ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-10


“Aji, mengapa engkau menjauh? Aku kagum sekali padamu, Aji. Aku jatuh cinta padamu. Tidak maukah engkau menjadi sahabat baikku? Bukan saja aku akan menyerahkan anak-anak itu kepadamu, bahkan aku akan membantumu dalam segala hal. Tetapi bersikaplah manis padaku, jangan memusuhi aku, Aji.” Suaranya begitu merdu merayu dan memang dalam suaranya itu terkandung Aji pengasihan yang dapat menundukkan hati kaum pria.

Sejenak hati pemuda itu terguncang dan mendadak dia merasa kasihan kepada wanita itu. Akan tetapi dia tetap waspada dan menyadari bahwa perasaannya ini tidak wajar. Untung baginya bahwa dia sudah banyak mempelajari tentang bahaya serangan tenung dan ilmu sihir, juga dia sudah mempunyai kekuatan dasar, yaitu Aji Tirta Bantala yang berdasarkan penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah.

Begitu dia menyerah dan membiarkan kekuasaan gaib ini melindunginya, maka perasaan kasihan yang tidak wajar itu pun lenyap. Wajah wanita yang tadinya memelas itu tampak mengerikan kembali, wajah yang penuh rangsangan nafsu berahi.

“Nyi Maya Dewi, aku tidak memusuhimu. Pergilah dengan damai...”

“Hyaaatttt...!” Tiba-tiba wanita itu menyerangnya dengan dahsyat sekali. Kedua tangannya membentuk cakar dan sepuluh buah kuku tangannya berubah menghitam. Seperti seekor kucing dia pun menyerang dengan kedua cakarnya dan Aji mencium bau amis keluar dari kedua tangan itu.

Nyi Maya Dewi sudah menyerang dengan Aji Sarpa Naka (Kuku Ular). Setiap kuku jarinya mengandung racun ular yang mematikan dan sekali terkena guratan kuku itu sudah cukup untuk menewaskan lawan.

Aji yang selalu waspada, cepat mengelak dan otomatis dia sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Akan tetapi ketika dia melompat ke belakang, wanita itu cepat menubruk ke arah dua orang anak itu.

Anak laki-laki itu berteriak, akan tetapi dia sudah diringkus dan dipondong Nyi Maya Dewi kemudian dibawa lari ke arah laut! Anak perempuan yang direnggut lepas dari kakalnya itu menjerit-jerit ketakutan melihat kakaknya dilarikan oleh wanita itu.

Aji tertegun sejenak. Sama sekali tidak mengira bahwa serangan wanita yang dahsyat tadi hanya pancingan saja agar perhatiannya terpecah sehingga dengan mudah wanita itu bisa melarikan anak laki-laki yang tadi berpelukan dengan adiknya.

“Heiii...! Berhenti, kembalikan anak itu!” Aji berteriak marah lantas mengejar dengan berlari cepat.

Akan tetapi ternyata Nyi Maya Dewi tidak berlari menyusuri pantai melainkan terus ke arah lautan, menerjang ombak besar yang datang bergulung-gulung!

Tentu saja Aji merasa heran dan kaget, akan tetapi dia mengejar terus demi keselamatan anak laki-laki itu. Ketika gelombang menggulungnya, dia menyelam dan berenang. Setelah ombak lewat, dia melihat Nyi Maya Dewi berenang ke tengah sambil memiting anak itu.

Aji tidak mau kalah dan dia pun berenang secepatnya. Untung bahwa dia juga mahir sekali berenang karena sudah terbiasa bermain-main di laut yang bergelombang itu.

“Nyi Maya Dewi, lepaskan anak itu atau aku terpaksa memusuhimu!” teriak Aji setelah dia mendekat.

Wanita itu tertawa dan tiba-tiba dia membalik lalu berenang mengampiri Aji. Setelah dekat dia melemparkan anak laki-laki itu ke arah Aji.

“Terimalah anak ini, hi-hi-hik!”

Aji menjulurkan kedua lengan dan menerima anak itu. Ternyata anak itu pun bisa bergerak dan berenang. Aji mendorong anak itu ke arah pantai dan berkata, “Adik, cepat berenang ke tepi. Cepat!”

Anak itu menurut, dia segera berenang ke arah pantai. Untuk melindunginya Aji sengaja berdiri menghadang. Kini mereka berdiri saling berhadapan.

Nyi Maya Dewi tertawa-tawa. Dengan rambut berderai dan pakaian basah kuyup melekat ketat di tubuhnya, di air dia nampak seperti seekor ikan duyung atau bahkan seperti puteri Ratu Laut Kidul yang terkenal dalam dongeng. Akan tetapi suara tawa dan sinar matanya tetap mengerikan bagi Aji. Dia pun bersiap-siap karena jelas tampak olehnya bahwa wanita itu amat pandai bergerak di dalam air, tiada ubahnya seekor ikan saja!

“Hi-hi-hik, di darat engkau masih mampu menandingi aku, akan tetapi di sini? Di dalam air segara kidul ini nyawamu berada di tanganku, Aji!” Wanita itu tertawa-tawa gembira.

Biar pun di dalam hati Aji ada perasaan khawatir karena melihat betapa lincahnya wanita itu bergerak di dalam air, tetapi dia berkata tegas, “Nyawaku selalu berada di Tangan Gusti Allah!”

“Hi-hik-hik, kita lihat saja!” Dan tiba-tiba wanita itu menghilang!

Aji tahu bahwa wanita itu menyelam. Ini sungguh berbahaya karena wanita itu tentu dapat menyerangnya dari bawah sehingga sukar baginya untuk melindungi dirinya. Maka dia pun menarik napas sampai dadanya penuh, lalu dia pun menyelam.

Untung dia sudah terbiasa menyelam sambil membuka mata kalau dia bermain-main di air untuk melihat ikan. Matanya sudah terbiasa dan tidak merasa pedas lagi ketika terkena air laut. Dia melihat bayangan wanita itu yang meluncur cepat ke arahnya dengan dua tangan dijulurkan. Dia mengelak ke samping lalu tangannya bergerak menangkap lengan lawan.

Tiada gunanya memukul di dalam air karena kekuatan dari tenaga pukulannya akan habis tertahan air. Maka dia berusaha untuk menangkap lengan wanita itu. Tetapi wanita itu bisa bergerak gesit bukan main. Bukan saja telah dapat menarik kembali lengannya sehingga tidak dapat tertangkap, bahkan tubuhnya sudah meluncur melalui bawah tubuh Aji dan tiba di belakangnya!

Aji cepat bergerak membalik, akan tetapi ternyata dia kalah cepat. Sebuah tamparan tepat mengenai pelipisnya. Tamparan itu itu tidak terlalu keras karena tertahan air, namun tetap saja membuat dia terpelanting. Sebelum dia bisa mengatur kedudukan tubuhnya, tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang kedua tangan wanita itu. Kuat sekali pegangannya.

Aji menendang-nendangkan kedua kakinya. Akan tetapi wanita itu tetap menempel seperti seekor lintah dengan memegangi kedua pergelangan kakinya! Padahal ketika itu Aji sudah mulai kehabisan napas. Hawa yang disedot dan ditampung dalam paru-parunya tadi sudah dihembuskan keluar semua. Dia hampir tak tahan lagi, maka dia pun lantas mengerahkan seluruh tenaga pada kaki dan tangannya sehingga tubuhnya meluncur ke atas. Akan tetapi kedua tangan itu masih tetap memegangi kedua kakinya.

Aji berhasil muncul di permukaan air sebatas lehernya. Paru-parunya yang kehausan itu mengisap hawa sebanyaknya. namun baru satu kali dia menghirup udara, tubuhnya sudah ditarik lagi ke bawah! Kembali mereka berdua bergulat dalam air. Tapi Aji harus mengakui bahwa lawannya sangat mahir dan juga kuat menahan napas.

Sesudah meronta-ronta dengan sia-sia, kembali dia kehabisan napas dan sudah beberapa kali terpaksa menelan air. Dia gelagapan dan kepalanya menjadi pening. Ketika akhirnya dengan sisa tenaganya dia berhasil munculkan kepalanya di permukaan air dan menghirup udara, tiba-tiba sebuah tamparan menghantam tengkuknya.

“Plakk!”

Hantaman itu kuat sekali sehingga Aji terkulai pingsan. Tamparan yang mengenai tengkuk itu dilakukan oleh tangan yang terlatih baik sehingga tepat sekali mengenai sasaran. Tidak mematikan, tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun membuat orang pingsan seketika.

Nyi Maya dewi lalu berenang ke tepi sambil merangkul Aji yang telentang. Cara Nyi Maya Dewi menyeret Aji yang pingsan menunjukkan bahwa dia memang amat ahli bermain di air. Aji diseret dengan dijambak pada rambutnya sehingga wajah pemuda itu selalu berada di atas permukaan air.

Tidak lama kemudian Nyi Maya Dewi sudah tiba di pantai. Dia menyeret Aji ke pinggir dan setelah tiba di kedalaman selutut dia memondong tubuh pemuda itu dengan ringannya dan membawanya ke pantai berpasir. Dia terus naik sampai tiba di kaki bukit karang kemudian mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak menemukan dua orang anak yang tadi diculiknya.

Nyi Maya Dewi tertawa. “Hik-hik, tidak apa aku kehilangan mereka berdua. Masih banyak anak yang lebih mungil dan sehat bisa kudapatkan sebagai pengganti mereka. Akan tetapi mendapatkan seorang pemuda setampan dan segagah ini sungguh amat sukar,” katanya.

Dia mendekatkan mukanya dan mencium muka pemuda itu, kemudian dia merebahkan Aji di bawah sebatang pohon kelapa. Sesudah itu, tanpa malu dan tanpa khawatir kalau-kalau ada orang yang melihatnya, wanita itu lalu menanggalkan pakaiannya satu demi satu.

Dalam keadaan telanjang bulat Nyi Maya Dewi memeras semua pakaiannya yang basah kuyup, kemudian mengebut-ngebutkannya agar cepat kering. Setelah itu dia mengenakan lagi pakaiannya dan menghampiri Aji yang masih menggeletak telentang di atas tanah.

“Kasep (bagus), sekali ini engkau harus menuruti keinginanku,” kata Nyi Maya Dewi.

Dia mengeluarkan sebuah botol kecil yang tadi dia selipkan di ikat pinggangnya. Botol kecil itu berisi cairan merah. Kemudian dia pun membuka tutup botol kecil itu dan tangan kirinya membuka mulut Aji, siap hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu.

Pada saat itu Aji tersadar dari pingsannya. Walau pun kepalanya masih agak pening dan pikirannya masih gelap, namun dengan nalurinya yang tajam dia segera dapat merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Maka mendadak tangannya bergerak memukul botol kecil yang sudah ditempelkan di bibirnya itu, meronta dan menggulingkan tubuhnya ke kiri.

Nyi Maya Dewi terkejut sekali. Botol itu terlempar dan isinya tumpah, juga pegangannya pada kepala pemuda itu terlepas. Melihat pemuda itu menjauhkan diri sambil bergulingan, dia cepat bangkit hendak mengejar dan menyerang.

Akan tetapi kini Aji telah sadar benar dan teringat bahwa tadi dirinya terpukul pingsan dan tertawan, maka dia pun maklum akan datangnya bahaya. Dengan tubuh menelungkup dan kaki tangan di atas tanah seperti merangkak, tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan yang dahsyat sekali.

Gerengan itu menggetarkan tanah di sekitarnya sehingga Nyi Maya Dewi juga tergetar dan terhuyung seakan-akan terjadi gempa bumi! Itulah ilmu yang disebut Aji Guruh Bumi yang kekuatannya hebat bukan main.

Nyi Maya Dewi terkejut dan menjadi jeri ketika melihat pemuda itu sekarang sudah bangkit berdiri. Tadi dia sudah merasakan kehebatan pemuda ini. Dia terlalu memandang rendah dan merasa menyesal mengapa ketika pemuda itu pingsan, dia tidak mengikatnya supaya dia tidak berdaya. Kini dia merasa jeri untuk melawan lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking yang mirip tangis akan tetapi juga tawa, dia lantas melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Aji tidak mau mengejar. Dia harus mencari dua orang anak yang ditolongnya tadi. Mereka tidak mungkin berlari jauh, pikirnya. Kalau mereka bermaksud melarikan diri, hendak lari ke mana? Mungkin mereka masih bersembunyi di sekitar tempat ini. Aji lalu mengerahkan tenaga dan berteriak nyaring,

“Adik-adik, di mana kalian...?! Ke sinilah, akan kuantar kalian kepada ibu kalian!” Teriakan ini melengking dan bergema di empat penjuru.

Dugaannya tidak keliru. Dua orang anak itu masih bersembunyi di balik batu-batu karang tidak jauh dari situ. Begitu mendengar seruan itu, mereka mengintai dari balik batu karang dan melihat bahwa yang berteriak dan berada di pantai berpasir hanya laki-laki yang tadi menolong mereka, sedangkan wanita iblis yang menculik mereka tadi sudah tidak tampak lagi. Mereka lalu bergandeng tangan dan berlari keluar menghampiri Aji.

Aji menyambut mereka dengan sepasang lengan dikembangkan dan wajah penuh senyum gembira. Hatinya merasa girang sekali melihat mereka dalam keadaan selamat. Usahanya menolong mereka telah berhasil dengan baik sehingga dia merasakan suatu kegembiraan yang luar biasa. Inilah yang dimaksudkan oleh mendiang Ki Tejobudi saat dia mengatakan bahwa menolong kepentingan orang lain merupakan kebahagiaan yang amat besar.

Dua orang anak itu berlari menghampirinya dan setelah dekat, Aji merangkul kedua orang anak itu.

“Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakangmas kepada kami.” kata anak laki-laki itu.

Aji memandang heran. Dua orang anak itu berpakaian lusuh seperti anak dusun. Dan anak laki-laki itu baru berusia tujuh tahun, akan tetapi cara dia bicara sama sekali bukan seperti anak dusun. Bahasanya demikian teratur dan rapi, juga hormat seperti seorang anak yang berpendidikan. Juga setelah kini dia mengamati, dua orang anak itu berwajah tampan dan manis.

“Adik-adik yang baik, siapakah nama kalian?”

“Nama saya Priyadi dan ini adik saya bernama Wulandari,” jawab anak laki-laki itu.

Aji mengangguk-angguk. Tidak salah dugaannya, mereka bukan anak-anak dusun biasa. Baru nama mereka saja sudah menunjukkan bahwa mereka adalah anak ‘priyayi’. Nama mereka begitu indah.

“Kakangmas yang sudah menyelamatkan kami, siapakah nama andika?” tanya anak laki-laki yang mengaku bernama Priyadi itu.

“Namaku Lindu Aji, sebut saja aku Mas Aji.”

“Mas Aji, di manakah ibuku?” Tanya anak perempuan berusia lima tahun yang bernama Wulandari itu. Anak ini pun tidak pemalu dan kata-katanya juga teratur.

“Dia berada di rumahku. Marilah kuantar kalian menemui ibu kalian,” kata Aji yang segera menggandeng dua orang anak itu kemudian berjalan menuju pulang.....

********************

Sementara itu ibu kedua orang anak yang diculik itu dihibur oleh Warsiyem. Mereka duduk di warung dan wanita itu sudah berhenti menangis setelah dihibur oleh Warsiyem.

Warsiyem melihat bahwa wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang mengenakan pakaian lusuh seperti orang dusun itu sesungguhnya cukup cantik dan berkulit bersih, juga sikapnya tidak seperti orang dusun.

“Tenangkan hatimu, dik. Anakku Aji itu tangkas dan pemberani. Aku percaya dia pasti bisa menemukan dan membawa kembali kedua orang anakmu itu.”

“Mudah-mudahan begitu, mbakyu. Tanpa mereka rasanya aku takkan dapat hidup sendiri. Hanya mereka berdua itulah yang kumiliki,” kata wanita itu sambil menyeka air matanya.

Warsiyem menuangkan air teh. “Minumlah agar hatimu tenang, kemudian ceritakan siapa adik ini kalau tidak keberatan. Adik tentu bukan orang daerah sini dan mengapa adik dapat berada di sini?”

Wanita itu menarik napas panjang lalu menjawab. “Namaku Juminten, mbakyu. Sebaliknya siapakah nama mbakyu yang telah menolongku?”

“Namaku Warsiyem. Suamiku telah tiada, aku tinggal hidup berdua di sini bersama anakku tadi. Dia bernama Lindu Aji.”

“Aku juga seorang janda, mbakyu Warsiyem. Suamiku seorang perwira, meninggal dunia setengah tahun yang lampau karena gugur dalam perang melawan pasukan Giri. Suamiku seorang perwira Mataram dan tadinya kami tinggal di kota raja Mataram. Setelah suamiku gugur, aku hanya hidup bertiga bersama kedua orang anakku, Priyadi dan Wulandari yang diculik orang itu.”

“Wah, kalau begitu engkau adalah seorang priyayi!” Warsiyem berseru. “Suamimu seorang perwira kerajaan Mataram!”

“Ah, tidak juga, mbakyu. Dulu aku hanya seorang gadis dusun, kemudian menikah dengan suamiku yang memang keturunan prajurit Mataram. Jadi kami sama sekali bukan trahing kusumo rembesing madu (berdarah bangsawan), melainkan rakyat biasa saja.”

Mendengar ini Warsiyem tersenyum dan teringatlah dia akan pendapat suaminya tentang kebangsawanan yang disebutnya keturunan ‘menak’.

“Kebangsawanan seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh darah keturunannya, tetapi oleh sepak terjangnya di dalam hidup ini.” Demikian pendapat suaminya.

“Lalu bagaimana engkau sampai meninggalkan kota raja bersama anak-anakmu sehingga terjadi penculikan itu, dik Juminten?”

Janda muda itu menarik napas panjang, lalu mengamati wajah Warsiyem, “Sudah berapa lamakah mbakyu menjadi janda?”

“Hmm, sudah lima tahun lebih, kenapa?”

“Kalau demikian pada saat mbakyu menjadi janda tentu hanya lebih tua sedikit dari pada aku. Mbakyu adalah seorang wanita yang cantik, tentu telah merasakan betapa susahnya menjadi janda, banyak godaan datang mengganggu.”

“Benar sekali, dik Juminten. Memang aku juga pernah mendapat gangguan besar. Tetapi apakah yang telah terjadi denganmu?”

“Sesudah suamiku gugur, ada seorang perwira lain, masih rekan mendiang suamiku, yang menggodaku dan mengejar-ngejar aku, bahkan hendak memaksaku untuk menjadi istrinya yang kedua. Dia mempergunakan segala daya, halus mau pun kasar untuk membujukku. Tetapi aku selalu menolak karena aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi. Tidak ada laki-laki yang akan dapat menggantikan suamiku di dalam hatiku, dan aku bertekad untuk hidup bertiga saja bersama kedua orang anakku. Karena perwira itu nekat hendak memaksaku, maka pada suatu malam aku terpaksa melarikan diri bersama kedua anakku. Kami meninggalkan kota raja.”

“Hemm, laki-laki memang dapat menjadi binatang buas apa bila sudah dikuasai nafsunya yang tergila-gila kepada seorang perempuan. Siapakah nama durjana itu, dik Juminten?”

“Dia bernama Raden Kuncoro, entah radennya asli atau palsu. Dia seorang perwira atasan suamiku dan di kota raja dia memang terkenal sebagai laki-laki mata keranjang. Sesudah melarikan diri keluar kota raja, aku lalu pergi ke dusun tempat kelahiranku di lembah Kali Progo. Akan tetapi sesudah tiba di sana, ternyata kakakku yang merupakan satu-satunya keluargaku telah setahun lebih meninggalkan dusun kami dan tidak ada orang mengetahui ke mana pindahnya. Orang tuaku sudah lama meninggal dunia dan di dusun itu aku tidak mempunyai seorang keluarga pun. Dan celakanya... ah, nasibku sungguh buruk, mbakyu. Di dusun kelahiranku itu, lurah dusun yang tadinya tampak baik dan mau menampungku, ternyata kemudian berniat menjadikan aku istri mudanya. Dia pun hendak menggunakan paksaan sehingga aku melarikan diri dari dusun itu.”

Warsiyem memegang pundak Juminten yang duduk di atas bangku di sebelahnya. “Ahh, kasihan engkau, dik Juminten, digoda banyak laki-laki tanpa ada yang membelamu. Meski pun aku juga digoda laki-laki, akan tetapi selalu ada yang membela. Pertama laki-laki yang kemudian menjadi suamiku, kemudian anakku si Aji itu. Lalu bagaimana, dik Juminten?”

“Berbulan-bulan kami merantau. Semua bekal yang kubawa sudah habis kujual sehingga sering kali kami bertiga kekurangan makanan. Ketika pagi tadi kami tiba di luar dusun ini, kami bertemu dengan seorang wanita cantik yang berpakaian seperti seorang bangsawan. Tadinya dia hendak membeli anak-anakku. Ketika kutolak, dia lantas saja menyambar dan memondong mereka lalu lari ke selatan.“ Juminten terisak lagi, teringat akan kedua orang anaknya.

“Aahh... Priyadi, Wulandari, anak-anakku...”

“Mengapa engkau tidak mengejarnya dan berusaha merampas mereka kembali? Penculik itu kan hanya seorang perempuan seperti kita,” tanya Warsiyem penasaran. Jika dia yang dirampas anaknya seperti itu, tentu dia akan mengamuk dan melawan mati-matian!

“Sambil menahan isak Juminten berkata, “Sudah kukejar, mbakyu, akan tetapi... dia berlari seperti terbang... cepat sekali sehingga sebentar saja aku sudah kehilangan bayangannya. Maka aku lalu berlari memasuki dusun ini dan minta tolong...”

“Jangan khawatir, Aji tentu akan dapat menemukan mereka...” ucapan Warsiyem terputus oleh teriakan suara dua orang anak.

“Ibuuu...!”

“Ibuuu...!”

Dua orang wanita itu terkejut dan menoleh ke luar.

“Anak-anakku...!” Juminten menjerit. Dia cepat-cepat bangkit lalu berlari keluar menyambut kedua anaknya yang juga berlari menghampiri ibunya. Mereka bertemu di pekarangan dan Juminten merangkul kedua anaknya sambil menangis sesenggukan saking bahagianya.

Warsiyem juga turut keluar dan sambil tersenyum dia memandang puteranya yang berdiri dengan pakaian masih basah.

“Mari kita masuk!” ajak Warsiyem kepada Juminten dan kedua orang anaknya. “Mengapa pakaianmu basah semua, Aji?” dia bertanya kepada puteranya.

“Nanti akan kuceritakan di dalam sesudah aku berganti pakaian, ibu. Pakaian adik Priyadi juga basah semua. Biar dia berganti pakaianku agar jangan masuk angin.”

Sesudah Aji berganti pakaian dan Priyadi mengenakan pakaian Aji yang tentu saja terlalu besar untuknya, mereka semua lalu duduk di ruangan dalam. Aji lalu menceritakan semua pengalamannya ketika menolong dua orang anak itu. Dia tidak bercerita banyak mengenai perkelahiannya melawan Nyi Maya Dewi, wanita yang sakti mandraguna itu.

“Perempuan yang menculik dua orang adik itu mengaku dari Pasundan dan bernama Nyi Maya Dewi. Dia tangguh sekali, tetapi untunglah Gusti Allah melindungi aku sehingga aku dapat mengusirnya dan membawa kedua orang adik ini pulang.”

“Apakah engkau kenal dengan wanita bernama Nyi Maya Dewi itu, dik Juminten?” Tanya Warsiyem.

Juminten mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu ia menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak pernah mendengar nama itu, juga belum pernah bertemu dengannya. Tapi mungkin juga dia telah disuruh oleh Raden Kuncoro untuk menculik anak-anakku sehingga dia bisa memaksaku menuruti kehendaknya.”

“Raden Kuncoro? Siapakah dia, bibi?” tanya Aji heran.

Warsiyem lalu menceritakan riwayat Juminten kepada Aji.

Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian dia berkata, “Mungkin saja wanita itu utusan Raden Kuncoro, akan tetapi mengapa dia mengaku datang dari Pasundan? Dan logat bicaranya memang menunjukkan bahwa dia adalah seorang Sunda.”

“Sudahlah, soal itu tidak perlu dipikirkan lagi. Perempuan jahat itu sudah pergi dan anak-anakmu telah selamat, adik Juminten,” kata Warsiyem menghibur ketika melihat Juminten masih menahan isak sambil merangkul kedua anaknya, wajahnya diliputi kegelisahan.

Mendengar kata-kata hiburan ini, Juminten malah menangis tersedu-sedu. Warsiyem dan Aji menjadi bingung, kemudian mereka saling pandang.

“Bibi, ada masalah apa lagi yang menyusahkan hati bibi? Katakanlah, kami akan berusaha membantumu sedapat kami,” kata Aji.

“Benar apa yang dikatakan anakku, dik Juminten. Mengapa engkau masih kelihatan sedih dan khawatir padahal kedua orang anakmu sudah kembali kepadamu dengan selamat?” tanya Warsiyem.

Juminten menyusut air matanya. Sesudah menghela napas panjang berulang kali barulah dia dapat bicara, suaranya lirih penuh kesedihan dan mukanya menunduk.

“Bagaimana saya tidak akan menjadi sedih dan bingung, mbakyu Warsiyem? Kami bertiga tidak punya apa-apa lagi, tidak tahu ke mana harus pergi dan sekarang terancam... Tidak ada sanak saudara yang dapat menolong dan menampung kami... tidak ada orang yang dapat kuharapkan, bahkan Gusti Allah pun agaknya tak sudi mendengar rintihan dan keluh kesah kami...! Mbakyu Warsiyem, ke manakah kami harus pergi?”

Ibu dan anak itu kembali bertemu pandang. Demikian kuat hubungan batin antara ibu dan anak ini, membuat mereka saling peka terhadap satu sama lain. Tanpa bicara pun, melalui pandang mata mereka, keduanya dapat mengerti isi hati masing-masing.

Warsiyem seakan minta pendapat dan persetujuan puteranya dan Aji seakan menyetujui maksud hati ibunya. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk pasrah, nampak sinar mata bangga dalam pandang matanya terhadap ibunya yang dia tahu memiliki hati yang penuh welas asih.

Warsiyem menyentuh pundak Juminten yang masih sesenggukan, kemudian berkata lirih, “Hentikan tangismu dan jangan bersedih atau gelisah lagi, dik Juminten. Aku juga seorang janda, hanya hidup berdua dengan anakku Aji dan rumah kami cukup besar. Kalau engkau mau bekerja sama denganku, membantu aku berjualan nasi dan mengurus rumah tangga, kami dapat menyingget sebuah kamar lagi untuk engkau beserta anak-anakmu dan kalian bertiga boleh hidup dan tinggal bersama kami di rumah ini, tentu saja kalau engkau suka.”

Mendengar ini mendadak Juminten mengangkat mukanya, matanya terbelalak, bergantian memandang ternganga dengan penuh keheranan, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, kemudian mulutnya mewek-mewek menangis lagi. “Kalau aku mau...? Duh, gusti...! Mbakayu Warsiyem... anakmas Aji... apa yang dapat kukatakan?”

Ia memegang tangan kedua anaknya kemudian menyeret mereka sehingga mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan ibu dan anak itu, menyembah-nyembah. “Anakmas Aji telah menyelamatkan anak-anakku... dan sekarang... kalian sudi menerima kami tinggal di sini...? Terima kasih... terima kasih atas pertolongan dan budi kebaikan kalian yang sangat besar...!” Ia menyembah sambil menangis.

Warsiyem merasa terharu dan kedua matanya menjadi basah. Ia cepat membungkuk, lalu merangkul dan menarik Juminten supaya duduk kembali. Juga Aji menarik kedua anak itu yang ikut ibunya menangis karena mereka juga mengerti bahwa mereka sudah mendapat pertolongan sehingga mereka bertiga kini duduk kembali dengan air mata masih mengalir di pipi mereka.

“Dik Juminten, tidak usah berterima kasih kepada kami. Apa yang kami lakukan memang menjadi kewajiban kami. Kukira engkau sendiri pun akan melakukan perbuatan yang sama kalau keadaanmu mengijinkan. Kita manusia memang sudah sepatutnya bila saling tolong menolong, bukan? Kami membantumu memberikan tempat tinggal kepadamu, dan engkau juga membantu kami dalam mengurus rumah tangga ini. Berarti kita saling membantu dan saling menguntungkan. Tapi kita bukan hartawan, maka kita hanya bisa hidup sederhana, dik.”

“Ibu berkata benar, bibi Juminten. Tadi bibi keliru bila mengatakan bahwa Gusti Allah tidak sudi mendengarkan keluh kesahmu. Nah, sekarang berterima kasihlah kepada Gusti Allah, bukan kepada kami, karena sesungguhnya hanya Gusti Allah yang dapat menolong kita semua dan sekarang Gusti Allah telah mengulurkan tanganNya yang suci dan penuh cinta kasih kepada bibi bertiga melalui kami. Kami hanya alat yang kebetulan dipakai oleh Gusti Allah untuk membantu bibi yang berada dalam kesusahan.”

Dengan air mata bercucuran diseling isak Juminten merangkap kedua tangan membentuk sembah di depan dada, kemudian berbisik, “Duh Gusti, hamba menghaturkan terima kasih dan mengucap syukur bahwa pada hari ini Paduka telah mempertemukan hamba dengan manusia-manusia bijaksana ini. Hayo anak-anakku, haturkan terima kasih kepada Bude Warsiyem dan Mas Aji!”

Juminten memberi salam kepada Warsiyem, lalu kepada aji, diikuti kedua orang anaknya.

“Matur sembah nuwun, bude Warsiyem! Matur sembah nuwun mas Aji!” kata mereka.

Aji dan ibunya merangkul kedua orang anak itu. Hati mereka langsung terpikat oleh sikap kedua orang anak yang pandai membawa diri dan sopan santun itu.

Demikianlah, mulai hari itu Juminten dan kedua anaknya tinggal dalam rumah Warsiyem. Aji menggunakan bilik bambu dan membuat sebuah kamar untuk mereka.

Warsiyem memperkenalkan Juminten sebagai adik angkatnya kepada para tetangga. Para penduduk dusun Gampingan, terutama kaum prianya, berbisik-bisik dengan senyum penuh arti bahwa dusun mereka bertambah seorang janda yang masih muda lagi cantik manis!

Ternyata Juminten juga tahu diri. Ia bekerja keras membantu Warsiyem dan semenjak dia tinggal di situ, rumah itu kelihatan lebih terawat dan bersih. Dia pun pandai masak, pandai membuat penganan dan gorengan yang lezat sehingga warung itu menjadi semakin ramai dikunjungi orang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)