ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-06


“Udin...?“ bisik Harun kepada sahabatnya.

“Bukan...” bisik Ujang kembali.

Kini laki-laki itu sudah berdiri dekat mereka, dalam jarak empat meter. Sejenak dia berdiri dengan dua kaki terpentang, tegak memandang ke arah kedua orang itu bergantian, lalu dia bertanya dalam bahasa Sunda dengan sikap angkuh dan bahasa kasar, seperti sikap dan bahasa kebanyakan para bangsawan kalau berbicara kepada rakyat kecil.

“Siapa di antara kalian yang bernama Harun Hambali?”

Harun segera dapat menduga bahwa orang ini tentu utusan dari keluarga mendiang Aom Bahrudin yang hendak membalas dendam atas kematian bangsawan itu. Surat Hasanudin yang memaki dia sebagai pengecut sudah membangkitkan semangatnya. Sekarang Harun mengambil keputusan untuk tidak melarikan diri lagi melainkan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Maka dengan sikap gagah dia melangkah maju menghadapi orang itu dan berkata dengan tenang.

“Saya yang bernama Harun Hambali. Juragan (tuan) siapakah dan kepentingan apa yang membawa juragan datang menemui saya?”

Orang itu tidak menjawab melainkan memandang kepada Harun dari kepala hingga ke kaki dengan penuh perhatian, kemudian dia melirik ke arah Ujang dan bertanya dalam bahasa Sunda pula, “Dan kamu ini tentu yang bernama Ujang Karim, bukan?”

Ujang ketakutan dan menjawab dengan suara gemetar, “Be... betul, juragan...”

Kembali orang itu menghadapi Harun yang sudah berdiri di depannya.

“Harun Hambali, masih ingatkah dengan peristiwa yang terjadi dua puluh enam tahun yang lalu di Galuh?”

Dengan sikap masih tenang Harun bertanya, “Peristiwa yang mana itu, juragan?”

“Kamu telah membunuh Aom Bahrudin, adik Bupati di Galuh!”

Harun mengangguk lantas menjawab dengan suara tegas, “Siapa pun andika, tentu sudah mengetahui bahwa saya membunuh Aom Bahrudin sebab dia telah memperkosa istri saya sehingga istri saya membunuh diri. Pembalasan itu sudah setimpal dan adil.”

“Jahanam keparat! Ketahuilah bahwa aku adalah Raden Banuseta, putera dari mendiang Aom Bahrudin! Aku datang untuk membalas kematian ayahku dan membunuhmu!”

Harun masih tetap tenang. “Jika andika tidak menyadari bahwa ayah andika yang bersalah dalam peristiwa itu dan hendak membalas dendam, silakan saja. Saya berani bertanggung jawab atas perbuatan saya itu!”

“Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mati dan menghadap ayahku!” bentak orang yang mengaku bernama Raden Banuseta itu dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan seperti burung terbang saja sambil dua tangannya menyambar dari kanan dan kiri ke arah kepala Harun.

Gerakan orang itu cepat bukan main dan ketika kedua tangannya menyambar terdengar angin bersiutan menandakan bahwa serangan kedua tangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Harun mengenal gerakan cepat bagaikan burung terbang itu, maka dia cepat melompat ke samping, menghindar lalu meloncat ke tengah pekarangan, mencari tempat yang luas agar leluasa bersilat menghadapi lawan yang tangguh itu.

“Anda murid perguruan silat Dadali Sakti?” tanya Harun yang meski pun hanya satu tahun lamanya tetapi pernah pula belajar ilmu silat pada perguruan silat Dadali Sakti yang sangat terkenal di daerah Pasundan itu.

Dadali Sakti (Burung Walet Sakti) adalah sebuah perguruan silat yang mengajarkan ilmu silat yang mempunyai dasar kecepatan gerak seperti seekor walet.

Banuseta tersenyum menyeringai. “Engkau mengenal aliran silatku? Bagus, agar engkau tidak mati penasaran. Sambutlah!” Kembali Banuseta menyerang, gerakannya amat cepat dan dia telah mengirim serangkaian serangan bertubi-tubi yang berupa tamparan, totokan dan tendangan.

Harun mengelak dan menangkis, tetapi setiap kali dia menangkis dan lengannya bertemu dengan lengan lawan, tubuhnya langsung tergetar dan dia terhuyung ke belakang. Harun maklum bahwa tingkat kepandaian lawannya ini jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya, tapi dia sudah bertekad untuk menghadapi segala akibat perbuatannya, tidak akan lari lagi dan akan melawan mati-matian.

Maka dia mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk menandingi lawannya. Dia berusaha untuk balas menyerang, akan tetapi karena tingkatnya memang kalah jauh, maka semua serangan balasannya bila ditangkis lawan malah membuat tubuhnya segera terhuyung-huyung.

“Hyaaaaaahhh...!” Dengan nekat Harun mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk maju dan menghantamkan kedua tangannya dari atas ke arah kepala lawan. Tamparan kedua tangannya ini mengarah kedua pelipis kepala lawan dan karena dia mengerahkan seluruh tenaganya, maka akan berbahaya sekali jika mengenai sasaran. Bagaimana pun kuatnya lawan, akan sulitlah dapat bertahan menerima hantaman telapak tangan kanan kiri itu ke pelipisnya.

“Wuuuuuttt...! Plakkk!”

Kedua pergelangan tangan Harun ditangkap oleh Banuseta, begitu kuatnya cengkeraman dua tangan tokoh Dadali Sakti itu sehingga Harun merasa pergelangan tangannya seperti remuk dijepit catut baja. Dengan nekat dia segera mempergunakan jurus Munding Kroda (Kerbau Marah) dan tiba-tiba dia menghantamkan kepalanya ke arah dada lawan!

Jurus Munding Kroda adalah jurus nekat yang hanya dilakukan dalam keadaan sudah tak berdaya, jurus mengadu nyawa karena kalau berhasil maka nyawa lawan terancam maut, namun bila gagal maka nyawa sendiri taruhannya. Tapi dengan jurus ini kepala Harun bisa memecahkan buah kelapa dengan mudah dan dapat mematahkan balok kayu.

Serangan yang dilakukan dengan tiba-tiba dari dekat ini tentu saja tidak keburu dielakkan oleh Banuseta, juga tidak bisa ditangkis karena kedua tangannya masih memegang kedua pergelangan tangan lawan. Maka dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menerima terjangan kepala itu dengan dadanya.

“Wuuuttt...! Prakkk...!”

Terdengar suara keras ketika kepala bertemu dada, kemudian tubuh Harun terpelanting dan roboh tak berkutik lagi. Kepalanya retak bertemu dengan dada yang dilindungi tenaga sakti amat kuat itu dan Harun tewas seketika.

Melihat kawannya roboh, Ujang Karim yang sejak tadi menonton dengan muka pucat dan hati tegang, menjadi ketakutan dan dia segera mengangkat kaki melarikan diri.

“Hendak lari ke mana kamu? Kamu juga harus mati!” bentak Raden Banuseta.

Tangannya cepat mencabut pisau belati dan sekali tangannya bergerak, pisau itu segera meluncur kemudian menancap di punggung Ujang yang melarikan diri. Ujang berteriak dan roboh menelungkup.

Raden Banuseta tersenyum mengejek. Ia menghampiri dan mencabut pisaunya, lalu pergi dari situ dengan cepat, menghilang dalam bayangan pohon-pohon karena dia pun tak ingin semua penduduk dusun itu datang mengeroyoknya.

Sejak tadi Warsiyem menonton perkelahian itu dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Dia sangat khawatir, akan tetapi apa yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia? Ketika melihat suaminya roboh, disusul robohnya Ujang dan pembunuh suaminya itu sudah menghilang, barulah dia bisa bergerak, berlari keluar sambil menjerit dan menubruk mayat suaminya.

“Kang Haruuun... ahh, kang Haruuuunn...!” Dia menjerit-jerit dan melihat bahwa suaminya telah tewas dengan kepala retak mengeluarkan banyak darah, Warsiyem lantas menangis tersedu-sedu dan roboh pingsan sambil merangkul suaminya.

Dusun Gampingan menjadi geger. Rumah Harun penuh dengan para penduduk yang sama datang melayat. Jenasah Harun dan Ujang dibaringkan di atas sebuah dipan bambu, ada pun Warsiyem yang masih pingsan diangkat dan direbahkan ke atas pembaringan dalam kamarnya. Para wanita tetangga berusaha untuk menyadarkannya, akan tetapi Warsiyem tetap pingsan. Guncangan perasaan terlampau hebat menggempurnya sehingga wanita itu pingsan berat.....

********************

Akhirnya Lindu Aji dapat menenteramkan hatinya kembali setelah dia duduk bersila di atas pasir pantai Laut Kidul bermandikan cahaya bulan. Keheningan suasana dalam kemurnian hawa melenyapkan gejolak hatinya, membuat hatinya yang tadinya bergelombang seperti diterpa badai kini menjadi tenang kembali.

Dia lalu teringat akan ayah ibunya yang tentu akan merasa khawatir kalau dia tidak segera pulang. Selain itu timbul suatu perasaan tidak enak yang aneh, yang mendorongnya untuk segera pulang.

Lindu Aji mulai menyesal atas sikapnya terhadap ayahnya tadi. Dia amat menyayang dan menghormati ayahnya, dan kini timbul perasaan iba terhadap orang yang dekat di hatinya itu. Ayahnya sudah cukup menderita. Istrinya diganggu orang sampai terpaksa membunuh diri, kemudian dia pun menjadi buronan sampai bertahun-tahun akibat membalas dendam, dan sekarang betapa hancur hatinya mendapat surat dari anak kandungnya sendiri yang mengancam akan membunuhnya.

“Ahh, Bapak...!” dia mengeluh. Ingin rasanya dia merangkul dan menghibur hati ayahnya tercinta.

Karena ingin segera pulang dan bertemu dengan ayah ibunya, Lindu Aji lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari kembali ke dusun Gampingan. Pada waktu memasuki dusun Gampingan, dia terheran-heran melihat para penduduk banyak yang masih berada di luar rumah masing-masing, bahkan banyak yang bergerombol membicarakan sesuatu dengan asyiknya. Wajah mereka rata-rata kelihatan tegang dan ketika melihat dia datang, mereka semua terdiam dan memandang dia dengan sinar mata aneh.

“He, ada apakah? Apa yang terjadi? Sikap kalian begini aneh!” tanyanya kepada beberapa orang pemuda yang juga memandangnya seperti mereka melihat setan.

“Aji, jangan banyak tanya. Cepatlah pulang, cepat!” kata seorang di antara mereka.

Aji terbelalak. Sikap mereka sudah sangat jelas. Pasti telah terjadi sesuatu di rumah orang tuanya. Maka tanpa bertanya lagi dia pun berlari cepat menuju rumahnya.

Jantungnya berdebar keras ketika dia melihat betapa di rumahnya dipasangi banyak lampu hingga terang benderang dan banyak sekali orang yang berada di rumahnya. Orang-orang memenuhi rumah, bahkan meluber sampai ke pekarangan, seolah-olah seluruh penduduk Gampingan berkumpul semua di sana. Ketika Lindu Aji muncul, semua orang menengok dan memandang kepadanya.

Wajah Aji menjadi pucat dan cepat dia menerobos masuk ke ruangan depan. Di sana dia berhenti terbelalak memandang ke arah dua buah dipan bambu di mana rebah dua sosok tubuh yang terselimut kain, yang berarti bahwa dua sosok tubuh manusia itu sudah mati! Jantungnya seperti meloncat menyumbat kerongkongannya, pandang matanya berkunang dan kekhawatiran yang amat sangat memenuhi hatinya.

Dia melompat ke depan, kemudian menyingkap bagian kepala kain penutup mayat itu dan melihat wajah sahabat ayahnya yang bertamu malam itu, wajah Ujang. Biar pun dia amat terkejut melihat sahabat ayahnya telah tewas, tetapi dia agak lega bahwa mayat itu bukan ayahnya atau ibunya. Dia lalu menghampiri sosok mayat kedua. Dengan tangan gemetar dia membuka kain yang menutupi kepala mayat kedua.

Wajah Lindu Aji seketika pucat sekali, matanya terbelalak, kedua tangan dikembangkan di depan dada, jari-jari tangannya menegang, mulutnya terbuka seakan mengeluarkan pekik yang tidak bersuara, lalu perlahan-lahan bibirnya bergerak, mengeluarkan kata-kata seperti berbisik meragu, tidak percaya apa yang dilihatnya sendiri.

“Bapak..., bapak..., bapak kenapa...? Bapak..., jawablah, bapak kenapa...?“ Ia menyentuh pundak ayahnya, diguncangnya lembut seolah hendak membangunkan ayahnya dari tidur. akan tetapi dia lalu melihat kepala yang retak-retak dan berlepotan darah itu.

“Bapaaaaaakkk...!” Dia menjerit, suara jeritnya melengking dan menggetarkan hati seluruh pelayat. “Tidak... tidaaaak...!” Mata yang terbelalak itu basah dan air mata menetes-netes jatuh di atas sepasang pipinya. Dia mengguncang-guncang pundak ayahnya dengan kuat, seolah tidak percaya dan tidak mau percaya sehingga tubuh mayat itu bergoyang-goyang, kepalanya bergerak-gerak seperti menggeleng.

Sebuah tangan menyentuhnya. Parto, tetangga keluarga Harun yang menjadi sahabat baik keluarga itu berkata lirih, suaranya menggetar penuh keharuan, “Angger Aji... kuatkanlah hatimu, bapakmu telah meninggal dunia...”

Hening sejenak, yang terdengar hanya suara isak para wanita yang merasa sangat terharu melihat adegan itu. Aji seperti orang kebingungan mendengar kata-kata itu, dia menoleh ke kanan kiri seolah mengharapkan ada orang lain yang membantu ucapan Parto itu. Namun semua orang yang bertemu pandang dengannya cepat-cepat menundukkan pandang mata mereka. Aji lalu menoleh lagi kepada wajah ayahnya.

“Bapak...! Bapak, benarkah... benarkah bapak... bapak sudah mati?”. Kemudian bagaikan air bah yang dilepas bendungannya, dia menjerit, “Bapaaakk...!” Dia menubruk, merangkul ayahnya, menciumi muka jenasah itu, lalu menangis meraung-raung di atas dada jenasah Harun.

Istri Parto yang juga sudah seperti keluarga sendiri dengan Harun dan anak istrinya, maju merangkul Lindu Aji sambil sesenggukan.

“Aji... ngger, kuatkanlah hatimu... semua ini sudah kehendak Gusti... kasihani bapakmu... kasihani ibumu, ngger...”

Mendadak Lindu Aji menghentikan tangisnya lalu mengangkat kepalanya. Mukanya masih pucat sekali, air mata bercucuran seperti hujan, matanya kemerahan dan penuh air mata.

“Ibu... mana ibu... bagaimana ibuku...?”

Ucapan Mbok Parto tadi mengingatkan dia kepada ibunya sehingga sesaat dia melupakan kedukaannya yang terganti kekhawatiran akan keadaan ibunya.

“Dia berada di dalam kamarnya, Aji...” kata Mbok Parto.

Mendengar ini Aji menguak semua orang supaya minggir lalu dia melompat ke arah kamar ibunya.

“Ibuuuu...!” Lindu Aji berteriak memanggil ketika memasuki kamar.

Melihat ibunya rebah telentang di atas pembaringan dan tidak bergerak seperti tidur, atau seperti mati, Aji menggigil dan sejenak terpukau, tidak mampu bergerak lagi, hanya berdiri memandang, matanya terbelalak liar penuh kekhawatiran kalau-kalau ibunya sudah mati pula. Akan tetapi di bawah cahaya lampu dia melihat dada ibunya masih bergerak. Ibunya masih bernapas, ibunya masih hidup! Dia segera menghampiri lalu meraba leher dan dahi ibunya.

“Ibu...!” panggilnya, mengguncang pelahan pundak ibunya.

Akan tetapi ibunya tidak juga membuka mata, tidak juga bergerak.

“Aji, sejak tadi ibumu pingsan,” kata seorang wanita sambil menahan tangisnya.

Aji lalu duduk di tepi pembaringan. Sedikit banyak dia telah mempelajari dari ayahnya cara pengobatan untuk hal-hal tertentu, misalnya menyadarkan orang pingsan, mengobati luka-luka dan akibat keracunan. Melihat ibunya pingsan, dia segera mengurut tengkuk ibunya, menjepit dan membetot urat pada pangkal ibu jari dan di bawah pangkal lengan.

Tidak lama kemudian terdengar ibunya merintih lantas siuman. Begitu membuka mata dan melihat anaknya, Warsiyem bangkit duduk, merangkul anaknya dan menjerit.

“Aji...! Bapakmu...!”

“Ibuuuu...!” Ibu dan anak itu berangkulan sambil menangis sesenggukan. Lindu Aji merasa betapa ibunya tiba-tiba menjadi lemas lalu terkulai di dalam rangkulannya.

“Ibuu... kuatkan hatimu, ibu...!” Dia mendekap ibunya dengan kuat untuk mencegah ibunya pingsan lagi.

Ketika dia melihat wajah ibunya yang tersayang itu megap-megap seperti sukar bernapas karena tangisnya, Aji lalu menciumi muka ibunya yang basah air mata itu. Air mata ibu dan anak ini bercampur menjadi satu membasahi muka dan leher mereka.

“Ajiiii... bapakmu... ahh, bapakmu...” Warsiyem terisak-isak.

Lindu Aji mengusap-usap rambut kepala ibunya. “Kita serahkan saja kepada Gusti Allah, ibu. Marilah, ibu... ibu masih ingat ajaran bapak...? Mari kita menyerahkan bapak kepada Gusti Allah.”

Dengan suara mengandung isak, ibu dan anak itu lantas berbisik, “ Innalillahi wa innailaihi rojiun...” Dengan masih saling berangkulan mereka lalu menangis.

Semua wanita yang melayat tidak dapat menahan keharuan hati mereka dan mereka ikut menangis sehingga suasana dalam kamar itu menjadi riuh. Para pelayat pria juga tampak terharu dan bersusah payah menahan air mata yang siap keluar dari pelupuk mata mereka yang terasa panas.

Penguburan dua jenasah itu dilakukan pada keesokan harinya, pagi-pagi dan dilayat oleh semua penduduk Gampingan. Warsiyem dirangkul Aji mengantar jenasah ke kuburan dan kembali menangis tersedu-sedu ketika jenasah telah dimasukkan lubang dan diurug tanah.

Setelah penguburan selesai dan para pelayat sudah berpamit kepada Warsiyem dan Lindu Aji, ibu dan anak itu masih tinggal di dekat gundukan tanah itu. Mereka berdua, terutama Warsiyem, merasa enggan meninggalkan tanah kuburan itu. Dia seolah sudah kehilangan segala-galanya. Seharian mereka berada di situ.

Sesudah menjelang senja akhirnya barulah Warsiyem mau menuruti bujukan anaknya dan mereka pulang dengan tubuh terasa lemas, lelah dan juga lapar karena sejak tadi malam mereka tidak makan apa pun. Dengan menguatkan hatinya sendiri yang penuh kedukaan dan kehilangan, Aji membujuk dan menghibur ibunya.

Segala sesuatu di dunia ini dikikis habis oleh waktu. Bahkan segala macam perasaan akan berubah dan ditelan sang waktu. Demikian pula perasaan duka.....

********************

Warsiyem dan Lindu Aji duduk di ruang depan rumah mereka. Warung nasi belum dibuka karena Warsiyem tidak punya semangat untuk berjualan seperti biasa. Akan tetapi setelah lewat sepuluh hari sejak kematian suaminya, dia yang tadinya tenggelam di dalam lautan duka, sekarang mulai muncul lagi di permukaan. Dia sudah mau mandi, bertukar pakaian, bahkan menikmati air teh hangat yang disuguhkan Aji.

Setelah melihat keadaan ibunya yang mulai mau bicara dan tidak tampak terlalu nelangsa lagi, Aji berani mengajak ibunya bicara. “Ibu sebaiknya kalau kita mulai membuka warung dan berjualan lagi. Banyak penduduk, terutama para langganan, yang bertanya kepadaku kapan warung nasi ibu akan dibuka lagi.” kata Aji dengan hati-hati.

Warsiyem memandang anaknya. Dia sudah dapat menenangkan hatinya. Dia tidak boleh tenggelam terus dalam kedukaan. Dia harus hidup demi anaknya. Dia tidak hidup sendiri. Dia masih memiliki Aji. Semangatnya bangkit kembali bila dia teringat kepada puteranya.

”Besok kita mulai berjualan lagi, Aji. Besok pagi-pagi kita pergi ke pasar untuk berbelanja. Kulihat berasnya pun sudah tinggal sedikit.”

Sesudah mereka makan malam dan melihat ibunya sudah benar-benar kuat lahir batinnya, maka barulah Aji mengajak ibunya bercakap-cakap dan menjawab pertanyaan yang selalu menggerogoti hatinya semenjak kematian ayahnya tetapi ditahan-tahannya karena dia tak ingin mengganggu ibunya yang sedang berduka.

“Ibu, aku ingin sekali mengetahui tentang kematian bapak. Aku ingin tahu siapakah yang membunuh bapak dan apa yang sudah terjadi pada malam hari itu, ibu?”

Mereka duduk di ruangan dalam. Warsiyem menghela napas panjang.

“Kejadian itu datangnya amat tiba-tiba dan mengejutkan, Aji. Tadinya aku sendiri juga tidak mengenal siapa orang yang datang kemudian berkelahi dengan ayahmu. Tapi aku sempat mendengar percakapan mereka. Malam itu datang seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia tinggi kurus dan berpakaian seperti seorang priyayi. Begitu mendengar suara ribut-ribut di luar, aku cepat-cepat keluar sehingga sempat melihat dan mendengar dia bercakap-cakap dengan ayahmu.”

“Dia berusia empat puluhan tahun, ibu? Bukan seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun?”

Warsiyem menggelengkan kepala. “Bukan. Aku yakin bahwa usianya paling sedikit empat puluh tahun. Dalam percakapan dengan bapakmu dia mengaku bernama Raden Banuseta, putera mendiang Aom Bahrudin yang datang dari tanah Pasundan.”

“Ahh...! Kiranya putera bangsawan yang dibunuh bapak itu?”

“Engkau sudah tahu tentang hal itu?”

“Ya. Bapak sudah menceritakan kepadaku, Ibu, pada hari itu juga sebelum mala petaka itu datang.”

“Jika begitu bapakmu tentu sudah menceritakan pula bahwa dia adalah pelarian dari tanah Pasundan. Bertahun-tahun dia dikejar-kejar putera Aom Bahrudin yang datang sampai di sini lalu menemukan bapakmu. Setelah mendengar nama bapakmu dan memperkenalkan diri, Raden Banuseta lalu menyerang bapakmu. Mereka berkelahi dan akhirnya bapakmu tewas di tangannya. Juga sahabat bapakmu bernama Ujang itu dibunuhnya ketika hendak melarikan diri.”

“Apakah Banuseta itu tidak mengatakan di mana dia tinggal, ibu?”

“Dia datang dari Galuh. Menurut pendengaranku ketika dia bertanding melawan bapakmu, dia ada mengatakan bahwa dia adalah murid perguruan Dadali Sakti. Akan tetapi kenapa tadi engkau mengira bahwa pembunuh bapakmu baru berusia dua pulh enam tahun, Aji?”

“Tadi aku mengira bahwa yang membunuh bapak adalah Hasanudin, ibu.”

“Hasanudin? Ah, maksudmu Udin putera bapakmu yang ditinggalkan di Galuh itu? Engkau sudah tahu akan hal itu?”

“Bapak sudah menceritakan bahwa bapak mempunyai seorang putera bernama Hasanudin yang ditinggalkan di Pasundan, ibu. Bahkan lebih dari itu, aku sudah membaca surat dari Hasanudin yang dititipkan Paman Ujang untuk diberikan kepada bapak.”

“Surat? Aku malah belum mengetahui soal surat. Dia mengirim surat untuk bapakmu? Apa isi surat itu?”

Wajah Aji menjadi kemerahan dan dia mengepal tangannya. “Dia memaki bapak sebagai seorang pengecut dan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab...”

“Hmm...!” Warsiyem mengerutkan alisnya.

“Bukan itu saja, ibu, bahkan dia pun menulis ancaman bahwa dia pasti akan datang untuk membunuh bapak.”

“Ahhh...! Durhaka...!” seru Warsiyem kaget.

“Itulah sebabnya ketika melihat bapak dibunuh orang, aku segera mengira bahwa orang yang membunuhnya adalah Hasanudin. Akan tetapi ternyata bukan dia, melainkan Raden Banuseta.”

Sejak saat itu, dua buah nama Hasanudin dan Raden Banuseta itu terukir dalam-dalam di hatinya. Akan tetapi Lindu Aji tidak mengatakan sesuatu kepada ibunya.

Lindu Aji membuka kembali warung nasinya dan melanjutkan pekerjaan ayahnya di sawah ladang. Beberapa bulan kemudian kehidupan ibu dan anak ini telah menjadi biasa kembali. Biar pun suami yang dikasihinya sudah tiada, tetapi karena dia mempunyai seorang anak, maka kepada anaknya itulah seluruh kasih sayang Warsiyem tertumpah. Aji juga seorang anak yang amat berbakti dan menyayang ibunya, maka hati Warsiyem segera terhibur dan dia menemukan kembali gairah hidupnya.

Warsiyem adalah seorang janda yang berusia tiga puluh tiga tahun, masih nampak muda dan cantik manis, juga memiliki daya tarik yang sangat kuat sehingga banyak mata lelaki yang memandangnya dengan gairah dan rindu. Tetapi karena Warsiyem adalah seorang janda yang pandai membawa diri, pintar menjaga kehormatan, tidak melayani senda-gurau lelaki iseng, ditambah lagi orang-orang merasa segan terhadap mendiang suaminya, maka tidak ada laki-laki yang berani bersikap kurang ajar, walau pun banyak yang menjual lagak dan mencoba memikat janda itu dengan bermacam gaya.

Adanya Aji juga menjadi perisai yang kuat bagi Warsiyem. Semua orang tahu bahwa biar pun baru berusia lima belas tahun, namun Aji merupakan seorang pemuda yang memiliki kedigdayaan. Selain itu ibu dan anak ini selalu bersikap ramah dan baik sekali terhadap semua penduduk dusun Gampingan, ringan tangan dan lapang hati membantu orang lain yang sedang kesusahan.

Pada suatu siang seperti biasa Warsiyem menjaga warung nasinya. Biasanya ketika pagi warung nasi itu ramai dikunjungi para langganan untuk sarapan, demikian pula ketika sore hari menjelang tutup. Di waktu siang tidak banyak yang datang makan karena kebanyakan penduduk Gampingan pada waktu siang sibuk bekerja di sawah ladang atau pergi mencari ikan di laut. Siang itu pun tidak banyak orang berkunjung dan di warung itu hanya tampak dua orang penduduk Gampingan yang kebetulan lewat dan mereka hanya berhenti untuk sekedar minum kopi.

Tiba-tiba muncul tiga orang yang lagak dan sikapnya menyeramkan. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, tubuh mereka tinggi besar dengan perut gendut dan mereka muncul di depan pintu warung sambil menyeringai menakutkan. Warsiyem terbelalak dan terkejut bukan main.

Yang membuat dia terkejut adalah ketika dia melihat orang terdepan. Biar pun lelaki tinggi besar itu kini sudah berusia lima puluh tahun lebih dan kelihatan agak lebih tua dari pada dahulu, namun Warsiyem masih mengenalnya.

Dia bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, bajunya terbuka sehingga tampak dadanya yang berbulu, mukanya bulat dengan sepasang mata lebar melotot dihias sepasang alis yang hitam tebal, brewoknya pendek dan kasar kaku, di pinggangnya tergantung sebatang golok. Dia adalah Singowiro yang pada enam belas tahun yang lalu pernah mencoba untuk menculiknya, kemudian akan menikahinya, bahkan yang telah membunuh ayahnya!

Sambil bertolak pinggang dengan langkah digagah-gagahkan Singowiro memasuki warung, diikuti dua orang temannya yang juga bermata liar. Melihat dua orang yang sedang ngopi, Singowiro mendekati dan menghardik dengan sikap galak,

“Heii, kalian monyet-monyet busuk, cepat pergi dari sini!”

Dua orang petani itu terkejut lalu memandang Singowiro dengan heran, akan tetapi melihat laki-laki tinggi besar itu meraih gagang golok dan mencabutnya sedikit, keduanya menjadi ketakutan, bangkit berdiri lalu melarikan diri karena dapat melihat dengan jelas dari sikap tiga orang itu bahwa mereka bukan orang baik-baik dan pasti akan membuat keributan.

Kini Singowiro memandang Warsiyem yang masih berdiri di balik meja warungnya. Lelaki itu mengamati wajah serta tubuh Warsiyem, tersenyum senang karena baginya wanita itu masih seperti dulu, bahkan kini semakin denok dan matang!

“He-he-heh, Warsiyem, mana suamimu?” tanyanya sambil melangkah maju menghampiri. Warsiyem tidak menjawab, melainkan perlahan mundur menjauhi.

“Ha-ha-ha, setan itu sudah mampus, bukan? Hemm, kalau saja dulu engkau tidak menjadi istri setan itu dan menjadi istriku, tentu sekarang engkau tidak menjadi janda! Akan tetapi sekarang pun belum terlambat, Warsiyem. Engkau bisa menjadi istriku yang ke tiga, heh-heh-heh!” dia maju menghampiri lalu mengulur tangan hendak mengelus pipi wanita itu.

Warsiyem segera mengelak mundur, “Singowiro, engkau adalah penjahat dan pembunuh keji! Jangan mengganggu aku dan pergilah dari sini!” kata Warsiyem sambil menuding ke arah pintu, “Pergi atau aku akan menjerit!”

“Menjerit? Ha-ha-ha, menjeritlah, aku suka mendengar jerit wanita cantik!” kata Singowiro dan kembali tangannya meraih ke depan.

Warsiyem cepat mengelak, akan tetapi tangannya dapat ditangkap. Singowiro menyambar dengan tangan kirinya dan kini kedua pergelangan tangan Warsiyem telah dipegangnya.

“He-heh-heh, hayolah manis. engkau sudah ditinggal mati suamimu, tentu kesepian. Hayo kita bersenang-senang sebentar. Di manakah kamarmu?” Singowiro menarik kedua tangan Warsiyem, hendak dipaksanya masuk ke dalam rumah itu.

Warsiyem menjerit-jerit, tapi dua orang kawan Singowiro terkekeh-kekeh dan menganggap adegan itu lucu sekali.

“Tolong...! Tolooongggg...! Aji...! Tolooonggg...!” Warsiyem menjerit dan hendak bertahan agar jangan terseret, akan tetapi dia kalah tenaga. Akan tetapi sebelum Warsiyem terseret sampai ke dalam rumah, dua orang kawan Singowiro menghampiri.

“Kang Singo, jangan di sini! Kalau orang-orang datang, kan repot? Lebih baik perempuan ini dibawa pulang saja. Di sana engkau dapat lebih leluasa bersenang-senang dengannya sampai sepuas hatimu.”

Mendengar peringatan kawannya ini, Singowiro menjadi sadar.

“Hmmm, benar juga kalian!” Setelah berkata demikian, dengan ringan dan mudah saja dia mengangkat lalu memanggul tubuh Warsiyem sambil memegangi dua pergelangan tangan wanita itu dengan satu tangan saja.

“Mari kita pergi dari sini,” kata Singowiro.

Mereka bertiga segera berlari keluar tanpa mempedulikan Warsiyem yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)