ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-15


Aji merendahkan tubuhnya dan sinar golok itu hanya lewat di atas kepalanya. Akan tetapi Ki Jalak Uren sudah menyusulkan serangan dengan tangan kirinya. Jari-jari tangan kirinya membentuk cakar kemudian mencengkeram ke arah perut Aji dari bawah! Aji cepat-cepat menggerakkan lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Wuuuttt...! Dukkk !”

Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ki Jalak Uren terdorong mundur sambil terhuyung. Dia terkejut sekali. Dia adalah seorang yang kebal dan bertenaga besar, akan tetapi pertemuan kedua lengan itu bukan saja membuat dia terhuyung menandakan bahwa dia kalah kuat, namun lengannya juga terasa nyeri menunjukkan bahwa kekebalannya bisa ditembus oleh lengan pemuda itu!

Kini maklumlah dia bahwa pemuda yang sederhana ini ternyata mempunyai kesaktian. Dia menjadi semakin marah dan penasaran. Sambil mengeluarkan gerengan bagaikan seekor singa dia sudah menerjang lagi, menyerang dengan goloknya.

Aji bergerak dengan gerak silat Wanara Sakti. Tubuhnya lincah dan trengginas, mengelak sambil berlompatan ke sana sini dengan cepat sekali sehingga ke mana pun sinar golok menyambar, selalu hanya mengenai tempat kosong. Tiba-tiba saja dia mendengar jeritan dari arah sungai.

“Tolooongggg...!”

Aji melompat ke belakang kemudian menoleh. Dia melihat laki-laki tinggi kurus yang tadi menelikung wanita itu kini mendayung perahunya ke tengah, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu sambil membawa wanita itu. Melihat ini Aji bertekad untuk menolong wanita itu. Dia harus merobohkan dulu Ki Jalak Uren kalau hendak mengejar laki-laki yang melarikan wanita itu.

Ketika itu Ki Jalak Uren yang sudah merasa penasaran sekali kembali mengirim bacokan dengan goloknya. Sekali ini Aji sudah mengambil keputusan untuk menyudahi perkelahian ini dengan segera karena dia harus menolong wanita yang dilarikan penjahat. Maka begitu golok menyambar, dia tidak mengelak tetapi malah menyambut dengan sambaran tangan kirinya mendahului dan memegang golok, sementara tangan kanannya cepat menyambar ke depan dan dengan jari-jari terbuka dia menotok ke depan.

“Dukkk...! Ngekkk!”

Ki Jalak Uren terjengkang kemudian roboh, tak mampu bergerak lagi karena dia pun telah klenger (pingsan)! Aji tidak mempedulikannya lagi. Cepat dia melompat ke tepi sungai dan melihat betapa perahu itu sudah tiba di tengah sungai.

Wanita itu masih menangis dan menjerit, meronta di bawah tekanan kaki laki-laki itu yang dilintangkan di atas pinggangnya. Sedangkan dua tangan lelaki itu menggerakkan dayung, mendayung perahu melawan arus menuju seberang.

Aji melompat ke air.

“Byurrrr...!”

Air muncrat dan Aji cepat berenang. Seperti seekor ikan saja dia meluncur di permukaan air dan sebentar saja dia sudah dapat menyusul perahu itu. Kebetulan sekali muka wanita itu menghadap ke belakang perahu sehingga dia melihat Aji lebih dulu.

Melihat seorang pemuda yang tadi dilihatnya berkelahi melawan para perampok kini sudah berenang di dekat perahu, wanita itu berseru, “Ki sanak, tolonglah aku, tolong...!”

Laki-laki tinggi kurus yang mendayung perahu itu menoleh dan dia pun melihat Aji yang sudah berenang dekat sekali dengan perahu. Aji sudah berada di belakang perahu dan tangan kirinya meraih pinggiran perahu. Melihat ini laki-laki itu bangkit berdiri mengangkat dayungnya.

“Ha-ha-ha-ha, engkau berani menggangguku? Aku Blekok Ireng akan menjadikan engkau makanan ikan!” Dayungnya menyambar ke arah tangan Aji yang berpegang pada perahu.

Terpaksa Aji melepaskan tangannya dari perahu agar jangan sampai terpukul. Ki Blekok Ireng adalah wakil ketua pertama dari Gerombolan Gagak Rodra, maka tentu saja tingkat ketangguhannya melebihi tingkat Ki Jalak Uren. Bahkan dia pun seorang ahli bermain di air, maka dia menertawakan ketika melihat Aji mengejar perahunya.

“Ha-ha-ha, mampuslah!” katanya lagi dan dengan dayungnya dia memukul-mukul ke arah kepala Aji yang berenang di belakang perahu.

Sambil berenang Aji mengelak ke kanan kiri untuk mencari kesempatan. Ketika mendapat kesempatan, tangannya cepat sekali menyambar dan tahu-tahu telah berhasil menangkap dayung yang dipukul-pukulkan ke arahnya. Sesudah dapat menangkap ujung dayung, Aji mengerahkan tenaga dan menarik dayung itu dengan sentakan sekuat tenaganya.

“Byurrrr...!”

Air muncrat dan kedua orang itu saling menarik dayung. Saking kuatnya tenaga mereka, bagian tengah dayung patah hingga menjadi dua potong! Dan terjadilah perkelahian di air dengan menggunakan potongan dayung. Saling pukul dan saling tangkis.

Sementara itu perahu yang tidak dikendalikan itu terbawa arus air yang mengalir perlahan. Aji menggunakan kepandaiannya dan tiba-tiba dia menyelam. Melihat ini Ki Blekok Ireng juga segera menyelam dan perkelahian dilanjutkan dalam air seperti dua ekor ikan saling serang.

Akan tetapi segera terbukti bahwa Aji jauh lebih kuat. Berulang kali ketika kedua tangan itu beradu, tubuh Ki Blekok Ireng segera terpental. Akhirnya wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra ini maklum bahwa kalau perkelahian itu dilanjutkan, akhirnya dia akan kalah dan hal ini berbahaya baginya.

Maka tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya kemudian berenang mengejar perahu! Melihat ini Aji juga cepat berenang mengejar karena khawatir akan keselamatan wanita itu. Ki Blekok Ireng berhasil menangkap perahu itu dan tanpa ragu-ragu lagi membalikkan perahu ketika dia melihat bahwa Aji sudah berada di belakangnya,.

“Aiiiihhh...!”

“Byurrr...!”

Wanita itu menjerit dan tubuhnya terjatuh ke air.

Ternyata wanita itu tidak pandai berenang sehingga dia megap-megap dan dua tangannya diangkat tinggi-tinggi.

Melihat ini tentu saja Aji tidak membiarkannya tenggelam. Dia segera berenang mendekati kemudian menangkap pangkal lengan kiri wanita itu dan mengangkatnya hingga kepalanya berada di atas permukaan air. Karena panik dan ketakutan, wanita itu merangkul leher Aji dengan kedua tangannya, merangkul erat-erat karena takut terlepas.

Tentu saja hal ini merepotkan Aji karena menghalanginya untuk bergerak dengan leluasa. Agaknya hal inilah yang dikehendaki oleh Ki Blekok Ireng ketika menggulingkan perahu.

Melihat Aji kerepotan karena dirangkul erat-erat oleh kedua tangan wanita itu, Ki Blekok Ireng cepat berenang menghampiri. Dia telah mencabut goloknya yang tadi belum sempat dia gunakan.

Aji bisa melihat bahaya. Wanita itu merangkulnya erat-erat karena takut terlepas sehingga tentu saja dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk dapat berenang dengan baik pun sudah sulit baginya, apa lagi menghadapi serangan Ki Blekok Ireng yang telah memegang sebatang golok! Dia dan juga wanita itu berada dalam ancaman bahaya maut!

Untuk melepaskan diri mereka berdua dari ancaman maut, tanpa ragu lagi Aji menekan tengkuk wanita itu dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya. Tekanan yang amat kuat itu membuat wanita itu terkulai pingsan. Sesudah wanita itu pingsan, Aji menjambak rambut wanita itu yang terlepas sanggulnya dan terurai hingga wajah wanita itu dapat tetap berada di atas permukaan air tanpa dia harus menggunakan banyak tenaga.

Dalam keadaan seperti itu dia menghadapi serangan Ki Blekok Ireng. Wakil ketua pertama Gerombolan Gagak Rodra itu menyerang dengan bacokan goloknya. Akan tetapi Aji cepat menggerakkan kakinya yang meluncur ke depan dan dengan tepatnya menyambut lengan kanan itu sehingga bacokan tertahan.

Kemudian Aji melepaskan rambut wanita itu dan membalik. Dua tangannya bergerak cepat memukul tangan memegang golok, ada pun tangan yang satu lagi menampar leher lawan. Ki Blekok Ireng berteriak kaget, goloknya terlepas dari tangan dan dia berusaha mengelak dari tamparan ke arah lehernya. Namun tetap saja tangan kanan Aji mengenai pundaknya dan Ki Blekok Ireng merasa pundaknya panas dan nyeri bukan main. Dia menjadi gentar dan cepat berenang menjauh ke hilir.

Aji tidak mempedulikannya lagi. Dia membalik dan melihat wanita itu tenggelam. Cepat dia menyelam dan tak lama kemudian dia sudah membawa wanita itu berenang ke tepi sungai di mana lima orang perampok masih rebah, ada yang masih pingsan dan ada yang sudah siuman akan tetapi belum mampu bangkit.

Sesampainya di daratan Aji merebahkan tubuh wanita itu menelungkup, lalu dia menekan-nekan punggung wanita itu. Air mengalir keluar dari mulut wanita yang masih pingsan itu. Aji lalu membalikkan tubuh itu telentang dan melihat kain yang membalut tubuh itu hampir terlepas ikatannya, Aji cepat-cepat mengikatnya kembali.

Dia baru merasa rikuh ketika memandang wanita itu lebih teliti. Ternyata wanita itu masih amatmuda, usianya baru sekitar dua puluh tahun dan wajahnya yang basah kuyup dengan rambut terurai lepas itu tampak ayu dan manis sekali. Juga sekarang barulah dia melihat betapa tubuh yang berkulit putih mulus itu bentuknya indah menggairahkan.

Sadar akan hal ini, barulah Aji merasa rikuh dan jantungnya berdebar tegang membuatnya salah tingkah. Tetapi dengan kekuatan batinnya dia segera menenangkan kembali hatinya, kemudian dia mengurut bagian tengkuk wanita itu. Mulut yang bibirnya merah dan mungil itu bergerak, mengeluh lirih. Mata itu terbuka dan bertemu dengan pandang mata Aji.

Agaknya dia teringat dan cepat dia bangkit duduk. Otomatis kedua tangannya hinggap di dadanya yang indah supaya merasa yakin bahwa ikatan kainnya tidak terlepas. Kemudian matanya yang dibuka lebar-lebar memandang ke kanan kiri. Ia melihat ke arah sungai dan melihat lima orang masih tergeletak di situ, ada yang diam saja dan ada yang mengaduh-aduh kesakitan.

“Ah... aku... aku sudah tertolong...!” Dia menggerakkan tubuh menghadap Aji yang sudah bangkit berdiri, lalu menyembah. “Ki sanak, terima kasih... andika sudah menyelamatkan diriku...”

Aji memutar tubuhnya karena tidak mau menerima sembah itu. “Sudahlah, nimas, jangan berlebihan. Berterima kasih saja kepada Gusti Allah dan marilah kita tinggalkan tempat ini. Aku akan mengantar andika pulang ke tempat tinggal andika.”

Wanita itu teringat akan para perampok itu, dan dia cepat bangkit berdiri memandangi ke arah mereka. “Apa yang akan kau lakukan kepada mereka, ki sanak?” Dia bertanya.

Tahu bahwa wanita itu sudah bangkit berdiri, Aji membalikkan tubuhnya dan memandang ke arah lima orang itu. “Aku tidak melakukan apa-apa terhadap mereka. Mudah-mudahan saja mereka telah mendapat peringatan dan akan menyadari kesesatan mereka kemudian kembali ke jalan yang bersih. Tidak baik kita berlama-lama di sini, nimas. Harap tunjukkan jalan ke tempat tinggalmu dan aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu.”

Aji lalu mengambil buntalan pakaiannya dan menuntun kudanya.

Wanita ayu itu menunjuk ke arah utara. “Rumahku di sana, di dusun Loano.”

“Andika naiklah dan duduklah di atas pelana kuda ini, nimas,” kata Aji.

“Aku tidak dapat menunggang kuda, ki sanak,” kata wanita itu. Kini dia sudah mulai dapat tersenyum karena hatinya sudah merasa tenang. Aji melihat betapa indah dan manisnya senyum itu!

“Duduklah saja seperti duduk di atas bangku, nimas. Tidak apa-apa, tidak akan jatuh, aku akan menjagamu. Dengan duduk di atas pelana kuda andika tidak akan terlalu lelah. Apa lagi andika baru saja mengalami hal-hal yang melelahkan dan mencemaskan.”

Wanita itu meragu lalu dipandanginya kuda itu. Seekor kuda besar dan tinggi karena kuda itu adalah pemberian Sultan Agung.

“Bagaimana aku bisa naik dan duduk di atas punggung kuda yang begini tinggi? Aku tidak bisa, ki sanak. Biarlah aku berjalan saja.”

Aji mengerutkan alisnya kemudian berkata. “Kalau begitu maafkan aku, nimas. Biarlah aku membantumu naik.” Tiba-tiba saja dia menggunakan kedua tangannya untuk memegang pinggang wanita itu dan sekali angkat, dia telah mendudukkan wanita itu di atas punggung kuda, duduk miring. “Nah, berpeganglah pada pelana kuda, aku akan menuntunnya,” kata Aji yang lalu menuntun kuda itu meninggalkan tempat itu.

Wanita itu tidak berkata-kata, hanya kedua pipinya berubah agak kemerahan. Dia duduk di atas pelana dan memandangi Aji yang berjalan di depan kuda dengan alis berkerut. Diam-diam dia merasa heran, bukan saja atas ketangguhan pemuda itu yang telah mengalahkan para perampok, akan tetapi juga atas sikap yang lembut dan sopan itu.

“Jauhkah Loano dari sini, nimas?” Tanya Aji tanpa menoleh.

“Jauh sekali. Mereka itu membawaku sejak fajar tadi dengan perahu yang mereka dayung cepat-cepat,” jawab wanita itu.

Aji berpikir. Berperahu mengikuti aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung tentu cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Padahal, wanita itu dilarikan dengan perahu sejak fajar tadi. Sudah setengah hari lebih. Sekarang kalau dia mengantar wanita itu pulang, tentu sedikitnya akan memakan waktu lebih dari satu hari, atau bahkan sampai dua hari.

Tiba-tiba angin semilir dan Aji merasa tubuhnya dingin. Barulah dia teringat bahwa seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup, demikian pula dengan wanita itu. Dia cepat menoleh dan melihat wanita itu menggigil kedinginan di atas kuda.

Dia berhenti dan kuda itu pun ikut berhenti.

“Ahh, Andika kedinginan, nimas?”

Wanita itu menaruh kedua tangan di kedua pundaknya.

“Ya, dingin sekali.”

“Andika harus berganti pakaian, kalau tidak dapat terserang masuk angin!”

Aji menurunkan buntalan pakaiannya dari punggung, lalu membantu wanita itu turun dari atas kuda dengan memegang pinggang yang ramping itu seperti tadi ketika membantunya naik.

“Akan tetapi aku tidak membawa pakaian ganti.”

“Aku ada membawanya, sementara boleh andika pakai dulu,” kata Aji sambil melepaskan buntalan lalu mengeluarkan sehelai sarung dan baju yang diberikannya kepada wanita itu. “Di sana ada semak lebat, andika dapat berganti pakaian di sana. Aku juga akan berganti pakaianku yang basah ini.” Aji mengambil seperangkat pakaian terdiri dari celana dan baju, kemudian pergi ke balik sebuah batu besar yang letaknya berlawanan arah dengan semak belukar itu.

Wanita itu tampak ragu-ragu sejenak. Sesudah melihat Aji menghilang di balik batu besar, barulah dia pun melangkah menuju ke semak belukar dan menghilang di balik semak.

Kini Aji telah selesai berganti pakaian. Dia kembali ke kudanya, memeras pakaiannya yang basah lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dan menunggu wanita yang berganti pakaian itu. Duduknya membelakangi semak-semak. Tidak lama kemudian dia mendengar langkah lembut dari arah belakangnya.

Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Wanita itu sudah berganti pakaian. Sarung itu melibat tubuhnya mulai dari dada ke bawah. Bagian atasnya tertutup baju putih yang terlalu besar. Rambutnya sudah disanggul sederhana. Tampak lucu sekali akan tetapi bersih, kering dan tidak mengurangi keayuannya. Kedua pipi itu kemerahan, mulutnya tersenyum malu-malu dibantu sinar matanya.

“Aku... aku tentu kelihatan lucu sekali,” katanya lirih.

“Ahh, tidak! Andika kelihatan seperti seorang pemuda...”

“...yang jelek dan tidak patut tentu!”

“Sebaliknya malah. Andika tampak tampan dan patut sekali.”

Wanita itu menghela napas lalu duduk di atas akar pohon. Dia memeras pakaiannya yang basah. Aji berjongkok dan merapikan buntalannya lagi. Wanita itu membawa pakaiannya ke tempat yang terbuka kemudian menjemur pakaiannya di atas batu. Tanpa diminta dia pun mengambil pakaian Aji yang basah dan sudah diperas dari atas akar pohon, kemudian menjemurnya pula.

“Sebaiknya kita berhenti sebentar di sini sampai pakaian kita menjadi kering.” katanya.

Aji mengangguk saja. Kemudian mereka duduk di atas akar pohon, di bawah pohon yang teduh.

“Ki sanak, aku belum mengenal namamu, padahal andika sudah menyelamatkan aku dari bencana,” kata wanita itu sambil menatap wajah Aji.

“Namaku Lindu Aji, aku seorang perantau,” jawab Aji pendek. “Sebaliknya aku pun ingin sekali mengetahui, siapa andika dan bagaimana andika sampai terjatuh ke tangan orang-orang jahat tadi?”

“Lindu Aji? Ah, nama yang amat aneh, langka, indah dan mengandung kegagahan, sesuai dengan orangnya yang gagah perkasa dan berjiwa satria.” Wanita itu memuji. “Dan masih begitu muda remaja!”

Aji tersenyum. “Muda remaja? Usiaku sudah dua puluh tahun!”

“Masih muda sekali. Aku lebih tua setahun. Karena itu tidak semestinya andika menyebut aku nimas.”

“Habis, harus menyebut apa?”

“Sepatutnya menyebut mbakayu. Mbakayu Winarsih, itu namaku. Aku akan menyebutmu adimas, Adimas Aji. Bukan saja karena aku lebih tua, akan tetapi juga karena aku sudah mempunyai suami, jadi sudah jauh lebih dewasa.”

Aji menekan perasaan herannya. “Tetapi... andika kelihatan masih begini muda. Tadinya kukira baru berusia delapan belas tahun!”

Winarsih tersenyum dan nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih, membuat wajah itu tampak semakin menarik dan manis. “Andika baru berusia dua puluh tahun, akan tetapi sikapmu tampak bijaksana dan matang sekali seperti orang yang jauh lebih tua, padahal wajahmu terlihat masih amat muda. Andika tentu seorang satria, murid seorang yang sakti mandraguna. Suamiku banyak bercerita tentang orang-orang yang sakti mandraguna.”

“Mbakayu Winarsih,” sesudah menyebut wanita itu dengan mbakayu, kini Aji merasa lebih akrab dan tidak canggung lagi, merasa seolah bicara dengan mbakayunya sendiri. Setelah tahu bahwa wanita itu lebih tua bahkan telah bersuami, dia merasa lega dan tidak rikuh.

“Apa bila suamimu mengenal orang-orang sakti mandraguna, tentu suamimu juga seorang yang digdaya. Betulkah dugaanku ini?”

Winarsih menarik napas panjang. “Dugaanmu tidak keliru, dimas Aji. Suamiku bernama Ki Sumali dan dia adalah seorang yang memiliki aji kadigdayaan. Tapi semenjak aku menjadi istrinya, dia menyatakan ingin hidup tenang dan damai, tidak pernah mau lagi mencampuri urusan dunianya orang-orang yang suka mengadu ilmu kadigdayaan. Kami hidup bertani di Loano, hidup tenang dan tenteram.”

“Akan tetapi bagaimana mbakayu tadi sampai ditawan mereka?”

“Itulah, dimas. Kukira hal ini juga ada hubungan dengan cara hidup suamiku ketika masih menjadi pendekar dahulu. Aku sendiri tidak mengenal orang-orang yang menculikku. Pada waktu fajar tadi, seperti biasa aku mencuci pakaian di sungai yang berada dekat dengan rumahku. Tiba-tiba saja dua orang laki-laki tadi menangkap aku dan melarikan aku dengan perahu mereka. Di darat masih ada empat orang kawan mereka yang mengikuti perahu sambil berlari-lari. Aku tidak mengenal mereka, tetapi aku pernah mendengar orang tinggi kurus yang menelikung tanganku itu menyebut nama suamiku. Dia berkata sambil tertawa. “Sekarang rasakanlah pembalasan kami, Ki Sumali!” Maka aku menduga bahwa perbuatan menculikku itu tentu mereka lakukan untuk membalas dendam. Mungkin dahulu mereka pernah bermusuhan dengan suamiku.”

Aji mengangguk-angguk, diam-diam merasa heran kenapa seorang pendekar yang masih muda telah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari pada memanfaatkan ilmu-ilmu yang dengan susah payah dipelajarinya.

“Mendengar ceritamu dan melihat keadaannya aku merasa yakin bahwa suamimu sebagai pendekar tentu pernah bentrok dengan mereka. Maksudku bukan bentrok dengan kedua orang penculikmu itu, melainkan dengan Gerombolan Gagak Rodra.”

“Mungkin dugaanmu itu benar, adimas Aji. Nanti kalau sudah tiba di rumah, tentu suamiku akan dapat menceritakan tentang permusuhannya itu. Sekarang tentang dirimu, adimas. Tadi engkau mengatakan bahwa engkau seorang perantau? Bagaimana dapat berada di sini?”

Aji tersenyum dan Winarsih memandang kagum. Pemuda itu nampak manis sekali kalau sedang tersenyum.

“Memang aku adalah seorang kelana, mbakayu. Dan kebetulan sekali aku ingin berkelana ke daerah barat. Aku berasal dari Gampingan, sebuah dusun kecil di dekat Laut Kidul. Kebetulan saja ketika aku berhenti mengaso di tepi sungai sambil menunggu orang lewat untuk bertanya bagaimana aku dapat menyeberangi sungai, muncullah empat orang yang merampok kuda dan buntalan ini. Kemudian muncul pula dua orang dengan perahu yang menawanmu. Karena menduga bahwa engkau tentu diculik, maka sesudah merobohkan para perampok, aku lantas berenang dan mengejar perahu itu. Sekarang aku ingin segera dapat berjumpa dengan suamimu, mbakayu. Mari kita lanjutkan perjalanan agar dapat tiba di sebuah dusun sebelum hari menjadi gelap.”

“Baiklah, adimas.” Kini sikap Winarsih juga lebih akrab dan tidak canggung lagi karena dia pun merasa seolah-olah sedang berhadapan dengan adiknya sendiri. “Akan tetapi biarlah aku berjalan kaki saja. Rasanya tidak enak menunggang kuda sedangkan engkau berjalan kaki.”

“Akan tetapi kalau engkau berjalan kaki, selain engkau akan menjadi amat kelelahan, juga perjalanan menjadi semakin lambat. Ahh, kalau saja engkau dapat menunggang kuda dan melarikannya, tentu kita akan dapat tiba di rumahmu dengan amat cepat, mbakayu. Kalau engkau duduk menghadap ke depan, tentu kuda dapat dilarikan lebih cepat dan aku dapat berlari sambil menuntun kuda.”

“Wah, membiarkan engkau berlari-lari sambil menuntun kuda yang kutunggangi? Aku tidak mungkin membiarkan hal itu. Terlampau enak untukku dan tidak enak untukmu! Lagi pula, andai kata aku dapat duduk menghadap ke depan, aku pun tidak berani kalau kuda berlari kencang. Aku takut jatuh. Ehh, bukankah kudamu ini cukup besar dan kuat, adimas? Aku melihat kuda ini berbeda dengan kuda biasa yang pernah kulihat. Apakah kuda ini tidak kuat kalau kita tunggangi berdua? Kalau berboncengan denganmu, aku tidak takut!”

Tiba-tiba saja Aji menjadi rikuh kembali. “Akan tetapi... tidak apa-apakah kalau... kalau kita berboncengan? Kalau dilihat orang... apakah hal itu pantas?”

Winarsih tersenyum lebar, senyum yang tulus dan pandang matanya kagum. Pemuda ini jujur dan polos, juga amat tahu kesusilaan.

“Adimas Aji, aku tahu apa yang kau maksudkan, aku tahu apa yang kau ragukan. Engkau khawatir kalau-kalau ada orang yang melihat kita berboncengan lalu menuduh yang bukan-bukan. Akan tetapi kita berdua yakin benar tentang alasan dan keadaan kita. Pertama, kita berboncengan karena kita ingin cepat-cepat sampai di tempat tinggalku dan tidak ada cara lain yang lebih cepat kecuali berboncengan menunggang kuda. Kedua, kita berdua yakin benar bahwa kita tidak melakukan, bahkan tidak pernah membayangkan hal-hal yang tidak pantas atau melanggar kesusilaan. Nah, apa bila kedua kenyataan itu masih belum dapat menghilangkan kekhawatiranmu, biarlah kita berjalan kaki saja. Aku tidak mau kalau aku disuruh menunggang kuda sendiri sedangkan engkau berjalan kaki.”

Aji mendengarkan dengan kagum. Wanita lemah ini ternyata memiliki pandangan luas dan batin yang kuat. Dia teringat akan satu di antara petuah gurunya.

“Aji, kita harus selalu ingat dan waspada. Setiap detik ingat kepada Gusti Allah dan setiap saat waspada akan pikiran, kata-kata serta perbuatan kita sendiri. Yang terpenting dalam kewaspadaan itu adalah mawas diri. Biar pun orang sejagad menuduh kita pencuri, kalau kita tidak mencuri maka biarkan saja orang menuduh. Sebaliknya, biar pun tidak ada orang yang tahu, kalau kita waspada dan merasa sudah melakukan pencurian, maka hal inilah yang amat penting agar kita mawas diri dan mengubah kesalahan kita.”

“Engkau benar, mbakayu Winarsih. Kita terpaksa harus berboncengan karena ingin agar engkau dapat segera sampai di rumahmu dan kita tidak melakukan atau memikirkan hal-hal yang tidak baik. Mengapa harus malu dan khawatir akan pendapat orang lain?”

Aji membuka lagi buntalan pakaiannya. Ia mengeluarkan celana hitam lalu memberikannya kepada Winarsih. “Mbakyu, kau kenakan celana ini agar lebih leluasa menunggang kuda.”

Sambil tersenyum Winarsih menerima celana itu lalu pergi lagi ke belakang semak-semak untuk mengenakan celana itu di balik sarungnya. Ia berterima kasih sekali kepada Aji yang demikian penuh pengertian. Setelah selesai mengenakan celana dan keluar, ia melihat Aji sudah mengambil pakaian yang tadi dijemur dan dimasukkan ke dalam buntalannya.

“Sekarang marilah kita berangkat, mbakayu,” kata Aji yang sudah menggendong buntalan pakaiannya. Dia lalu membantu Winarsih naik ke atas pelana kuda.

Wanita itu duduk menghadap ke depan dan tentu saja merasa lebih enak dan lebih mudah dari pada ketika ia menunggang kuda dengan duduk miring. Aji lalu melompat ke belakang wanita itu, menjaga jarak agar tubuhnya tidak berhimpitan dengan tubuh Winarsih.

Demikianlah dengan berboncengan seperti itu, Aji memegang kendali kuda dan perjalanan kini dapat dilakukan jauh lebih cepat. Semula Winarsih merasa rikuh juga dengan adanya seorang laki-laki yang duduk berdempetan di belakangnya. Belum pernah dia begitu dekat dengan seorang pria kecuali dengan suaminya. Tapi dia merasa lega ketika tidak merasa tubuh pemuda itu menghimpit tubuh belakangnya dan dia menjadi bertambah kagum saja kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang benar-benar sopan dan berhati bersih.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)