ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-07


Setelah tiba di tempat yang cukup jauh dari dudun Gampingan, mereka berhenti dan dua orang kawan Singowiro itu berkata kepadanya, “Nah, sekarang kita berpisah, Kang Singo. Bawalah pengantinmu pulang dan bersenang-senanglah. Kami tidak mau mengganggumu. Besok kita bertemu lagi di rumahmu, kami akan datang berkunjung dan memberi selamat kepada sepasang pengantin.”

Singowiro terkekeh, “Heh-heh, baiklah, sekarang tidak akan ada yang berani mengganggu lagi. Terima kasih, kawan-kawan. Sampai besok!” Ia lalu melangkah lebar memasuki jalan berbukit, sedangkan dua orang kawannya mengambil jalan lain.

Warsiyem tidak hentinya meronta dan menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau, akan tetapi Singowiro bahkan merasa senang sekali karena tubuh wanita itu bergerak-gerak di atas pundaknya. Baginya ratap tangis dan jerit wanita bagaikan nyanyian merdu, dan janji-janji mesra dan muluk memasuki telinganya.

Tiba-tiba Singowiro merasa pundak serta tangannya yang memegang kedua pergelangan tangan Warsiyem seperti lumpuh dan tahu-tahu wanita itu sudah lepas dari pondongannya! Wanita yang tadi dipondongnya seperti melompat ke belakang, maka dia cepat memutar tubuh dan memandang.

Warsiyem sudah berdiri dengan ketakutan, dan di dekatnya berdiri seorang lelaki tua renta yang rambutnya sudah hampir putih semuanya. Lelaki tua itu berusia lanjut, tentu kurang lebih delapan puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus akan tetapi berdirinya masih tegak.

Bukan hanya rambutnya saja yang putih, juga sedikit kumis serta jenggotnya sudah putih. Sepasang matanya bersinar lembut sekali penuh kesabaran dan pengertian, bajunya lurik penuh tambalan, terbuka di bagian dada. Celananya dari kain tebal berwarna kekuningan yang sudah lusuh pula. Sepasang kakinya telanjang dan dia memegang sebatang tongkat kayu sederhana.

Singowiro dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang tadi telah membebaskan Warsiyem dari pundaknya, akan tetapi dia benar-benar tidak mengerti bagaimana caranya dan sukar dipercaya bahwa kakek yang kelihatan begini lemah, seolah tertiup angin pun akan roboh, dapat membebaskan Warsiyem dari panggulannya.

“He, kakek tua bangka pikun! Engkaukah yang melepaskan istriku dari pondonganku tadi?” bentaknya sambil melotot. Biasanya pelototan matanya ini sudah cukup untuk membikin orang menjadi ketakutan dan tidak berani menentangnya.

“Dia membohong! Saya sama sekali bukan istrinya! Dia malah menculik saya dan hendak memaksa saya menjadi istrinya yang ke tiga!” teriak Warsiyem.

“Ki sanak, sadarlah bahwa berbuat jahat sama dengan menanam benih beracun dan kelak andika sendiri yang akan memetik buahnya yang juga beracun. Segera sadarlah sebelum terlanjur,” kata kakek itu, suaranya lembut dan ramah.

“Babo-babo, tua bangka busuk! Jangan mencampuri urusanku. Minggat kau!” Singowiro membentak marah.

Akan tetapi kakek itu tetap berdiri tegak dengan tangan kiri di belakang pinggul dan tangan kanan memegangi tongkat yang ditekankan ke atas tanah. “Ki sanak, semoga Gusti Allah mengampunimu,” kata pula kakek itu.

“Jahanam, engkau sudah bosan hidup!” bentak Singowiro dengan marah sekali.

Warsiyem merasa ngeri. Ia meremas-remas tangannya sendiri di depan dadanya, merasa khawatir sekali akan keselamatan kakek yang tua renta itu. Hatinya ngeri membayangkan wajah yang tua itu dihancurkan Singowiro yang kuat dan kejam.

Singowiro sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia segera menghantam dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka tua itu.

“Wuuuussss...!”

Pukulan itu menyambar ke arah muka kakek itu.

Warsiyem memejamkan matanya karena tidak tahan melihat muka itu dipukul. Akan tetapi telinganya tidak mendengar apa-apa, tidak mendengar kakek itu roboh mau pun berteriak kesakitan, melainkan mendengar suara Singowiro berseru seperti orang heran.

“Ehhh...?!” Singowiro memang merasa heran bukan main.

Jelas kepalan tangannya menyambar ke arah muka kakek itu yang berada sangat dekat di depannya. Akan tetapi aneh, pukulannya tidak mengenai muka kakek itu, melainkan lewat saja di depannya seolah tangannya tidak sampai. Dia merasa penasaran dan kembali dia memukul, kini kepalannya menonjok ke arah dada yang kerempeng itu.

“Wuuuttt...!”

Pukulan itu meluncur kuat, tapi ketika hampir mengenai dada kakek itu, tiba-tiba Singowiro merasa kepalan tangannya seperti bertemu dengan sesuatu yang lunak tetapi kuat sekali, seperti ada hawa yang kuat menerima pukulannya kemudian membuat pukulan tangannya membalik sehingga dia terhuyung ke belakang.

Warsiyem yang telah membuka matanya juga melihat peristiwa ini dan ia pun memandang bengong. Bagaimana pun juga hatinya kembali merasa ngeri ketika dia melihat Singowiro mencabut goloknya. Dia bergidik melihat golok yang mengkilat saking tajamnya itu dan dia pun teringat akan ayahnya yang dahulu juga tewas karena bacokan golok orang ini.

Biar pun sudah dua kali pukulannya tidak mengenai sasaran dan secara aneh pukulannya membalik, padahal kakek itu tidak melakukan gerakan apa-apa melainkan hanya berdiri tegak, Singowiro tidak mundur bahkan menjadi semakin penasaran dan marah.

“Setan! Mampuslah!” bentaknya dan kini menyerang dengan goloknya, membacok sekuat tenaga ke arah leher kakek itu.

Kakek itu diam saja, bahkan dia memejamkan mata seolah tidak terjadi sesuatu. Golok di tangan kanan Singowiro menyambar ke arah leher dengan kuat sekali. Kembali Warsiyem memejamkan matanya karena tidak tega melihat darah muncrat dari leher yang terbacok. Akan tetapi ketika golok sudah menyambar dekat sekali dengan leher, mendadak golok itu membalik dengan kuat sekali.

Saking kuatnya golok itu terpental membalik, tubuh Singowiro terbawa kemudian dia pun terjengkang dan terbanting di atas tanah hingga terguling-guling. Kali ini Singowiro bangkit dengan muka pucat dan dua mata terbelalak. Dia merasa bulu tengkuknya meremang dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia segera lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu!

Setan, pikirnya. Dia bertemu setan di tengah hari!

Warsiyem menghampiri kakek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. “Paman, terima kasih atas pertolongan paman yang sudah membebaskan saya dari mala petaka...” kata Warsiyem dengan terharu dan penuh hormat.

“Bangkitlah, nini, dan bersyukurlah kepada Gusti Allah sebab hanya kekuasaan Gusti Allah yang sudah menolongmu. Aku sendiri tidak berbuat apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Mari kuantar engkau pulang ke rumahmu, nini.” Setelah berhenti bicara, kakek itu batuk-batuk tiga kali dan napasnya terengah-engah.

Warsiyem bangkit lalu memandang dengan penuh kekhawatiran.

“Maafkan, paman. Apakah... apakah paman sedang sakit...?”

Kakek itu mengangguk. “Benar, memang beginilah jasmani seorang yang sudah tua, nini. Mari..., kuantar engkau...”

Warsiyem mengangguk lalu berjalan. Kakek itu mengikutinya dengan langkah tertatih-tatih dan gemetaran, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah.

Melihat keadaan kakek itu, Warsiyem merasa heran bukan kepalang. Kakek ini sudah tua renta dan sedang sakit, begitu ringkih dan lemahnya, tetapi bagaimana mungkin seorang yang kuat dan jahat seperti Singowiro dibuat lari tunggang langgang? Dia juga merasa iba sekali, maka dia lalu mendekat dan berkata, “Paman, mari saya tuntun. Paman kelihatan lemah sekali.” Tanpa menanti jawaban dia telah memegang tangan kiri kakek itu kemudian menuntunnya. Telapak tangan kiri itu demikian halus dan juga agak dingin.

“Tangan paman dingin sekali, tentu paman sedang masuk angin,” kata Warsiyem sambil menuntun kakek itu dan perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke dusun Gampingan.

“Nini, andika adalah seorang yang baik hati. Siapa namamu dan bagaimana andika sampai dilarikan orang tadi?” tanya kakek itu dengan suara lirih dan gemetar.

“Nama saya Warsiyem, paman. Saya seorang janda dan hidup berdua dengan anak saya. Saya tinggal dan membuka warung nasi di dusun Gampingan di depan itu. Orang jahat tadi adalah Singowiro. Ia memang jahat sekali, paman. Dulu pun dia pernah hendak memaksa saya menjadi istrinya, enam belas tahun yang lalu. Bahkan dia pula yang telah membunuh ayah saya. Setelah suami saya meninggal tiga bulan yang lalu, mendadak dia muncul lagi dan menculik saya.”

Kakek itu diam saja dan mereka berjalan terus sehingga akhirnya mereka sampai di dusun Gampingan. Ketika mereka tiba di depan warung nasi Warsiyem, di situ sudah berkumpul empat orang tetangga lelaki yang telah mendengar bahwa Warsiyem dilarikan orang jahat. Mereka menjadi girang sekali sekaligus heran melihat Warsiyem yang dikabarkan sudah diculik penjahat itu kini pulang dalam keadaan selamat bersama seorang kakek tua renta yang dituntunnya!

Pada saat itu dari kejauhan Lindu Aji datang berlari-lari dan melihat ibunya berdiri di depan warung bersama seorang kakek tua renta, dia segera merangkul ibunya.

“Ibu... apa yang terjadi? Tadi aku disusul Kimin dan Sarjo yang bilang bahwa warung kita kedatangan tiga orang penjahat. Apa yang terjadi, ibu? Dan di mana mereka sekarang?”

Aji menoleh ke arah warung. Dia melihat yang berada di warung adalah orang-orang dusun Gampingan yang dia kenal baik sebagai para langganan ibunya. Tapi sebelum Warsiyem menjawab, kakek itu berkata kepadanya,

“Nini, andika sudah pulang dengan selamat. Kini aku hendak melanjutkan perjalananku.” Kakek itu lalu melangkah hendak pergi.

“Paman, silakan masuk dan duduk dulu, paman sedang sakit...” Warsiyem menahan.

“Aku... aku tak ingin merepotkan...” kakek itu tetap melangkah pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba tubuhnya terkulai dan dia pun roboh.

Dengan trengginas Aji meloncat dan dia berhasil menyangga punggung kakek itu sehingga kepalanya tidak sampai terbanting di atas tanah. Dia memegang tangan kiri kakek itu yang duduk dengan kedua kaki terjulur dan punggung bersandar pada rangkulan tangan kanan Aji.

Warsiyem mendekati kemudian membujuk dengan halus, “Paman, marilah singgah dulu di rumah kami. Paman sedang sakit, sekarang memerlukan perawatan dan pengobatan. Biar kami merawat paman sampai sembuh.”

“Ibu, dia pingsan, tidak dapat diajak bicara,” kata Aji.

“Ohh...! Cepat angkat dia ke dalam, Aji. Kasihan dia...”

Tanpa diperintah ibunya pun Aji sudah berniat menolong kakek itu. Maka dia cepat-cepat memondong tubuh tua itu dan mengangkatnya, membawanya masuk ke dalam rumah lalu merebahkan kakek itu di atas pembaringan di dalam kamarnya sendiri. Setelah memeriksa keadaan kakek itu, Aji berpendapat bahwa tubuh kakek itu lemah sekali dan agaknya dia kelaparan, juga tubuhnya panas sekali.

“Ibu, dia harus diberi makan bubur tajin karena agaknya dia sangat kelaparan. Tubuhnya panas sekali seperti terkena demam. Tolong ibu buatkan bubur tajin dan aku akan mencari jamu untuknya. Sementara ini biarlah kubasahi kepalanya dengan perasan brambang dan jeruk nipis agar panasnya turun.”

Warsiyem mengangguk lantas keluar menuju ke warungnya. Memang warung itu menjadi dapurnya juga. Ketika dia membuatkan bubur tajin, di warung itu sudah berkumpul belasan orang tetangga laki-laki. Segera dia dihujani dengan berbagai pertanyaan.

Sambil bekerja membikin bubur tajin, Warsiyem menceritakan dengan singkat bahwa tadi dia diculik oleh Singowiro bersama dua orang kawannya. Akan tetapi di tengah perjalanan dia ditolong dan diselamatkan oleh kakek tua yang sedang sakit itu.

Semua orang terheran-heran mendengar cerita Warsiyem, akan tetapi mereka juga marah sekali. Siapa yang belum pernah mendengar nama Singowiro? Mulai daerah pegunungan selatan sampai ke daerah pesisiran nama gegedug (jagoan) yang sering kali memaksakan kehendaknya dengan kekerasan dan sudah banyak mencelakai orang ini sangat terkenal.

Ketika Warsiyem menceritakan kepada mereka betapa belasan tahun yang lalu Singowiro juga pernah menculiknya dan penjahat itu dikalahkan mendiang suaminya, Harun, semua orang timbul semangatnya.

“Agaknya selama ini dia tidak berani mengganggu kami karena takut pada kakang Harun. Tetapi setelah kakang Harun meninggal, dia muncul lagi mengganggu, mungkin dikiranya bahwa di Gampingan ini tidak ada orang yang berani menentangnya.” Warsiyem menutup ceritanya dengan nada sedih karena teringat kepada suaminya.

Parto, sahabat karib Harun, menjadi panas hatinya. Dia bangkit berdiri dan berseru kepada teman-temannya. “Jahanam itu harus kita hadapi! Biarkan dia datang lagi, kita keroyok dia sampai mampus. Hayo kawan-kawan, kita adakan pertemuan, kumpulkan semua laki-laki yang berani dan kita bersiap-siap menghadapi jahanam itu kalau sewaktu-waktu dia berani datang lagi ke dusun kita!”

Semua orang menyatakan setuju. Mereka lantas keluar dari warung itu untuk mengadakan pertemuan dengan warga yang lain.

Aji sudah menyiapkan dan merebus jamu yang terdiri dari Daun Kendal, Daun Jintan, dan Akar Alang-alang. Setelah kekek itu sadar dari pungsannya, dia membuka mata kemudian batuk-batuk kecil beberapa kali. Aji dan ibunya cepat menghampiri. Kakek itu memandang kepada mereka dan tersenyum! Senyum dan pandang matanya demikian tenang, sedikit pun tidak tampak sedih atau kesal, sama sekali tidak seperti orang yang tengah menderita sakit.

Aji menjadi makin kagum. Tadi ketika kakek itu belum siuman, ibunya sudah menceritakan semua yang sudah terjadi, menceritakan keanehan ketika kakek berpenyakitan ini secara aneh membuat Ki Singowiro lari tunggang langgang! Dia merasa penasaran sekali karena dahulu ibunya pernah menceritakan tentang Singowiro yang sudah membunuh kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Sutowiryo.

“Sesudah bapak meninggal dia berani datang lagi mengganggu ibu? Sungguh keparat!” Aji berkata marah, tetapi pada saat itu pula kakek tadi siuman dan bergerak sehingga mereka menghentikan percakapan tentang Singowiro itu.

“Ahh, tepat seperti yang aku khawatirkan. Orang tua tiada guna ini hanya membikin repot orang saja...” katanya dengan suara lemah seperti berbisik.

Aji segera membungkuk, mendekatkan mukanya lalu berkata lirih. “Eyang, mohon eyang jangan berkata demikian. Eyang adalah penyelamat ibu saya, sudah sepatutnya jika kami merawat eyang, bahkan mengorbankan apa saja untuk membalas budi kebaikan eyang. Bahkan andai kata eyang tidak pernah melakukan apa pun juga kepada kami, tetap saja kami mempunyai kewajiban untuk membantu seorang tua yang sebatang kara dan sedang menderita sakit.”

Kakek itu memandang kepada Aji sambil tersenyum lebar. Meski pun dia sudah tua sekali, tetapi ketika tersenyum lebar itu ternyata masih tampak deretan gigi yang sehat. Sebelum dia bicara, Warsiyem sudah mendahuluinya.

“Paman, sebaiknya paman jangan banyak bicara dahulu. Paman harus minum jamu yang sudah disediakan anak saya, dan makan bubur tajin yang sudah saya persiapkan.”

“Mari, eyang, silakan minum jamu ini lebih dulu. Tentu eyang akan sehat kembali,” kata Aji sambil membantunya bangkit duduk, lalu mendekatkan secangkir jamu itu ke mulut kakek itu.

Kakek itu tidak menolak dan minum jamu itu sampai habis. Setelah itu Aji merebahkannya kembali dan sekarang giliran Warsiyem yang duduk di pinggir pembaringan dekat kakek itu sambil membawa semangkok bubur tajin dan sendok.

“Paman, silakan makan bubur tajin agar tubuh paman menjadi kuat kembali.” katanya dan dia pun menyuapi kakek itu dengan hati-hati.

Kakek itu pun tidak menolak dan semangkok bubur tajin itu pun dihabiskannya. Setelah itu dia memandang kepada ibu dan anak itu kemudian dia tersenyum.

“Kalian berdua ibu dan anak sungguh baik sekali. Semoga Gusti Allah selalu melimpahkan berkah dan bimbingan kepada kalian.”

“Paman, bukankah paman juga sangat baik kepada kami, kepada saya? Budi paman tidak akan saya lupakan selama hidup. Saya akan selalu berterima kasih kepada paman,” kata Warsiyem.

“Ah, nini Warsiyem. Semenjak tadi sudah kukatakan bahwa bukan aku yang menolongmu melainkan kekuasaan Gusti Allah, maka jika hendak berterima kasih, bersyukurlah kepada Gusti Allah.”

“Maafkan kami, eyang. Kalau begitu sesungguhnya kami pun sama sekali tidak menolong eyang, melainkan hanya melaksanakan kewajiban kami sebagai manusia. Yang menolong eyang adalah Gusti Allah. Tidakkah begitu, eyang?”

Kakek itu tertawa lirih. Sepasang matanya yang bersinar lembut itu terpejam lucu ketika dia tertawa. “Heh-heh-heh-heh, engkau sudah mengerti akan kenyataan itu, kulup. Bagus sekali! Siapa namamu, angger?”

“Nama saya Lindu Aji, eyang.”

“Ehh? Lindu...?” kakek itu memandang heran.

“Begini, paman. Ketika saya mengandung tua, terjadi gempa bumi yang amat hebat di sini sampai rumah kami ambruk. Untung kami selamat dan anak saya ini pun terlahir dengan selamat. Maka kami beri nama Lindu Aji.”

Kakek itu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan dia memejamkan mata, tertidur. Aji memberi tanda dengan telunjuknya di depan bibir agar mereka tidak bicara lagi, kemudian memberi isyarat agar ibunya keluar dari kamar itu bersama dia. Sesudah tiba di luar kamar dia berbisik, “Dia tentu akan sembuh, ibu. Dia hanya perlu istirahat, jadi biarkan dia tidur.”

Ibu dan anak itu kembali ke warung, dan Warsiyem mulai melayani para langganan yang mulai berdatangan karena sudah ada beberapa orang yang pulang dari sawah ladang atau lautan. Sementara itu Aji sudah berbaring di kamar ibunya karena dia merasa lelah sekali. Selain semalam tidak tidur, juga dia banyak mengenang kematian bapaknya, ditambah lagi peristiwa tadi yang sempat mengguncang perasaannya ketika mendengar ibunya diganggu orang jahat. Dia rebah mengasokan tubuh dan pikirannya agar bebas dari ketegangan.

Seperti biasa, sesudah melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain, misalnya seperti ketika dahulu dia membantu ayahnya kalau mengobati orang, kini ada perasaan bahagia di dalam hatinya bahwa dia dan ibunya sudah menolong kakek itu. Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh Warsiyem, bahkan tentu oleh semua orang yang telah melakukan kebaikan secara tulus, menolong orang tanpa pamrih, semata-mata hanya didasarkan kasih kepada sesama yang menimbulkan perasaan belas kasihan kepada orang lain yang menderita.

Tanpa disadari Aji sudah jatuh pulas. Tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang selama ini berat memikirkan kematian bapaknya membuat lahir batinnya letih, maka tidur merupakan obat yang ampuh baginnya. Beberapa jam lamanya dia pulas sampai sore dan tiba-tiba dia terbangun oleh suara rrbut-ribut yang datangnya dari luar rumah.

Aji terbangun menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, kemudian dia teringat akan ibunya dan seketika dia sadar sepenuhnya. Dia segera melompat turun dari pembaringannya lalu berlari keluar. Dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah ketika melihat keadaan di luar rumahnya.

Tiga orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang masing-masing memegang sebatang golok sedang berdiri di pekarangan sambil mengayun-ayunkan golok mereka dan di atas tanah tergeletak tiga orang yang terluka dan berlepotan darah. Belasan orang laki-laki tetangga berdiri di sekitar situ, tapi mereka mundur-mundur ketakutan dan hanya ada Parto bersama dua orang tetangga lain yang berada di depan warung, akan tetapi mereka tampak jeri.

“Hayo, siapa lagi yang berani menghalangi kami!” bentak salah seorang di antara tiga laki-laki berpakaian hitam itu, yang perutnya gendut dan mukanya brewok sambil mengangkat goloknya ke atas, “Aku adalah Singowiro gegedug Gunung Kidul! Warsiyem adalah istriku, maka tak seorang pun yang boleh menghalangi aku membawa pergi istriku!” Kemudian dia menghampiri pintu rumah dan berseru ke arah dalam. “Heiii, Warsiyem istriku...! Keluarlah kau dan ikut denganku, atau akan kurobohkan rumah ini!”

Mendadak ada sebuah bangku mendorongnya dari dalam. Singowiro segera melompat ke belakang, melotot memandang kepada seorang pemuda remaja yang memegang sebuah bangku yang digunakan untuk mendorongnya tadi.

Aji melompat ke pekarangan menghadapi tiga orang berpakaian hitam itu. Mendengar laki-laki gendut brewok itu tadi menyebut namanya, dia pun tahu bahwa orang inilah yang telah menculik ibunya, dan orang ini pula yang sudah membunuh kakeknya belasan tahun yang lalu. Hatinya dipenuhi kemarahan dan matanya mencorong ketika dia memandang kepada Singowiro.

“Aji...! Jangan mendekati mereka...!”

Teriakan Warsiyem yang baru muncul dari dalam ini membuat Aji menoleh. Hatinya terasa lega ketika melihat ibunya tidak apa-apa, maka dia berkata lantang, “Ibu, jangan khawatir. Aku akan menghajar penjahat-penjahat ini.”

Sementara itu, mendengar teriakan Warsiyem, Singowiro juga memandang dan dia lantas saja tertawa. “Ha-ha-ha, Warsiyem calon istriku! Jadi pemuda remaja ini adalah anakmu? Heh-heh-heh, bocah bagus. Ibumu benar, jangan coba-coba untuk menentang kami. Aku adalah calon ayahmu dan aku suka menerimamu menjadi anakku asalkan engkau menaati semua omonganku, heh-heh...!”

Aji menatap wajah Singowiro dengan sinar mata mencorong dan dia pun berkata lantang, “He, Singowiro! Engkau selalu mengganggu ibuku dan sudah beberapa kali engkau dihajar oleh bapakku Harun Hambali! Karena sekarang bapak telah meninggal, maka akulah yang menjadi penggantinya untuk menghajarmu! Akan kubalaskan kakekku Sutowiryo yang dulu kau bunuh.”

Tentu saja Singowiro menjadi marah bukan main. “Bocah sombong, kalau engkau menjadi penghalang, aku akan membunuhmu lebih dulu!” Sesudah berkata demikian dia langsung menggerakkan goloknya menyerang dengan dahsyat.

Memang Aji tidak mempunyai pengalaman berkelahi, namun ilmu-ilmu silat yang dipelajari dan dilatihnya semenjak kecil telah mendarah daging dengan dirinya. Gerakannya menjadi otomatis dan ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, dia segera mengelak dengan gesit sekali.

Singowiro menjadi penasaran dan marah melihat bacokannya tidak mengenai sasaran. Dia memutar goloknya dan menyerang secara bertubi-tubi, membacok, menusuk, membabat. Namun semua serangan itu sia-sia, seperti menyerang bayangan saja karena gerakan Aji ketika mengelak jauh lebih gesit dan cepat.

“Singggg...!”

Golok menyambar kembali, kali ini membabat ke arah leher Aji. Pemuda ini merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya. Golok meluncur seperti kilat di atas kepalanya dan pada detik itu juga, bangku di tangan Lindu Aji menyambar dari samping ke arah tubuh lawannya.

“Wuuuttt...! Desss...!”

Bangku itu menghantam pinggang Singowiro sehingga tubuhnya terpelanting.

“Aduuuhhh...!” Singowiro roboh dan dia bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun sambil meringis karena pinggangnya terasa nyeri.

Aji berdiri tegak dan menanti. Dia tidak pernah menggunakan bangku itu untuk menangkis karena maklum bahwa kalau hal itu dia lakukan, tentu bangkunya akan hancur.

Singowiro baru sadar bahwa pemuda itu ternyata tangkas sekali dan menguasai ilmu silat. Dia teringat akan Harun Hambali yang dahulu pernah mengalahkannya, bahkan akhirnya memperistri Warsiyem. Selama ada Harun di samping Warsiyem, dia tak berani mencoba-coba untuk merampas wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Sekarang sesudah Harun meninggal dunia, ternyata puteranya menggantikannya melindungi Warsiyem dan kembali menjadi penghalang baginya.

“Bunuh dia!” teriaknya kepada dua orang kawannya.

Kini tiga orang itu mengepung Aji dari tiga jurusan. Singowiro di depan ada pun dua orang kawan jagoan itu mngurung dari kanan kiri. Mereka bertiga mengamangkan golok dengan wajah bengis. Akan tetapi Aji tak merasa gentar sedikit pun. Dia tetap tenang.

Pada saat itu terdengar jerit ibunya. “Aji...!”

Suara itu mengandung penuh kekhawatiran. Ibu ini merasa sangat ngeri melihat puteranya diancam oleh tiga orang penjahat yang memegang golok itu.

Mendengar jeritan ibunya, Lindu Aji menjadi marah kepada tiga orang itu. Dia mengambil keputusan untuk segera merobohkan mereka agar ibunya tidak lagi dicekam kekhawatiran.

Sementara itu Singowiro sudah mulai dengan serangannya. Goloknya menyambar dahsyat dari atas ke bawah membacok ke arah kepala Aji.

“Yaaaahhhh !” Dia membentak dan membacok sekuat tenaga.

Akan tetapi hanya dengan miringkan tubuhnya Aji mengelak dari bacokan itu. Dari kanan dan kiri menyambar pula golok kedua kawan Singowiro. Aji melompat ke belakang hingga bacokan mereka pun hanya mengenai tempat kosong.

Tiga orang itu mengejar dan kembali mereka telah mengepung dari tiga jurusan. Aji sudah memperhitungkan dengan baik. Ketika ketiga orang itu mengangkat golok masing-masing dan bersiap menyerangnya, dia mengeluarkan teriakan nyaring sekali.

“Haaaiiiiittt...!”

Dia membuat gerakan memutar sambil menyerang dengan bangku yang kakinya dipegang dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, kaki kanannya mencuat dan menendang ke arah tubuh Singowiro yang berada di depannya.

“Dukkk...! Takkk...! Bluggg...!”

Dua orang kawan Singowiro terkena hantaman ujung bangku pada muka mereka, ada pun perut gendut Singowiro diterjang kaki kanan Aji.

“Aduhhh... aduhhh... hekkk...!” Tiga orang itu terpelanting dan terjengkang.

Aji yang sudah marah sekali tidak berhenti sampai disitu saja. Melihat tiga orang lawannya itu merangkak hendak bangkit, dia pun melompat dan bangkunya menari-nari, menyambar dan menghantami tiga orang itu berganti-ganti sampai ketiganya jatuh bangun terguling-guling dan tidak mampu bangkit lagi.

“Aji...!” tiba-tiba Warsiyem berlari menghampiri anaknya lalu merangkulnya, menariknya ke rumah menjauhi tiga orang yang masih mendekam sambil mengaduh-aduh. Muka mereka berdarah-darah karena beberapa kali dihantam bangku. Aji tidak membantah dan menurut saja ketika ditarik ibunya.

Mendadak terdengar sorak sorai dan puluhan orang laki-laki penduduk dusun Gampingan yang sudah berkumpul di situ serentak bergerak maju lalu mengeroyok tiga orang penjahat yang sudah tidak berdaya itu. Agaknya melihat betapa Aji mampu merobohkan tiga orang itu, timbul keberanian dalam hati penduduk dusun Gampingan yang marah itu dan mereka segera mengeroyok dan memukuli tiga orang itu dengan senjata apa saja yang berada di tangan mereka. Ada yang memakai parang, linggis, pacul, bahkan ada pula yang memakai batu atau tangan saja.

Tiga orang itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan, mereka minta-minta ampun. Namun puluhan orang yang sudah kesetanan itu tidak mau berhenti sampai akhirnya tiga orang itu tewas dengan tubuh lumat.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)