ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-13
“Heh-heh-heh-heh, Ratu Wandansari! Andika harus mati di tanganku untuk menebus dosa ayahmu, Sultan Agung!” Setelah berkata demikian Ki Harya Baka Wulung memberi isyarat kepada lima orang warok yang sudah siap siaga.
Lima orang warok itu memegangi kolor mereka, lantas memutar senjata itu dan menerjang maju. Akan tetapi perwira yang memimpin pasukan pengawal tidak tinggal diam saja. Dia meneriakkan aba-aba dan para prajurit segera menyambut terjangan lima orang warok itu dengan menggunakan pedang mereka. Memang pengawal-pengawal yang terdiri dari tiga belas orang termasuk perwira tadi adalah pasukan pengawal istimewa yang bersenjatakan pedang. Mereka rata-rata pandai bersilat pedang dan tangguh sekali sehingga para warok itu bertemu dengan lawan yang cukup tangguh.
Melihat ini Wiku Menak Koncar mengambil ruyungnya, kemudian dengan penggada ini dia membantu lima orang warok menghadapi pengeroyokan para prajurit pengawal.
“Ratu Wandansari, bersiaplah untuk mati di tanganku!” Dia membentak sambil melompat ke hadapan puteri itu.
“Harya Baka Wulung, keparat kau! Dahulu kanjeng rama masih mengampunimu, tidak membunuhmu dan membiarkan engkau lari dari Surabaya bersama Wiku Menak Koncar. Kemudian pada saat aku memimpin pasukan menundukkan Giri, aku juga tidak menyuruh pasukan menangkapmu, melainkan membiarkan engkau melarikan diri mengingat engkau seorang tua yang dihormati di Madura! Tapi hari ini engkau bertindak khianat dan curang, menghadangku di tengah hutan! Jangan kau kira bahwa aku takut menghadapimu!”
“Babo-babo! Baru puas rasa hatiku jika sudah dapat membunuhmu!” teriak Ki Harya Baka Wulung sambil menyerang dengan tusukan kerisnya. Serangannya ini dahsyat bukan main karena tenaga tusukannya diperkuat tenaga sakti, didorong gerengan seperti seekor katak buduk.
Akan tetapi dengan gerakan tangkas sekali Ratu Wandansari telah melompat ke belakang dan begitu tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu dia sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengkilap. Ki Harya Baka Wulung kembali menerjang, dia menyerang dengan kerisnya. Sekali ini Ratu Wandansari menggerakkan pedangnya menangkis.
“Wuuuutttt...! Tranggg...!”
Pedang bertemu keris. Bunga api berpijar menyilaukan mata akibat benturan dua senjata yang didorong tenaga sakti dahsyat itu sehingga membuat sang puteri terhuyung mundur ke belakang. Ternyata dia masih kalah kuat! Tetapi gerakannya trengginas sekali sehingga ketika Ki Harya Baka Wulung kembali mendesak, dia sudah dapat mengendalikan diri dan mempergunakan kegesitannya untuk menghindarkan serangan susulan.
Mulailah puteri perkasa ini bersilat dengan ilmu pedang Kartika Sakti, sebuah ilmu pedang yang amat ampuh, yang dipelajarinya dari mendiang Resi Limut Manik, pertapa di puncak Semeru. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara Ki Harya Baka Wulung melawan Ratu Wandansari.
Sebenarnya sang puteri masih kalah dalam hal tenaga sakti dan pengalaman bertanding, akan tetapi karena dia memiliki ilmu pedang yang amat ampuh itu, maka untuk sementara dia mampu mengimbangi serangan datuk dari Madura itu.
Aji menonton pertempuran dengan hati tegang. Dia melihat betapa tiga belas orang prajurit, dibantu pula oleh sais kereta yang ternyata juga seorang yang digdaya, mempergunakan cambuknya sebagai senjata, tapi tetap saja mereka kewalahan menghadapi Wiku Menak Koncar dan lima orang warok. Terutama sekali sepak terjang Sang Wiku yang amat hebat. Penggada di tangannya itu benar-benar ampuh. Setiap kali ada prajurit berani menangkis sambaran ruyungnya tentu prajurit itu segera terpental dan terpelanting!
Juga amukan lima orang warok itu amat ganas. Untung bahwa para prajurit itu merupakan pasukan yang dapat bekerja sama dengan baik karena telah terlatih sehingga mereka bisa saling bantu dan sebegitu lama masih sanggup menandingi amukan Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu.
Akan tetapi menurut pandangan Aji, bila pertempuran itu dilanjutkan akhirnya para prajurit tentu akan kalah. Begitu pula sang puteri, agaknya akan sulit mengalahkan kakek tinggi besar yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk keluar membantu puteri itu. Gurunya pernah menasihatinya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain karena banyak juga pendekar atau kesatria yang merasa tidak senang dibantu dalam perkelahian, apa lagi kalau dia belum terancam oleh lawan.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan lantang dan penuh daya getaran. Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar mulai mengeluarkan ilmu mereka yang dahsyat. Dengan tubuh direndahkan Datuk Madura itu mengembangkan kedua lengannya lalu mendorong ke depan. Dari gerakannya itu tiba-tiba saja tampak asap hitam mengepul tebal menyerang ke arah sang puteri. Itulah Aji Kukus Langking yang amat hebat.
Ratu Wandansari adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Ia segera maklum akan bahayanya serangan yang menggunakan tenaga sakti dan kekuatan sihir itu. Ia pun cepat mengerahkan tenaga sakti kemudian mendorong dengan kedua tangannya, menggunakan Aji Gelap Musti.
“Aji Kukus Langking...!” Ki Harya Baka Wulung berseru sambil memperkuat tenaga.
“Aji Gelap Musti!” Ratu Wandansari juga berteriak melengking.
Dua tenaga sakti bertemu dan akibatnya, sang puteri terdorong ke belakang dengan tubuh terhuyung-huyung. Jelas bahwa dia kalah kuat dalam pertandingan adu tenaga sakti tadi. Sementara itu dalam saat yang hampir bersamaan Wiku Menak Koncar juga mendorong kedua tangannya ke depan sambil berseru nyaring.
“Aji Bayu Bajra...!” Begitu dia berseru dan kedua tangannya mendorong.
Muncullah angin yang sangat kuat menyambar ke arah para prajurit pengawal. Demikian kuatnya dorongan angin ini sehingga lima orang prajurit segera terpelanting dan terguling-guling! Tentu saja rekan-rekannya menjadi panik sehingga mereka terdesak mundur.
Melihat Ratu Wandansari terhuyung, Ki Harya Baka Wulung menjadi girang bukan main. Tibalah saatnya bagi dia untuk membunuh sang puteri. Dia sudah menyarungkan kerisnya kemudian melompat ke depan, berjongkok dan mendorongkan kedua tangan ke arah Ratu Wandansari sambil mengeluarkan bunyi dari dalam perutnya yang menjadi gendut sekali itu.
“Kok-kok-kok...!” nyaring sekali dan mulutnya kembali berteriak lantang.
“Aji Cantuka Sakti...!”
Melihat hawa pukulan menyambar dahsyat, Ratu Wandansari kembali menyambut dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tubuhnya masih terhuyung.
“Wuuuutttt...! Blarrrr...!”
Tubuh Ki Harya Baka Wulung terpental ke belakang. Dia terbelalak kaget melihat betapa pukulan mautnya tadi disambut sepasang tangan yang amat kuat. Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang petani dusun berdiri di depannya. Akan tetapi pemuda yang tadi menangkis pukulannya itu seperti tidak mempedulikannya. Pemuda itu bahkan menghadapi Ratu Wandansari dan berkata dengan sikap hormat.
“Maafkan kalau saya mengganggu dan terpaksa mencampuri, Gusti Puteri. Tidak mungkin saya membiarkan kakek itu membunuh paduka.”
Ratu Wandansari memandang heran dan kagum, kemudian dia melirik ke arah pasukan pengawal yang terdesak oleh Wiku Menak Koncar dan lima orang warok, sesudah datuk Blambangan itu mengeluarkan ajinya yang mendatangkan angin kuat.
“Ki sanak, andika berani melawan Ki Harya Baka Wulung?” tanyanya cepat.
“Saya berani!” jawab Aji.
“Kalau begitu, wakili aku dan lawanlah. Aku harus membantu pasukan pengawal.”
“Silakan, Gusti Puteri!” kata Aji dengan nada suara gembira.
Ratu Wandansari mengangguk, kemudian dia memutar pedangnya dan menerjang ke arah Wiku Menak Koncar yang sedang dikeroyok perwira pasukan pengawal, sais kereta serta beberapa orang prajurit. Sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar itu sangat mengejutkan Wiku Menak Koncar sehingga dia terpaksa memutar ruyungnya untuk melindungi dirinya.
Ki Harya Baka Wulung marah bukan main ketika mengenal Aji sebagai pemuda yang tadi dilihatnya tidur bersandar di batang pohon. Dia sudah gagal membunuh Ratu Wandansari karena dihalangi dan ditangkis pemuda ini!
“Heh, bocah keparat! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?”
Pada saat itu entah kenapa Aji teringat kepada alap-alapnya. Mungkin karena dia merasa gugup berhadapan dengan keadaan yang menegangkan seperti itu, juga karena dia tidak ingin memperkenalkan diri. Dia merasa keadaannya seperti alap-alap itu, maka begitu saja keluar pengakuan dari mulutnya.
“Aku? Aku Alap-alap dari Laut Kidul!” Dia sendiri terkejut dan heran atas pengakuannya, akan tetapi juga geli sendiri sehingga dia tersenyum memandang kepada Ki Harya Baka Wulung.
Datuk Madura itu mengerutkan kedua alisnya. Dia menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihir pada pandang mata dan dalam suaranya. Matanya mencorong menatap wajah Aji lalu terdengar suaranya menggelegar.
“Orang muda! Aku Ki Harya Baka Wulung adalah sesembahanmu! Lekaslah berlutut dan menyembahlah kepadaku!”
Bentakan ini mengandung kekuatan sihir yang amat kuat. Lawan biasa saja pasti tak akan kuat bertahan sehingga terpaksa menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Akan tetapi Aji sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek ini sakti mandraguna, maka sejak tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala macam penyerangan. Begitu merasa adanya daya kekuatan di dalam sinar mata kakek itu, dia sudah cepat melindungi dirinya dengan Aji Tirta Bantala. Dengan ilmu ini dirinya mempunyai sifat seperti tirta (air) dan bantala (tanah) yang dapat menerima dan menyerap segala macam serangan tanpa perlawanan. Serangan itu akan lewat begitu saja.
“Orang tua, sesembahanku hanya Gusti Allah. Orang yang mengandalkan ilmunya untuk melakukan kejahatan tidak patut dihormati. Sadarlah, sadarlah dan hentikan perbuatanmu yang sesat!”
Ki Harya Baka Wulung kaget sekali. Sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda itu! Padahal pemuda itu tidak melakukan apa-apa untuk menangkis serangan sihirnya. Belum pernah dia menghadapi lawan seperti ini. Apakah kekuatan sihirnya yang sudah punah?
Ia berkemak-kemik membaca mantera, lalu membentak kembali, “Orang muda, kedukaan hebat mencengkeram hatimu, menangislah engkau!”
Akan tetapi pemuda itu malah tersenyum geli. “Orang tua, apakah engkau sudah menjadi pikun? Ataukah pikiranmu sudah tidak waras lagi?”
Wajah Ki Harya Baka Wulung menjadi merah sekali karena malu dan terutama karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia segera berjongkok lalu menyerang dengan dorongan pukulan kedua telapak tangannya sambil membentak.
“Aji Cantuka Sakti...!”
Dari perutnya terdengar bunyi nyaring. Serangkum hawa panas yang berbau amis segera menyambar keluar dari kedua telapak tangannya dan menyerang ke arah Aji.
Biar pun dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam perkelahian, namun Aji sudah sering kali mendengar penjelasan dari mendiang gurunya, maka dia selalu waspada. Maka ketika kakek itu melancarkan pukulannya, dia sudah bergerak cepat dan mengelak dengan gerakan seperti seekor kera karena memang dia telah memainkan ilmu silat Wanara Sakti.
Melihat pukulan mautnya luput, Ki Harya Baka Wulung menjadi penasaran dan mendesak terus dengan serangkaian serangan dahsyat. Tubuhnya meloncat-loncat dalam kedudukan berjongkok dan setiap kali memukul, dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka dan dari perutnya keluar suara berkokok nyaring.
Aji mempergunakan kecepatan gerakannya untuk selalu menghindar. Kadang-kadang dia membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga sakti Aji Surya Candra yang kuat. Dari sambaran angin pukulan berupa tamparan ini, maklumlah Ki Harya Baka Wulung bahwa tamparan pemuda itu pun ampuh sekali maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan ilmu kebalnya.
Terjadi pertandingan yang hebat antara kedua orang ini. Kakek itu bergerak seperti seekor katak raksasa dan Aji bergerak lincah tiada ubahnya seekor kera, atau seperti tarian Sang Hanoman Si Kera Putih dalam kisah Ramayana.
Ilmu Wanara Sakti yang diajarkan oleh mendiang Ki Tejobudi kepada Aji lebih merupakan ilmu silat untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan lawan. Ilmu ini memang amat ampuh untuk menyelamatkan diri karena gerakannya yang gesit sekali dan penuh dengan gerakan menghindar sehingga sukar sekali terkena serangan lawan. Akan tetapi ilmu silat ini kurang ampuh dalam penyerangan, hanya berupa tamparan-tamparan yang dilakukan cepat pula, ini pun tidak mengesampingkan daya pertahanannya. Kalau saja tamparan itu tidak disertai Aji Surya Chandra, tentu hanya merupakan tepukan main-main saja.
Namun melihat kenyataan betapa dengan ilmu silatnya ini dia dapat membela diri dengan baik, Aji merasa gembira sekali. Tak disangkanya bahwa ilmunya ini dapat dia pergunakan untuk menandingi orang yang sakti mandraguna seperti kakek itu. Timbul kegembiraannya dan dia lalu mencoba untuk memainkan ilmu silat yang dirangkainya sendiri berdasarkan gerakan burung alap-alap dan ular ketika kedua binatang itu berkelahi.
Dia segera mengubah gerakan kera menjadi gerakan alap-alap dan ular yang selain kuat dalam bertahan juga kuat pula dalam serangan. Bagaikan ular menggeliat dan kadang kala seperti gerakan alap-alap terbang meliuk, dia dapat menghindarkan serangan-serangan Ki Harya Baka Wulung.
Tiba-tiba saja Aji mengeluarkan pekik yang ditirunya dari suara alap-alap ketika melayang-layang di atas Laut Kidul dan tubuhnya yang meliuk ke kiri menghindarkan pukulan lawan kemudian mendadak melompat seperti terbang ke atas!
Datuk Madura itu terkejut sekali. Dia masih berjongkok akan tetapi tidak lagi mengerahkan tenaga sakti Cantuka Sakti yang membuat dia lelah bukan main. Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri dan memandang ke atas, dia melihat pemuda itu sudah menukik ke bawah bagaikan seekor alap-alap (elang) menyambar ke arah kepalanya! Kedua tangan pemuda itu menyerang dengan membentuk cakar, mencengkeram ke arah kedua pelipis kepalanya!
Ki Harya Baka Wulung mengenal serangan maut ini. Karena serangan itu datangnya cepat sekali, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut serangan itu dengan kedua tangannya pula.
“Wuuuttt...! Plakkk!”
Dua pasang tangan itu saling bertemu di udara. Tetapi pada saat itu kaki Aji yang tadinya ada di atas itu turun dan dengan kecepatan kilat kedua kakinya menghantam kakek yang berdiri di bawahnya.
“Dessss...!”
Ki Harya Baka Wulung berteriak mengaduh dan tubuhnya terjengkang keras lalu terbanting ke atas tanah. Tetapi dia memang tangguh. Dia bergulingan lalu melompat bangkit berdiri lagi. Sekilas pandang tahulah dia bahwa keadaan teman-temannya juga dalam bahaya.
Wiku Menak Koncar repot menghadapi Ratu Wandansari yang dibantu perwira pengawal, sais kereta dan dua orang prajurit pengawal. Datuk Blambangan itu hanya dapat memutar ruyungnya untuk menangkis serangan lima orang pengeroyoknya itu tanpa sempat balas menyerang lagi.
Juga lima orang warok itu kini tinggal tiga orang, yang dua orang sudah roboh. Tiga orang warok itu menghadapi pengeroyokan enam orang prajurit yang juga telah kehilangan empat orang rekan mereka yang sudah roboh dalam pertempuran itu.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bahkan membahayakan dirinya sendiri itu, Ki Harya Baka Wulung maklum bahwa usahanya membunuh Ratu Wandansari telah gagal. Bahkan kalau dia tidak cepat melarikan diri, bukan mustahil kalau dia yang akan terbunuh. Ratu Wandansari dan pasukannya itu sudah tangguh sekali, kini ditambah lagi munculnya pemuda yang mengaku sebagai Alap-alap Laut Kidul dan yang ternyata sakti mandraguna ini, maka keadaan pihak musuh terlalu kuat baginya.
Melihat Ki Harya Baka Wulung dapat dirobohkan oleh sebuah jurus dari gerakan alap-alap yang berupa tendangannya tadi, Aji menjadi girang sekali. Tetapi kakek itu bangkit kembali dengan cepat, maka dia pun segera melangkah cepat menghampiri.
Namun tiba-tiba saja Ki Harya Baka Wulung mempergunakan Aji Kukus Kangking. Begitu kedua tangannya bergerak mendorong, asap hitam tebal lantas mengepul dan menyerang ke arah Aji. Pemuda ini cepat menghindar ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan Ki Harya Baka Wulung untuk melompat dan melarikan diri, menghilang dalam hutan yang lebat. Dia tidak mempedulikan lagi teman-temannya yang masih bertempur! Dia tidak ingat lagi atau tidak mau peduli bahwa Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu bertanding mati-matian untuk membantunya!
Wiku Menak Koncar sedang terdesak hebat. Ilmu Pedang Kartika Sakti yang dimainkan Ratu Wandansari memang ampuh sekali, apa lagi sang puteri ini dibantu perwira dan sais yang memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi, ditambah pula dua orang prajurit pengawal.
Kalau saja sang puteri itu maju sendiri, tentu dia masih sanggup menandinginya. Kini dia terdesak hebat dan menjadi bingung. Apa lagi sesudah dia melihat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri begitu saja tanpa mempedulikan dirinya!
Tiga orang warok yang juga dikeroyok dan didesak tiba-tiba berturut-turut roboh. Sekarang tinggal dia seorang diri!
Wiku Menak Koncar mengeluarkan gerengan yang mengandung getaran hebat sehingga empat orang yang membantu Ratu Wandansari yang mengeroyoknya terhuyung-huyung ke belakang. Hanya sang puteri yang mampu bertahan terhadap serangan daya suara itu. Wiku Menak Koncar tidak berpikir panjang lagi. Dia sudah amat lelah dan panik, maka dia menggunakan kesempatan ini untuk melompat dan melarikan diri.
“Jahanam, hendak lari ke mana kau?!” bentak Ratu Wandansari dan dia memainkan jurus serangan terakhir dari ilmu pedang Kartika Sakti.
Dia mengerahkan tenaganya dan dengan suara bentakan dia melontarkan pedangnya ke arah tubuh Wiku Menak Koncar yang melarikan diri. Bagai sebatang anak panah terlepas dari busurnya pedang itu meluncur cepat sekali dan tepat mengenai punggung kakek itu.
“Cappp...!”
Pedang itu menusuk hingga setengahnya. Tubuh Wiku Menak Koncar roboh menelungkup dan tidak bergerak lagi.
Ratu Wandansari cepat melompat ke dekat mayat itu. Dia mencabut pedangnya kemudian membersihkan pedang itu dengan mengusap-usapkan pada pakaian lawannya yang telah tewas. Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Ratu Wandansari menyapu keadaan di sekitarnya dengan pandang matanya.
Dia melihat betapa selain Wiku Menak Koncar, lima orang warok itu pun sudah roboh dan tewas. Sedangkan di pihaknya, empat orang prajurit tewas dan dua orang lainnya terluka. Kemudian dia memandang ke arah Lindu Aji yang masih berdiri memandang ke arah para korban dengan mata terbelalak.
Aji merasa kagum sekali kepada sang puteri, akan tetapi juga merasa ngeri. Baru dua kali selama hidupnya dia melihat orang terbunuh. Pertama kali ketika tiga orang penjahat yang mengganggu ibunya dikeroyok penduduk dusun lantas dipukuli sampai mati dengan tubuh hancur. Ketika itu pun dia sudah merasa ngeri. Dan sekarang, dia melihat sepuluh orang tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Pada saat itu dia menoleh ke kiri dan bertemu pandang dengan Ratu Wandansari! Sinar mata wanita itu demikian tajam penuh wibawa sehingga Aji segera menundukkan pandang matanya karena merasa rikuh.
Ratu Wandansari melangkah menghampiri Aji. Sesudah saling berhadapan dan melihat pemuda itu menundukkan mukanya, wanita itu lalu berkata, “Ki sanak, aku amat berterima kasih kepadamu yang sudah membantuku menghadapi musuh yang berniat membunuhku. Kalau tidak ada andika yang membantu, kukira kami semua telah tewas oleh orang-orang jahat itu.”
Aji teringat akan semua nasihat mendiang gurunya. Dia memberi hormat dengan sembah, lalu berkata, “Yang menolong paduka dan kita semua adalah Gusti Allah, dan kita semua hanya berusaha untuk menjalankan kewajiban kita masing-masing sebaik mungkin, Gusti Puteri.”
Ratu Wandansari melebarkan sepasang matanya yang jeli. Dia merasa heran bukan main karena mendengar ucapan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang berpakaian begitu sederhana.
“Anda tahu siapa aku, ki sanak?”
“Saya sempat mendengar percakapan tadi. Saya tahu bahwa paduka adalah Gusti Puteri Ratu Wandansari, puteri Kanjeng Gusti Sultan Agung dan garwa Adipati Surabaya.”
Ratu Wandansari tersenyum manis sekali. Cara bicara pemuda itu yang demikian teratur menunjukkan bahwa dia tahu tata susila dan dari logat bicaranya dia bisa menduga bahwa pemuda itu berasal dari daerah selatan.
“Kalau andika sudah tahu siapa aku, lalu kenapa andika membantuku menghadapi orang-orang yang memusuhiku tadi?” ia sengaja memancing.
“Mendiang bapa dan terutama sekali mendiang eyang guru saya pernah berpesan supaya saya membela Mataram dan membantu Kanjeng Gusti Sultan Agung. Oleh karena paduka adalah puterinya, maka tanpa ragu-ragu lagi saya membantu paduka. Apa lagi karena dari pecakapan tadi saya menganggap bahwa kakek tadi yang jahat.”
“Hmmm, begitukah? Lalu, siapa mendiang bapamu dan mendiang eyang gurumu itu? Dan siapa pula andika?”
Biar pun hatinya ingin mengatakan bahwa dia adalah ‘Alap-alap Laut Kidul’, akan tetapi dia tidak berani main-main di depan puteri itu. “Mendiang bapa saya bernama Harun Hambali dan mendiang eyang guru saya bernama Ki Tejobudi...”
“Ki Tejobudi? Hmmm... kami pernah mengenal nama Resi Tejo Wening, Kyai Tejo Langit, dan bukankah Ki Tejobudi itu masih saudara seperguruan mereka?”
Aji mengangguk. “Mendiang eyang guru pernah bercerita tentang Eyang Resi Tejo Wening dan Eyang Kyai Tejo Langit.”
“Bagus sekali kalau begitu. Andika murid seorang yang sakti mandraguna. Dan siapakah nama bapamu tadi? Harun Hambali? Hmm, seperti nama orang dari daerah Pasundan.”
Aji kagum akan pengetahuan sang puteri yang amat luas itu.
“Benar sekali, Gusti Puteri. Memang mendiang bapa berasal dari Galuh.”
“Dan andika sendiri, siapakah nama andika?” Tanya sang puteri sambil mengamati wajah pemuda itu penuh perhatian.
“Nama saya Lindu Aji.”
“Lindu Aji? Nama yang aneh akan tetapi bagus sekali.” Ratu Wandansari lalu menghadapi perwira pasukan pengawal yang menghampirinya dan memberi hormat kepadanya.
“Gusti Puteri, apakah yang harus hamba lakukan dengan mayat-mayat itu? Kami menanti perintah.”
“Engkau bersama sisa anak buahmu tinggal di sini. Urus mereka semua. Kubur baik-baik semua jenasah, kemudian pulanglah ke Surabaya dan laporkan kepada suamiku tentang apa yang terjadi di sini. Aku akan melanjutkan perjalanan ke Mataram bersama sais dan pemuda ini.”
Dia lalu menghampiri Aji. “Lindu Aji, maukah andika mengawal aku sampai ke Mataram? Tadi andika mengatakan hendak membantu Kanjeng Rama Sultan Agung. Nah, aku akan membawamu menghadap kalau andika memang hendak mengabdi kepada Mataram.”
Aji mengangguk. “Saya akan senang sekali, Gusti Puteri.”
“Bagus.” Sang puteri lalu berkata kepada perwira pengawal. “Pilihkan seekor kuda terbaik untuk Lindu Aji. Dia yang akan mengawalku sampai ke Mataram.”
Perwira itu memberikan kuda tunggangannya sendiri kepada Aji. Ketika tinggal di dusun Gampingan, Aji sering menunggang kuda milik kepala dusun sehingga menunggang kuda bukan merupakan kesulitan baginya. Dengan hati girang dia menunggang kuda, kemudian berangkatlah sang puteri, menunggang kereta yang dikusiri sais dan Aji menunggang kuda di belakang kereta.
Di sepanjang perjalanan ke arah barat ini, Aji termenung. Secara kebetulan sekali dia bisa bertemu dengan Puteri Wandansari bahkan telah menolongnya dari ancaman bahaya. Kini dia mengawal sang puteri menuju ke Mataram. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Sang Puteri akan membawanya menghadap Sultan Agung! Dia akan menghadap Sri Baginda Raja Sultan Agung yang sudah sering dia dengar dari cerita eyang gurunya.
Mendiang Ki Tejobudi sering bercerita tentang Sultan Agung yang selalu dipujinya sebagai seorang raja yang bijaksana dan juga sakti mandraguna. Eyang gurunya itu sudah wanti-wanti berpesan supaya dia dapat membantu raja itu. Tentu saja keadaan dirinya ini cocok sekali dengan pesan eyang gurunya.
Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal hatinya. Kalau dia dihadapkan Kanjeng Sultan Agung dan karena jasanya menolong sang puteri kemudian dia diangkat menjadi pejabat, bagaimana dengan keinginannya untuk merantau seperti yang tadinya dia bayangkan? Dia ingin hidup bebas, dapat merantau kemana pun dia suka, seperti seekor alap-alap terbang melayang di udara dengan bebasnya.
Kalau benar dia diangkat menjadi pejabat, tentu dia akan terikat dengan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. lalu bagaimana dia akan bisa mencari putera eyang gurunya yang bernama Sudrajat, dan mencari kakak tirinya yang bernama Hasanudin itu? Juga dia ingin mencari Raden Banuseta yang telah membunuh ayahnya.
Bukan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, melainkan untuk melihat apakah orang itu melakukan kejahatan. Jika benar dia seorang penjahat, tentu akan ditentangnya! Semua inilah yang mengganggu pikirannya sehingga membuat dia melamun. Di samping rasa gembira akan bisa menghadap Sultan Agung, juga ada rasa khawatir dalam hatinya.
Tiba-tiba dia teringat cerita mendiang Ki Tejobudi bahwa Sultan Agung adalah orang yang arif bijaksana. Ingatan ini membesarkan hatinya dan mengusir kakhawatirannya. Mengapa khawatir? Kalau Sri Sultan demikian bijaksana, tentu beliau dapat memaklumi keadaannya dan dapat mempertimbangkannya. Dia akan mengaku terus terang tentang keadaan dan keinginan hatinya. Setelah hatinya mengambil keputusan ini, Aji tidak merasa khawatir lagi dan dia dapat menikmati perjalanannya mengawal Puteri Wandansari itu.
Puteri Wandansari singgah di Kadipaten Madiun. Ia diterima dengan penuh penghormatan oleh Adipati Madiun. Sang puteri menceritakan kepada adipati itu apa yang sudah terjadi di hutan Caruban yang masih termasuk daerah Madiun.
Setelah menginap selama satu malam di Kadipaten Madiun, pada keesokan harinya puteri Wandansari melanjutkan perjalanannya. Kuda-kuda yang menarik kereta diganti dengan kuda baru agar tidak terlalu lelah. Aji juga diberi seekor kuda baru yang masih segar dan kuat. Tetapi tawaran Adipati Madiun untuk memberi pengawalan ditolak oleh sang puteri.
Perjalanan dilakukan seperti hari-hari yang lalu, tidak tergesa-gesa agar kereta tidak terlalu terguncang dan melelahkan. Sang puteri berhenti di Sukowati dan sesudah melewatkan malam di situ, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan sampai ke kota raja Mataram.
Aji memasuki kota raja Mataram dengan hati penuh kagum dan heran. Semenjak lahir dia berada di sebuah dusun yang sederhana. Rumah terbesar dan paling megah di dusunnya adalah rumah kepala dusun yang terbuat dari kayu jati. Ketika dia melakukan perjalanan melewati kota-kota kadipaten, dia melihat rumah-rumah yang lebih besar dan lebih megah. Ia juga merasa kagum bukan main ketika mengawal Puteri Wandansari memasuki gedung kadipaten Madiun.
Kini dia memasuki kota raja Mataram dan dia merasa dirinya sangat kecil. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang telah digembleng semenjak kecil, digembleng lahir batinnya. Karena itu, biar pun dia merasa takjub dan seperti dalam mimpi, namun keheranannya itu tidak kelihatan pada sikap atau wajahnya. Dia tetap bersikap tenang, seakan-akan semua pemandangan itu sudah biasa dilihatnya.....!
Komentar
Posting Komentar