ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-16
Ki Wirobandi mengenal dan menghormati Ki Sumali sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Maka begitu melihat Winarsih, ia mengenal istri pendekar itu dan menyambutnya dengan hormat.
Tadinya dia merasa amat heran melihat istri Ki Sumali berboncengan di atas kuda dengan seorang pemuda tampan, akan tetapi setelah Winarsih memperkenalkan Lindu Aji sebagai seorang adiknya, dia pun menyambut pemuda itu dengan ramah dan hormat.
Mereka berdua dijamu makan malam dan bermalam di rumah kepala dusun itu. Pada esok harinya, pagi-pagi sekali sesudah dijamu sarapan pagi, mereka mengucapkan terima kasih kepada Ki Wirobandi dan keluarganya, lalu berpamit dan melanjutkan perjalanan dengan berboncengan kuda. Perjalanan dilakukan dengan cepat sekali dan menjelang tengah hari mereka sudah tiba di luar dusun Loano.
“Kita berhenti di sini, dimas Aji.” kata Winarsih.
Aji cepat menahan kudanya lantas melompat turun. Dia membantu Winarsih, memegang pinggangnya yang ramping dengan kedua tangannya lalu menurunkannya dari atas pelana kuda.
“Kenapa berhenti di sini, mbakayu?”
Winarsih memandang ke sekeliling. Kali Bogawanto berada di sebelah kiri dan di sebelah kanan jalan itu tampak sawah luas membentang dan ada gubuk di sana sini.
“Kita sampai di luar dusun Loano. Itu dusunnya sudah tampak di depan.” Dia menuding ke depan di mana nampak gerombolan pepohonan dan atap-atap rumah. “Semua penduduk mengenalku, maka aku merasa rikuh kalau mereka melihat kita berboncengan kuda. Juga pakaian ini memalukan, tentu akan menjadi buah tertawaan orang. Sebaiknya kalau aku berganti pakaianku yang kemarin.”
Aji tidak berkata apa-apa. Dia membuka buntalannya lalu mengeluarkan pakaian Winarsih yang terdiri dari tapih (kain panjang) dan baju yang sudah robek pada bagian pundak dan punggung.
“Masih agak lembab, belum kering benar, mbakayu,” katanya.
Winarsih menerima pakaiannya. “Tidak apa-apa. Nanti sesudah sampai di rumah aku akan berganti lagi dengan pakaian kering.” Ia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian menghampiri sebuah gubuk terdekat di persawahan itu untuk berganti pakaian.
Aji diam saja, duduk di atas batu di tepi jalan, membelakangi gubuk itu. Kudanya dibiarkan makan rumput yang tumbuh di tepi jalan. Tak lama kemudian dia sudah mendengar suara Winarsih di belakangnya.
“Ini kukembalikan pakaianmu, dimas aji. Terima kasih!”
Aji bangkit lalu memutar tubuhnya. Winarsih telah berdiri di depannya, berpakaian wanita. Walau pun pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun dia tampak ayu manis.
Pada saat itu mendadak terdengar suara melengking-lengking, merdu sekali namun suara suling yang mendayu-dayu itu mengandung suara yang membayangkan kemarahan. Hal ini terasa benar oleh Aji yang juga pandai meniup dan memainkan suling. Dia tahu bahwa tiupan suling itu biasanya digunakan untuk mengiringi tembang orang yang sedang marah dan menantang!
Mendengar suling itu, Winarsih membelalakkan matanya. Dia memutar tubuh menghadapi arah dari mana datangnya suara itu. Melihat sebuah gubuk di tengah sawah agak jauh dari situ, dia lalu berseru. “Dia di sana...!” kemudian berlari ke arah gubuk itu.
Aji tidak tahu siapa yang dimaksudkan Winarsih. Karena khawatir jika keselamatan wanita itu terancam, maka dia cepat mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di depan gubuk, Aji melihat bahwa peniup suling itu seorang laki-laki yang sedang duduk bersila di panggung gubuk itu.
Dia seorang laki-laki berusia lima puluh empat tahun, rambutnya sudah bercampur banyak uban, mengenakan kain pengikat kepala bewarna biru, pakaiannya sederhana akan tetapi bersih dan rapi, bercelana hitam sebatas lutut, bajunya lurik berlengan panjang, sarungnya dilibatkan di pundak dan sebatang gagang keris tampak terselip di pinggangnya.
Orang ini bertubuh sedang namun masih kelihatan tegap. Wajahnya yang setengah tua itu masih kelihatan ganteng dan gagah. Kedua tangannya memegang sebatang suling bambu yang sedang ditiup dan dimainkannya, dan dia duduk bersila dengan tubuh tegak.
“Kakang...!”
Aji melihat Winarsih berseru dan wanita itu berlari menghampiri panggung gubug, tangan kanannya dijulurkan hendak menyentuh pria itu. Akan tetapi tiba-tiba pria itu menghentikan tiupan sulingnya dan sekali tangan kirinya bergerak seperti mendorong, timbul angin keras menyambar dan tubuh Winarsih terpental ke belakang! Dia tentu akan terjengkang roboh kalau saja Aji tidak cepat bergerak dan menahan dengan dua tangan menangkap pundak Winarsih.
“Jangan sentuh aku!” Laki-laki itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Winarsih. “Jangan kotori aku dengan tubuhmu yang ternoda dan hina!”
Mendengar ucapan ini, kaki Winarsih menjadi lemas dan dia terkulai, menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah sawah depan gubuk, air matanya bercucuran lalu berkata di antara isak tangisnya. “Kakang... engkau kenapakah, kakang? Apa... apa dosaku kepadamu?”
Pria itu tersenyum mengejek dan pandang matanya yang tajam membayangkan kejijikan. “Engkau masih pura-pura menanyakan dosamu, perempuan tak tahu malu? Kau pergi dua hari satu malam tanpa pamit. Kucari ke mana-mana tidak ada, juga tidak meninggalkan jejak dan sekarang engkau muncul bersama seorang pemuda tampan, menunggang kuda berboncengan, berhimpitan, bahkan mengenakan pakaian laki-laki, tentu milik pemuda itu. Baru berganti pakaian sesudah tiba di sini. Aku melihat semua itu dan kini engkau masih bertanya tentang apa dosamu?”
Ketika tadi melihat pria itu, Aji menduga-duga siapa gerangan dia. Dia baru bisa menduga bahwa pria itu tentu suami Winarsih ketika dia menyebut kakang kepada pria tua itu. Tentu pria inilah yang bernama Ki Sumali, pendekar itu. Dari dorongan jarak jauh yang membuat Winarsih terpental tadi saja dia tahu bahwa pria itu memiliki tenaga sakti yang sangat kuat. Mendengar betapa lelaki itu mencaci maki Winarsih, Aji menjadi penasaran dan cepat dia berkata.
“Paman, mbakayu Winarsih sama sekali tidak bersalah! Sama sekali tidak kotor ternoda seperti dugaan paman! Paman keterlaluan, mabok cemburu!”
Ki Sumali melotot ketika mendengar ucapan itu, kemudian dia memandang wajah pemuda itu dengan tajam. Tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu tiba-tiba melompat dan seperti seekor burung tahu-tahu dia sudah berdiri di depan Aji.
“Keparat! Dengan usia muda dan ketampananmu engkau berani menggoda istri orang dan sekarang masih berani membuka suara seperti itu? Orang semacam engkau ini tidak patut hidup!” Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke arah kepala Aji.
Aji maklum betapa dahsyat dan berbahayanya serangan ini, maka dia pun mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan kiri untuk menangkis.
“Wuuttt...! Dukkkk!”
Dua tenaga sakti yang sangat kuat bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya Aji merasakan getaran hebat yang mengguncangkannya. Akan tetapi Ki Sumali terhuyung ke belakang sampai tiga langkah sehingga pria itu terbelalak kaget.
“Babo-babo, kiranya engkau seorang yang digdaya juga. Bagus! Kalau begitu marilah kita selesaikan pertentangan ini di hutan sebelah timur itu!”
“Kakang...! Dengarlah dulu keteranganku. Aku diculik orang dan adimas Lindu Aji ini yang menolongku...”
“Tutup mulutmu!” Ki Sumali memotong. “Tiada gunanya semua alasan yang kau cari-cari itu. Aku takkan percaya! Orang muda, pantang bagi orang gagah untuk berkelahi di depan wanita dan memperebutkannya. Demi membela kehormatan aku menantang engkau untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang di hutan sana. Kalau engkau tidak berani, berarti engkau seorang pengecut besar dan aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!”
Setelah berkata demikian Ki Sumali segera melompat kemudian berlari menuju hutan yang berada di ujung persawahan sebelah timur, tanpa peduli akan jerit tangis Winarsih.
Mendengar ucapan lelaki setengah tua itu, Aji merasa kehormatannya tersinggung. Selain harus mempertahankan kehormatannya, juga ia merasa berkewajiban untuk menyadarkan pemarah itu dan membela Winarsih supaya nama wanita itu kembali bersih dan suaminya menyadari kekeliruannya. Maka dia pun melangkah ke jalan, kemudian meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar Ki Sumali yang sudah berlari cepat sekali ke hutan.
Sesudah tiba di dalam hutan, Aji melihat Ki Sumali sudah berdiri sambil memegang suling bambunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Wajahnya yang gagah itu tampak kemerahan.
Aji melompat turun dari punggung kudanya. Dengan tenang ia menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon lalu menghampiri kakek itu. Kini mereka berdiri saling berhadapan, hanya disaksikan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu.
Dengan sikap tenang Aji berkata, “Paman Sumali, kita baru saja saling berjumpa dan di antara kita tidak ada permusuhan apa pun. Akan tetapi mengapa paman memusuhi aku?”
“Hemmm, orang muda, Siapa namamu tadi?”
“Lindu Aji.”
“Hmm, Lindu Aji. Aku memusuhimu bukan sekali-kali untuk memperebutkan wanita, tetapi untuk membela kehormatanku yang telah kau injak-injak. Kau mengandalkan ketampanan dan kedigdayaanmu untuk merusak pagar ayu (melanggar kesusilaan), berarti mencoreng arang di mukaku dan menginjak-injak kehormatanku. Oleh karena itu, sebagai orang-orang yang menghargai kegagahan, engkau atau aku yang harus mati!”
“Nanti dulu, Paman Sumali. Sabar dan tenanglah, dengarkan dahulu penjelasanku. Istrimu diculik penjahat. Aku hanya membebaskannya dari tangan orang-orang jahat itu kemudian mengantarnya pulang. Kami sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan.”
“Cukup! Dia mengenakan pakaianmu, dia berboncengan kuda denganmu, kalian kelihatan begitu akrab dan mesra. Semua itu kulihat sendiri! Mataku belum buta untuk dapat melihat bahwa kalian berdua saling menyukai! Engkau masih berani menyangkal bahwa engkau suka dan mencinta Winarsih?”
“Tidak kusangkal bahwa aku kagum dan suka kepada mbakayu Winarsih! Akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku mencintanya dan bahwa kami telah melakukan hal-hal yang tidak patut. Aku bukan seorang laki-laki yang suka menggoda istri orang lain! Kalau aku suka kepadanya karena dia seorang wanita yang bijaksana dan baik budi, dan kalau dia suka kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dan bersikap sopan kepadanya, apakah itu salah? Pikiranmu sudah dikotori bayangan nafsu sehingga engkau membayangkan yang bukan-bukan, Paman Sumali. Rasa suka, bahkan cinta sekali pun, tidak selalu harus dikotori dengan perjinahan ulah nafsu!” Panas juga rasa hati Aji karena dia dituduh sebagai perusak pagar ayu.
“Engkau boleh mengoceh apa pun, akan tetapi mataku tidak buta. Winarsih pasti jatuh hati kepadamu dan hal itu apa anehnya? Engkau masih muda, tampan dan pandai mengambil hati. sedangkan aku...”
“Paman, kiranya tuduhanmu itu timbul dari rasa rendah dirimu! Engkau merasa sudah tua dan sebagainya! Engkau benar-benar keliru, paman. Aku merasa yakin bahwa mbakayu Winarsih adalah seorang istri yang sangat mencinta suaminya, seorang istri yang setia...”
“Cukup! Katakan saja engkau takut dan aku akan membunuhmu sebagai seorang perusak pagar ayu yang berjiwa pengecut!”
Marahlah Aji mendengar ini. “Dan engkau seorang laki-laki yang keras kepala, ingin benar dan menang sendiri, seorang suami yang sudah menjadi buta karena cemburu yang tidak berdasar. Bodoh dan tolol, percuma saja menganggap diri sebagai seorang pendekar!”
“Bagus kalau engkau berani melawanku. Nah, sambutlah seranganku ini!”
Ki Sumali lalu menyerang dengan sulingnya. Meski pun senjata itu hanya sebatang suling bambu, akan tetapi di tangan seorang sakti dapat menjadi senjata yang amat ampuh dan berbahaya sekali. Pada saat suling itu digerakkan untuk memukul ke arah kepala Aji dan menyambar, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup!
Akan tetapi Aji sudah waspada. Dia maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian dan dia pun tahu betul betapa dahsyat dan berbahayanya serangan suling itu. Maka dia pun cepat bergerak seperti kera, memainkan ilmu silat Wanara Sakti dan dengan mudahnya dia bisa mengelak dari serangkaian serangan suling yang berisi tujuh kali serangan bertubi-tubi itu.
Ki Sumali terkejut juga melihat betapa serangkaian serangannya itu dengan mudah dapat dielakkan oleh lawannya yang masih begitu muda. Padahal rangkaian serangan itu adalah serangan andalannya dan jarang ada lawan mampu mengelak secara berturut-turut tujuh kali.
Diam-diam dia berkemak kemik membaca mantera, lalu mendadak mendorongkan tangan kirinya ke depan sambil mulutnya mengeluarkan pekik melengking. Lengkingan suara itu mengandung getaran yang amat dahsyat, membuat jantung Aji seperti diguncang dan dari telapak tangan kiri yang didorongkan itu keluar asap hitam yang panas!
Inilah Aji Jerit Bairawa, semacam pekik ditambah serangan asap hitam yang mengandung tenaga sihir yang sangat berbahaya. Jerit mengerikan itu dapat memecahkan jantung dan asap hitam itu pun dapat membakar tubuh lawan!
Aji dapat menduga penyerangan macam apa yang sedang mengancam dirinya. Serangan itu mengandung dua macam kekuatan. Dalam pekik dahsyat itu terkandung kekuatan sihir yang dapat menyerang jantung dan melumpuhkan lawan, sedangkan serangan tangan kiri mengandung tenaga sakti yang sangat kuat. Maka dia pun mengerahkan tenaga saktinya.
Tiba-tiba dia berjongkok, dua tangannya menyentuh tanah dan sambil menggebrak tanah dia mengeluarkan bentakan nyaring. Dia sudah mengerahkan tenaga Surya Candra dan mengeluarkan Aji Guruh Bumi yang dahsyat.
Dua kekuatan dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, Ki Sumali kembali terhuyung! Wajahnya berubah pucat, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu mampu melawan ilmunya sehebat itu. Saking merasa penasaran, ia menjadi marah dan sambil menggereng kembali ia melompat dan menerjang Aji dengan sulingnya!
Tetapi sekali ini Aji tidak hanya mengandalkan kelincahan gerakan ilmu silat Wanara Sakti untuk mengelak, melainkan untuk balas menyerang pula. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru.
Aji harus mengakui bahwa lawannya memang hebat sekali, memiliki ilmu silat aneh yang dimainkan dengan senjata suling, yang dapat mengimbangi ilmu silatnya Wanara sakti. Di lain pihak, Ki Sumali juga terheran-heran. Belum pernah dia bertemu tanding seorang yang masih begini muda tetapi memiliki kepandaian yang demikian tinggi.
Mereka saling serang, balas membalas. Hanya bedanya, jika Aji hanya menyerang untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, sebaliknya Ki Sumali menyerang dengan jurus-jurus maut! Puluhan jurus lewat dan pertandingan itu masih berlangsung seru.
Tiba-tiba Winarsih datang berlari-lari. Wanita ini merasa khawatir sekali melihat suaminya dan Aji pergi ke hutan itu. Ia lalu melakukan pengejaran dan ketika tiba di dalam hutan itu dia melihat suaminya sedang berkelahi mati-matian dengan Aji. Cepat dia nekat memasuki arena perkelahian dan mencabut sebatang pisau belati yang tadi diambilnya dari rumah sebelum mengejar ke hutan.
“Kalian berhenti atau aku akan membunuh diri!”
Teriakan ini mengejutkan hati Aji dan cepat dia melompat ke belakang sehingga Ki Sumali terpaksa menghentikan gerakannya juga. Dia sudah mandi keringat sendiri dan napasnya agak terengah-engah.
“Kakang Sumali, kau sudah menuduhku secara keji sekali. Aku adalah istrimu yang sudah beberapa tahun mendapat bimbinganmu sehingga aku mengerti tentang harga diri seorang wanita! Harga diri seorang istri adalah kesetiaannya kepada suami. Aku bersumpah bahwa aku tetap setia kepada suamiku. Biarlah aku dikutuk oleh para dewa kalau aku melanggar kesetiaanku dan berbuat jinah dengan pria lain!
Kakang Sumali, engkau boleh saja menuduh aku sesat, akan tetapi engkau berdosa besar sekali kalau kau menuduh adimas Aji. Dia sudah menyelamatkan aku, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya, dan apa balasanmu? Engkau malah hendak membunuhnya! Kalau dia mati di tanganmu maka aku akan membunuh diri untuk menebus dosamu kepadanya, kakang. Adimas Aji, jangan lanjutkan perkelahian ini. Kalau sampai Kakang Sumali tewas dalam perkelahian ini, apa gunanya aku hidup? Hanya dia seorang gantungan hidupku, kebahagiaanku, dan hanya dialah laki-laki yang kucinta. Kalau dia tewas maka aku akan membunuh diri pula!”
Setelah berkata demikian Winarsih mengancam dengan menempelkan ujung belati pada dadanya kemudian menangis sesenggukan.
“Paman Sumali, apakah engkau belum insyaf betapa setia dan besar cinta kasih istrimu kepadamu? Apakah engkau belum juga mau mendengar penjelasanku?” Tanya Aji dengan alis berkerut karena merasa iba kepada Winarsih dan merasa gemas kepada Ki Sumali.
Ki Sumali memandang kepada Winarsih dengan alis berkerut, lalu memandang kepada Aji. Terbayang lagi dalam ingatannya ketika dia melihat istrinya itu duduk berhimpitan dengan pemuda itu, berboncengan di atas punggung seekor kuda. Teringat pula betapa pemuda itu membantu Winarsih turun dari kuda dengan mengangkatnya pada pinggangnya, lalu betapa istrinya bertukar pakaian dalam sebuah gubuk, juga sikap dan pandang mata dari kedua orang muda itu ketika saling bicara dan berhadapan.
Cemburu merupakan api yang berkobar membakar segalanya, merupakan racun yang menggerogoti hati, mengacaukan pertimbangan akal dan menggelapkan pandangan.
Ki Sumali menghela napas panjang, menyelipkan suling di pinggangnya. Tetapi ketika Aji dan Winarsih sudah merasa lega melihat gerakan Ki Sumali ini, mereka segera dikejutkan ketika tangan kanan Ki Sumali tiba-tiba menghunus kerisnya! Keris itu berluk sembilan dan bentuknya seperti ular, warnanya hitam legam. Itulah keris pusaka Sarpo Langking (Ular Hitam) yang mengandung bisa amat mematikan!
“Hayo, Lindu Aji, jangan kepalang tanggung. engkau atau aku yang harus mati!” kata Ki Sumali.
Aji menjadi marah sekali. Bukan main kerasnya hati orang ini! Mata batinnya benar-benar buta, tidak tahu memiliki istri yang demikian setia dan mencinta! Orang macam ini harus diberi pelajaran keras. Akan tetapi keris pusaka yang dipegangnya itu tampak ampuh dan berbahaya sekali. Maka dia pun segera menghampiri buntalan pakaiannya, membukanya dan mencabut keris pusaka Kyai Nogo Welang pemberian Sultan Agung untuk menandingi keris hitam di tangan lawannya.
“Kalau itu kehendakmu, Paman Sumali, aku hanya ingin melayanimu!” kata Aji.
Akan tetapi mendadak Ki Sumali membelalakkan matanya memandang ke arah keris Kyai Nogo Welang yang berada di tangan Aji. Suaranya terdengar gemetar ketika dia berkata lirih, “... pusaka itu... luk tigabelas berkepala naga terhias jamang... berlapis emas... ahh... bukankah itu Kyai Nogo Welang? Keris pusaka Mataram buatan Paman Empu Supa?”
Aji merasa heran akan perubahan sikap Ki Sumali yang tiba-tiba tampak jinak dan tenang, juga memandang keris pusakanya dengan sikap hormat.
“Benar sekali, paman. Pusakaku ini adalah Kyai Nogo Welang.”
“Akan tetapi... pusaka itu milik Gusti Sultan Agung! Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya sambil memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik.
“Aku menerimanya sebagai anugerah dari Gusti Sultan, sebagai tanda bahwa aku adalah utusan beliau yang mendapat kekuasaan,” jawab Aji sejujurnya.
Tiba-tiba Ki Sumali menekuk lututnya dan menyembah kepada Aji. “Mohon beribu ampun, Raden. Saya tidak tahu bahwa Raden adalah utusan Gusti Sultan yang diberi kekuasaan memiliki Kyai Nogo Welang! Saya berdosa besar sudah tidak percaya kepada Raden!”
Aji tersenyum dan tahulah dia bahwa orang ini, betapa pun keras hatinya, ternyata adalah seorang yang amat setia dan menghormati Sultan Agung sebagai junjungannya. Dia cepat membungkuk, memegang kedua pangkal lengan Ki Sumali, mengangkatnya dan berkata, “Ah, Paman Sumali, aku hanyalah seorang utusan, harap jangan menghormati aku secara berlebihan. Bersikaplah wajar saja dan jangan menyebut aku raden agar kita dapat bicara dengan leluasa tanpa merasa rikuh.”
Dengan diam-diam Aji mengerahkan tenaga saktinya. Ki Sumali dapat merasakan getaran kuat melalui telapak tangan pemuda itu yang memegang dua bahunya. Sekali lagi mereka ingin saling menguji dan dia pun mengerahkan aji kesaktiannya, membuat tubuhnya agar menjadi berat sekali. Namun tetap saja tubuh atasnya terangkat dan dia terpaksa berdiri. Dia memandang wajah pemuda itu penuh kagum. Sekarang wajahnya cerah berseri dan mulutnya menyungging senyuman.
“Anakmas Aji, sekarang aku tidak merasa heran kenapa Gusti Sultan Agung mengangkat engkau menjadi utusan dan membekali Keris Pusaka Kyai Nogo Welang sebagai tanda pengenal. Nah, sekarang ceritakanlah, anakmas, sesungguhnya apa yang terjadi dengan istriku Winarsih?”
“Tadi istrimu Mbakayu Winarsih sudah berkata sebenarnya. Dia diculik orang dan dilarikan dari Loano dengan mempergunakan perahu menuju ke hilir. Aku yang sedang melakukan perjalanan berkelana kebetulan melihat dia bersama dua orang laki-laki penculiknya. Aku hendak dirampok oleh anak buah orang itu, bahkan yang seorang juga ikut mengeroyok. Sesudah merobohkan lima orang yang mengeroyokku, aku lalu terjun ke air dan mengejar perahu yang didayung seorang pemimpin perampok, yang melarikan Mbakayu Winarsih. Aku berhasil menyusul kemudian mengalahkan pemimpin perampok itu setelah berkelahi di dalam air. Tetapi perahu itu lalu dia gulingkan. Untung Mbakayu Winarsih belum sampai hanyut. Aku menolongnya dan membawanya berenang ke tepi sungai. Karena kami basah kuyup, untuk mencegah dia masuk angin, maka aku meminjamkan seperangkat pakaian untuk dia pakai sebagai pengganti pakaiannya yang basah. Kemudian aku mengantar dia pulang ke Loano. Karena perjalanan cukup jauh dan Mbakayu Winarsih ingin sekali segera dapat pulang dan bertemu denganmu, maka kami terpaksa berboncengan di atas kuda. Percayalah, paman, aku cukup menghayati aturan tata susila yang pernah diajarkan oleh mendiang bapa dan eyang guruku, dan Mbakayu Winarsih adalah seorang wanita yang bersusila, baik budi dan setia kepada suami sehingga biar pun kami berboncengan, akan tetapi kami saling menjaga sehingga kami tidak berhimpitan. Karena itu tuduhanmu tadi terhadap istrimu sungguh tidak pantas dan sangat menyakiti hati Mbakayu Winarsih yang kesetiaan dan kasih sayangnya kepadamu murni dan bersih.”
Ki Sumali mengerutkan alis. Matanya menunjukkan penyesalan besar ketika memandang kepada Winarsih yang masih bersimpuh di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Wanita itu masih menggenggam gagang pisau belati. Mendengar pembelaan Aji, hatinya merasa perih seperti disayat-sayat sehingga tangisnya semakin mengguguk.
“Aduh, diajeng Winarsih...!” Ki Sumali berlutut kemudian merangkul istrinya. “Maafkan aku, diajeng. Mataku seperti buta dan telingaku seperti tuli sehingga aku begitu tega mengotori kesucianmu dengan tuduhan-tuduhan yang keji! Sudah sepatutnya jika engkau tanamkan cundrik (belati) itu kedadaku, diajeng...!”
“Kakang Sumali...!” Winarsih melepaskan belatinya dan dia pun menangis dalam dekapan suaminya. Kedua orang suami istri itu bertangisan dan ketika itu terasa benar oleh mereka betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta.
Aji melangkah mundur dan mengalihkan pandangannya sambil tersenyum. Hatinya girang bukan kepalang melihat sepasang suami istri itu sudah rukun kembali. Betapa bahagianya seorang pria seperti Ki Sumali yang sudah tua tapi memiliki seorang istri seperti Winarsih yang masih muda, ayu manis dan baik budi penuh kasih sayang pula! Dengan diam-diam dia mengharapkan agar kelak dia dapat memperoleh jodoh seorang wanita seperti ini!
Sesudah keharuan mereka agak mereda, Ki Sumali merangkul istrinya dan diajak bangkit berdiri.
“Ah, benar seperti yang dikatakan anak-mas Aji tadi. Aku telah mabok, bahkan gila karena cemburu buta. Akan tetapi, anakmas Aji, dapatkah perasaan cemburu itu dihilangkan dari hati yang lemah ini? Aku jauh lebih tua dari diajeng Winarsih, bahkan sepantasnya kalau dia menjadi anakku. Bagaimana perasaan cemburu tidak akan menggoda hatiku kalau dia bertemu dengan pria lain yang jauh lebih muda dan tampan dariku?” Ki Sumali bertanya sambil memandang wajah Aji.
Pemuda itu tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman tentang cinta dan cemburu. Akan tetapi dia sudah memiliki dasar pengertian yang luas tentang kehidupan. Dari mendiang Ki Tejobudi dia mendapat gemblengan batin dan diperkenalkan dengan nafsu-nafsu berdaya rendah dan segala macam ulahnya yang selalu mencoba untuk menguasai manusia.
“Paman Sumali, sebenarnya saya pribadi belum pernah merasakan apa yang dinamakan cinta terhadap wanita dan bagaimana rasanya cemburu itu. Tetapi saya bisa menduga dan membayangkan. Paman, jika saya tidak salah, cemburu timbul karena ketidak percayaan. Adalah keliru sekali kalau paman tidak percaya kepada Mbakayu Winarsih. Dia seorang wanita dan istri yang kiranya sukar paman dapatkan keduanya di jagad ini. Berilah kepercayaan sepenuhnya kepadanya, paman, percaya dengan penuh keyakinan bahwa ia tidak akan sudi melakukan penyelewengan. Kepercayaan penuh keyakinan itu pasti akan mampu melenyapkan racun cemburu yang mengeram di dalam hati paman.”
“Apa yang dikatakan dimas Aji itu tepat dan benar sekali, kakang. Hal itu sudah terbukti dalam hatiku. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa engkau takkan menyeleweng dengan wanita lain dan selama ini aku tidak pernah merasa cemburu kepadamu, kakang, walau pun aku tahu bahwa engkau amat terkenal di Loano dan banyak wanita terkagum-kagum kepadamu.”
Ki Sumali mengangguk-angguk dan memandang kepada Aji dengan pandang mata penuh kagum.
“Anakmas Aji, sungguh tak kusangka engkau yang semuda ini memiliki pandangan seluas itu. Tetapi kiranya tidak dapat disangkal bahwa seorang pemuda setampan dan segagah engkau tentu mempunyai daya tarik kuat bagi wanita dan aku dapat merasakan bahwa istriku tentu kagum dan suka kepadamu.”
Ucapan ini sama sekali tidak mengandung amarah atau curiga, membuktikan bahwa dia tidak lagi dipengaruhi cemburu.
“Suka dan tertarik kepada orang lain, apa lagi yang berlawanan jenis, merupakan hal yang wajar, paman. Aku pun mengaku bahwa aku amat tertarik, suka dan kagum pada Mbakyu Winarsih, seperti aku akan kagum terhadap seseorang atau sesuatu yang indah, baik dan menarik perhatian menimbulkan kagum. Mungkin saja Mbakyu Winarsih suka dan kagum padaku karena aku telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang jahat. Apa salahnya dengan rasa kagum dan suka itu, paman? Kita adalah manusia, makhluk beradab yang dibatasi oleh tata susila dan tata hukum. Rasa kagum dan suka kita itu terbatas oleh kesusilaan dan hukum, tidak mendorong kita untuk memiliki apa yang kita kagumi dan sukai, apa lagi kalau yang kita sukai dan kagumi itu telah menjadi milik orang lain.
Kalau aku kagum melihat bunga yang indah dan timbul rasa suka, bukan berarti aku ingin memetik dan memilikinya, apa lagi jika bunga itu adalah milik orang lain. Bukan rasa suka dan kagum, tetapi nafsu binatanglah yang mendorong orang melakukan penyelewengan. Coba paman renungkan lalu jawab dengan sejujurnya. Apakah paman tidak akan tertarik melihat wanita lain yang cantik, pandai, bijaksana dan memiliki sifat-sifat baik lain yang mengagumkan? Apakah paman tidak akan menjadi kagum dan suka?”
Ki Sumali memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya, kemudian tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Nah, itu jujur namanya. Laki-laki melihat wanita cantik menarik menjadi kagum dan suka atau sebaliknya wanita melihat laki-laki tampan menarik menjadi kagum dan suka adalah suatu perasaan yang wajar dan sama sekali tidak perlu menjadikan malu. Kalau ada pria atau wanita mengaku bahwa dia tidak tertarik melihat lawan jenisnya yang mengagumkan, maka dia itu berbohong atau tidak normal. Suka dan kagum bukan berarti lalu menuruti nafsu dan menyeleweng. Semua itu tergantung pada pribudi manusianya, paman. Siapa sih yang tidak akan merasa tertarik melihat sesuatu, baik manusia atau benda, yang indah mengagumkan?”
Ki Sumali tersenyum lebar, senyum lega yang menandakan bahwa hatinya sudah terbuka. Pandang matanya kepada istrinya penuh kasih sayang dan pengertian. Betapa pun juga dia masih belum puas akan kebenaran yang telah dilihatnya, mengingat apa yang dialami dan dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.....
Komentar
Posting Komentar