ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-08


Tiba-tiba terdengar suara lembut tetapi demikian jelas sehingga dapat mengatasi keributan orang-orang yang sedang mengamuk itu. “Saudara-saudara sekalian, hentikan semua itu!”

Suara yang lembut itu mengandung wibawa yang demikian kuat, membuat semua orang menghentikan amukan mereka kemudian mereka menghadap ke arah kakek yang muncul di ambang pintu warung.

Walau pun kakek ini berdiri ditopang tongkatnya namun tubuhnya masih tegak. Wajahnya membayangkan kelembutan, tapi sepasang matanya kini mencorong mengandung teguran sehingga orang-orang yang berada di tempat tu tidak ada yang berani menentang pandang matanya melainkan menundukkan pandang mata.

“Ya Allah, Gusti...! Saudara-saudara, apa yang kalian lakukan ini? Tidak sadarkah andika sekalian bahwa kalian sudah dikuasai iblis melalui nafsu amarah dan kebencian sehingga tega melakukan kekejaman yang sangat mengerikan ini? Lupakah kalian bahwa mereka bertiga juga manusia-manusia seperti andika, manusia-manusia yang tidak sempurna dan berdosa? Ampun, Gusti, semoga Paduka mengampuni kita semua...”

Hening mengikuti ucapan kakek itu seolah-olah menyusup ke dalam hati sanubari mereka. Mereka tidak menyesal atas apa yang mereka lakukan terhadap tiga orang yang mereka anggap kejam dan jahat itu, akan tetapi kini mereka merasa malu kepada kakek itu.

Parto mewakili kawan-kawannya dan berkata, “Akan tetapi, paman. Tiga orang ini adalah pembunuh-pembunuh yang kejam.”

“Benar, mereka bertiga adalah pembunuh-pembunuh yang kejam. Akan tetapi sekarang pandanglah sisa tubuh mereka itu dan lihatlah tangan kalian sendiri. Bukankah kalian juga membunuh dengan cara yang kejam sekali? Lalu apa bedanya antara mereka dan kalian?”

Wajah Parto menjadi pucat dan dia tidak membantah lagi. Akan tetapi seorang penduduk lain berkata, “Akan tetapi, paman. Mereka itu datang membuat kekacauan di dusun kami, hendak menculik Warsiyem dan telah melukai tiga orang teman kami yang mencoba untuk mengingatkan mereka. Apakah kita harus diam berpangku tangan saja melihat tiga orang itu melakukan kejahatan, membiarkan mereka menculik wanita dan membiarkan mereka melukai atau membunuh orang?”

Diam-diam semua orang menyetujui pertanyaan itu dan kini semua mata memandang ke arah kakek itu yang tampak tersenyum.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Bagus, bagus! Pertanyaan dan sikap kalian menunjukkan bahwa kalian memiliki rasa keadilan, menentang yang jahat dan melindungi yang lemah. Akan tetapi cara yang kalian pakai keliru. Kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Apa bila kalian belum mampu menghadapi kejahatan dengan kebaikan, maka hadapilah kejahatan dengan keadilan. Akan tetapi bukan keadilan yang ngawur, bukan keadilan yang dilaksanakan seenak hatinya sendiri, tapi harus dilaksanakan oleh pengadilan berdasarkan hukum pemerintah yang berwenang. Apa artinya mempunyai pemerintah bila kita bertindak sendiri? Apa gunanya ada hukum dan pengadilan kalau kita melaksanakan hukum sendiri? Ini namanya sewenang-wenang. Tugas kita membantu pemerintah menjaga ketenteraman dan keamanan. Kalau kalian menangkap tiga orang itu dan menyerahkan kepada petugas pemerintah untuk mengadilinya, itu baru tepat dan benar namanya.”

Kini Aji maju menghampiri kakek itu lantas berkata, “Kami sudah bertindak salah menuruti kemarahan dan kebencian, eyang. Biarlah saya yang menanggung semua kesalahan ini, jangan menyalahkan saudara-saudara ini karena tadi sayalah yang merobohkan tiga orang itu.”

Kakek itu memandang wajah Aji lalu mengangguk-angguk. “Mau mengakui kesalahan dan mempertanggung jawabkan perbuatan merupakan langkah yang benar. Sudahlah, semua sudah terjadi. Lapor saja kepada ketua dusun dan kuburlah tiga jenasah itu baik-baik.”

Kakek itu masuk kembali ke dalam rumah, diikuti oleh Warsiyem dan Aji. Para penduduk Gampingan mulai bekerja. Mereka melapor kepada kepala dusun yang tidak menyalahkan mereka.

Pada waktu itu membunuh penjahat bukanlah merupakan pelanggaran besar, apa lagi jika pelakunya adalah rakyat banyak. Jenasah tiga orang itu segera dikuburkan sebagaimana mestinya, walau pun di tempat yang terpisah dari kuburan umum.....

********************

Mereka bertiga duduk di ruangan depan dekat warung. Ketika itu tengah hari dan seperti biasanya pada siang hari warung itu sepi. Warsiyem, Lindu Aji dan kakek itu duduk sambil bercakap-cakap sehabis makan siang, duduk saling berhadapan di atas bangku.

Sudah tiga hari kakek itu tinggal di situ, semenjak dia jatuh sakit lalu ditolong oleh Aji dan ibunya. Kini dia sudah sembuh benar. Wajahnya yang kurus tampak kemerahan. Bajunya lurik dan celana kuning yang dipakainya tampak bersih karena telah dicuci oleh Warsiyem dan kakek itu diberi pakaian peninggalan Harun untuk penggantinya. Akan tetapi sesudah pakaiannya sendiri bersih dan kering, kakek itu berganti lagi dengan pakaiannya sendiri.

“Paman. maafkan pertanyaan saya. Semenjak paman berada di sini, kami sudah merasa seolah paman ini keluarga kami sendiri, seperti bapakku sendiri atau seperti kakeknya Aji. Akan tetapi paman belum pernah bercerita tentang diri paman. bahkan nama paman pun belum kami ketahui. Paman, bolehkah kami mengetahui nama paman yang mulia?”

“Ibu benar, eyang. Semua orang di dusun ini bertanya kepada saya siapa nama eyang tapi saya tidak dapat menjawabnya.” kata Aji yang menjadi berani sesudah ibunya lebih dahulu menyinggung soal itu. Entah kenapa sikap kakek yang halus budi dan penyabar itu malah membuat Aji merasa segan, hormat dan takut mengeluarkan ucapan yang salah di depan kakek itu.

Kakek itu tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang telah putih seperti benang-benang perak. “Nini Warsiyem dan engkau angger Aji, terus terang saja selama bertahun-tahun ini aku tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapa pun juga sehingga aku hampir tidak mengenal namaku sendiri. Tadinya aku ingin membebaskan diri dari segala ikatan, tanpa keluarga, tanpa tempat tinggal, tanpa nama. Namun agaknya Gusti Allah menentukan lain sehingga aku bertemu dengan kalian ibu dan anak yang memberiku ikatan kekeluargaan, sandang, pangan dan papan. Karena itu sudah sepantasnya kalau aku memperkenalkan namaku. Dahulu aku biasanya disebut orang Ki Tejobudi.”

“Di mana adanya keluarga paman? Istri, saudara, anak, atau cucu?” tanya Warsiyem.

Ki Tejobudi menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada, aku hidup seorang diri. Atau... lebih tepat lagi, bukankah manusia sedunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita?”

Mendengar jawaban ini Aji dan ibunya memandang.

Ki Tejobudi tertawa. “Kalian heran? Yang ada hanyalah sebangsa manusia, yang berbeda dengan makhluk lain. Perbedaan di antara manusia hanyalah warna kulit dan rambut yang terpengaruh iklim, pakaian dan bahasa karena terpengaruh kebudayaan setempat. Namun suara batinnya sama persis. Dengarkan saja suara tawa dan tangis mereka. Dari golongan atau bangsa apa pun dia datang, suara tawa dan tangisnya, suara batin itu, tentu sama. Bahkan pada saat lahir suara pertama manusia, yaitu tangis, tiada bedanya sama sekali.”

“Maaf, eyang. Menurut penuturan ibu saya, ketika eyang menghadapi mendiang Singowiro dan eyang diserang olehnya, semua serangan Singowiro tidak bisa mengenai tubuh eyang sehingga dia lari tunggang langgang. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.”

Ki Tejobudi tersenyum. “Apa sih yang dinamakan sakti mandraguna itu, kulup? Betapa pun kuat dan pintarnya seseorang pasti ada yang melebihinya. Kekuatan manusia itu terbatas, sesuai dengan kodrat dan kemampuannya. Kekuatan yang tidak sesuai dengan kodrat, yang diperoleh dari luar alam manusia, hanya sementara dan lebih banyak mendatangkan mala petaka bagi diri sendiri dari pada kebaikan. Yang Maha Sakti hanyalah Gusti Allah. Semua kekuatan dan kesaktian berasal dari Kekuasaan Gusti Allah. Kalau dipergunakan untuk kejahatan menjadi kekuatan iblis. Kalau kekuasaan Gusti Allah melindungi seorang manusia, kekuatan apakah di dunia ini yang akan mampu mengganggunya? Aku manusia biasa yang terikat oleh kodrat. Yang maha sakti adalah Gusti Allah dan aku berlindung di dalam kekuasaanNya.”

Pada saat itu tampak tiga orang memasuki warung dan Warsiyem cepat-cepat memasuki warung untuk melayani pembelinya. Aji ditinggalkan berdua dengan Ki Tejobudi. Kakek itu mengamati wajah pemuda itu lalu bertanya dengan suara lembut.

“Aji, tadi aku mendengar engkau sudah mengalahkan tiga orang yang membuat keributan itu. Agaknya engkau menguasai ilmu pencak silat. Dari siapakah engkau mempelajari ilmu itu?”

“Dahulu saya mempelajarinya dari bapak, eyang. Bapakku adalah seorang Sunda dan dia menguasai ilmu pencak silat aliran Cimande.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Pantas kalau begitu. Aliran itu mengandalkan kecepatan gerak, mengubah tangkisan menjadi serangan dan terutama ampuh dalam menggunakan kaki untuk menyerang lawan.”

“Wah, pasti eyang menguasai banyak ilmu silat yang tangguh. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.”

Ki Tejobudi menghela napas panjang. “Dulu puluhan tahun yang lalu memang kesukaanku adalah mempelajari dan memperdalam olah kanuragan.”

“Maafkan saya, eyang. Eyang begitu sakti, tetapi mengapa sampai jatuh sakit dan menjadi lemah? Bagaimana bisa begitu, eyang?”

Ki Tejobudi tertawa. “Heh-heh-heh, kenapa tidak begitu, Aji? Sudah kukatakan tadi bahwa kekuatan dan kepandaian manusia itu terbatas. Tak mungkin manusia bisa membebaskan diri dari kodratnya. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa dia akan menjadi tua, tubuhnya digerogoti usia sehingga menjadi lemah dan mudah diserang penyakit. Tak ada kesaktian yang mampu mencegah datangnya penyakit dan datangnya usia tua, kulup. Pada akhirnya semua orang harus tunduk pada kekuasaan Gusti Allah dan bertekuk lutut pada kodratnya masing-masing. Seberapa sih kepandaian manusia? Untuk menghitung rambut jenggotnya sendiri pun tidak mampu! Seberapa kekuatannya? Menghentikan detak jantungnya sendiri pun tidak dapat! Jasmani yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga, kotor dan lemah. Kalau aku menjadi lemah dan sakit, apa anehnya itu?”

Aji teringat akan ucapan mendiang ayahnya dulu yang menyatakan bahwa betapa tinggi pun tingkat jiwa seseorang, kalau dia masih hidup di dunia ini, dia tidak akan terbebas dari pada usia tua, penyakit dan kematian. Kakek ini sakti mandraguna, tetapi sikapnya begitu rendah hati. Dia menjadi semakin kagum dan entah kekuasaan apa yang mendorongnya, tiba-tiba dia turun dari bangkunya lantas menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Tejobudi.

“Eyang, saya mohon sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang dan mengajarkan ilmu-ilmu eyang kepada saya agar saya dapat menjadi seorang manusia yang berguna.”

Ki Tejobudi tersenyum. Ia menghampiri Aji lalu menepuk-nepuk pundaknya. “Engkau ingin menjadi seorang manusia yang berguna, Aji? Kalau begitu tanyalah kepada dirimu sendiri lebih dulu, engkau ingin berguna untuk siapa? Untuk dirimu sendiri? Untuk keuntunganmu dan kesenanganmu sendiri?”

“Tidak, eyang. Saya ingin menjadi seorang manusia yang berguna bagi Tuhan.”

Ki Tejobudi terkekeh. “Heh-heh-heh, lalu apa yang harus kau lakukan agar engkau berguna bagi Gusti Allah?”

Dengan cerdik Aji mengambil sikap rendah hati dan bodoh. “Saya mohon petunjuk eyang untuk menjawab pertanyaan itu.”

“Aji, Gusti Allah itu Maha Ada, Maha Punya dan Maha Cukup. Gusti Allah itu tidak pernah kekurangan, tidak pernah membutuhkan. Jadi apa yang dapat kau haturkan kepadaNya? Jadilah manusia yang beguna bagi keluargamu, kemudian berkembang menjadi berguna bagi semua orang, bagi bangsamu dan negaramu. Yang terakhir, barulah menjadi berguna bagi manusia dan dunia. Dengan demikian berarti engkau menjadi manusia yang berguna bagi Gusti Allah, karena engkau menjadi alatNya yang baik dan berguna.”

“Terima masih, eyang. Agar dapat menjadi manusia berguna seperti yang eyang jelaskan tadi, maka saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya. Bagaimana saya dapat berguna bagi orang lain kalau tidak memiliki ilmu?”

“He-heh-heh, agaknya Gusti Allah telah menghendaki demikian. Baik, aku suka menerima engkau menjadi murid, suka mewariskan semua yang aku ketahui kepadamu supaya jerih payahku mempelajari semua itu di masa lalu tidak menjadi sia-sia dan tidak hilang begitu saja. Akan tetapi ada satu syarat, yaitu ibumu harus menyetujuinya.”

“Saya setuju sekali! Saya setuju dengan sepenuh hati saya, paman!” kata Warsiyem yang baru saja memasuki ruangan itu dan mendengar ucapan Ki Tejobudi. Ia lalu menghampiri dan ikut berlutut menyembah di samping anaknya.

“Baiklah, aku menerima Aji sebagai muridku. Sekarang kalian bangkit dan duduklah.”

Ibu dan anak itu segera bangkit lalu duduk di atas bangku, akan tetapi kembali Warsiyem harus memasuki warung karena datang lagi tamu yang hendak makan.

“Aji, dengarkan baik-baik. Ilmu kanuragan baik saja dilatih dan dikuasai untuk menguatkan tubuh dan untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan yang datang dari luar. Tapi ingat, ilmu ini hanyalah ilmu jasmani yang sangat terbatas. Betapa pun tingginya ilmu kanuragan ini, pasti ada yang mengunggulinya. Ilmu kanuragan baru menjadi ilmu yang baik apa bila kau pergunakan ilmu itu demi kepentingan negara dan bangsa. Mengertikah engkau, Aji?”

Dari tempat duduknya Aji menyembah. “Saya mengerti, eyang. Dulu mendiang bapak juga sering mengingatkan saya agar mempergunakan semua ilmu yang diajarkan bapak untuk membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan.”

“Bagus kalau begitu. Aku percaya bahwa mendiang bapakmu tentu orang yang bijaksana sehingga kebijaksanaannya masih tampak pada istri dan puteranya. Sekarang ketahuilah, Aji, bahwa ada suatu ilmu, yaitu ilmu menyerah, pasrah sepenuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Gusti Allah.”

“Ilmu menyerah, eyang? Apakah itu dan bagaimana?” Aji tidak mengerti.

“Menyerah atau pasrah kepada kekuasaan Gusti Allah yang akan bekerja di dalam dirimu, membimbingmu dan melindungimu. Jika sudah begini, kekuasaan apa yang akan mampu mengganggumu? Jadi ingatlah, Aji. Semua ikhtiarmu, semua usaha yang dilakukan badan dan hati akal pikiranmu harus disandarkan kepada kepasrahan yang mutlak kepada Gusti Allah. Dengan begitu maka semua usaha dan tindakanmu pasti mendapat tuntunan. Dan ingatlah dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada apa pun yang tidak mungkin bagi Gusti Allah. KekuasaanNya bekerja di mana saja, setiap saat dan abadi. Apakah engkau mau dan siap untuk membuka hati nuranimu, menyerahkan jiwa ragamu dalam kekuasaan dan bimbingan Gusti Allah dengan sepenuh iman, ikhlas dan tawakal?”

“Saya mau dan siap, eyang!” kata Aji dengan tegas.

“Kalau begitu marilah kita masuk ke dalam kamar dan pesan kepada ibumu supaya jangan mengganggu kita sebelum kita keluar dari dalam kamar.”

Aji segera berlari keluar, ke warung nasi ibunya. “Ibu, Eyang Guru minta supaya ibu tidak mengganggu kami berdua yang berada di dalam kamar. Eyang hendak memberi pelajaran kepadaku.”

Warsiyem mengangguk-angguk dan tersenyum senang. “Baiklah, Aji. Taati semua perintah dan petunjuk gurumu dengan sepenuh hati.”

“Baik, ibu.” Aji memasuki kamarnya yang kini diperuntukkan bagi Ki Tejobudi.

“Ji, berdirilah di dekatku kemudian tirukan gerakan tanganku sambil mengulangi ucapanku. Lakukan dengan seluruh perasaan hatimu dan dengan segala kerendahan hati karena kita menghadap kehadirat Gusti Allah.”

Aji lalu berdiri di samping kakek itu agak di belakangnya dan mengheningkan cipta seperti yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Seluruh cita rasa beserta batinnya dia tujukan kepada keberadaan Gusti Allah. Ketika Ki Tejobudi mulai mengangkat kedua tangannya, dia mengikuti gerakan kakek itu sambil menirukan kata-kata yang diucapkan oleh kakek itu dengan suara lirih yang menggetar.

“Duh Gusti Allah sesembahan dan pujaan hamba. Disaksikan langit dan bumi serta segala isinya, hamba berjanji akan mempergunakan segala kepandaian yang Paduka karuniakan kepada hamba untuk peri kemanusiaan sejalan dengan kehendak Paduka. Hamba menyerahkan jiwa raga hamba ke dalam kekuasaan Paduka, semoga Paduka menerima dan memberi bimbingan dan perlindungan kepada setiap langkah dalam kehidupan hamba. Amin!”

Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangan sehingga bertemu di depan dada dan membentuk sembah. Sesudah diam beberapa saat lamanya, di mana Aji merasa seperti tenggelam ke dalam kehampaan yang mendatangkan perasaan seolah-olah dia tengah melayang-layang, maka mulailah Ki Tejobudi menggerakkan dua tangannya dalam gerakan silat yang lembut sekali. Gerakannya seperti orang menari saja, sama sekali tidak mengandung kekerasan seperti gerakan silat pada umumnya.

Aji memperhatikan sambil meniru gerakan kakek itu dengan seksama. Dari bekal ilmu silat yang dipelajarinya dari mendiang ayahnya, dia pun tahu bahwa ilmu silat harus dilakukan dengan gerakan yang sempurna, setiap gerak jari dan pergelangan tangan harus tepat dan setiap gerakan harus diikuti oleh perasaan sehingga gerakan itu tidak menjadi kaku dan dapat menyatu dengan seluruh anggota tubuh. Dengan latihan yang tekun, menyatukan perasaan dengan setiap gerakan, maka gerakan itu akan menjadi gerakan yang otomatis, merupakan gerakan yang dipimpin oleh reflex sehingga dalam menanggapi gangguan dari luar gerakan itu amat cepatnya, lebih cepat dari pada jalannya panca indera ke pikiran.

Ki Tejobudi hanya bergerak selama lima jurus saja, kemudian dia berkata, “Ingat baik-baik lima gerakan pertama tadi, Aji. Sekarang coba engkau bergerak sendiri.”

Aji mengingat-ingat, lalu bergerak seperti tadi. Mula-mula kedua tangan diangkat ke atas, lalu membuat sembah dan mulailah dia bergerak seperti tadi. Ki Tejobudi memperhatikan dan kadang-kadang memberi petunjuk apa bila ada gerakan Aji yang dianggapnya kurang sempurna.

“Nah, kau latih lima gerakan itu sampai menjadi gerakan otomatis, Aji. Sekarang dengarlah baik-baik. Semua gerakan itu adalah olah raga, namun harus didasari kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, tidak lagi dikendalikan oleh pikiran. Seperti yang telah kau janjikan tadi, mulai sekarang kau harus menyerahkan segala sesuatunya kepada kekuasaan Gusti Allah, dan biarlah kekuasaan Gusti Alah yang akan membimbingmu dalam segala langkah hidupmu.”

“Apakah Eyang guru maksudkan bahwa saya tidak lagi boleh berusaha dengan kemauan sendiri melainkan menyerah secara bulat kepada Gusti Allah?”

“Jangan salah mengerti tentang penyerahan, Aji. Bukan berarti penyerahan secara mandeg dan mati, membiarkan Gusti Allah bekerja sendiri dan kita tinggal enak-enak saja! Hal itu berarti malah menentang kehendak Gusti Allah. Manusia dilahirkan disertai alat-alat yang serba lengkap, anggota tubuh yang sempurna, hati akal pikiran serta nafsu-nafsu, semua itu untuk membantu kita dalam hidup agar kita dapat menikmati hidup ini. Sudah menjadi kehendak Gusti Allah bahwa semua perlengkapan itu harus kita pergunakan, harus kita kerjakan! Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuannya, menggunakan anggota tubuhnya dan hati akal pikirannya. Kita tidak boleh tergantung kepada kekuasaan Gusti Allah semata, melainkan harus turut membantu pula! Namun segala ikhtiar itu kita landaskan kepada penyerahan dengan keyakinan bahwa hasil keputusan terakhir berada dalam kekuasaanNya. bukan tergantung kepada usaha kita. mengertikah engkau, Aji?”

“Saya berusaha untuk mengerti, Eyang. Tetapi Eyang mengajarkan agar saya menyerah kepada kekuasaan Tuhan, selain itu mengajarkan agar saya beusaha sekuat kemampuan saya. Bukankah dua hal ini berlawanan?”

“Sama sekali tidak, Aji. Apa bila engkau sudah dapat berpasrah diri secara penuh, pasrah lahir batin, kepasrahan yang mendasari semua langkah hidupmu, maka Gusti Allah akan manunggal dengan jiwamu dan kekuasaan itu atau Sang Dewa Ruci (Roh Suci) yang akan menuntun semua hati akal pikiranmu, ucapanmu serta tindakanmu. Sudahlah, Aji, hal ini sangat gawat, tidak dapat kau jangkau dengan hati akal pikiranmu. Menyerah saja dengan ikhlas, beriman dan tawakal, dan Gusti Allah akan membuatmu mengerti sendiri.”

Demikianlah, mulai hari itu Ki Tejobudi memberi gemblengan kepada Lindu Aji, bukan saja penggemblengan olah raga, melainkan juga olah jiwa. Selain ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, Aji juga memperdalam ilmu pencak silat yang dipelajarinya dari mendiang ayahnya dengan petunjuk Ki Tejobudi. Dan sebagai puncaknya dia memperoleh pelajaran yang disebut Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Bumi), yaitu dua unsur yang pada hakekatnya selalu mengalah dan menyerah namun pada akhirnya mengandung kekuatan yang luar biasa, mengalahkan segala yang tampak kuat dan keras.

Aji Tirta Bantala ini berdasarkan penyerahan kepada kekuasaan kepada Gusti Allah seperti yang diajarkan Ki Tejobudi. Ada pun ilmu-ilmu silat yang diajarkan kepada Lindu Aji adalah Aji Surya Candra (Matahari dan Rembulan), Aji Guruh Bumi yang merupakan ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, dan ilmu pencak silat Wanara Sakti (Kera Sakti). Selama lima tahun Aji belajar dengan tekun di bawah bimbingan Ki Tejobudi.....

********************

Tanpa terasa Sang Bathara Kala (sang Waktu) berlalu cepat sekali dan kini Lindu Aji telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Tubuhnya jangkung tegap, wajahnya tampan manis, sikapnya sederhana dan rendah hati, sama sekali tidak berkesan seorang jagoan, tetapi langkahnya bagaikan seekor harimau dan sepasang matanya yang bersinar lembut itu kadang dapat mencorong penuh wibawa.

Sekarang Ki Tejobudi sudah makin tua dan sakit-sakitan. Akhirnya dia jatuh sakit dan tidak dapat turun lagi dari atas pembaringannya. Aji merawatnya dengan penuh kebaktian, juga ibunya, Warsiyem, merawat kakek itu seperti terhadap ayah sendiri sehingga Ki Tejobudi merasa berterima kasih dan terharu sekali.

Ketika penyakitnya semakin parah, pada suatu pagi Ki Tejobudi memanggil Warsiyem dan Lindu Aji ke dalam kamarnya. Ibu dan anak itu duduk di tepi pembaringan di mana tubuh kurus kering kakek itu rebah dengan napas tinggal satu-satu.

“Nini Warsiyem,” kata Ki Tejobudi dengan suara yang lemah dan lirih, namun cukup jelas bagi ibu dan anak itu.

“Andika seorang wanita dan ibu yang baik budi, semoga Gusti Allah memberkahi andika. Selama lima tahun andika menerima dan menganggapku seperti orang tua sendiri. Andika seorang janda dan aku melihat Ki Parto yang telah menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu itu seorang yang baik. Dahulu dia sahabat baik mendiang suamimu, dan aku dapat melihat bahwa dia mencintamu dan juga sayang pada Aji. Mengapa andika menolak pinangannya? Akan baik sekali kalau andika dapat menjadi istrinya.”

“Paman, harap jangan berkata begitu...” Warsiyem menundukkan mukanya dan sepasang matanya menjadi basah.

Memang beberapa bulan yang lalu Parto pernah meminangnya. Parto tetangganya itu kini sudah menjadi duda, kematian istrinya tiga tahun yang lalu dan dia tidak mempunyai anak. Warsiyem sendiri adalah seorang janda berusia kira-kira tiga puluh delapan tahun, masih manis menarik karena sudah empat kali dia dipinang orang dan selalu ditolaknya dengan halus. Pinangan terakhir datang dari Parto yang juga ditolaknya. Sekarang dalam keadaan gawat itu, kakek yang sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya menganjurkan agar dia menikah dengan Parto.

“Paman, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri dan kepada Akang Uun bahwa saya takkan menikah lagi. Tidak mungkin saya dapat melayani laki-laki lain, paman. Kang Uun adalah satu-satunya lelaki yang saya cinta,” Teringat akan suaminya, Warsiyem menyeka air matanya.

“Ibu, apa yang dikatakan Eyang Guru tadi benar. Paman Parto itu orangnya sangat baik pada kita, Ibu masih muda dan aku sama sekali tidak keberatan kalau ibu menikah dengan Paman Parto. Dia sudah seperti ayahku sendiri dan aku yakin, bapak tentu juga rela kalau ibu menjadi istri Paman Parto.” kata Aji dengan lembut. Dia menyangka bahwa penolakan ibunya itu karena merasa rikuh kepadanya.

“Aji, cukup, jangan bicara soal itu lagi. Sampai mati aku tak akan menikah lagi. Aku akan setia kepada bapakmu sampai ajal membawaku berkumpul kembali dengan bapakmu. Aku telah bicara dengan Kang Parto. Dia kuanggap sebagai kakakku sendiri dan dia menerima aku sebagai adiknya. Maafkan saya, Paman, saya tidak bisa menaati anjuran paman tadi.”

Ki Tejobudi menghela napas panjang. “Demi Tuhan! Andika seorang wanita yang baik dan setia, nini. Aku kagum dan bangga. Sungguh beruntung mendiang suamimu mempunyai seorang istri sepertimu dan Aji juga berbahagia sekali mempunyai seorang ibu sepertimu. Sudahlah, lupakan anjuranku tadi, keputusanmu itu sangat baik. Tadi aku menganjurkan demikian karena puteramu Aji harus pergi mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa, nini, sehingga andika akan ditinggal seorang diri di sini.”

“Kalau memang anakku harus pergi melaksanakan perintah Paman, saya sanggup hidup seorang diri. Bukankah di sebelah masih ada kang Parto yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri?”

“Bagus sekali kalau begitu. Sekarang, Aji, dengarkan baik-baik kata-kataku. Ini merupakan pesan terakhir dariku.”

“Eyang...”

“Paman...!” Ibu dan anak itu terkejut.

“Kalian tenanglah. Aku sangat bersyukur kepada Gusti Allah bahwa pada saat terakhir ini ada kalian berdua yang menungguiku dengan kasih sayang. Dahulu aku juga memiliki istri, tapi tidak sebaik nini Warsiyem. Aji, aku meninggalkan seorang anak, namanya Sudrajat, panggilannya Ajat. Dia ikut saudara tunggal guru denganku yang kini menjadi ayah tirinya. Dia bernama Ki Tejo Langit dan hidup di Banten tempat asalku. Kau carilah Ajat dan beri-tahukan dia bahwa aku, ayah kandungnya, sudah meninggal dunia dengan tenteram dan bahagia.”

“Saya akan mengingat pesan eyang dan akan saya laksanakan.” kata Aji sambil menahan keharuan hatinya. Di dalam hatinya telah tumbuh rasa hormat, segan dan sayang kepada orang tua ini yang di samping mewariskan ilmu-ilmu kedigdayaan kepadanya, juga sudah membantunya dalam membangkitkan jiwanya.

“Pesanku yang kedua, angger, jangan membiarkan semua yang telah kau pelajari menjadi sia-sia. Segala macam kepandaian akan mati dan tidak ada gunanya jika tidak digunakan untuk peri kemanusiaan. Karena itu pergilah merantau dan di mana saja engkau berada, berjuanglah demi kepentingan manusia, bela mereka yang lemah tertindas dan tentanglah segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang. Engkau adalah kawula Mataram, membantu Sang Prabu Pandan Cokrokusumo, Sultan Agung, raja yang arif bijaksana dari Mataram yang sedang menghadapi sang angkara murka, Kumpeni Belanda.”

Aji sudah mendengar penuturan gurunya itu tentang gerakan Kumpeni Belanda, maka dia pun mengangguk-angguk. “Pesan kedua eyang akan saya laksanakan sekuat kemampuan saya, Eyang.”

“Bagus...! Dan engkau tentu masih ingat. Segala tindakan harus dilakukan dengan sekuat kemampuanmu, namun harus dilandasi kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah.”

“Saya mengerti dan masih ingat akan semua pelajaran Eyang.”

“Nah, sekarang pesanku ketiga, ini yang terakhir dan juga terpenting. Kalian berdua pernah bercerita padaku tentang kematian Harun yang terbunuh oleh seorang jagoan dari Galuh bernama Raden Banuseta, putera dari mendiang Aom Bahrudin yang dahulu dibunuh oleh Harun.” Kakek itu menghela napas panjang. “Aahhh, hukum karma, dendam mendendam, balas membalas... Terima kasih kepada Gusti Allah bahwa aku tidak sampai terjerat oleh rantai karma. Aji, ingat dan taatilah nasihatku, jangan sekali-kali engkau mendendam pada Raden Banuseta atas kematian ayahmu...”

“Akan tetapi, Paman,” Warsiyem membantah. “Bagaimana kami tidak boleh mendendam? Raden Banuseta itu telah membunuh suamiku tercinta, membunuh ayah Lindu Aji!”

“Ibu benar, Eyang. Eyang sendiri mengajarkan kepada saya untuk menentang orang yang bertindak jahat. Banuseta itu telah membunuh bapak saya, maka bukankah sudah menjadi kewajiban saya untuk menentangnya?”

Kakek itu menghela napas lagi dan suaranya kini semakin lirih dan agak sukar, seolah dia harus megeluarkan seluruh sisa tenaganya untuk dapat berbicara.

“Dendam mendendam, benci membenci, balas membalas, bunuh membunuh! Ahh... rantai beracun ciptaan iblis itu tidak akan ada henti-hentinya bila kita tidak berani memutusnya! Banuseta membunuh Harun karena Harun membunuh Aom Bahrudin. Kalau kemudian engkau membunuhnya, apakah kau kira takkan ada anaknya atau pun saudara dan sanak keluarganya yang tidak mendendam lalu berusaha untuk membalas dan membunuhmu? Kemudian keturunanmu atau kerabatmu kembali mendendam dan membalas. Tidak akan ada habis-habisnya saling bunuh itu, membiarkan iblis menggunakan nafsu amarah dan kebencian untuk mempermainkan manusia.”

“Eyang, lalu apa yang harus saya lakukan? Apakah saya tidak boleh menentang Banuseta yang melakukan kejahatan? Apakah saya harus mendiamkan saja orang itu melakukan kejahatan dan membunuhi orang ?”

Kembali kakek itu menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan tenaga. “Sama sekali tidak, angger. Kalau ternyata dia jahat, tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk menentangnya. Akan tetapi penentanganmu itu semata-mata berdasarkan karena dia jahat dan mengganggu orang lain yang tidak berdosa. Jangan sekali-sekali penentanganmu itu berdasarkan kemarahan, kebencian dan dendam pribadi. Mengertikah engkau, Aji?”

Lindu Aji menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih dan patuh, “Saya mengerti, Eyang.”

“Jangan sekali-sekali membiarkan kebencian dan dendam tumbuh dan berkembang dalam hatimu karena perasaan itu merupakan nafsu setan yang merupakan racun berbahaya dan yang akan menyeretmu ke dalam perbuatan yang tidak diridhoi Guti Allah. Kalau engkau belum mampu menghadapi perbuatan kejahatan dengan kebaikan, maka hadapi kejahatan dengan keadilan yang bebas dari kemarahan, kebencian dan dendam. Engkau masih ingat bagaimana kalau iblis menggodamu dan membangkitkan kemarahan dan kebencian dalam hatimu, Aji?”

“Masih, Eyang. Saya akan berpasrah diri kepada Gusti Allah sambil mohon petunjuk serta bimbinganNya.”

“Bagus...! Wah, aku merasa berbahagia sekali. Nini Warsiyem dan Lindu Aji, sudah cukup pesanku, sekali lagi aku berterima kasih pada kalian... semoga Gusti Allah selalu memberi berkah dan tuntunan kepada kalian berdua... amin, amin, ya rabba’l alamin!”

Kakek itu memejamkan kedua matanya, melipat kedua lengan di atas dada dan bibirnya bergerak-gerak.

“Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...” terdengar bisikan berulang-ulang, semakin lama suaranya semakin lemah sehingga akhirnya tidak terdengar lagi, hanya bibirnya yang bergerak-gerak, kemudian bibir itu pun terdiam dan kakek itu menghembuskan napas yang terakhir.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)