ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-11


Apa lagi sekarang di rumah ada Juminten yang membantu ibunya. Bahkan dua orang anak itu pun rajin membantu, menyapu dan membersihkan rumah sehingga dia memiliki banyak waktu untuk bermain-main di pantai berpasir. Selain berlatih silat di pantai yang sunyi itu, juga Aji berlatih renang dan bermain-main dalam air.

Aji terus memperdalam ilmunya sesudah mengalami kekalahan ketika bertanding di dalam air melawan Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa kekalahannya itu karena dia kalah bertahan napas di dalam air. Maka kini hampir setiap hari dia berlatih pernapasan dan melatih paru-parunya untuk menampung hawa sepadat mungkin sehingga dia bisa bertahan lebih lama tanpa bernapas di dalam air.

Pada suatu sore, setelah lelah berlatih silat dan menyelam, Aji merebahkan diri telentang di atas pasir sambil mengeringkan celana pendeknya yang tadi dia kenakan untuk berlatih menyelam dan bermain dengan gelombang lautan. Matahari sudah condong ke barat dan sinarnya tidaklah sekuat siang tadi.

Tiba-tiba matanya tertarik oleh sebuah titik hitam yang melayang-layang di udara. Semakin lama titik hitam itu semakin membesar dan setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ternyata titik hitam itu adalah seekor burung yang amat besar dan gagah sekali. Penduduk di sana menyebutnya alap-alap, semacam burung elang yang bentuknya gagah dan indah sekali kalau melayang dan terbang di angkasa.

Aji memandang dengan kagum sekali. Karena dia rebah telentang, maka dengan enaknya dia dapat mengikuti gerak gerik alap-alap itu. Burung itu terbang berkeliling, lalu semakin menurun ke arah bukit. Aji semakin tertarik. Mungkin burung itu bersarang di bukit karang itu, pikirnya.

Karena dia sudah tidak akan berlatih lagi, tinggal pulang, maka dia pun bangkit dan cepat mendaki bukit sambil terus mengamati alap-alap tadi. Ia ingin mengetahui di mana sarang burung itu. Siapa tahu ada anak-anaknya dan kalau dapat, dia ingin menangkap anaknya untuk dipelihara.

Sesudah dia tiba di sebuah lereng bukit di antara batu-batu karang di bukit itu, dia melihat pemandangan yang sangat menarik hatinya. Seekor burung alap-alap yang besar, sebesar ayam jago, menyambar turun lantas menyerang seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya tidak kurang dari satu meter.

Ular itu mendesis lantas menyambut sambaran alap-alap itu dengan patukan moncongnya yang terbuka lebar. Dengan sangat cepat alap-alap itu mengelak dan menyampok dengan sayapnya sebagai tangkisan lalu menyerang lagi, kini dengan paruhnya yang melengkung dan runcing kuat. Namun dengan gerakan yang lentur kepala ular itu mengelak sehingga serangan paruh itu pun luput. Ular itu membalas menyerang dengan patukan ke arah leher alap-alap sambil mendesis, tetapi alap-alap itu melompat ke atas sambil mengembangkan sayapnya.

Terjadilah perkelahian mati-matian antara ular dan burung alap-alap itu.

Aji menonton sambil bersembunyi di balik batu karang agar tidak membikin takut dua ekor binatang yang tengah berkelahi itu. Tampaknya alap-alap itu menyerang untuk memangsa ular itu, sebaliknya ular itu pun membela diri dan balas menyerang karena burung alap-alap itu pun dapat menjadi mangsanya yang mengenyangkan.

Aji menonton penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. Gerakan dua ekor binatang itu sungguh hebat. Mereka adalah binatang-binatang yang tidak berakal budi, akan tetapi gerakan naluri mereka dalam mempertahankan hidup benar-benar indah dan mengandung kekuatan sepenuhnya. Gerakan itu dapat ditiru dan akan menjadi gerakan silat yang amat tangguh.

Alap-alap itu bergerak dengan tangkas dan garang, serangan paruh dan kedua cakarnya dibantu kibasan sepasang sayapnya membayangkan kelenturan, keluwesan, kelicikan dan menghadapi kekerasan dengan kelenturan yang mematikan. Aji maklum bahwa sekali saja patukan moncong ular itu mengenai leher alap-alap itu, tentu gigitan itu takkan dilepaskan lagi sehingga membahayakan keselamatan nyawa burung itu. Tetapi alap-alap itu sungguh tangkas. Setiap patukan ular itu dielakkan sambil ditangkis dengan kibasan sayapnya yang juga kuat.

Perkelahian mati-matian itu berlangsung sampai setengah jam lebih. Beberapa kali tubuh alap-alap itu terbelit tubuh ular, akan tetapi selalu terlepas lagi karena dengan paruhnya yang kuat burung itu menyerang dan melukai tubuh ular. Tubuh ular itu mulai terluka dan berdarah.

Akhirnya alap-alap itu berhasil mematuk kepala ular dengan paruhnya. Paruh itu bagaikan catut baja yang amat kuat, sekali menangkap kepala ular itu tidak dilepaskannya lagi. Ular mempergunakan tubuhnya untuk membelit tubuh alap-alap dan dihimpitnya. Tetapi burung itu mengguncang-guncang kepala ular yang digigitnya itu dan memukul-mukulnya kepada batu karang yang tajam sehingga kepala ular itu menjadi pecah-pecah berdarah.

Libatan itu semakin mengendur dan akhirnya terlepas dari tubuh alap-alap. Burung itu lalu mencengkeram perut ular itu dengan cakarnya yang runcing tajam, maka matilah ular itu. Burung alap-alap masih mencengkeram tubuh ular dengan kedua cakarnya dan diam tidak bergerak. Agaknya burung itu hendak melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga beru. Kemudian dia mementang sayapnya dan terbang ke atas, membawa bangkai ular dalam cengkeraman kedua kakinya.

Akan tetapi Aji melihat bahwa terbangnya seperti terhuyung-huyung, agaknya beban yang dibawanya terlalu berat baginya. Sesudah terbang tinggi sekali akhirnya Aji melihat betapa burung itu melepaskan bebannya sehingga bangkai ular itu meluncur jatuh ke air laut yang bergelombang. Agaknya burung itu tidak kuat membawa mangsanya yang terlampau besar dan berat.

Perjuangan yang sia-sia, pikir Aji. Akan tetapi dia sudah menyaksikan sebuah perkelahian yang amat hebat. Dia memandang terus sampai burung alap-alap itu terbang jauh menjadi sebuah titik hitam yang lambat laun menghilang.

Aji pulang ke dusunnya. Pikirannya terus membayangkan perkelahian itu. Semalam itu dia mengingat-ingat dan di dalam kamarnya dia menirukan beberapa gerakan alap-alap ketika berkelahi melawan ular. Kedua lengannya bergerak menirukan gerakan sayap burung.

Kadang kala dua tangannya meluncur ke depan dengan serangan tangan terbuka seakan menirukan gerakan paruh alap-alap itu. Juga kedua kakinya menendang-nendang seperti gerakan cakar. Kadang-kadang dia menggerakkan tubuh dengan putaran seperti gerakan burung tadi.

Semenjak itu, ketika bermain di tepi laut Aji bersilat menirukan gerakan burung alap-alap. Dia dapat menirukan dan merangkai gerakan burung itu menjadi gerakan silat, baik untuk menyerang, mengelak, menangkis, memukul atau pun menendang. Begitu pula loncatan-loncatan untuk menghindar dan berbalik menyerang.

Karena dia telah memiliki dasar ilmu silat yang dalam, maka dia bisa merangkai semacam ilmu silat alap-alap yang tangguh. Selain itu dia juga terus melatih diri dengan berenang, menyelam dan bermain di dalam air seperti ikan, berlatih pernapasan sehingga dia dapat lebih lama bertahan di dalam air.

Pada suatu senja Aji masih rebah telentang di atas pasir seperti yang biasa dilakukannya. Sudah hampir enam bulan sejak gurunya meninggal dunia dan dia selalu terkenang akan semua nasihat gurunya. Sebelum wafat gurunya meninggalkan tiga macam pesan.

Pesan yang pertama adalah agar dia mencari putera gurunya yang bernama Sudrajat atau panggilannya Ajat yang ikut dengan ayah tirinya yang bernama Ki Tejo Langit dan hidup di Banten, untuk mengabarkan tentang kematian gurunya itu.

Ada pun pesan kedua dari gurunya adalah supaya dia pergi merantau dan memanfaatkan semua ilmu yang sudah dipelajarinya untuk kepentingan manusia, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela orang-orang yang lemah tertindas dan menentang segala macam kejahatan yang dilakukan orang. Juga agar dia membela nusa bangsa, membela Mataram serta membantu Sultan Agung menghadapi bangsa Belanda.

Kemudian pesan ketiga yang dianggap sangat penting oleh mendiang gurunya, akan tetapi justru inilah yang kadang memberatkan hatinya, yaitu agar dia tidak mendendam terhadap Raden Banuseta, pembunuh ayahnya!

Aji menghela napas panjang. Semenjak gurunya meninggal dunia, sebetulnya hatinya ingin sekali pergi merantau. Dia pun ingin mencari kakak tirinya, putera ayahnya yang bernama Hasanudin, selain untuk mengabarkan mengenai kematian ayahnya, juga untuk membujuk kakak tirinya itu agar tidak membenci ayah mereka.

Telah berbulan-bulan ia menahan keinginannya untuk pergi merantau meninggalkan dusun. Tapi selama ini keinginan itu selalu ditahan-tahannya, bahkan tidak diberi-tahukan kepada ibunya karena dia merasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya hidup seorang diri.

Akan tetapi sekarang ibunya tidak sendirian lagi. Sudah ada bibi Juminten di sana, bahkan ada dua orang anak yang mungil dan rajin, yaitu Priyadi dan Wulandari. Ibunya tidak akan kesepian lagi, bahkan mendapatkan bantuan dari ibu dan dua orang anaknya itu! Maka kini dia dapat pergi merantau, meninggalkan ibunya dengan hati ringan.

Aji yang rebah telentang itu mendadak melihat titik hitam melayang di angkasa. Alap-alap itu! Dengan pandangan matanya dia mengikuti gerakan indah di angkasa. Kini burung itu menukik turun dan melayang lagi berkeliling. Gerakan sayapnya begitu kokoh dan indah, kepalanya mengamati keadaan di bawah, mencari mangsa. Kemudian burung itu terbang ke utara dan menghilang di balik puncak bukit.

Aji merasa kehilangan dan kesepian. Makin mendesak keinginan hatinya untuk merantau, terbang melayang seperti alap-alap itu. Dia bangkit duduk, mengatupkan bibirnya. Hatinya telah mengambil keputusan. Dia akan pergi meninggalkan dusunnya, pergi merantau untuk memenuhi pesan terakhir gurunya. Maka dia pun bangkit, kemudian dengan langkah tegap meninggalkan pantai berpasir dan menuju ke dusun Gampingan, tempat tinggal ibunya.

Ternyata mereka sedang menantinya untuk makan malam. Melihat nasi dan lauk pauknya sudah tersedia di atas meja dan mereka semua belum makan, Aji berkata kepada ibunya, “Ibu, kenapa ibu dan bibi Juminten tidak makan saja dulu?”

“Ah, anak ini! Bagaimana bisa enak makan jika kami meninggalkanmu? Hayo cepat pergi mandi lalu makan bersama!” tegur Warsiyem sambil tersenyum.

Aji cepat membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu mereka makan bersama. Aji, ibunya, Juminten dan dua orang anaknya.

Meski pun lauknya hanya jangan (sayur) asem, sambal terasi dan tempe goreng, mereka makan dengan sedap dan lahapnya. Sesudah makan, minum air kendi juga terasa segar dan sejuk.

Kalau kita tidak dikuasai nafsu angkara murka, maka kita akan selalu dapat menikmati apa yang ada pada kita dan bersyukur atas semua berkah yang dilimpahkan Gusti Allah pada kita. Nafsu akan selalu menggoda kita, menimbulkan keinginan untuk menjangkau yang lebih sehingga apa yang ada pada kita tak akan tampak cukup dan menyenangkan. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih akan melenyapkan kebahagiaan, akan melenyapkan kenikmatan saat ini, akan mendatangkan kekecewaan dan penasaran, dan akan menimbulkan rasa iba diri dan duka. Berbahagialah orang yang bisa menerima dan menikmati segala macam keadaan di mana dirinya berada dan mengucapkan puji syukur atas berkah Yang Maha Kasih.

Kalau kita mengerahkan pandangan kita ke bawah, kita akan melihat betapa banyaknya orang yang keadaannya lebih payah dari pada kita, mereka yang lebih miskin dari pada kita, mereka yang sedang sakit, mereka yang sedang kacau rumah tangganya, mereka yang sedang berduka cita karena kematian atau mengalami musibah. Melihat semua yang berada di bawah kita itu akan menyadarkan bahwa sebenarnya kita sepatutnya memuji syukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah atas segala berkahNya.

Sebaliknya bila kita memandang ke atas, kita akan melihat orang-orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, tampaknya lebih senang dan lebih berbahagia dari pada kita, maka melihat semua yang berada di atas kita itu akan timbul rasa iri hati dan iba diri dan membuat hidup ini tampak mengecewakan.

Kenyataannya adalah, betapa pun tingginya keadaan kita pasti ada yang lebih tinggi, dan bagaimana pun rendahnya keadaan kita pasti ada yang lebih rendah. Orang yang berjalan menunduk akan melihat segala halangan dan rintangan sehingga akan menjadi waspada. Sebaliknya kalau berjalan sambil memandang ke atas, kita akan mudah tersandung dan terjatuh!

Setelah mereka selesai makan dengan nikmatnya karena mensyukuri keadaan seperti apa adanya, Aji mengajak ibunya bicara berdua saja di dalam kamar ibunya. Juminten dan dua orang anaknya berada di serambi depan. Janda yang tahu diri ini sengaja menjauhkan diri agar tidak mengganggu percakapan ibu dan anak itu.

“Ibu tentu masih ingat dengan pesan terakhir mendiang Eyang Guru Ki Tejobudi kepadaku dulu,” Aji memulai.

Warsiyem memandang wajah puteranya. “Pesan mana yang kau maksudkan?”

“Dahulu Eyang guru berpesan agar aku pergi merantau, mencari puteranya yang bernama Sudrajat, kemudian aku harus berjuang membela nusa dan bangsa, membantu Kanjeng Sultan Agung. Juga aku ingin mencari kakak tiriku, putera ayah yang bernama Hasanudin itu.”

Warsiyem mengerutkan alis. “Tapi dia mengancam ayahmu dan hendak membunuhnya!”

“Justru itulah sebabnya kenapa aku ingin menemuinya, ibu. Aku ingin menyadarkan kakak tiriku dari kesalahannya, menyadarkan bahwa ayah tidak bersalah, bahwa ayah terpaksa meninggalkannya karena keadaan yang mendesak.”

Kini Warsiyem mengamati wajah puteranya. jantungnya berdebar tegang. Saat seperti ini memang selalu dikhawatirkannya, saat yang tidak akan mungkin lolos. Suatu saat tentu ia harus bepisah dari puteranya. Kini anaknya sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja ia tidak berhak mengikat anaknya seperti memingit seorang anak perawan.

“Aji..., engkau... engkau akan meninggalkan ibumu ini?” akhirnya ia bertanya lirih.

Aji memandang ibunya hingga keduanya saling bertemu pandang. Aji melihat wajah yang dibayangi kekhawatiran dan kesedihan itu.

“Apa bila ibu mengijinkan...” katanya lirih pula dan Warsiyem melihat betapa kekecewaan besar membayangi wajah puteranya di balik sikapnya yang berbakti kepadanya itu.

“Aji...” Warsiyem mengeluh dan kedua orang ibu dan anak itu saling rangkul.

Sambil memeluk ibunya, Aji berkata, “Sudah berbulan-bulan keinginan yang timbul sejak kematian Eyang Guru ini kutahan, ibu. Bagaimana pun juga aku tidak akan meninggalkan dan membiarkan ibu hidup seorang diri. Akan tetapi sekarang ada bibi Juminten, ada adik-adik Priyadi dan Wulandari...”

Warsiyem merenggangkan diri sambil menyusut air matanya, lalu duduk di atas kursi. Dia sudah tenang kembali. “Engkau benar, anakku,“ katanya sambil tersenyum. “Sekarang di sini ada Juminten beserta anak-anaknya yang menemani aku dan aku merasa berbahagia sekali karena mereka adalah orang-orang yang baik dan telah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Memang engkau harus pergi merantau untuk memenuhi pesan gurumu. Pergilah dengan hati senang, anakku. Aku akan tinggal di rumah bersama adik Juminten dan dua orang anaknya, dan aku akan selalu mendoakan agar engkau selalu mendapat tuntunan dan perlindungan dari Gusti Allah.”

“Terima kasih, ibu. Engkau memang seorang ibu yang paling baik dan bijaksana di dunia ini.” kata Aji yang lalu mencium kedua pipi ibunya.

Mulai sore hari itu Aji bersiap-siap. Ibunya sengaja membuatkan beberapa pakaian baru untuk Aji dan menyerahkan semua simpanan uang yang ada kepada puteranya itu untuk bekal dalam perjalanan.

Tiga hari kemudian Aji berkemas hendak berangkat. Dia menggendong pakaiannya yang dibuntal sarung, disampirkan di belakang pundaknya.

“Ibu, aku berangkat, ibu. Mohon doa restu.” kata Aji sambil mencium tangan ibunya.

Warsiyem memaksa diri tersenyum walau pun air matanya menetes-netes. Dia merangkul dan mencium dahi puteranya itu.

“Aji, berhati-hatilah, nak. Jangan lupa untuk pulang. Ibu selalu menunggu kedatanganmu,” katanya lirih.

“Bibi, tolonglah bibi menjaga dan menemani ibuku agar dia tidak kesepian,” kata Aji sambil berpamit kepada wanita itu.

“Jangan khawatir, anak-mas Aji. Aku sudah menganggap ibumu sebagai kakakku sendiri,” kata Juminten.

“Priyadi, engkau adalah satu-satunya laki-laki di rumah ini. Jadilah seorang anak laki-laki yang jantan. Sementara aku pergi, gantikanlah aku untuk menjaga ibuku dan ibumu, juga adikmu,” Aji lalu mencium pipi Wulandari dan dia pun segera berangkat.

Warsiyem, Juminten, Priyadi beserta Wulandari mengantar sampai pintu gerbang dusun itu. Mereka baru kembali ke rumah sesudah bayangan Lindu Aji tidak nampak lagi karena menghilang di sebuah tikungan jalan, tertutup pohon-pohon.....

********************

Setelah berusaha dan melakukan perang selama belasan tahun sejak memegang tampuk kerajaan Mataram, akhirnya Sultan Agung berhasil menaklukkan daerah Jawa Timur dan Madura. Hanya Blambangan saja yang belum berhasil ditundukkan. Daerah terakhir yang ditundukkan adalah Surabaya, kemudian Giri.

Namun demikian, sesuai dengan politiknya yang ingin mempersatukan semua daerah dan menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utamanya, yaitu Kumpeni Belanda, Sultan Agung sama sekali tidak menghukum para adipati dan bupati daerah-daerah yang sudah ditundukkan itu. Dia menghendaki agar daerah-daerah itu dapat membantu Mataram untuk menghadapi Kumpeni Belanda.

Oleh karena itu setelah menundukkan Madura dia lalu mengangkat putera Bupati Arisbaya yang bernama Praseno untuk menjadi adipati yang meminpin seluruh Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat, berkedudukan di Sampang. Demikian pula sesudah Sultan Agung menundukkan Surabaya yang dipimpin adipatinya, Pangeran Pekik, dia tetap mengangkat Pangeran Pekik menjadi Adipati Surabaya, bahkan menikahkan Pangeran Pekik dengan puterinya, yakni Ratu Wandansari. Juga ketika berhasil menundukkan Sunan Giri, Sultan Agung tetap mengijinkannya untuk memimpin Giri, hanya tidak lagi bergelar Sunan, tetapi Panembahan Giri saja.

Semua ini membuktikan bahwa Sultan Agung bukan hendak memperluas kekuasaannya, melainkan ingin mempersatukan seluruh daerah yang semenjak jaman eyangnya menjadi raja Mataram, yakni Panembahan Senopati, sudah menjadi daerah kekuasaan Mataram. Penyatuan seluruh daerah ini sangat penting untuk menyusun kekuatan guna menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang berpusat di Jayakarta, yang kini disebut Batavia oleh orang Belanda.

Demikianlah, perang antara bala tentara Mataram melawan para penguasa daerah sudah padam. Kecuali Blambangan, semua daerah telah ditundukkan. Perang selesai dan rakyat pun hidup aman kembali. Beberapa tokoh daerah yang tak mau tunduk kepada Mataram terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan.

Di antara para tokoh yang melarikan diri ke Blambangan ini, yang tak mau tunduk kepada Mataram meski pun penguasa daerahnya sudah menakluk, adalah Ki Harya Baka Wulung. Dia adalah seorang tokoh sakti yang dikenal sebagai datuk di Madura. Kini usianya sudah hampir tujuh puluh tahun namun semangatnya menentang Mataram masih amat kuat.

Sesudah mati-matian membantu kadipaten Madura ketika melawan pasukan Mataram dan akhirnya pasukan Madura kalah, Ki Harya Baka Wulung segera mengungsi ke Surabaya. Ketika Surabaya jatuh, dia melarikan diri ke Giri. Di sana dia turut membantu Sunan Giri ketika Giri diserbu bala tentara Mataram. Akan tetapi Giri jatuh pula dan kembali Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, kini dia mengungsi ke Blambangan.

Dengan tubuh tuanya yang kelelahan, lelah lahir batin dan dengan hati yang mengandung dendam kebencian kepada Mataram, Ki Harya Baka Wulung memasuki daerah Kadipaten Blambangan. Meski seluruh Madura sudah takluk kepada Mataram, tetapi dia pribadi tidak sudi tunduk. Di dalam hatinya ada dendam sakit hati pribadi terhadap kerajaan Mataram, setelah putera tunggalnya tewas dalam perang terhadap Mataram.

Kini harapan satu-satunya hanya pada Kadipaten Blambangan, karena adipatinya belum takluk kepada Mataram dan di sana terdapat seorang sahabat baiknya, yaitu Wiku Menak Kuncar, datuk kenamaan di Blambangan.

Ki Harya Baka Wulung adalah kakek berusia hampir tujuh puluh tahun. Dia bertubuh tinggi besar kokoh kuat seperti raksasa, rambut dan kumis jenggotnya yang kaku seperti kawat itu sudah berwarna dua, matanya lebar dan liar.

Ketika dia memasuki Blambangan, melangkah kelelahan dengan kepala menunduk, tidak ada orang yang memperhatikannya. Dengan terhuyung-huyung karena kelelahan, Ki Harya Baka Wulung memasuki pekarangan sebuah rumah gedung yang berdiri di pinggiran kota raja. Rumah itu berdiri agak terpencil dan keadaannya sunyi sekali. Pekarangan, kebun di kanan kiri dan belakang rumah itu, luas dan ditanami bermacam sayuran.

Ketika dia memasuki pekarangan, tampak seorang laki-laki setengah tua segera berlarian menyambutnya. Lelaki berusia lima puluh tahun ini berpakaian seperti seorang petani dan sebetulnya dia bekerja di situ sebagai tukang kebun.

Melihat pendatang itu adalah seorang kakek yang masih asing baginya, tukang kebun itu lalu bertanya, “Ki sanak, siapakah andika dan apakah maksud kunjungan andika ke sini?”

Ki Harya Baka Wulung adalah seorang yang berwatak keras kaku dan dulu di Madura dia biasanya sangat dihormati orang. Bahkan Adipati Madura sendiri sangat menghormatinya. Semua bangsawan di Madura takut dan hormat kepadanya.

Kebiasaan ini membentuk watak keras dan tinggi hati kepadanya. Karena itu, biar pun kini dalam keadaan lari mengungsi dan sengsara, ketika ditegur seorang tukang kebun seperti itu dia menjadi marah. Seorang tukang kebun sudah bersikap tidak hormat kepadanya!

“Hmm, apakah Wiku Menak Koncar berada di rumah?” tanyanya sambil menahan amarah.

“Ada, sang Wiku berada di rumah. Siapakah andika dan ada keperluan apa?”

“Hemm, laporkan saja kepada Wiku Menak Koncar bahwa Ki Harya Baka Wulung datang berkunjung!” katanya agak menghardik karena kesabarannya hampir habis.

Tukang kebun itu mengerutkan alisnya sambil menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin, Ki sanak. Kalau hari senja begini Sang Wiku sedang bersamadhi, sama sekali tidak berani mengganggunya.”

Ki Harya Baka Wulung menjadi marah sekali, “Cerewet benar kau ini! Sudahlah, biar aku yang masuk dan mencarinya!” Dia lalu melangkah lebar menuju ke serambi rumah, walau pun langkahnya agak terhuyung karena dia memang sudah lelah sekali.

Akan tetapi tukang kebun yang setia itu melompat dan berdiri menghadang di depan kakek itu. Sebagai seorang Blambangan asli, tukang kebun ini pun memiliki watak keras, apa lagi kesetiaannya menuntut dia untuk membela majikannya.

“Nanti dulu! Jika hendak menghadap Sang Wiku, harus sabar menanti dulu di sini sampai beliau selesai bersamadhi. Tidak boleh sembarangan memasuki rumah mengganggu Sang Wiku!”

“Hemm, siapa yang melarang?!” hardik Ki Harya Baka Wulung.

“Sayalah yang melarang!” kata tukang kebun itu, sikapnya benar-benar menantang dan dia membusungkan dadanya di depan Ki Harya Baka Wulung.

“Hemm, keparat!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu menyambar ke depan.

Tukang kebun itu agaknya juga pernah mempelajari ilmu kanuragan. Dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Namun agaknya dia memandang rendah kepada penyerangnya yang sudah tua renta dan melangkahkan kaki pun sudah terhuyung-huyung itu. Dikiranya dengan tangkisannya itu dia akan mampu membuat kakek itu terpelanting.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan kakek itu. Seluruh tubuhnya terasa panas seperti dibakar dan tubuhnya terlempar sejauh dua tombak lantas terbanting keras ke atas tanah sampai kepalanya terasa amat pening dan pinggulnya yang membentur tanah berdenyut-denyut nyeri sekali! Dia mencoba bangkit dan merangkak.

“Tolol, kalau aku tidak ingat bahwa engkau adalah pembantu Wiku Menak Koncar, tentu sekarang engkau sudah menjadi mayat!” kata ki Harya Baka Wulung.

Pada saat itu dari pintu serambi rumah itu muncul seorang kakek yang usianya juga sudah hampir tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang sedang dan banyak keriput itu berwarna hitam seperti arang. Pakaiannya sangat mewah seperti seorang bangsawan. Matanya agak sipit dan hidungnya pesek, bibirnya tebal sehingga muka itu tampak menyeramkan. Akan tetapi suaranya tinggi seperti suara wanita ketika dia berkata.

“Hei, Jaris, ada apakah ini?” Dia melangkah keluar lalu memandang kepada tukang kebun yang masih belum dapat bangkit berdiri.

Tukang kebun yang namanya Jaris itu menoleh kepada Ki Harya Baka Wulung, kemudian menuding dengan telunjuk kanannya tanpa berani bicara karena merasa takut. Sekarang dia baru menyadari bahwa kakek tua renta raksasa itu ternyata adalah seorang yang sakti mandraguna.

Kakek berkulit hitam arang itu menoleh dan memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Setelah saling tatap sejenak kakek itu melebarkan matanya yang sipit lalu berseru dengan kaget dan girang.

“Kakang Harya Baka Wulung! Andikakah ini?” teriaknya sambil bergegas melangkah maju.

“Adi Wiku Menak Koncar, aku datang untuk minta bantuanmu!” Ki Harya Baka Wulung berseru sambil mengembangkan kedua lengannya. Mereka berpelukan dan Wiku Menak Koncar, kakek berkulit hitam itu, menggandeng tangan sahabatnya.

“Ahh, sahabatku. Berita dari Giri sudah sampai ke sini. Kami ikut prihatin. Mari masuk, kita bicara di dalam.”

Mereka berdua lalu memasuki rumah itu.

Tukang kebun itu akhirnya dapat bangkit berdiri. Dia menggaruk-garuk kepalanya dan dia bersyukur bahwa dia masih hidup. Sekarang tahulah dia bahwa kalau saja tamu tadi tidak bersahabat baik dengan Sang Wiku, tentu dia sudah mati.

Ucapan kakek tadi bukan sekedar omong kosong. apa lagi setelah dia melihat sikap Sang Wiku terhadap kakek itu. Dia pun pergi ke belakang dengan jalan agak terpincang karena pinggulnya masih terasa nyeri. Dia harus cepat-cepat menyuguhkan minuman untuk tamu terhormat itu, untuk menebus kesalahan sikapnya tadi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)