ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-09
Para tetangga datang melayat. Hampir semua penduduk dusun Gampingan berdatangan melayat sampai jenasah itu dikebumikan. Meski semua orang di Gampingan tahu bahwa kakek yang tua renta dan nampak lemah berpenyakitan itu menjadi guru Lindu Aji, namun tidak seorang pun menyangka bahwa dari kakek itu Aji telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi dan hebat. Hal ini adalah karena Aji tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan ilmunya kepada orang lain.
Setelah Ki Tejobudi wafat, ibu dan anak itu setiap hari bekerja seperti biasanya. Warsiyem tetap berjualan nasi di warungnya dan Aji bekerja di sawah ladang milik mereka. Semua berjalan seperti biasa.
Aji melihat betapa sikap tetangga mereka, Parto, tetap baik dan ramah kepada mereka. bahkan sikapnya terhadap ibunya tampak melindungi dan dalam percakapan dengan duda berusia lima puluh tahun itu, jelas terbayang bahwa laki-laki itu menganggap Warsiyem sebagai adiknya sendiri. Hal ini amat membahagiakan hati Aji karena bagaimana pun juga hatinya merasa lebih bahagia kalau ibunya tetap setia kepada ayahnya dan tidak menikah lagi dengan pria lain.
Pagi itu Aji dan ibunya sudah mulai sibuk. Sebagai penjual nasi dan segala lauk pauknya, makanan dan minuman, sejak sebelum fajar mereka berdua sudah bangun kemudian sibuk di dapur, mempersiapkan masakan dan minuman.
Setiap pagi Aji membuka warung kemudian menyapu pekarangan membersihkan rumah, setelah itu barulah dia pergi ke ladang. Setelah membantu ibunya membuka warung, pada pagi yang cerah itu Aji menyapu pekarangan. Dua batang pohon mangga di pekarangan itu mulai berbunga lebat.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, “Anak-anakku...! Tolong anak-anakku...! Aduhh...! Tolonggg...!” suara itu bercampur tangis, datangnya dari arah selatan.
Aji melepaskan sapunya kemudian berlari keluar dari pekarangan menuju jalan di depan. Warsiyem juga mendengarnya dan dia pun keluar dari warungnya, berlari menuju selatan.
Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun berlari terhuyung-huyung memasuki dusun Gampingan dari arah selatan. Gelung rambutnya yang sepanjang punggung awut-awutan, pakaiannya kusut dan mukanya basah air mata,. Karena rumah Warsiyem berada di ujung selatan dusun itu, maka dia dan Aji yang lebih dulu mendengar jerit tangis wanita itu.
“Bibi, ada apakah, bibi?” tanya Aji sambil menghadang di tengah jalan.
Melihat ada orang menegurnya, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu dan yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata “Anak-anakku... tolong anak-anakku...” Akan tetapi kata-katanya tertutup oleh tangisnya. Matanya liar penuh rasa takut, berulang kali memandang ke belakang, ke arah selatan.
Warsiyem sudah tiba di situ dan dia merangkul wanita itu. “Tenanglah, dik. Ceritakan apa yang sudah terjadi dengan anak-anakmu.”
Rangkulan dan ucapan Warsiyem itu agaknya dapat menenangkan hati wanita itu.
“Aduh, mbakyu... anak-anakku... dua orang anakku diculik orang.”
“Diculik orang? Di mana?” tanya Aji.
Wanita itu menghadap ke selatan lantas menudingkan telunjuknya. “Ketika kami berjalan sampai di luar dusun ini, tiba-tiba ada seorang wanita berpakaian mewah yang bertemu dengan kami. Ia memandang anak-anakku, seorang anak laki-laki dan perempuan berusia tujuh dan lima tahun, kemudian dia bilang mau membeli kedua anakku itu. Tentu saja aku menolaknya dan tiba-tiba dia memondong kedua orang anakku lalu membawa mereka lari menuju selatan. Tolong... tolonglah mereka...“
“Ibu, ajaklah bibi ini ke rumah, aku akan mencoba melakukan pengejaran!” kata Aji dan dia pun sudah melompat dan lari ke arah selatan.
“Aji...! Hati-hatilah...!” seru ibunya.
“Baik ibu!” jawab Aji tanpa menghentikan larinya.
Dia pernah melatih diri dengan ilmu meringankan tubuh dan berlari cepat yang disebut Aji Bayu Sakti. Setelah mempergunakan aji itu, dia berlari cepat sekali seolah kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi. Bagaikan terbang tubuhnya meluncur ke arah selatan, ke arah Laut Kidul!
Akan tetapi dia tidak melihat orang. Sejak tadi dia memperhatikan kalau-kalau ada orang di sepanjang perjalanan. Akan tetapi daerah itu sepi saja. Mungkin hari masih terlalu pagi.
Sampai dia tiba di pantai laut, dia tidak melihat seorang pun. Dengan termangu-mangu dia menyusuri pantai menuju ke arah bukit karang yang menjulang di pinggir pantai. Tiba-tiba hatinya tertarik sekali melihat ada jejak kaki memasuki pantai berpasir dan menuju ke bukit karang.
Dia sudah mengenal benar daerah pantai ini. Sering kali dia mencari ikan, bermain-main seorang diri, berenang dan berlatih silat kalau tidak ada orang melihatnya. Karena sering bermain di laut inilah dia juga pandai sekali berenang. Dia tahu bahwa di atas bukit karang itu terdapat banyak goa besar kecil yang tidak pernah dikunjungi orang, goa yang menjadi sarang burung-burung walet.
Dia merasa ragu. Apakah penculik dua orang anak itu mendaki bukit? Jejaknya berhenti di kaki bukit. Ini menunjukkan bahwa penculik itu tentulah membawa kedua orang anak yang diculiknya ke atas bukit. Tetapi untuk apa? Dan mengapa? Dia belum tahu siapa wanita itu yang mengaku dua orang anaknya diculik.
Akan tetapi melihat sekelebatan saja dia tahu bahwa dia hanyalah seorang wanita dusun biasa. Dari pakaiannya dia adalah seorang wanita tani. Apanya yang berharga sehingga dua orang anak petani miskin itu bisa menarik minat seorang penculik? Benar-benar aneh dan mengherankan sekali!
Aji mulai mendaki bukit batu karang itu, perlahan-lahan sambil memandang sekelilingnya dan memperhatikan dengan pendengarannya. Tiba-tiba dia mendengar teriakan anak-anak, hanya satu kali lalu suara itu bungkam kembali. Suara itu terdengar dari atas, dari sebelah kirinya. Dia lalu berloncatan menuju ke arah dari mana datangnya suara tadi. Tidak tampak sesuatu yang mencurigakan di sana.
Aji mencari-cari dengan pandang matanya, lalu memutar tubuhnya memandang ke bawah kembali, dia melihat bayangan seorang berkelebat, berlari menuruni bukit batu karang itu. Dia terkejut dan menjadi penasaran sekali, merasa tertipu oleh suara jeritan kanak-kanak tadi. Kiranya selagi dia berlari naik mendaki bukit, ada orang yang melarikan diri menuruni bukit batu karang itu.
Dia mengerahkan tenaga dan berloncatan turun. Karena dia mengerahkan semua ilmunya berlari cepat berdasarkan ilmu meringankan tubuh, maka dia dapat berlari secepat terbang menuruni bukit itu. Ketika dia tiba di kaki bukit karang, dia melihat seorang wanita berlari di atas pantai berpasir. Larinya cepat sekali biar pun dia memondong dua orang anak kecil di kedua pundaknya. Dua orang anak itu tampak diam saja dan tidak meronta lagi, seperti tertidur di atas pundak wanita itu.
Aji merasa tegang ketika timbul dugaan bahwa jangan-jangan kedua orang anak itu sudah mati! Dia lantas mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga larinya amat cepat dan akhirnya dia dapat menyusul wanita itu.
“Sobat, berhenti dulu!” seru Aji sambil melompat mendahului kemudian memutar tubuhnya menghadapi wanita itu.
Dia tertegun juga melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun namun lagaknya seperti seorang gadis belasan tahun. Rambutnya panjang ikal mayang dan hitam dibiarkan terurai dan kepalanya terhias semacam tiara dari emas berhiaskan intan permata.
Wajah yang berbentuk bulat itu cantik sekali, kulitnya putih dan mulus, sepasang matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya memiliki daya tarik luar biasa, bibirnya penuh dan merah membasah. Mata dan mulut itu mengandung daya tarik dan memikat, senyum dan kerling matanya genit.
Tubuhnya yang ramping padat itu mengenakan pakaian mewah terbuat dari sutera halus, telinganya memakai hiasan telinga, lehernya berkalung emas dan kedua lengannya terhias gelang emas pula. Pantasnya dia adalah seorang puteri bangsawan yang kaya raya! Akan tetapi sinar matanya yang tajam dan genit mengandung kekerasan dan kekejaman yang mengerikan.
Sejenak Aji bertatap pandang dengan mata wanita itu dan hatinya merasa lega ketika dia melihat bahwa dua orang anak itu tidak mati melainkan tidur, atau lebih mungkin pingsan. Sepasang bibir berbentuk indah dan merah itu terbuka membentuk senyuman dan tampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih bersih.
“Aih, pemuda tampan. Siapakah andika dan kenapa andika berlari-lari mengejarku?”
Senyum itu melebar dan mata itu mengamati Aji dari kepala sampai ke kaki seperti mata seorang pedagang kuda mengamati seekor kuda yang hendak dibelinya!
Agak canggung dan rikuh juga rasa hati Aji berhadapan dengan wanita cantik berpakaian mewah itu. Biasanya dia hanya bergaul dengan wanita-wanita dusun yang sederhana. Dia menelan ludah menenangkan hatinya yang gugup, lalu menjawab sambil memandang pada dua orang anak yang berada di atas kedua pundak wanita itu.
“Aku bernama Lindu Aji. Tadi aku bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan bahwa dua orang anaknya diculik seorang wanita. Tentu andika penculiknya dan kuharap andika suka membebaskan dua orang anak yang tak berdosa itu agar mereka bisa kukembalikan kepada ibu mereka.”
Wanita itu tertawa dan mulutnya terbuka makin lebar sehingga kini giginya yang berderet rapi dan putih itu tampak lebih banyak. Juga tampak lidahnya yang merah muda berujung runcing.
“Heh-heh-hi-hi-hik! Lindu Aji, pemuda tampan, engkau menghendaki dua orang anak ini? Boleh, akan kubebaskan mereka. Tapi sebagai gantinya engkau harus ikut aku bersenang-senang selama tiga hari tiga malam!”
Wanita itu lalu melepaskan dua orang anak yang dipanggulnya ke atas tanah.
Dua orang anak itu rebah miring di atas tanah dan kini Aji merasa yakin bahwa mereka itu dalam keadaan pingsan. Wajah Aji menjadi merah mendengar ucapan wanita itu. Biar pun dia belum pernah akrab dengan wanita, akan tetapi dia sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap apa yang dimaksudkan oleh wanita itu.
“Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan dua orang anak itu kepadaku untuk dikembalikan kepada ibunya. Aku tidak menginginkan apa pun darimu!” katanya dengan suara tegas dan jelas mengandung penolakan atas ajakan wanita itu.
“Hei pemuda tampan tapi tolol! Engkau belum mengenal siapa aku, ya? Aku adalah Nyi Maya Dewi. Di seluruh Pajajaran, dari puncak gunung-gunung sampai ke tepi laut selatan, tak ada seorang pun laki-laki yang tidak merindukan diriku. Mereka akan berebutan untuk menjadi pilihanku, mereka akan rela mati asal dapat bersamaku semalam saja. Para muda bangsawan dan hartawan, semua merindukan aku dan sekarang andika berani menolak ajakanku?” Nyi Maya Dewi mengerutkan alisnya dan marah karena merasa terhina. Belum pernah selama hidupnya dia ditolak laki-laki, apa lagi hanya seorang pemuda berpakaian petani seperti ini!
Aji juga mengerutkan alisnya. “Nyi Maya Dewi, bagaimana pun juga aku bukan seorang di antara laki-laki yang kau maksudkan itu. Sudahlah, sekarang aku hendak mengembalikan anak-anak ini kepada ibu mereka, aku tidak ada waktu untuk melayanimu lebih lama lagi.”
Setelah berkata demikian Aji cepat menghampiri dua orang anak yang masih rebah miring di atas tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar.
Semua ilmu silat yang pernah dilatih oleh Aji telah mendarah daging di tubuhnya, maka dia segera mengetahui ada serangan dahsyat yang mengancamnya. Dengan gerakan lincah dia melompat ke belakang, maka tendangan kaki Nyi Maya Dewi hanya mengenai tempat kosong.
Aji terheran-heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa seorang wanita cantik seperti Nyi Maya Dewi dapat menyerang dengan tendangan kaki yang demikian kuatnya sehingga angin tendangan itu menyambar dengan begitu dahsyat.
Sebaliknya Nyi Maya Dewi juga terbelalak heran. Tadi dia telah merasa yakin bahwa sekali tendang saja dia akan dapat merobohkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi ternyata tendangannya luput dan bisa dielakkan pemuda itu. Tentu saja dia menjadi penasaran.
Cepat ia melangkah maju mengejar dan kembali kaki kanannya mencuat dalam tendangan yang lebih kuat dari pada tadi. Kaki kecil mungil itu dengan kuatnya menyambar ke arah perut Aji.
Pemuda itu maklum betapa kuatnya tendangan itu dan bisa membahayakan dirinya kalau sampai perutnya terkena tendangan. Dia mundur selangkah dan tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis kaki yang menendang itu. Karena maklum bahwa wanita itu memiliki tenaga besar, maka dia pun mengerahkan tenaga ke dalam tangan kirinya yang menangkis.
“Syuuuttt...! Dukkkk!”
Dengan tangan miring Aji menangkis tendangan itu. Nyi Maya Dewi mengeluarkan seruan kaget. Kakinya yang tertangkis tadi terpental dan terasa nyeri. Dengan gerakan ringan dia melangkah empat kali ke belakang. Kaki kanannya terasa berdenyut-denyut nyeri seolah tadi bertemu dengan sepotong baja.
Maklumlah dia bahwa yang disangkanya hanya seorang pemuda petani biasa yang lemah itu ternyata seorang pemuda yang memiliki kegesitan dan tenaga besar. Hatinya semakin tertarik dan gairahnya semakin besar untuk dapat memiliki pemuda itu. Dia lalu berkemak kemik, mengerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya mencorong menatap titik di antara kedua alis Aji, lalu mulutnya berkata dengan suara mengandung wibawa.
“Lindu Aji, kuperintahkan kepadamu, berlututlah andika kepadaku!” tangannya digerakkan, telunjuknya menuding ke arah Aji.
Pemuda itu mendadak dikuasai tenaga aneh yang mendorongnya untuk menjatuhkan diri berlutut kepada wanita itu. Akan tetapi dia segera teringat akan semua gemblengan yang diterimanya dari mendiang Ki Tejobudi. Tahulah dia bahwa ada kuasa gelap yang sedang menyerangnya!
Aji cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan membuat gerakan menyembah di depan dada. Perasaan sejuk, tenteram dan kuat sekali memasuki dirinya dan mengusir dorongan yang tidak wajar tadi. Dia memandang wanita itu, tersenyum dan berkata dengan lembut dan penuh kesabaran.
“Nyi Maya Dewi, kalau andika ingin berlutut, mengapa tidak andika lakukan saja sendiri?”
Terjadi keanehan! Mendadak saja wanita cantik itu menekuk kedua lututnya dan dia sudah berlutut menghadap Aji! Akan tetapi hal ini terjadi hanya sebentar saja karena Nyi Maya Dewi segera menyadari akan keadaannya.
Dia memekik marah dan melompat berdiri. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api ketika dia memandang Aji. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa selain bertenaga besar pemuda ini juga mampu menolak sihirnya bahkan membalikkan daya sihirnya untuk menyerang dirinya sendiri!
“Keparat, engkau sudah bosan hidup!” bentak wanita itu dengan suara melengking saking marahnya dan tangan kanannya melepaskan sehelai sabuk sutera berwarna emas yang panjangnya tidak kurang dari dua meter. Inilah senjata wanita itu, senjata yang aneh tetapi amat ampuh, disebut Sabuk Cinde Kencana. Begitu dia menggerakkan sabuk sutera itu, tampak sinar emas berkelebat di udara dan terdengar bunyi ledakan nyaring.
“Tar-tarr-tarrr...!”
Akan tetapi Aji tidak menjadi gentar. Walau pun selama hidupnya baru satu kali berkelahi, yaitu ketika melawan mendiang Singowiro dan dua orang kawannya, tetapi ilmu-ilmu yang dipelajarinya telah mendarah daging sehingga setiap saat dapat saja dia pergunakan untuk membela diri dari ancaman bahaya yang menyerangnya.
Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lututnya agak ditekuk sedikit, seluruh syaraf di tubuhnya siap akan tetapi tubuhnya tidak kaku melainkan lentur, kedua kakinya ringan dan sepasang matanya mencorong menatap wajah wanita itu.
“Nyi Maya Dewi, aku tidak ingin bermusuhan dan berkelahi denganmu. Tetapi katakanlah, kenapa engkau menculik dua orang anak ini? Apakah kesalahan mereka atau ibu mereka kepadamu? Dan akan engkau apakan mereka?” Aji bertanya sambil mengalihkan pandang matanya kepada dua orang anak itu.
Ternyata dua orang anak itu sudah sadar dan kini duduk di atas pasir. Anak laki-laki yang berusia kurang lebih tujuh tahun itu merangkul adiknya, seorang anak perempuan berusia lima tahun yang sedang menangis lirih.
“Lindu Aji, apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Aku hendak menculik atau membunuh siapa pun juga, apa urusanmu?!” bentak wanita itu.
Kini bagi Aji kecantikan wanita itu berubah jadi menyeramkan, cantik akan tetapi wajah itu penuh sinar mengerikan, kejam dan jahat sekali, seperti wajah iblis betina! Mata itu seperti mata seekor anjing gila yang pernah dia lihat di dusun kemudian ramai-ramai dibunuh oleh para penduduk.
“Aku tidak akan peduli kalau urusan pribadimu tidak menyangkut orang lain. Engkau boleh jungkir balik, gulung koming (bergulingan), jatuh bangun atau terjun ke laut, aku tidak akan peduli. Akan tetapi kalau engkau menculik dua orang anak yang tidak berdosa, urusan itu sudah menyangkut keselamatan dua orang anak. Maka terpaksa aku harus mencampuri dan turun tangan.”
“Hemm. begitukah, bocah sombong? Memangnya engkau ini seorang pendekar, seorang pahlawan, seorang kesatria?” wanita cantik itu mengejek sambil memegang sabuk sutera emasnya yang direntang melintang di depan dadanya yang membukit.
Aji teringat akan pesan mendiang ayahnya dan juga mendiang gurunya, lalu dia menjawab dengan gagah, “Aku akan selalu berusaha untuk menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan, menjadi pembela mereka yang tertindas dan menentang mereka yang jahat dan sewenang-wenang seperti engkau!”
“Babo-babo, Lindu Aji! Engkau bocah kemarin sore yang masih bau brambang dan kencur! Engkau berani menentang aku, Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai jago betina tanpa tanding di sepanjang sungai Cisadena sampai ke muaranya di Laut Kidul?”
Tentu saja Aji sama sekali belum pernah mendengar akan nama dan juga tempat itu yang berada jauh di barat dan termasuk daerah Parahiyangan karena dia belum pernah beranjak dari dusunnya. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar dari cerita mendiang bapaknya, juga mendiang gurunya bahwa di seluruh Nusantara terdapat banyak sekali orang-orang sakti mandraguna, baik dari golongan bersih, yaitu para pendekar, mau pun dari golongan kotor, yaitu para penjahat. Dan agaknya perempuan ini termasuk golongan kotor yang tak segan-segan melakukan perbuatan jahat dengan mengandalkan kesaktiannya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan denganmu, Nyi Maya Dewi. Serahkan saja dua orang anak itu kepadaku dan aku akan minta maaf kepadamu atas sikapku ini.”
“Engkau tak ingin bemusuhan, akan tetapi aku ingin membunuhmu! Mampuslah!”
“Tarrr...!”
Sabuk di tangannya tiba-tiba berkelebat menyambar bagaikan kilat ke arah kepala Aji!
Aji merendahkan tubuhnya dengan menggeser kakinya sehingga sambaran Sabuk Cinde Kencana itu luput mengenai kepalanya dan meluncur lewat di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat sekali sabuk bersinar keemasan itu datang menyambar lagi.
Aji mengelak lagi, hanya untuk dikejar oleh sambaran lain. Sabuk itu bergerak cepat bukan main, menyambar-nyambar seperti seekor burung menyerang mangsanya. Tapi Aji segera memainkan ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti). Sikap tubuhnya seperti seekor kera saja, berloncatan dan bergulingan, cekatan bukan main sehingga semua sambaran ujung sabuk itu tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya!
Memang mendiang Ki Tejobudi melatih Aji dengan ilmu silat yang mengandalkan kejelian penglihatan, ketajaman pendengaran, dan keringanan tubuh ini. Ketika berlatih Ki Tejobudi menyerangnya dengan sebatang ranting secara bertubi-tubi, semakin lama semakin cepat dan Aji harus dapat mengelak dari semua serangan itu. Bahkan lalu mempergunakan butir kacang untuk menghujaninya dengan sambitan dan pemuda itu harus dapat mengelak dari semua kacang yang menyambar.
Latihan ketajaman pendengaran dilatih dengan duduk di tepi laut mendengarkan suara air yang beraneka ragam, mencoba untuk menangkap satu-satu semua suara yang berbeda-beda itu, dan pada waktu malam mendengarkan dengan penuh perhatian akan suara kutu-kutu walang-atogo (binatang-binatang yang berbunyi di waktu malam), membedakan satu-satu semua suara yang bercampur aduk itu.
Melatih kejeliaan mata dilakukan dengan menampung air hujan, lalu mempergunakan air di dalam tempayan yang dipercik-percikkan dengan tangan ke arah kedua mata yang tetap dibuka. Setelah latihan ini dilakukan bertahun-tahun lamanya, barulah Aji dapat melakukan ilmu silat Wanara Sakti dengan baik.
Nyi Maya Dewi menjadi penasaran bukan main. Ia telah menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya sehingga sabuk cinde itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Namun senjatanya itu tak pernah menyentuh pemuda itu yang bergerak seperti monyet sehingga tubuhnya berkelebatan dengan sangat gesitnya. Ilmu silat Wanara Sakti ini memang harus dilengkapi dengan sikap nakal seekor monyet, maka Aji lalu mengejek,
“Hayo, Nyi Maya Dewi, tunjukkan kepandaianmu. Masa seorang jago betina begini lambat gerakannya? Heh-heh...!”
Ejekan ini mengena. Wanita itu menjadi marah bukan main. “Jahanam, mampus kau!”
Dia membentak dan sabuknya menyambar dengan kuat sekali. Akan tetapi kemarahan ini membuat dia lengah. Sabuknya menyambar dari atas ke bawah, ketika luput ujung sabuk menghantam batu karena tadi Aji melompat dan berdiri mengejek di atas batu itu.
“Pyarrrrr...!”
Batu itu pecah ketika dihantam ujung sabuk.
Kesempatan ini segera dipergunakan Aji untuk membalas menyerang. Cepat sekali tangan kirinya menyambar ujung sabuk yang gerakannya terhenti sejenak sesudah menghantam batu. Dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan sabuk itu, lalu tangan kanannya bergerak mendorong ke depan, ke arah dada lawan.
Pukulan ini juga masih termasuk jurus Wanara Sakti, akan tetapi dorongan tangan kanan itu disertai dengan tenaga sakti Surya Candra yang dahsyat sehingga ketika dia memukul, dorongan telapak tangan kanan itu mendatangkan sambaran hawa pukulan yang dahsyat sekali.
Nyi Maya Dewi kaget bukan main. Tangan kanannya masih menahan dan mencoba untuk membetot lepas sabuk cindenya yang ujungnya tertangkap lawan. Kini, melihat serangan lawan dengan dorongan tangan kanan yang mendatangkan hawa pukulan dahsyat itu, dia pun cepat mendorongkan telapak tangan kirinya untuk menyambut.
Inilah aji pukulannya yang sangat ampuh, yang disebut Aji Wisa Sarpa (Ilmu Pukulan Bisa Ular). Dua tenaga sakti yang keluar dari dua telapak tangan itu bertemu di udara dengan hebatnya.
“Dessss...! Pratttt...!”
Tubuh Nyi Maya Dewi terjengkang dan terhuyung, ada pun Aji hanya mundur dua langkah. Wanita itu terkejut bukan kepalang ketika melihat betapa sabuk di tangan kanannya tinggal sepotong. Ternyata sabuk itu putus di tengah-tengah!
Aji melempar potongan sabuk ke atas tanah dan berkata lembut. “Nyi Maya Dewi, sudah kukatakan kepadamu bahwa aku tak ingin bermusuhan denganmu. Tinggalkan anak-anak itu dan pergilah, jangan mengganggu orang lagi.”
Tapi Aji harus kecelik kalau dia menduga wanita itu akan mau sudah begitu saja. Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita keturunan bangsawan Pajajaran yang telah menyeleweng dan tersesat dalam kesesatan golongan hitam. Dia dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti, mempunyai banyak macam ilmu kanuragan, sudah banyak pengalaman berkelahi dan banyak pula tipu muslihatnya.
Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang. Dia tidak tahan melihat pria tampan, apa lagi yang gagah perkasa. Dia tidak akan berhenti berusaha sebelum berhasil memperoleh pria itu dalam pelukannya. tentu saja hal ini tidak begitu sukar baginya karena dia memiliki kecantikan wajah dan keindahan tubuh yang membuat banyak pria tergila-gila.
Kalau sang pria menolak, dia masih bisa mengandalkan ilmu sihirnya untuk menundukkan pria itu, atau bahkan menggunakan kesaktiannya untuk memaksakan kehendaknya. Kalau semua usahanya gagal, maka dia akan membunuh pria itu! Sebaliknya kalau berhasil, dia pun hanya akan menjadikan pria itu sebagai permainan selama beberapa hari saja karena Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita pembosan dan selalu haus akan laki-laki baru.....
Komentar
Posting Komentar