ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-12


Melihat keadaan sahabatnya, Wiku Menak Koncar hanya tersenyum dan mendiamkannya saja, tidak mengganggu karena dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang menghimpun hawa murni dan memulihkan tenaganya. Sudah lama sekali dia menjadi sahabat baik Ki Harya Baka Wulung, bahkan beberapa tahun yang lampau mereka berdua bersama Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti Kerajaan Banten, bekerja sama menentang Mataram untuk membela Surabaya.

Ketika itu daerah-daerah lain di Jawa Timur kecuali Surabaya, Giri dan Blambangan, telah jatuh ke tangan Mataram. Mereka bertiga bersama tokoh-tokoh dari Madura, Blambangan, dan Banten membantu Surabaya, namun jatuh juga karena Pangeran pekik bersikap lunak dan Pangeran Pekik sebagai Adipati Surabaya akhirnya malah menjadi menantu Sultan Agung. Setelah Surabaya jatuh, Ki Harya Baka Wulung melarikan diri ke Giri, Wiku Menak Koncar kembali ke Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa juga kembali ke Banten.

Wiku Menak Koncar yang berada di Blambangan sebagai penasihat Adipati Blambangan mendengar akan jatuhnya Giri di tangan Sultan Agung. Dia ikut prihatin namun tidak dapat berbuat sesuatu. Maka dia menyambut dengan girang ketika tanpa diduga-duga Ki Harya Baka Wulung muncul di pekarangan rumahnya. Dia dapat melihat keadaan sahabatnya itu dan tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung sedang dalam keadaan lelah lahir batin. Maka dia lantas pergi menemui para abdinya dan memerintahkan mereka mempersiapkan hidangan makanan.

Melihat Ki Harya Baka Wulung sudah menghentikan usahanya untuk memulihkan tenaga dan membuka mata, Wiku Menak Koncar lalu mengajaknya makan bersama.

“Kita makan dulu, baru nanti bercakap-cakap.” katanya.

Ki Harya Baka Wulung mengangguk dan mereka makan bersama. Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang lebih luas dan lebih sejuk karena bagian depan ruangan itu terbuka sehingga hawa udara dari luar dapat masuk dengan bebas.

Mereka duduk di atas kursi, saling berhadapan menghadapi sebuah meja yang di atasnya tergantung sebuah lampu yang cukup terang.

“Aku sudah mendengar bahwa akhirnya Giri jatuh juga ke tangan Sultan Agung, Kakang Harya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah Kanjeng Sunan Giri seorang yang sakti mandraguna? Bahkan andika pun berada di sana membantunya?”

Ki Harya Baka Wulung menghela napas dan mengepalkan tinju kanannya dengan gemas. “Menyebalkan sekali, Adi Wiku! Sebetulnya pasukan Mataram dan Surabaya tak mungkin dapat mengalahkan Giri. Tetapi Sultan Agung licik sekali! Dia mengangkat puterinya, Ratu Wandansari, menjadi senopati. Begitu menghadapi musuh seorang puteri, Kanjeng Sunan Giri menjadi lemah, apa lagi kalau mengingat bahwa puteri itu telah menjadi istri Pangeran Pekik, muridnya yang tersayang. Lagi pula Pangeran Pekik memihak Sultan Agung yang telah menjadi mertuanya. Ah, aku merasa menyesal sekali dan dendam pribadiku terhadap Sultan Agung semakin mendalam. Karena itulah maka aku datang mengunjungimu, Adi Wiku. Aku ingin minta bantuanmu untuk membalas dendam kepada Sultan Agung!”

“Akan tetapi bagaimana caranya, Kakang Harya? Kedudukan Mataram semakin kuat dan Kadipaten Blambangan belum siap untuk melakukan serangan ke sana. Kami di sini hanya memperkuat diri untuk melakukan penjagaan dan pertahanan saja.”

“Adi Wiku, asalkan andika mau membantuku, tentu kita akan dapat mencari jalan. Marilah andika membantuku dan kita berangkat ke Madura. Aku akan membujuk Anakmas Raden Praseno yang kini diangkat oleh Sultan Agung menjadi Adipati Madura dan berkedudukan di Sampang. Dia adalah muridku, tentu dia mau mendengar bujukanku untuk memberontak terhadap kekuasaan Mataram, membalaskan kekalahan lima kabupaten Arisbaya, Balega, Pamekasan, Sumenep dan Sampang.”

Wiku Menak Koncar mengerutkan keningnya. Dia berpikir sejenak kemudian mengangguk-angguk. “Kukira rencanamu itu cukup baik, Kakang Haryo. Apa bila seluruh kabupaten di Madura benar-benar serentak bangkit dan melawan, kami dari Blambangan akan mengirim bala bantuan dan dengan mempersatukan tenaga, kurasa kita akan mampu mengalahkan Mataram.”

“Kalau begitu, andika mau membantuku, Adi Wiku?”

Wiku Menak Koncar mengangguk, “Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya. Biar kusuruh mempersiapkan perahu yang baik, besok kita akan berangkat setelah menghadap Adipati Blambangan.”

Harya Baka Wulung menjadi girang bukan main. Semangatnya bangkit kembali karena kini muncul harapan baru yang memberi jalan baginya untuk membalaskan dendamnya kepada Mataram.

Pada keesokan harinya mereka menghadap Adipati Blambangan yang segera menyatakan persetujuannya mengenai rencana dua orang datuk itu. Sesudah itu berangkatlah mereka berdua, berperahu melalui selat Bali terus ke utara kemudian menyeberangi selat Madura menuju ke Sampang.

Ki Harya Baka Wulung adalah guru dari Raden Praseno yang sekarang menjadi adipati di Madura bergelar Pangeran Cakraningrat. Tentu saja kedatangan kedua datuk itu diterima dengan hormat oleh sang adipati. Juga Pangeran Cakraningrat menerima Wiku Menak Koncar dengan hormat. Dia sudah mengenal baik kakek itu, apa lagi Wiku Menak Koncar membawa salam dari Adipati Blambangan.

Untuk menghormati kedua orang datuk itu, Pangeran Cakraningrat mengadakan perjamuan makan. Sesudah perjamuan selesai mereka lalu bercakap-cakap di dalam sebuah ruangan tertutup sebab ketika perjamuan tadi Ki Harya Baka Wulung minta kepada bekas muridnya itu untuk membicarakan urusan penting secara rahasia. Sesudah mereka bertiga duduk di ruangan tertutup, Ki Harya Baka Wulung menceritakan rencananya, mengajak sang adipati untuk menghimpun kekuatan seluruh kabupaten di Madura untuk memerangi Mataram.

“Jangan khawatir, Anakmas Adipati, Sang Adipati Blambangan juga sudah siap membantu gerakan kita. Kalau seluruh kekuatan di Madura dihimpun, kemudian dibantu oleh pasukan Blambangan, mustahil kita tidak mampu mengalahkan Mataram.” Ki Harya Baka Wulung menutup bicaranya.

Sejak tadi Pangeran Cakraningrat hanya mendengarkan saja. Walau pun hatinya merasa terkejut bukan main, namun dia bersikap tenang dan hanya mendengarkan sampai bekas gurunya itu berhenti bicara. Setelah itu barulah dia berkata.

“Akan tetapi, Bapa Guru, itu berarti pemberontakan terhadap Mataram! Tak mungkin saya memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung! Beliau tidak bermaksud untuk menguasai Madura, melainkan hendak mempersatukan semua daerah untuk menghadapi Kumpeni Belanda. Untuk mempersatukan seluruh Madura beliau malah mengangkat saya menjadi Adipati Madura. Bagaimana sekarang Bapa Guru menganjurkan saya untuk memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung?”

“He-heh-heh!” Ki Harya Baka Wulung memaksa diri tertawa sungguh pun di dalam hatinya dia marah sekali mendengar ucapan bekas murid yang kini menjadi adipati itu. “Anakmas Praseno! Semuanya itu hanyalah siasat licik Sultan Agung saja! Lupakah anakmas betapa banyaknya sanak keluarga kita yang tewas ketika Mataram datang menyerbu? Bukankah banyak para paman dan saudara anakmas yang juga terbunuh? Sultan Agung mengangkat anakmas sebagai adipati hanya supaya anakmas melupakan semua itu! Lain waktu kalau saatnya tiba, tentu anakmas yang akan dibunuhnya. Lebih baik kita mendahului dari pada didahului oleh raja Mataram yang kejam itu!”

Pangeran Cakraningrat menghela napas panjang. “Bapa Guru, urusan ini bukanlah urusan kecil dan sepele, tetapi harus dipikirkan masak-masak dan disepakati oleh semua bupati. Saya kira tidak ada bupati yang akan menerima dan menyetujui pemberontakan ini, Bapa Guru. Maafkan saya, saya tidak mau menyengsarakan rakyat Madura dengan peperangan lain. Kanjeng Sultan Agung bukanlah musuh kita, tetapi pemimpin kita untuk menghadapi keserakahan Kumpeni Belanda.”

Bukan main marahnya hati Harya Baka Wulung mendengar kata-kata bekas muridnya itu. Dia masih mencoba untuk membujuk, dibantu oleh Wiku menak Koncar, namun kesetiaan Pangeran Cakraningrat terhadap Sultan Agung sama sekali tidak goyah. Dengan perasaan putus asa dan marah Ki Harya Baka Wulung segera mengajak Wiku Menak Koncar untuk meninggalkan Sampang.

“Bagaimana kalau kita mencoba untuk membujuk Pangeran Pekik, adipati di Surabaya?” Wiku Menak Koncar berkata kepada Ki Harya Baka Wulung ketika perahu mereka sudah meninggalkan pantai Madura dan memasuki selat Madura.

Ki Harya Baka Wulung yang wajahnya kelihatan muram itu menjawab kesal. “Pangeran Pekik? Seperti mengharapkan matahari bersinar di malam hari! Tak mungkin sama sekali! Setelah dia menikah dengan Ratu Wandansari dan menjadi menantu Sultan Agung, mana mungkin dia diajak memberontak terhadap mertuanya?”

“Kalau begitu apa yang akan andika lakukan sekarang, Kakang Harya? Kalau sudah tidak ada sesuatu lagi yang dapat kubantu, kurasa lebih baik aku kembali saja ke Blambangan,” kata Wiku Menak Koncar.

“Nanti duku, Adi Wiku,” kata Ki Harya Baka Wulung.

Dia tampak mengerutkan alis, termenung dan mengolah otaknya. Kemudian dia mengepal tangan kanannya dan memukul pahanya sendiri. “Ah, inilah jalan yang terbaik! Kita harus dapat memberikan pukulan yang tepat sekali untuk menghancurkan hati Sultan Agung dan melemahkan kedudukannya, merenggangkan hubungan Mataram dengan Surabaya dan Giri! Dengan demikian kita dapat membalas dendam kepada Sultan Agung!”

“Bagaimana caranya?” tanya Wiku Menak Koncar, ingin tahu sekali.

“Kita harus membunuh Ratu Wandansari!”

“Membunuh Ratu Wandansari? Mengapa? Dan apa untungya bagi kita?”

“Adi Wiku, jatuhnya Surabaya dan Giri adalah karena puteri Sultan Agung itu. Pangeran Pekik menjadi lemah dan perlawanannya langsung berhenti karena dia dinikahkan dengan Ratu Wandansari. Kemudian Giri jatuh sesudah Ratu Wandansari yang menjadi senopati memimpin pasukan menyerbu Giri. Sekarang hubungan antara Surabaya dengan Mataram menjadi kuat karena ada Ratu Wandansari dan Giri juga tunduk karena melihat Surabaya juga tidak memusuhi Mataram lagi. Nah, jika Ratu Wandansari dibunuh, selain hati Sultan Agung menjadi hancur karena kehilangan puterinya yang amat dikasihinya, juga Pangeran Pekik tidak terikat dengan Mataram lagi. Sesudah itu tentu Surabaya dan Giri siap untuk menentang Mataram. Bukankah siasat ini baik sekali?”

Wiku Menak Koncar mengangguk-angguk sambil memandang kepada sahabatnya dengan kagum. “Hebat! Siasat itu memang sangat bagus, Kakang Harya. Tetapi bagaimana kita akan dapat membunuh Ratu Wandansari? Ia adalah seorang wanita sakti mandraguna.”

Ki Harya Baka Wulung tersenyum lebar. “Aku tahu bahwa Ratu Wandansari adalah murid mendiang Bhagawan Sindusakti yang dahulu menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo. Akan tetapi betapa pun saktinya, tidak mungkin dia dapat mengalahkan andika atau aku, apa lagi kalau kita berdua maju bersama melawannya.”

“Akan tetapi, Kakang Harya. Dia sudah menjadi istri Pangeran Pekik. Tentunya dia berada di istana Kadipaten Surabaya dan terjaga kuat. Bagaimana kita dapat mendekatinya, apa lagi membunuhnya?”

“Inilah yang harus kita selidiki dulu, Adi Wiku. Kita menyelidik ke Surabaya dan begitu ada kesempatan barulah kita bertindak. Bagaimana? Apa andika masih mau membantuku?”

“Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya.”

“Bagus, terima kasih, Adi Wiku.”

“Tidak perlu berterima kasih. Jika usaha kita berhasil berarti suatu keuntungan besar pula bagi Kabupaten Blambangan.”

Mereka lalu memerintahkan para anak buah untuk mengarahkan perahu ke Surabaya.....

********************

Setelah meninggalkan dusun Gampingan, Aji berhenti di persimpangan jalan. Dia meragu sejenak karena merasa bingung harus mengambil jurusan mana. Biar pun dia mengemban tugas untuk mencari putera mendiang gurunya yang berada di Banten, yaitu daerah yang menurut gurunya berada jauh di barat, juga keinginannya untuk mencari Hasanudin putera ayahnya mengharuskan dia pergi ke daerah Galuh di utara lalu ke barat, tapi keinginannya merantau dapat dilakukan ke arah mana saja.

Tiba-tiba saja dia teringat akan burung alap-alap yang sering dilihatnya di atas pantai Laut Kidul. Teringat akan ini, langkahnya membawanya ke selatan, ke arah laut.

Tak lama kemudian Aji telah berdiri di atas pantai berpasir, memandang ke arah laut yang begelombang. Ombak besar bergulung-gulung, memanjang bagaikan naga. Kepala ombak yang putih itu berkejaran, lalu bertumbukan dan pecah menimbulkan suara menggelegar. Air laut bergerak dan bergelora, siang malam tak pernah berhenti.

Aji menengadah. Dia memandang ke angkasa dan mencari-cari. Mendadak dia tersenyum dan matanya bersinar-sinar karena dia melihat apa yang dicarinya. Titik hitam melayang-layang di antara awan itu.

Alap-alap Laut Kidul, begitulah nama yang dia berikan kepada burung yang sudah menjadi kesayangannya itu. Titik hitam itu semakin membesar, semakin turun hingga akhirnya dia dapat melihat dengan jelas. Alap-alap yang gagah perkasa, melayang-layang berputaran seolah-olah menyambutnya. Kemudian burung itu terbang pergi ke arah timur.

Aji mengangguk-angguk. “Baiklah, Alap-alap Laut Kidul, aku akan mengikuti ke arah mana engkau terbang!” katanya.

Burung itu seolah memberi petunjuk kepadanya bahwa dia harus memulai perantauannya ke arah timur. Maka mulailah Aji dengan perjalanannya.

Dia menuju ke timur. Naik turun bukit-bukit yang seolah tiada habisnya itu. Dari ketinggian bukit-bukit itu kadang kala dia dapat melihat Laut Kidul. Dari jauh tampak tenang membiru. Diam dan tenang. Padahal dia tahu benar bahwa laut itu tidak pernah diam.

Berhari-hari Aji melakukan perjalanan melalui Pegunungan Kidul atau Pegunungan Seribu yang memanjang dari barat ke timur itu. Pada waktu malam dia bermalam di dusun yang dilewatinya, kadang-kadang terpaksa harus bermalam di sebuah goa yang gelap.

Beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah dusun di tepi pantai. Dusun Wonocolo yang terletak di pantai teluk Panggul. Karena pada waktu itu hari sudah menjelang senja, maka Aji mengambil keputusan untuk bermalam di dusun itu.

Pada waktu dia memasuki dusun itu, tiba-tiba tampaklah olehnya seekor burung alap-alap melayang-layang di angkasa. Aji merasakan jantungnya berdebar gembira. Entah kenapa, setiap kali melihat burung alap-alap terbang di angkasa, penglihatan itu begitu akrab dalam hatinya. Penglihatan yang tidak asing, seakan-akan yang melayang-layang itu adalah alap-alap yang dulu juga, yang suka melayang di atas pantai berpasir di sebelah selatan dusun tempat lahirnya, alap-alap yang dulu dilihatnya berkelahi melawan ular dan memenangkan perkelahian itu. Alap-alap yang dengan perkelahian itu sudah mengajarkan ilmu tata kelahi yang baru kepadanya. Dan sekarang alap-alap itu terbang pergi menuju ke utara! Seolah menjadi pertanda baginya bahwa perjalanan selanjutnya adalah utara.

Demikianlah, sesudah menginap selama satu malam di rumah seorang petani tua di dusun Wonocolo itu, pada keesokan harinya Aji melanjutkan perjalanannya. Kini dia melakukan perjalanan ke arah utara! Dia merasa dirinya adalah seekor burung alap-alap yang terbang bebas di udara, menuju ke mana pun hati dan kakinya membawanya.

Beberapa hari kemudian sampailah dia di daerah Caruban. Pada saat itu matahari sedang panas-panasnya dan tepat berada di atas kepala.

Aji melepas lelah sambil duduk di bawah sebatang pohon dadap. Tempat itu sejuk sekali karena terlindung banyak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Agaknya dia telah tiba di jalan raya yang membentang dari timur ke barat. Simpang tiga itu berada di daerah berhutan dan keadaan di situ sepi, agaknya jauh dari dusun. Padahal perutnya sudah terasa lapar. Dia harus bisa menemukan sebuah dusun untuk dapat memperoleh makanan.

Tiba-tiba dia mendengar suara orang dari arah timur. Dia menoleh dan tak lama kemudian dari jalan yang menikung itu muncul tujuh orang laki-laki yang sedang berjalan menuju ke barat. Entah mengapa timbul perasaan curiga dan tidak enak dalam hati Aji ketika melihat tujuh orang laki-laki itu. Maka dia cepat bersandar ke batang pohon itu dan memejamkan kedua matanya, pura-pura tertidur.

Dengan sedikit membuka matanya, melalui bulu matanya dia bisa memperhatikan mereka. Yang paling menarik perhatiannya adalah dua orang kakek yang berjalan di depan dalam rombongan tujuh orang itu.

Seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambut dan brewoknya kaku seperti kawat dan sudah berwarna dua. Matanya lebar dan liar. Kepalanya memakai kain pengikat kepala wulung. Sungguh pun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, kakek yang tampak gagah dan kokoh kuat ini membawa sebatang keris dengan warangka dan gagang terukir indah, terselip di pinggangnya.

Kakek kedua yang berjalan di samping kakek pertama juga menarik perhatian Aji. Kakek ini usianya sebaya dengan kakek petama. Tubuhnya berukuran sedang, tapi kulitnya amat menarik perhatian karena kulit itu hitam bukan main seperti arang. Pakaiannya mewah dan wajahnya buruk dengan mata yang sipit, hidung yang pesek dan bibir yang tebal. Kakek ini membawa sebatang senjata ruyung atau penggada yang tergantung di pinggang kirinya.

Meski pun tubuhnya tidak sekokoh kakek pertama, akan tetapi kakek yang kedua ini juga menunjukkan kegagahan. Sikap serta pandang mata dua orang kakek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini memperlihatkan bahwa mereka ‘berisi’, yakni dua orang yang mempunyai kesaktian.

Lima orang laki-laki yang berjalan di belakang mereka juga merupakan orang-orang yang bersikap gagah. Usia mereka mulai empat puluh sampai lima puluh tahun dan Aji melihat keanehan pada pakaian mereka.

Lima orang itu mengenakan baju dan celana hitam. Mereka membiarkan baju itu terbuka di bagian dada dan celana hitam mereka sampai di bawah lutut. Yang menarik adalah ikat pinggang mereka. Ikat pinggang itu merupakan kolor yang besarnya hampir sama dengan lengannya, panjangnya hampir menyentuh tanah dan warnanya bermacam-macam.

Aji belum pernah keluar dari dusun tempat lahirnya. Paling jauh dia hanya pergi ke pinggir laut dan sama sekali belum berpengalaman. Maka dia sama sekali tidak tahu bahwa lima orang itu adalah para warok, yaitu jagoan dari daerah Ponorogo.

Dalam perjalanannya beberapa hari yang lalu, ketika melewati Ponorogo dia juga melihat banyak kaum pria yang berpakaian seperti lima orang itu, akan tetapi karena tidak pernah terjadi sesuatu maka dia pun tidak tahu siapa mereka. Dia sama sekali tak mengira bahwa mereka adalah para jagoan dan kolor yang besar itu merupakan senjata mereka yang amat ampuh.

Ketika rombongan itu sampai di dekat tempat Aji bersandar pada batang pohon, dua orang kakek itu menghentikan langkah mereka. Lima orang itu pun segera berhenti dan mereka mengamati Aji dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar kakek berkulit hitam arang itu berkata dengan suara tinggi seperti suara wanita.

“Ah, buat apa memperhatikan dia? Dia hanya seorang bocah yang kelelahan dan mungkin kelaparan. Ayo kita jalan terus. Kita harus mencari tempat yang baik untuk menghadang.” Logat bicara kakek itu terdengar aneh bagi Aji, tapi dia masih bisa mengerti artinya. Tujuh orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka.

Hati Aji sudah tergerak dan dia tertarik sekali. Sikap mereka itu tidak seperti orang-orang biasa yang kebetulan lewat di jalan ini. Pasti mereka punya niat tertentu. Kakek hitam tadi berbicara tentang penghadangan! Jangan-jangan mereka punya niat buruk terhadap orang yang akan dihadang!

Sesudah rombongan itu menghilang di tikungan jalan, Aji cepat bangkit lalu menggendong lagi buntalan pakaiannya. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk membayangi rombongan itu dari jarak agak jauh sambil bersembunyi di balik pepohonan. Setelah sampai di bagian hutan yang lebat, tujuh orang itu berhenti lalu mereka berpencar, bersembunyi di balik pohon besar atau semak-semak sehingga tidak tampak dari jalan.

Melihat ini berdebar rasa jantung Aji. Dugannya tidak keliru. mereka itu tentu berniat buruk terhadap orang yang hendak mereka hadang. Dia pun bersembunyi di balik semak belukar lalu melakukan pengintaian. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar.

Seperti diketahui, dua orang datuk dari Madura dan Blambangan ini telah gagal membujuk Pangeran Cakraningrat untuk memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung tidak putus asa. dendamnya terhadap Mataram sedemikian besarnya sehingga dia tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam.

Dia berhasil membujuk Wiku Menak Koncar supaya membantunya mencari kesempatan untuk membunuh Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau istri Pangeran Pekik dalam usahanya membalas kematian anaknya. Dengan membunuh Ratu Wandansari, dia dapat menghancurkan hati Sultan Agung sekaligus merenggangkan hubungan antara Mataram dengan Surabaya dan Giri.

Beberapa lamanya mereka menanti dan mengintai kesempatan dan sekarang kesempatan itu tiba! Dari beberapa orang anak buah yang mereka sebar di Kadipaten Surabaya untuk melakukan penyelidikan, mereka mendengar bahwa pada hari itu Ratu Wandansari akan melakukan perjalanan menuju Mataram, hanya seorang diri tanpa Pangeran Pekik. Seperti biasa, puteri yang digdaya, sakti mandraguna dan memiliki kelebihan ini dapat melindungi diri sendiri.

Mendengar berita ini Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar menjadi amat girang. Saat yang ditunggu-tunggu selama berpekan-pekan itu akhirnya tiba juga. Kesempatan itu akhirnya terbuka.

Mereka segera mendahului perjalanan sang puteri dan di daerah Madiun mereka berhasil menemui lima orang warok bersaudara yang terkenal sebagai Lima Macan Nganjuk. Lima orang jagoan bersaudara ini berasal dari Ponorogo dan dahulu pernah memperdalam aji kanuragan dari Ki Harya Baka Wulung sehingga mereka boleh disebut murid-murid datuk ini.

Walau pun mereka tidak menyerap seluruh kepandaian Ki Harya Baka Wulung melainkan hanya memperdalam ilmu mereka sendiri menurut petunjuk datuk itu, namun hal ini sudah cukup untuk membuat mereka menaati perintah Ki Harya Baka Wulung yang mereka anggap sebagai guru mereka. Ketika datuk itu minta bantuan mereka, dengan senang hati lima orang warok itu menyanggupi dan berangkatlah mereka bersama dua orang datuk itu, mencari tempat penghadangan yang baik di dalam hutan daerah Caruban.

Demikianlah, pada siang hari itu mereka menanti dan menghadang di dalam hutan sambil bersembunyi. Mereka telah memperhitungkan dengan seksama bahwa kereta sang puteri akan lewat di tempat itu pada siang hari ini. Mereka tahu dengan pasti bahwa perhitungan mereka tidak akan meleset, bahkan Ki Harya Baka Wulung telah menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan berhasil membalas dendam kematian puteranya!

Kurang lebih satu jam kemudian terdengarlah derap kaki kuda dan roda kereta datang dari arah timur. Aji yang berada di sebelah timur gerombolan yang menghadang kereta itu bisa melihat lebih dulu rombongan yang datang dari arah timur itu.

Sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda berjalan di depan, kusirnya seorang laki-laki setengah tua yang mengenakan pakaian khas sais kadipaten. Yang duduk di dalam kereta itu tidak nampak dari luar karena tirai pintu kereta itu tertutup.

Di belakang kereta terdapat dua belas orang prajurit yang menunggang kuda. Rombongan itu berjalan sedang saja, tampaknya tidak tergesa-gesa. Mungkin perjalanan itu dilakukan dengan lambat agar kereta tidak terlalu terguncang.

Aji memandang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia tidak tahu siapakah yang berada dalam kereta, akan tetapi dapat menduga bahwa mungkin sekali rombongan inilah yang dihadang oleh tujuh orang itu. Bagaimana pun juga hatinya merasa agak lega melihat bahwa kereta itu dikawal dua belas orang prajurit berkuda yang kelihatan gagah dan kuat. Dengan hati-hati dia menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk mendekat agar dapat melihat lebih jelas.

Ternyata perhitungan Ki Harya Baka Wulung dan kawan-kawannya tidak salah. Memang Ratu Wandansari yang berada dalam kereta yang dikawal selosin prajurit itu.

Siang itu hawanya panas bukan main dan perjalanan jauh itu amat melelahkan, maka Ratu Wandansari yang duduk di dalam kereta itu mengantuk dan melenggut. Sedikit pun dia tak merasa khawatir akan menemui halangan dalam perjalanan. Ia adalah puteri Sultan Agung dan istri Pangeran Pekik. Siapa yang akan berani mengganggunya? Lagi pula, andai kata ada yang begitu berani mengganggu, di situ ada selosin prajurit pilihan yang mengawalnya dan dia sendiri tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun.

Tiba-tiba saja sais kereta menahan empat ekor kuda penarik kereta. Karena dia menarik kendali secara mendadak, maka kereta berhenti dengan tiba-tiba pula dan hal ini membuat Ratu Wandansari tersentak bangun dari keadaan setengah tidur.

Dua belas orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka lantas berlari ke depan kereta untuk melindungi sang puteri. Mereka melihat tujuh orang tiba-tiba berloncatan dari kanan kiri jalan dan berdiri menghadang dengan sikap mengancam.

Aji sudah menyelinap cukup dekat dan dia menonton dengan hati tegang. Dia menghadapi pertentangan dan mungkin pertempuran dua pihak yang tidak dikenalnya, tidak tahu siapa di antara kedua pihak itu yang benar atau salah, siapa yang harus dibantu atau ditentang.

Perwira pasukan pengawal itu, seorang laki-laki tinggi tegap berkumis tebal seperti Raden Gatutkaca, menghadapi tujuh orang itu dan berkata dengan suara lantang berwibawa,

“Siapa kalian yang berani mati menghadang perjalanan rombongan kami?! Apakah kalian tidak tahu siapa yang berada dalam kereta? Beliau adalah Gusti Ratu Wandansari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung, garwa (istri) Pangeran Pekik Adipati Surabaya!”

“Heh-heh-heh-heh, perwira precil (anak katak)! Apakah matamu sudah buta sehingga tidak mengenal lagi siapa kami berdua?” Ki Harya Baka Wulung membentak sesudah tertawa mengejek.

Sementara itu dalam pengintaiannya Aji terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan perwira itu bahwa yang berada di dalam kereta ternyata adalah Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau istri Pangeran Pekik. Nama-nama ini sudah didengarnya baik-baik dari mendiang gurunya. bahkan gurunya juga memberi-tahu kepadanya bahwa yang namanya Ratu Wandansari itu adalah puteri Sultan Agung yang di samping sangat cantik juga sakti mandraguna walau pun kesaktiannya tentu saja belum dapat menyamai kesaktian Sultan Agung sendiri.

Dan mendiang gurunya dulu memesan agar dia mengabdi dan membantu Sultan Agung. Dengan sendirinya sekarang dia harus pula membantu Ratu Wandansari kalau sekiranya puteri itu membutuhkan bantuan. Sekarang dia tahu di pihak siapa dia harus berdiri.

Kini perwira pasukan pengawal itu agaknya baru mengenal dua orang datuk yang dahulu pernah membantu Pangeran Pekik pada saat Surabaya berperang melawan Mataram. Dia segera memberi hormat dengan membungkuk, lalu berkata kaget dan heran.

“Ah, kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak Koncar! Maafkan kalau tadi saya tidak mengenal paman berdua. Akan tetapi apa kehendak paman menghadang perjalanan kami yang mengawal Gusti Puteri Wandansari?”

“Sudah, cepat minggirlah! Kami tidak mau bicara dengan orang-orang kecil macam kalian! Minggirlah! Kami hendak bicara langsung dengan puteri Wandansari!” kata Ki Harya Baka Wulung dengan lagak angkuh.

Pada saat itu tirai kereta itu tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita dari dalam kereta. Aji memandang dengan mata terbelalak kagum. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang wanita yang demikian anggun.

Usianya sekitar tiga puluh tahun, pakaiannya indah, tubuhnya ramping padat. Kepala dan tubuhnya tegak ketika dia berdiri sehingga terlihat gagah dan berwibawa. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sepasang matanya sangat tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Sebatang pedang dengan sarung berukir indah tergantung di punggungnya, membuat wanita itu tampak semakin gagah.

Selama ini Aji hanya bertemu dengan wanita dusun yang sederhana, maka tentu saja kini merasa seolah-olah sedang bermimpi dan bertemu dengan seorang puteri kahyangan atau bertemu dengan tokoh Srikandi, wanita perkasa dalam cerita wayang.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)