ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-14
Puteri Wandansari segera membawanya menghadap Sri Baginda. Melihat keagungan yang memancarkan wibawa kuat sekali dari pribadi Sang Sultan, Aji berlutut, lalu duduk bersila dan menyembah dengan sikap hormat. Dia tidak berani mengangkat muka menatap wajah Sultan Agung, hanya menunduk dengan sikap menanti.
Dengan suaranya yang lembut dan merdu, Ratu Wandansari menghaturkan sembah sujud pada ayahandanya, kemudian dengan singkat menceritakan keadaan Kadipaten Surabaya yang berkeadaan tertib dan tenteram. Kemudian dia menceritakan tentang perjalanannya dan terutama tentang Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar bersama lima orang warok yang menghadangnya dan bermaksud membunuhnya. Ia menceritakan pula betapa ketika ia terancam bahaya dalam pertempuran itu, muncul Lindu Aji yang telah membantu dan menyelamatkannya.
“Dengan bantuan pemuda ini akhirnya hamba berhasil menewaskan Wiku Menak Koncar. juga lima orang warok itu dapat dirobohkan. Hanya Ki Harya Baka Wulung seorang yang berhasil lolos setelah dia mempergunakan aji-ajinya yang mengeluarkan asap hitam tebal, kanjeng rama,” demikian Puteri Wandansari mengakhiri laporannya.
“Hmm, tentu dia menggunakan Aji Kukus Langking.” kata Sultan Agung. “Tokoh Arisbaya itu memang sakti. Jika tidak salah dia adalah guru Raden Prasena yang telah kami angkat menjadi Pangeran Cakraningrat. Untung engkau dapat lolos dari tangannya.”
“Berkat pertolongan Lindu Aji inilah, kanjeng rama. Pemuda ini mampu menandingi bahkan membuat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri. Dia adalah murid mendiang Ki Tejobudi. Dia seorang kawula yang setia dan siap membantu Mataram, kanjeng rama.”
Sultan Agung mengangguk-angguk dan wajahnya yang masih tampak tampan dan anggun itu berseri-seri. Walau pun usianya sudah lima puluh tahun namun raja yang bijaksana ini masih tampak anggun.
“Engkau tentu lelah, Wandansari. Masuk dan istirahatlah, temui para ibu dan saudaramu.”
Mendengar ucapan ayahandanya, ratu Wandansari menghaturkan terima kasih kemudian meninggalkan ruangan itu menuju ke bagian dalam istana itu.
Sultan Agung melayangkan pandang matanya kepada belasan orang yang sedang duduk menghadapnya. Hari itu bukan hari sebo (menghadap raja) yang biasanya dilakukan pada setiap hari Senin dan Kamis. Dalam hari sebo Sultan Agung dihadap oleh para ponggawa besar kecil yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih! Akan tetapi pada saat itu yang menghadap hanya lima belas orang, terdiri dari patih, menteri dan senopati yang memang datang menghadap karena dipanggil untuk membicarakan urusan penting.
Di antara para senopati terdapat Tumenggung Wiroguno, Kyai Juru Kiting, Ki Mertoloyo, Suroantani dan senopati lainnya yang sudah berjasa besar dalam perang menundukkan daerah Jawa Timur yang tadinya menentang Mataram. Para senopati itu kelihatan gagah dalam pakaian kebesaran masing-masing.
Sultan Agung memandang kepada Lindu Aji. Pemuda itu tampak sederhana sekali duduk di antara para menteri dan senopati. Berpakaian sederhana seperti seorang pemuda tani dan selalu menundukkan muka dengan sikap hormat. Begitu sederhana, begitu polos dan sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa ia seorang pemuda yang memiliki kesaktian. Tetapi nyatanya pemuda ini telah mampu menandingi bahkan mengalahkan Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura yang sudah tersohor akan kesaktiannya itu! Luar biasa sekali!
“Orang muda, siapakah namamu seperti yang dikatakan Puteri Wandansari tadi?” Sultan agung bertanya kepada Aji.
Tanpa memandang Aji tahu bahwa dialah yang ditanya, karena di ruangan itu tidak ada orang muda lainnya kecuali dia seorang. Para ponggawa yang hadir di situ rata-rata sudah berusia lima puluh tahun lebih.
Dia menyembah sebelum menjawab, “Nama hamba Lindu Aji dan hamba biasa disebut Aji, Gusti.”
Sultan Agung makin memperhatikan. Sikap dan cara bicara pemuda ini tidak menunjukkan bahwa dia seorang pemuda dusun yang kurang pendidikan, pikirnya. Dia tahu tata krama. Dan nama itu pun bukan nama sembarangan. Orang tuanya atau pemberi nama itu, tentu seorang pemberani yang tidak lagi terpengaruh pendapat penduduk dusun bahwa memberi nama yang terlampau ‘tinggi’ buat anak akan mendatangkan bencana bagi si anak karena tidak kuat!
“Benarkah engkau murid Ki Tejobudi, orang sakti dari banten itu?”
“Benar sekali, Gusti. Guru hamba adalah mendiang Eyang Tejobudi.”
“Siapa orang tuamu dan di mana engkau tinggal?”
“Bapa hamba sudah meninggal dunia, namanya Harun Hambali. Sedangkan Ibu hamba bernama Warsiyem dan sekarang tinggal di dusun Gampingan dekat Laut Kidul. Hamba berasal dari dusun itu, Gusti.”
“Hemm, Gampingan. Sebuah dusun kecil di Pegunungan Kidul,” pikir sultan Agung. “Kalau begitu benar, seorang pemuda dusun.”
“Aji, coba angkat mukamu dan pandang kami!” perintahnya.
Aji tak berani menolak. Dengan jantung berdebar dia mengangkat muka dan memandang wajah yang anggun dan agung itu. Pandangan matanya bertemu dengan sepasang mata yang demikian tajam penuh wibawa.
Sebaliknya Sultan Agung juga terkejut. Sepasang mata pemuda itu begitu lembut, penuh pengertian, namun juga mencorong dan membayangkan kekuatan batin yang amat hebat. Aji tidak berani memandang lebih lama lagi dan perlahan-lahan dia menundukkan kembali mukanya.
Rasa kagum dan suka memenuhi hati Sultan Agung, Puterinya benar. Pemuda ini seorang yang hebat dan dapat dijadikan pembantu yang boleh diandalkan.
“Aji, engkau tinggal di Gampingan yang berada di sebelah selatan kota raja. Bagaimana engkau dapat berada di hutan Caruban dan menolong puteri kami?”
“Hamba sedang melakukan perjalanan merantau, Gusti.”
“Merantau? Tujuanmu ke mana?”
“Hamba tidak mempunyai tujuan tertentu. Hamba hanya mengikuti arah terbangnya Alap-alap Laut Kidul.”
“Alap-alap Laut Kidul? Apa maksudmu?”
“Seekor burung alap-alap yang sering hamba lihat terbang melayang-layang di atas Laut Kidul. Hamba ingin merantau, bebas seperti alap-alap itu. Melihat alap-alap itu terbang ke arah timur, maka hamba lalu menuju ke timur di sepanjang pantai laut Kidul. Pada suatu hari hamba melihat alap-alap itu terbang ke utara, maka hamba segera ke utara sehingga sampai di dalam hutan Caruban dan melihat Gusti Puteri diserbu gerombolan itu. Setelah mendengar bahwa yang diserang itu puteri paduka, Gusti Puteri Wandansari, hamba lalu membantu.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Aji, kenapa engkau membantu puteri kami?”
Pertanyaan ini diajukan seperti hendak menyelidik. Aji merasakan benar persamaan antara Sultan Agung dan Puteri Wandansari. Pertanyaan yang sama.
“Mendiang bapa dan eyang guru hamba meninggalkan pesan dan memberi tugas kepada hamba, antara lain agar hamba membela Mataram dan membantu Paduka, Gusti. Karena itulah maka hamba membantu puteri paduka.”
“Tanpa pamrih apa pun di balik pertolonganmu itu?” Sulatan Agung bertanya.
“Tanpa pamrih apa pun, Gusti.”
Sultan agung lalu menyapukan pandangannya ke arah ponggawanya.
“Bagaimana pendapat kalian, para menteri dan senopati?”
Ki Mertoloyo menyembah kepada Sultan Agung, lalu menoleh kepada Aji dan bertanya, “Anakmas Aji, apakah andika tidak mengharapkan ganjaran apa pun dari Gusti Sultan? Kalau ada, beri-tahukan saja. Gusti Sultan arif bijaksana, tentu akan memberikan ganjaran besar kepadamu.”
“Maaf, paman. sebenarnya saya tidak mengharapkan ganjaran apa pun juga. Saya hanya melaksanakan tugas saya seperti yang dipesan oleh mendiang bapa dan mendiang eyang guru.”
Senopati Suroantani menyembah kepada Sultan Agung. “Ampunkan hamba, Gusti. Kalau paduka menyetujui, hamba hendak mengusulkan agar anakmas Lindu Aji diangkat menjadi seorang senopati muda, mengingat dia mampu menandingi dan mengalahkan Ki Harya Baka Wulung.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Anak ini berbudi luhur! Sudah sepantasnyalah kalau dia menjadi senopati muda Mataram. Aji, bersediakah engkau kalau kami angkat menjadi seorang senopati muda Mataram?”
Hal inilah yang dikhawatirkan Aji dalam perjalanan ketika mengawal Puteri Wandansari. Tetapi pemuda ini sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak mengikatkan diri dengan jabatan. Dari pertanyaan itu pun dia tahu akan kebijaksanaan Sultan Agung. Raja itu tidak memerintahkan dia menjadi senopati, melainkan bertanya apakah dia bersedia menjadi senopati! Maka dengan didahului sembah dia menjawab dengan hormat.
“Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan sekali-sekali hamba menolak anugerah yang paduka berikan kepada hamba. Tapi pada saat ini hamba masih harus melaksanakan tugas-tugas yang dipesankan mendiang bapak dan eyang guru. Tugas itu mengharuskan hamba untuk melakukan perjalanan ke daerah Galuh dan Banten.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Baik sekali keputusan hatimu itu, Aji. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk menjunjung tinggi pesan terakhir mendiang bapak dan eyang gurumu. Itu menandakan bahwa engkau seorang yang setia dan berbakti. Engkau hendak merantau ke Galuh dan Banten? Sungguh kebetulan sekali. Maukah engkau membantu kami sambil melaksanakan tugasmu itu?”
“Hamba bersedia dan siap mengabdikan diri membantu paduka jika hamba sudah selesai melaksanakan tugas-tugas hamba itu, Gusti.”
“Bukan demikian maksud kami, Aji. Engkau dapat melanjutkan melaksanakan tugas-tugas pribadimu itu, akan tetapi dalam perjalananmu, engkau dapat pula membantu kami.”
Aji merasa heran. Kalau dia merantau ke Galuh dan Banten untuk mencari Hasanudin dan Sudrajat, bagaimana dia akan dapat membantu Sultan Agung?
“Ampun, Gusti. Hamba mohon penjelasan. Bagaimana caranya hamba dapat membantu paduka kalau hamba merantau ke daerah Pasundan dan Banten?”
“Aji, tahukah engkau bahwa pada waktu ini Mataram mempunyai musuh yang sangat kuat dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda yang berkedudukan di Jayakarta?”
Aji menyembah. “Hamba pernah mendengar keterangan mendiang Eyang Guru mengenai Kumpeni Belanda, Gusti.”
“Baik sekali kalau begitu. Engkau tahu bahwa Kumpeni Belanda merupakan ancaman bagi rakyat dan tanah air kita. Mereka angkara murka, ingin memperluas cengkeraman mereka, menguasai daerah Nusantara dan menguasai perdagangan. Mereka juga mempengaruhi rakyat, menyebar telik sandi (mata-mata), malah mempengaruhi banyak tokoh sakti untuk membantu meraka dengan menggunakan umpan harta benda. Di samping itu mereka juga berusaha mengadu domba dengan membujuk para bupati dan adipati supaya menentang Mataram. Paman Kyai Juru Kiting, ceritakanlah kepada Aji mengenai usaha kita menyerbu kumpeni yang telah mengalami kegagalan agar dia mengetahui duduknya perkara.” Sultan Agung menoleh kepada senopati tua itu.
Senopati Kyai Juru Kiting yang sudah berusia enam puluh tahun itu menyembah kemudian dengan suara yang lembut namun jelas dia menceritakan kepada Lindu Aji tentang usaha Mataram yang baru saja dilakukan dan mengalami kegagalan. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian. Demikianlah cerita senopati itu.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan para adipati dan bupati yang tadinya hendak melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, dan menundukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur kecuali Blambangan yang belum bisa dikalahkan, berhasil mempersatukan kekuatan seluruh Madura, Surabaya, Giri dan daerah Jawa Timur, Mataram kemudian mengadakan penyerangan menuju Jayakarta atau Batavia. Penyerangan besar-besaran yang pertama itu terjadi pada tahun 1628.
Bala tentara Mataram itu dipimpin oleh Senopati Baurekso dan dibantu pula oleh pasukan dari Madura dan Surabaya. Juga sesudah tiba di Pasundan, pasukan Mataram itu dibantu oleh pasukan Pasundan yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Pasukan yang pertama ini segera disusul dengan pasukan kedua yang jumlahnya cukup besar pula, dipimpin oleh tiga orang senopati terkenal, yaitu Suro Agul-agul, Kyai Adipati Mandurejo, dan Adipati Uposonto. Pasukan kedua ini dipersiapkan untuk membantu pasukan pertama dari belakang, kalau diperlukan.
Serbuan itu hebat sekali. Pasukan Kumpeni Belanda terkejut dan melakukan perlawanan secara mati-matian. Pertempuran terjadi setiap hari karena pasukan Mataram dengan gigih mengepung perbentengan Belanda. Pertempuran dahsyat itu terjadi sampai lebih dari dua bulan lamanya.
Akan tetapi pihak Kumpeni Belanda memang licik. Selain mereka memiliki persenjataan yang jauh lebih lengkap dengan meriam-meriam dan senapan-senapan, mereka juga dapat membujuk para pendekar yang mempunyai kedigdayaan untuk membantu mereka dengan memberi banyak harta benda. Selain itu Kumpeni Belanda juga menyebar banyak mata-mata. Bahkan berhasil menarik pihak Banten untuk membantu mereka karena memang sudah terdapat persaingan dan permusuhan antara Banten dan Mataram. Di samping itu terjadi mala petaka ketika penyakit menular menjalar di antara para prajurit Mataram.
Ada desas desus yang mengatakan bahwa penyakit menular ini bukan lain adalah guna-guna dan kekuatan sihir yang dilepaskan oleh para ahli tenung dari Banten. Penyerbuan tentara Mataram itu gagal, bahkan Senopati Baurekso yang kedudukannya adalah Adipati Kendal, gugur dalam peperangan itu. Maka sisa pasukan Mataram terpaksa ditarik mundur meninggalkan Batavia. Biar pun penyerbuan itu gagal tetapi sempat mengejutkan Balanda dan menjatuhkan banyak korban pula di pihak Kumpeni.
“Begitulah, anak-mas Lindu Aji, serbuan pertama pasukan kita itu mengalami kegagalan.” Kyai Juru Kiting mengakhiri ceritanya.
“Nah, engkau sudah mendengar semua, Aji. Ketahuilah bahwa kami tidak akan berhenti berusaha sebelum Kumpeni Belanda dapat diusir dari Nusantara. Walau pun penyerbuan pertama kami itu gagal, namun kami sudah merencanakan penyerbuan selanjutnya. Kami sudah menyusun kekuatan di daerah barat dan kami telah menyebarkan telik sandi untuk mengadakan persiapan di sekitar Batavia. Juga Kerajaan Galuh siap membantu. Karena itu, Aji, dalam perantauanmu ke daerah Pasundan, engkau dapat membantu kami. Engkau kami angkat menjadi telik sandi untuk membantu semua pihak yang mendukung Mataram dan menentang mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda. Nah, sanggupkah engkau membantu kami di samping melaksanakan tugas pribadimu?”
Aji menjawab. “Hamba sanggup dan siap membantu, Gusti.”
“Bagus sekali kalau begitu!” kata Sultan Agung dan dia mengambil sebatang keris dengan warangka terukir indah, lalu menyerahkan keris itu kepada Aji. “Terimalah pusaka ini, Aji. Semua pejabat daerah dan semua telik sandi Mataram akan mengenal pusaka ini kalau engkau cabut dari sarungnya. Keris ini adalah satu di antara rangkaian pusaka Naga yang menjadi pusaka-pusaka khas kami. Namanya Kyai Nogo Welang, satu di antara pusaka-pusaka buatan Empu Warihanom yang terbaik.”
Aji menerima pusaka itu sambil menghaturkan terima kasih. Selain keris pusaka ampuh itu, Aji juga mendapatkan seekor kuda dan sekantong uang untuk bekal dalam perjalanan.
Setelah persidangan dibubarkan Aji kemudian berangkat meninggalkan ibu kota Mataram menuju ke barat, memulai dengan pengembaraannya melaksanakan perintah bapak dan eyang gurunya, sekalian untuk membantu usaha gerakan Mataram menentang Kumpeni Belanda.
Siang itu udara sangat cerah. Matahari bersinar penuh tanpa terhalang awan, menyengat segala sesuatu dengan sinarnya yang panas. Aji menjalankan kudanya dengan perlahan karena kuda itu sudah lelah, tubuhnya berpeluh dan sering mendengus-dengus. Ketika di depannya tampak sebatang sungai, dia menghentikan kudanya, turun dari atas punggung kuda dan melepaskan kendali memberi kesempatan kepada kuda itu untuk makan rumput gemuk yang tumbuh di sepanjang tepi sungai.
Aji sendiri lalu duduk mengaso di bawah sebatang pohon mahoni. Dia membuka kancing bajunya dan membiarkan dadanya terbuka. Semilir angin membelainya sehingga membuat dia mengantuk. Perutnya juga sudah mulai lapar.
Akan tetapi tempat itu sunyi sekali. Agaknya jauh dari pedusunan. Bahkan perjalanannya terhadang sebuah sungai yang cukup lebar. Tidak ada tempat penyeberangan di situ, tidak pula tampak adanya perahu yang akan dapat menyeberangkannya.
Dia harus dapat menyeberangi sungai ini kalau hendak melanjutkan perjalanannya. Biarlah dia membiarkan kudanya makan dan mengaso. Nanti tentu ada orang yang datang dan dia dapat bertanya bagaimana biasanya penduduk di sekitar situ menyeberang ke barat. Sambil menunggu orang lewat di tempat itu, Aji duduk bersandar pada batang pohon itu dan melenggut. Semilir angin mengipasinya dan membuat dia merasa nyaman.
Tanpa disadari Aji jatuh pulas sambil duduk bersandar pada batang pohon mahoni itu. Dia terbangun oleh suara kuda meringkik nyaring. Ketika membuka matanya, Aji melihat dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian hitam sedang berusaha keras untuk menenangkan kudanya yang meringkik-ringkik sambil mengangkat dua kakinya ke atas. Dua orang laki-laki lain, juga berpakaian hitam, sedang membuka dan memeriksa buntalan pakaiannya.
Pada saat itu tampak sebuah perahu meluncur di atas sungai. Di atas perahu duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam pula dan seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus, menelikung sambil memeluk seorang wanita yang meronta-ronta dan menangis. Lelaki kedua usianya agak lebih muda dan memegang dayung. Dia mendayung perahu ke pinggir sungai, lalu berseru kepada empat orang yang sedang menangkap kuda dan membuka buntalan.
“Heii, kenapa kalian berhenti di situ? Ada apakah?”
“Ha-ha-ha-ha, lihat, kakang Jalak Uren! Apa yang kami dapatkan di sini? Rejeki nomplok! Seekor kuda yang besar dan bagus, tentu harganya sangat mahal!” kata laki-laki yang kini sudah memegangi kendali kuda.
“Dan ini, lihatlah! Ha-ha-ha-ha, sekantung uang emas! Wah, kita menjadi kaya raya tanpa bersusah payah!” kata seorang laki-laki yang sudah menemukan kantung uang pemberian Sultan Agung dalam buntalan pakaian Aji.
Aji yang tadi keheranan itu kini menyadari bahwa mereka itu adalah perampok-perampok yang hendak merampas kuda berikut buntalan pakaiannya. Cepat dia melompat bangkit, lalu menghampiri mereka yang telah membawa buntalan dan kudanya.
“Hai... kisanak! Itu adalah kudaku dan buntalan pakaianku! Lekas kembalikan milikku itu kepadaku!” teriak Aji.
Seorang di antara empat orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam itu melompat ke depan Aji. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tampak kokoh kuat seperti raksasa. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan dia memiliki kumis yang tebalnya sekepal sebelah. Dengan bertolak pinggang dia berkata dengan suaranya yang dalam dan parau.
“Heh, bocah sial! Jangan banyak cerewet. Mengingat engkau sudah memberi sumbangan yang lumayan untuk kami, aku mau mengampuni nyawamu dan cepat minggat dari sini!”
Aji mengerutkan alis. “Kuda dan barang-barang itu adalah milikku. Kembalikan kepadaku!” Dia hendak menghampiri orang yang membawa pundi-pundi uangnya.
Tetapi orang berkumis tebal itu menjadi marah sekali. “Kalau begitu, kau ingin mampus!” Tangan kanannya membentuk kepalan sebesar buah kelapa lantas menyambar ke arah kepala Aji. Serangan pukulan itu cepat dan kuat sekali, mendatangkan angin mengiuk.
Namun dengan mudahnya Aji miringkan tubuh mengelak dan ketika lengan itu menyambar lewat, dia cepat menangkap lengan itu, lalu memutar tubuhnya dan sekali menyentakkan tubuh, orang berkumis tebal itu terangkat, berjungkir balik dan terbanting ke atas tanah.
“Bress...! Ngekkkk!”
Demikian kerasnya sentakan Aji sehingga orang yang terbanting itu seketika pingsan dan tulang pundak kanannya patah! Aji tidak berhenti sampai di situ saja, dia sudah menerjang cepat ke arah orang yang masih memegang pundi-pundi uangnya.
“Kembalikan barang itu!” bentaknya dan bagaikan seekor burung alap-alap tubuhnya lantas saja menyambar, tangan kirinya mencengkeram dan di lain saat pundi-pundi uang itu telah berpindah ke tangannya sebelum lawannya itu menyadari apa yang terjadi.
Orang itu marah sekali. Sekarang dia melihat betapa seorang kawannya roboh dan tidak dapat bangkit kembali, dan pundi-pundi uang itu sudah berpindah ke tangan pemuda yang kelihatannya biasa-biasa saja itu. Dia cepat mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya.
Aji melemparkan pundi-pundi itu ke arah buntalan pakaiannya yang masih terbuka dan terletak di atas tanah. Ketika melihat sinar golok menyambar, dia mengelak dengan cepat ke kiri. Akan tetapi lawannya itu agaknya mahir juga memainkan goloknya, karena begitu bacokannya luput, dia sudah membalikkan lagi goloknya dan menyerang dari lain jurusan. Golok menyambar ke arah leher Aji.
Kembali Aji mengelak ke belakang sehingga golok hanya mengenai tempat kosong. Orang itu mengejar dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat, menyambar dengan tendangan kuat ke arah tubuh Aji. Tendangan yang demikian berbahaya dibandingkan serangan golok tadi.
“Wuuuttt...!”
Aji miringkan tubuhnya. Ketika kaki yang besar dan kokoh itu menyambar ke atas, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan dengan sentakan tenaga dahsyat dia mendorong ke atas. Tenaga tendangan kaki tadi kini ditambah tenaga dorongan Aji, maka membuat si penendang itu tidak lagi dapat mempertahankan dirinya sehingga tubuhnya terdorong dan terlempar ke atas! Dia mengeluarkan teriakan kaget ketika tubuhnya terbanting dengan kaki di atas dan kepala lebih dulu menghantam tanah.
“Dukkk...! Bresss...!”
Orang kedua itu roboh tanpa mampu berkutik lagi, pingsan karena kepalanya menumbuk tanah keras.
Dua orang perampok yang tadinya memegang kuda, terkejut dan marah melihat betapa dua orang kawan mereka roboh dan tidak dapat bangun lagi. Mereka mengira bahwa dua orang kawan itu telah tewas terbunuh pemuda itu. Mereka melupakan kuda yang mereka rampas dan dengan marah mereka mencabut golok lalu lari menghampiri Aji dengan golok diacungkan di atas kepala.
Aji siap menanti dengan sikap tenang. Pada saat kedua orang itu menerjang dengan golok mereka, dengan kecepatan yang luar biasa Aji menggerakkan tubuhnya hingga dua orang penyerang itu hanya melihat bayangan berkelebat dan serangan mereka luput!
Karena tidak melihat pemuda itu di depan mereka, keduanya segera memutar tubuh dan melihat bahwa pemuda itu sudah berdiri di belakang mereka sambil tersenyum. Dua orang itu menjadi penasaran dan kembali mereka menggunakan golok untuk menyerang. Akan tetapi Aji tidak mau memberi kesempatan lagi kepada dua orang lawannya.
Dia melihat keadaan yang tak wajar dari wanita di atas perahu dan dapat menduga bahwa wanita itu tentu ditawan atau diculik. Dia harus cepat-cepat dapat merobohkan orang-orang ini agar dia dapat menyelamatkan wanita yang ditawan itu. Karena itu, sebelum dua orang pengeroyoknya sempat menggerakkan golok untuk melakukan penyerangan yang kedua kalinya, dia mengukur jarak dan kemudian kedua kakinya mencuat ke kanan kiri, tepat menendang ke arah bawah pusar!
“Desss...! Desss...!”
Dua orang itu terbelalak. Mereka mengaduh-aduh, melepaskan golok dan kedua tangan meraba-raba bawah pusar, lalu berjingkrak-jingkrak menahan rasa nyeri yang menusuk isi perut.
Aji menggerakkan tangan kirinya dua kali. Dia menampar ke arah tengkuk dua orang itu dan mereka pun terpelanting kemudian roboh pingsan. Empat orang perampok itu sudah roboh semua dalam keadaan pingsan.
“Keparat, beraninya engkau menganiaya anak buahku?!” bentak laki-laki yang mendayung perahu tadi dan disebut Kakang Jalak Uren oleh empat orang yang merampok.
Dengan marah dia meninggalkan kawannya yang masih menelikung wanita itu, kemudian melompat ke daratan sambil mencabut sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Sebentar saja orang yang bertubuh tinggi ini sudah berhadapan dengan Aji. Melihat betapa empat orang anak buahnya masih menggeletak tak bergerak, dia mengira mereka sudah tewas sehingga kemarahannya memuncak.
“Babo-babo, bocah keparat! Berani kau membunuh empat orang anak buah perkumpulan para pendekar Gagak Rodra?” bentak Ki Jalak Uren, wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra itu sambil menudingkan goloknya ke arah muka Aji.
“Aku tidak membunuh mereka, hanya membuat mereka pingsan agar mereka tidak dapat merampas kuda dan barang-barangku.” kata Aji dengan sikap tenang. Dia lalu berjongkok dan membungkus lagi pakaian dan pundi-pundi uangnya dalam buntalan kain.
Mendengar ucapan ini, Ki Jalak Uren segera menghampiri empat orang anak buahnya itu dan mendapat kenyataan bahwa yang diucapkan pemuda itu benar. Mereka tidak tewas melainkan pingsan. Akan tetapi kenyataan ini tidak mengurangi kemarahannya. Ia kembali menghampiri Aji yang sudah selesai membungkus barang-barangnya dan sekarang berdiri dengan sikap tenang namun waspada.
“Heh, pemuda yang amat kurang ajar! Siapakah engkau? Berani sekali engkau menentang Perkumpulan Gagak Rodra!”
“Aku tidak menentang siapa-siapa, hanya mempertahankan kuda serta barang-barangku yang hendak dirampas oleh empat orang ini. Namaku Lindu Aji.”
“Keparat! Sepanjang Kali Bogawanta merupakan wilayah kekuasaan kami dan siapa saja yang lewat di sini harus menaati peraturan kami. Tapi engkau malah berani melawan dan merobohkan empat orang anak buah kami, berarti engkau sudah bosan hidup! Sekarang engkau berhadapan dengan Ki Jalak Uren, gembong Kali Bogawanta. Menyerahlah untuk kuringkus dan kuhadapkan kepada ketua kami, dari pada kau menjadi bangkai makanan buaya di kali ini!”
“Hemmm, Ki Jalak Uren. Andika mengatakan bahwa andika sekalian adalah orang-orang gagah dari perkumpulan para pendekar Gagak Rodra. Akan tetapi kenapa para pendekar bersikap dan bertindak seperti gerombolan penjahat yang suka mengganggu orang? Aku melihat kalian juga menawan seorang wanita di perahu itu. Apakah perbuatan kalian itu termasuk watak para pendekar, ataukah ulah para penjahat?”
“Babo-babo, keparat! Berani engkau menghina kami? Berani engkau melawan aku, Ki Jalak Uren gembong Kali Bogawanta?”
“Jangankan hanya gembong Kali Bogawanta, biar pun setannya sekali pun, kalau berbuat jahat pasti akan kulawan!”
“Jahanam sombong! Ambrol dadamu!” bentak Ki Jalak Uren dan tiba-tiba saja kakinya yang besar dan panjang itu sudah mencuat melakukan tendangan kilat ke arah dada Aji.
Tetapi pemuda ini sudah bersikap waspada. Latihan yang ditekuninya di bawah bimbingan mendiang Ki Tejobudi sudah membuat ilmu silatnya mendarah daging dengan dirinya dan gerakannya sudah otomatis tanpa dikendalikan pikiran lagi. Maka ketika angin tendangan menyambar, dia sudah mengelak mundur ke samping kanan sehingga kaki lawan yang menyambar ke arah dadanya itu luput.
Namun Ki Jalak Uren ternyata bukan orang lemah. Dia jauh lebih tangguh dibandingkan dengan anak buahnya tadi. Orang ini adalah wakil ketua ke dua di Gerombolan Gagak Rodra, maka tentu saja lmu silat dikuasainya dengan baik di samping tubuhnya yang kebal dan kokoh kuat. Begitu tendangannya luput dan kaki yang menendang itu sudah turun, tubuhnya sudah menerjang maju dan goloknya menyambar dahsyat. Saking cepat dan kuatnya golok itu menyambar, golok lenyap bentuknya berubah menjadi sinar putih yang menyambar ke arah leher Aji.....
Komentar
Posting Komentar