak (bangsawan) yang tinggi kedudukannya dalam kerajaan Galuh.”

“Memang begitulah, Harun. Mereka yang datang mencarimu dan memaksa aku mengaku di mana engkau berada adalah orang-orang yang menjadi anak buah Raden Banuseta, putera mendiang Aom Bahrudin yang kau bunuh. Dan aku mendengar kabar bahwa Raden Banuseta itu adalah seorang yang digdaya dan sakti mandraguna.”

Harun menghela napas panjang. “Biarlah. Apa bila mereka datang mencariku di sini, akan kuhadapi semua. Memang aku sudah membunuh Aom Bahrudin. Akan tetapi seperti yang engkau ketahui, aku membunuhnya karena dia telah memperkosa istriku hingga istriku itu membunuh diri. Kalau sekarang anaknya hendak membalas dendam kematian ayahnya kepadaku, akan kuhadapi. Anakku Udin memang benar. Aku seorang pengecut. Mestinya dulu aku tidak melarikan diri sehingga menjadi orang buruan, melainkan mempertanggung-jawabkan perbuatanku itu. Karena aku melarikan diri dan meninggalkan anakku, maka aku sudah menyeret banyak orang yang ikut menderita karena aku. Aku membuat Udin hidup terlantar, juga engkau telah menderita karena pelarianku itu. Bukan Udin dan engkau saja yang menderita akibat ulahku itu, bahkan kini istri dan anakku Aji juga ikut terancam. Ahh, aku menyesal sekali, Ujang.”

“Engkau tidak perlu menyesal, Harun. Aku tidak bisa menyalahkanmu. Istrimu membunuh diri karena diperkosa orang dan engkau mengambil tindakan sendiri untuk membalas. Hal itu sudah sepantasnya, karena kalau engkau minta pengadilan kepada penguasa di Galuh, mungkin justru engkau yang akan ditangkap dan dihukum. Kita semua tahu bahwa hukum diadakan hanya untuk melindungi orang-orang yang berkuasa saja.”

Harun menghela napas panjang. “Apa anehnya itu, Ujang? Kekuasaan itulah hukum yang berlaku. Orang-orang yang berkuasa menentukan hukum sendiri dan rakyat jelata harus tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi di Mataram ini keadaannya lain, Ujang. Di sini terdapat banyak pejabat tinggi yang bijaksana dan membela rakyat. Sultan Agung adalah seorang raja yang bijaksana, bertindak tegas terhadap para pamong praja yang lalim.”

Pada saat itu Aji muncul di dalam ruangan itu lalu berkata kepada ayahnya, “Kamar mandi sudah siap, Pak. Airnya sudah penuh. Silakan bapak dan paman mandi.” Setelah berkata demikian, Aji lalu mengundurkan diri lagi.

Harun mempersilakan temannya untuk mandi. Tak lama kemudian keduanya sudah mandi dan bertukar pakaian, lalu duduk kembali di ruangan itu. Dari dalam mncullah Warsiyem yang mempersilakan suami dan tamunya untuk makan malam. Begitu melihat istrinya, Harun lalu berkata kepada Ujang.

“Ah, engkau belum berkenalan dengan istriku, Jang! Nah, ini Warsiyem istriku, ibu Lindu Aji.” Kemudian kepada istrinya dia memperkenalkan temannya. “Dik War, dia ini adalah Ujang Karim, seorang sahabatku yang datang dari Galuh.”

Ujang bangkit dari tempat duduknya dan membungkuk kepada Warsiyem. “Maafkan kalau kunjungan saya ini mengganggu,” kata Ujang.

“Ahh, sama sekali tidak. Mari, silakan kalian makan santapan yang sudah kami siapkan di ruangan belakang,” kata Warsiyem.dengan ramah.

Mereka berdua lantas bangkit dan memasuki ruangan belakang. Hidangan telah disiapkan di atas meja dan ketika mereka berdua duduk menghadapi hidangan, Ujang berkata, “Mari mbakyu dan nak Lindu Aji makan sekalian!” kata-katanya itu ditujukan kepada Warsiyem karena Aji tidak tampak berada di situ.

“Ahh, silakan kalian berdua makan dahulu, aku dan Aji makan nanti saja.” kata Warsiyem yang melayani mereka makan.

Sementara itu Lindu Aji duduk di dapur. Dia termenung dan tidak dapat melupakan isi surat yang tadi dibacanya. Dia tidak tahu siapa itu Hasanudin yang mengancam hendak datang membunuh ayahnya dan dia tidak mengerti pula kenapa ayahnya dikatakan pengecut dan tidak bertanggung jawab. Hatinya merasa amat penasaran dan jiwanya memberontak. Dia akan menghadapi orang yang mengancam hendak membunuh ayahnya itu!

Sesudah selesai makan Harun kembali bercakap-cakap dengan Ujang, akan tetapi karena malam itu hawanya panas, Harun mengajak Ujang bercakap-cakap di pendapa rumahnya, di sebelah warung nasinya yang sudah tutup. Warsiyem memanggil Aji, lalu ibu ini makan bersama anaknya. Dalam kesempatan makan bersama ibunya ini, Aji tak dapat menahan hatinya lagi dan bertanya.

“Ibu, siapakah orang yang bernama Hasanudin itu?”

“Hasanudin...?” Ibunya memandang dengan tatapan mata penuh selidik. “Apa yang kau maksudkan, Aji? Kenapa engkau menanyakan nama itu?”

“Aku hanya ingin tahu, ibu. Hasanudin itu mengirim surat kepada ayah, mengatakan ayah seorang pengecut dan ayah tidak bertanggung jawab. Apa artinya itu, ibu?”

Warsiyem memandang ragu. Tentu saja dia telah mendengar pengakuan suaminya bahwa suaminya meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Hasanudin di Galuh, Pasundan. Suaminya melarang dia untuk menceritakan mengenai hal itu kepada Aji, tetapi sekarang, entah bagaimana, Aji mengetahui nama itu. Akan tetapi dia tetap tidak berani melanggar larangan suaminya.

“Aji, megapa engkau menanyakan itu? Aku sendiri juga tidak tahu benar.”

“Akan tetapi aku harus mengetahuinya, ibu! Hasanudin itu mengancam ayah. Aku harus membela ayah!” kata Aji dengan alis berkerut.

Ibunya menghela napas panjang. “Kenapa tidak kau tanyakan saja sendiri pada ayahmu?”

“Aku akan bertanya sekarang juga, ibu!”

“Aji, habiskan dulu makanan di piringmu!” kata Warsiyem dengan nada menegur.

Lindu Aji tidak membantah. Dengan cepat dia segera menghabiskan nasi dan lauk pauk di atas piringnya, lalu minum air kendi. Setelah itu dia bangkit dan melangkah tegap menuju ke luar, ke pendapa di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan tamunya.

“Bapak...!” Harun dan Ujang menoleh dan mereka melihat Aji berdiri di situ.

“Ehh, ada apakah, Aji?” tanya Harun.

Aji melangkah maju lalu berdiri di hadapan ayahnya. Sikapnya masih sopan seperti biasa, pandang mata yang ditujukan kepada ayahnya masih menyinarkan kasih sayang dan rasa hormat, akan tetapi wajahnya membayangkan keseriusan.

“Bapak, tadi saya sudah membaca surat dari Hasanudin yang mengancam bapak, karena itu saya harap bapak suka memberi-tahukan saya, siapakah Hasanudin itu dan mengapa dia mengancam bapak?”

Harun menoleh kepada Ujang. Mereka saling pandang dan dari pandang mata sahabatnya, Ujang tahu bahwa Harun merasa bingung dengan pertanyaan anaknya.

“Uun, apa salahnya kalau Aji mengetahui persoalannya? Dia sudah hampir dewasa, bukan anak kecil lagi.”

Hubungan antara Ujang dan Harun sudah demikian dekatnya seperti saudara saja, maka Ujang berani menyarankan hal itu. Harun menghela napas panjang kemudian memandang anaknya.

“Duduklah, Aji.”

Aji duduk di hadapan ayahnya. Sesudah beberapa kali menarik napas panjang, Harun lalu berkata, “Aku persingkat saja ceritanya, Aji. Kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu, atau mungkin sudah dua puluh tujuh tahun yang lalu, aku tinggal di Pasundan. Di situ aku mempunyai seorang istri dan seorang anak berusia satu tahun. Kemudian terjadilah mala petaka. Istriku diganggu oleh seorang pembesar sehingga membunuh diri. Aku membalas dendam. Kubunuh pembesar jahanam itu. Lalu aku dikejar-kejar, menjadi buruan sehingga terpaksa aku meninggalkan anakku, kutitipkan kepada pamanmu Ujang Karim ini dan aku merantau ke daerah Mataram. Sepuluh tahun kemudian aku bertemu dengan ibumu dan kami pun menikah, lalu terlahirlah engkau. Nah, tiba-tiba muncul pamanmu Ujang ini yang dititipi surat oleh anakku yang kutinggalkan di Pasundan. Hasanudin adalah anakku yang kutinggalkan di sana.”

Jantung Aji berdebar penuh ketegangan dan penasaran. “Akan tetapi, jika dia anak bapak, kenapa dia mengancam hendak membunuh bapak?”

Harun menghela napas panjang, “Entahlah, agaknya kakakmu itu telah menyeleweng dan tersesat, atau mungkin dia marah dan mengandung dendam sakit hati kepadaku.”

“Akan tetapi dia mengancam hendak membunuh bapak! Ini sudah keterlaluan namanya, maka aku akan menghadapinya!”

“Aji...! Jangan mencampuri urusan ini. Ini adalah urusan pribadiku. Sudahlah, lupakan saja hal itu dan jangan kau pikirkan lagi. Sekarang tinggalkan kami, jangan ganggu percakapan kami dan pergilah membantu ibumu,” kata Harun agak keras karena memang dia terkejut melihat sikap Aji yang demikian keras, padahal biasanya anak itu lembut dan penyabar.

Memang Aji bangkit dan pergi, akan tetapi tidak kembali ke belakang melainkan melompat ke pekarangan lantas berlari meninggalkan rumah itu. Dia berlari cepat menuju ke selatan, menuju ke Laut Kidul. Malam itu bulan muncul dengan terangnya sehingga jalan kasar ke selatan itu cukup terang.

Aji berlari terus. Jantungnya berdebar tegang. Ayahnya mempunyai seorang anak laki-laki yang jauh lebih tua darinya, mungkin sekarang sudah berusia dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun. Dia mempunyai seorang kakak! Akan tetapi kakaknya itu mengancam hendak membunuh ayahnya. Kenyataan ini mengguncang hatinya yang selama ini penuh damai dan tenteram.

Sesudah tiba di pantai Laut Kidul yang berpasir tebal, dia baru berhenti berlari. Keadaan di situ tenang dan sunyi sekali. Bahkan gemuruhnya suara ombak memecah di pantai makin mempertebal keheningan tempat itu. Akan tetapi hati Aji tidak hening. Dia membayangkan kakaknya yang bernama Hasanudin itu menyerang dan hendak membunuh ayahnya.

Mendadak dia bergerak, bersilat menyerang, memukul, menendang sekuat tenaga seolah-olah orang yang hendak membunuh ayahnya berada di depannya dan dia menyerangnya dengan penuh kemarahan. Dia terus bersilat, tidak mempedulikan air laut yang menjilat-jilat hingga ke kakinya. Dia bersilat sekuat tenaga sampai akhirnya, berjam-jam kemudian, dia terkulai lemas dan kelelahan di atas pasir.

“Hemm, dia marah sekali. Belum pernah aku melihat dia marah. Biasanya dia lembut dan penyabar,” kata Harun sambil mengerutkan alisnya.

“Siapa yang tidak marah kalau mendengar ayahnya diancam akan dibunuh orang, Harun. Anakmu Lindu Aji itu tidak dapat disalahkan. Tentu saja dia marah mendengar ada orang mengancam hendak membunuhmu, apa lagi kalau yang mengancam itu anakmu sendiri.”

Pada saat itu dua orang sahabat yang sedang bercakap-cakap itu mendengar suara orang berdehem di pekarangan. Ketika mereka memandang, dalam keremangan cahaya bulan mereka melihat sesosok tubuh seorang laki-laki di pintu pekarangan, melangkah perlahan memasuki pekarangan itu.

“Aji...?” panggil Harun yang mengira bahwa itu adalah anaknya.

Akan tetapi bayangan itu tidak menjawab, hanya melangkah perlahan-lahan menghampiri pendapa rumah itu. Setelah agak dekat dan sinar lampu di pendapa bisa menerangi wajah orang itu, barulah Harun dan Ujang tahu bahwa orang itu bukan Lindu Aji.

Dia seorang lelaki bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya yang mewah mereka segera tahu bahwa dia tentu seorang menak (bangsawan) Sunda. Usianya kira-kira empat puluh tahun, dengan ikat kepala khas Pasundan dan sarungnya diikatkan di pinggang. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mencorong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)