ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-17


“Aku juga mendengar akan hal itu, paman. Tetapi kukira sebutan itu hanya patut diberikan kepada seorang pria yang menjadi budak dari nafsu birahinya sendiri. Kalau seorang pria suka dan kagum melihat wanita yang menarik, lalu menyimpan rasa suka dan kagum itu di dalam hati, maka hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi kalau rasa suka dan kagum itu lalu menimbulkan nafsu birahi dan mendorongnya untuk melakukan usaha untuk mendapatkan wanita itu sebagai pelampiasan nafsunya, maka pria semacam itulah yang pantas disebut mata keranjang. demikian pula kebalikannya dengan wanita. Bukankah kau pikir demikian, paman?”

Kembali Ki Sumali mengangguk-angguk. “Sungguh heran! Aku, laki-laki berusia lima puluh empat tahun yang memiliki banyak pengalaman, mendengarkan keterangan ini keluar dari mulut seorang pemuda remaja seperti engkau, Anakmas Aji.”

“Kakang Sumali dan Dimas Aji, kalian ini bagaimana sih? Bercakap-cakap di tengah hutan. Kakang, apakah tidak sebaiknya kalau kita undang Adimas Aji berkunjung ke rumah kita di mana kalian dapat bercakap-cakap lebih leluasa dan enak?”

“Ahh, engkau benar sekali, diajeng! Aku masih ingin bercakap-cakap lebih banyak dengan Anakmas Aji. Mari, anakmas, kami persilakan anakmas untuk berkunjung ke gubuk kami. Perkenalan ini harus dipererat!”

Aji tidak dapat menolak. Mereka bertiga keluar dari hutan. Winarsih dibantu suaminya naik ke atas punggung kuda dan dua orang pria itu berjalan kaki.....

********************

Rumah Ki Sumali cukup besar bagi keluarga yang belum memiliki anak itu. Yang tinggal di situ hanya mereka berdua, seorang pelayan wanita setengah tua dan seorang pelayan pria yang mengurus kebun mereka. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di rumah Ki Sumali.

Aji dipersilakan mandi. Setelah mereka semuanya mandi dan menikmati hidangan makan malam, Ki Sumali dan Winarsih lalu mengajak Aji bercakap-cakap di ruangan dalam. Aji sudah dibujuk suami istri itu untuk menginap di rumah mereka dan pemuda itu tidak dapat menolak keramahan mereka.

“Nah, sekarang kita dapat mengobrol dengan enak. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin sekali mengenalmu lebih baik lagi dan mengetahui banyak tentang dirimu. anak-mas Lindu Aji. Sekarang kami hanya mengetahui bahwa engkau adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna, berbudi mulia dan sebegini muda telah menjadi kepercayaan dari Gusti Sultan Agung hingga diberi Pusaka Kyai Nogo Welang. Akan tetapi kami tidak mengetahui siapa sebetulnya engkau, anak-mas, dari mana asalmu, siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu yang mulia? Maukah engkau menceritakannya kepada kami?”

“Saya anak dusun, hidup bersama ibu yang telah menjadi janda di pantai Laut Kidul, dusun Gampingan. Guru saya juga sudah meninggal dunia dan mendiang guru saya bernama Ki Tejobudi. Pada suatu hari secara kebetulan saya bertemu dengan Gusti Puteri Wandansari yang sedang berkelahi melawan orang-orang jahat yang sakti mandraguna. Sesudah saya mengetahui bahwa wanita itu adalah Sang Puteri yang namanya sudah saya dengar, saya langsung membantunya dan akhirnya orang-orang jahat itu dapat dikalahkan. Gusti Puteri Ratu Wandansari mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung lalu saya dianugerahi pusaka ini, paman.” keterangan Aji itu singkat saja karena memang dia tidak ingin banyak bercerita tentang dirinya. akan tetapi agaknya keterangan itu, terutama sekali mendengar bahwa Aji pernah membantu Ratu Wandansari dan menghadap Sultan Agung, membuat Ki Sumali tampak bersemangat dan gembira.

“Pertemuanku dengan engkau ini sungguh merupakan berkah dari Gusti Allah, anak-mas Aji! Bukan saja engkau sudah menyelamatkan istriku dari bencana besar, tetapi agaknya Gusti Allah mengirim engkau datang untuk membantu aku menghadapi musuh-musuhku. Kuharap engkau tidak menolak apa bila aku minta bantuanmu untuk menghadapi musuh-musuhku, anak-mas Aji.”

Aji mengerutkan keningnya. “Paman, maafkan aku. Kalau paman mempunyai musuh, aku tidak bisa mencampuri. Aku tidak tahu siapa musuh paman itu dan apa urusannya dengan paman. Bagaimana aku dapat mencampuri urusan pribadi paman dan ikut-ikut memusuhi orang-orang yang tidak kukenal sama sekali?”

“Ha-ha-ha, aku mengerti apa yang kau pikirkan, anak-mas Aji. Aku tidak menyalahkanmu. Memang sudah sepantasnya kalau engkau ragu-ragu dan menolak permintaan bantuanku karena engkau tidak mengenal siapa musuh-musuhku dan apa kesalahan mereka. Engkau tentu tidak mau salah tindak dan memusuhi orang-orang yang tak berdosa. Baiklah, akan kuceritakan persoalannya dan sesudah engkau mendengar ceritaku, barulah engkau boleh memutuskan apakah engkau mau membantuku menghadapi mereka atau tidak.”

Ki Sumali lalu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lindu Aji.

Ki Sumali adalah penduduk asli Loano dan semenjak dilahirkan dia tinggal di Loano. Akan tetapi sejak muda dia suka berkelana dan mempelajari ilmu-ilmu kanuragan sehingga dia terkenal sebagai pendekar Loano yang disegani dan dohormati banyak orang. Dia selalu menolong yang lemah dan menentang yang jahat.

Pada suatu hari Loano diserbu oleh para bajak sungai dan ketika itu Ki Sumali seorang diri membela dan mengamuk, menewaskan banyak anggota gerombolan bajak dan perampok. Dalam peristiwa itu dia menyelamatkan seorang perawan dusun yang diculik gerombolan.

Perawan itu adalah Winarsih yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Sejak itu nama Ki Sumali menjadi semakin terkenal dan yang merupakan hadiah terbesar bagi Ki Sumali adalah Winarsih yang jatuh cinta kepadanya karena pertolongan itu. Winarsih yang berusia delapan belas tahun itu dengan suka rela dan senang hati menjadi istrinya, padahal waktu itu usianya sudah lima puluh satu tahun. Ki Sumali yang tadinya seorang perjaka tua itu menikmati kebahagiaan berumah tangga dengan istrinya tersayang.

Ki Sumali yang namanya telah terkenal itu masih juga belum puas dengan ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Dia masih ingin memperdalam ilmunya. Untuk ini dia mengadakan hubungan dengan orang-orang yang mempunyai kedigdayaan untuk bertukar pikiran dan menambah pengalaman. Satu di antara kenalannya adalah Aki Somad, seorang pertapa yang sakti mandraguna dan berdiam di Nusa Kambangan.

Perkenalannya dengan Aki Somad yang berusia enam puluh tahun itu memperkaya ilmu kanuragan yang dimiliki Ki Sumali. Biar pun mereka bersahabat, tapi karena banyak yang dipelajarinya dari Aki Somad, maka Ki Sumali menganggap Aki Somad sebagai gurunya.

Akan tetapi persahabatan itu menjadi agak renggang, atau lebih tepat lagi Ki Sumali yang sengaja menjauhkan diri sesudah melihat betapa Aki Somad menjalin hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra yang dikenal oleh penduduk sebagai gerombolan yang condong untuk memusuhi Mataram. Padahal Gerombolan Gagak Rodra inilah yang dulu, tiga tahun yang lalu, pernah menyerbu dusun Loano.

Ketika pada suatu hari dia melihat beberapa orang anggota gerombolan itu berada di Nusa Kambangan dan mengantarkan bahan makanan serta barang-barang berharga untuk Aki Somad, Ki Sumali merasa tidak senang dan dia tidak pernah lagi mengunjungi Aki Somad yang tadinya dia anggap sebagai sahabat, bahkan sebagai guru itu.

Kurang lebih satu bulan sebelum pertemuannya dengan Aji, Ki Sumali kedatangan tamu. Yang datang itu bukan lain adalah Aki Somad. Kakek berusia sekitar enam puluh tahun ini bertubuh kurus dan agak bongkok, tangan kanannya selalu memegang sebatang tongkat dari ular kering. Mukanya meruncing ke depan seperti muka kuda, matanya yang sipit itu bersinar tajam penuh wibawa. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung yang masih baru. Dua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik yang besar-besar.

Ki Sumali beserta Winarsih yang sudah tiga tahun menjadi istrinya menyambut Aki Somad dengan hormat. Winarsih yang baru sekali itu berjumpa dengan Aki Somad, secara diam-diam merasa ngeri melihat betapa sinar mata kakek itu menggerayangi tubuhnya dengan genit dan nakal. Akan tetapi dia pun bersikap ramah dan hormat karena melihat suaminya sangat menghormati kakek itu,.

“Heh-heh, Adi Sumali. Inikah istrimu yang kabarnya masih amat muda itu? Hemm, engkau benar-benar beruntung, mendapatkan istri yang amat muda, bahenol dan cantik!” kakek itu terkekeh.

Ki Sumali tersenyum. Ia tidak merasa tersinggung karena dia mengenal sahabat yang juga dianggap gurunya ini memang seorang yang berwatak terbuka sehingga kadang-kadang terdengar kasar dan kurang ajar. Akan tetapi Winarsih menjadi sebal, mukanya berubah merah dan dia lalu mengundurkan diri, tidak mau keluar lagi. Bahkan ketika menyuguhkan hidangan, dia menyuruh Mbok Ginah, pembantu yang baru dua bulan bekerja kepadanya, untuk membawa hidangan itu ke ruangan tamu.

Mbok Ginah berusia kurang lebih lima puluh tahun. Dia bekerja bersama suaminya, Pak Karto yang menjadi tukang kebun dan kadang kala juga bekerja di ladang mereka. Tadinya suami istri tua ini memasuki desa Loano sebagai orang-orang yang terlantar meninggalkan kampung halaman di tepi sungai Bogawanta yang kebanjiran. Ki Sumali lalu menampung mereka yang sedang menderita itu dan menerima mereka sebagai pembantu.

“Kakang Somad, angin apakah yang meniup kakang berkunjung ke gubuk kali ini?” Tanya Ki Sumali sesudah mempersilakan tamunya minum. “Terus terang saja saya agak terkejut menerima kunjungan kakang yang saya tahu tak pernah meninggalkan Nusa Kambangan.”

“Heh-heh-heh, benar apa yang kau katakan itu, Adi Sumali. Memang, kalau tidak karena urusan penting sekali, aku tidak pernah mau meninggalkan Nusa Kambangan. Akan tetapi kedatanganku ini membawa urusan yang penting sekali. Aku ingin mengajak engkau untuk bekerja sama, atau lebih tepat lagi, aku ingin minta bantuanmu.”

“Kerja sama? Bantuan? Saya akan merasa senang sekali jika bisa membantumu, kakang. Katakanlah, urusan penting apakah yang membutuhkan bantuanku?”

“Begini, Adi Sumali. Engkau tentu sudah mendengar akan sepak terjang Sultan Agung di Mataram yang penuh angkara murka itu! Dia menggunakan kekerasan untuk menaklukkan seluruh kabupaten dan kadipaten yang berada di Jawa Timur, bahkan telah menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri! Tentu engkau sudah mendengar akan hal itu, bukan?”

Ki Sumali mengangguk-angguk, akan tetapi sepasang alisnya berkerut. “Tentu saja saya sudah mendengar bahwa Mataram telah berhasil menundukkan seluruh kadipaten di Jawa timur, Madura, Surabaya dan Giri, Kakang Somad. Akan tetapi yang saya ketahui, hal itu dilakukan Kanjeng Gusti Sultan Agung sama sekali bukan karena tindakan angkara murka. Beliau menghendaki supaya seluruh kadipaten di Nusantara ini dapat bersatu padu untuk menghadapi ancaman yang berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda. Tanpa adanya persatuan, kiranya tidak mungkin untuk dapat mengusir Balanda dari Nusantara.”

“He-he-heh, agaknya engkau juga sudah kena pengaruh Mataram! Ketahuilah, Adi Sumali, semua yang kau katakan itu sesungguhnya hanya merupakan akal licik Sultan Agung saja untuk mencari alasan agar supaya keangkara murkaannya tidak terlihat. Dia menggunakan dalih untuk mengusir Belanda. Padahal, apa sih kesalahan Belanda? Mereka datang untuk berdagang. Kedatangan mereka di Nusantara justru menguntungkan bangsa kita. Mereka membawa ilmu yang perlu kita pelajari. Mereka datang membawa kemakmuran karena mereka itu kaya raya. Karena itu, Adi Sumali, kita dapat mempergunakan kepandaian dan kekuatan Belanda untuk membendung keangkara murkaan Sultan Agung di Mataram!”

“Maksudmu, saya harus berbuat apa, Kakang Somad?” tanya Ki Sumali sambil menahan perasaan hatinya yang menjadi panas mendengar kata-kata yang jelas bernada memusuhi Mataram itu.

“Begini, Adi Sumali. Sebenarnya sudah lama kami membantu pihak Belanda yang berjanji untuk membebaskan kami dari kekuasaan Mataram. Kami sudah berhasil menggagalkan usaha pasukan Mataram yang melakukan penyerangan ke Jayakarta. Untuk itu Kumpeni Belanda berterima kasih kepada kami dan memberikan banyak hadiah. Tetapi Kumpeni Belanda minta supaya kami waspada karena mereka percaya bahwa pihak Mataram tentu akan melakukan penyerbuan lagi. Karena itu kami ditugaskan untuk menghimpun tenaga, membujuk para pejabat dan pamong praja di daerah Kadipaten Banyumas dan lain-lain, juga di daerah Loano ini, untuk menghimpun kekuatan dan menghalangi gerakan Mataram bila mereka hendak melakukan penyerbuan ke barat lagi. Untuk itu semua biayanya akan diberikan oleh pihak Belanda dan kita akan mendapat hadiah harta kekayaan yang besar. Bahkan kalau Kumpeni Belanda dapat mengalahkan Mataram, besar kemungkinannya kita akan mendapatkan kedudukan tinggi. Bukan tidak mungkin, dan kami akan mengusulkan kepada Kumpeni, kelak engkau sendiri akan diangkat menjadi Adipati yang menguasai Loano dan sekitarnya, Adi Sumali.”

Sejak tadi Ki Sumali sudah berusaha menahan kesabaran dan menekan kemarahannya. “Maksud Kakang Somad agar saya... memberontak kepada Mataram?”

“Ya, memberontak terhadap raja yang lalim, Adi Sumali! Dan ini merupakan tugas seorang satria seperti adi! Menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang si angkara murka!”

Ki Sumali tersenyum dan menggeleng kepala. “Kakang Somad telah salah duga! Kanjeng Sultan Agung di Mataram adalah seorang raja yang adil dan arif bijaksana, sama sekali bukan lalim. Yang lalim dan palsu adalah Belanda dan tampaknya Kakang Somad sudah dipengaruhi racun bujukan Belanda yang mempergunakan harta benda untuk membujuk orang agar menjadi pengkhianat! Tidak, Kakang Somad, maafkan saja, saya tidak dapat membantu kakang dalam hal ini!”

“Adi Sumali! Jadi engkau ingin mengorbankan persahabatan kita dengan menolak tawaran kerja sama itu?” Aki Somad berseru marah.

“Apa boleh buat, Kakang Somad. Bagaimana pun juga, sampai mati saya tidak akan mau mengkhianati Mataram dan akan tetap setia kepada kanjeng Sultan!”

Aki Somad bangkit berdiri dengan marah. “Babo-babo, Ki Sumali! Kalau kelak Kumpeni Belanda menggilasmu, aku tidak akan menolongmu dan persahabatan di antara kita putus sampai di sini!” Dia menggerakkan tongkat ularnya, dihantamkan ke atas meja.

“Brakkk...!”

Meja itu pecah berantakan dan semua hidangan yang berada di atas meja berloncatan lalu jatuh berserakan di atas lantai!

Ki Sumali juga bangkit berdiri, akan tetapi dia masih bersikap tenang dan waspada.

“Terserah kepadamu, Kakang Somad! Engkau yang memutuskan, bukan aku.”

Aki Somad mendengus marah lalu memutar tubuh dan meninggalkan rumah itu dengan langkah lebar. Mendengar suara ribut-ribut itu Winarsih berlari memasuki ruangan dan dia pun terbelalak memandang meja yang telah remuk dan hidangan yang berserakan di atas lantai. Akan tetapi hatinya lega melihat suaminya berdiri di situ dalam keadaan selamat.

“Kakang, apakah yang terjadi? Di mana tamunya dan semua ini...” Dia menuding ke arah meja dan hidangan yang berserakan.

Melihat mata terbelalak dan wajah pucat istrinya, Ki Sumali mendekati lantas merangkul pundaknya. “Tenanglah dan jangan kaget, Narsih. Panggil saja Mbok Ginah dan Pak Karto agar mereka menyingkirkan dan membersihkan semua ini.”

Winarsih menurut, memanggil kedua orang pembantunya. Suami istri yang usianya sekitar lima puluh tahun itu masuk dan mereka segera membersihkan ruangan itu tanpa banyak bertanya. Sementara itu Ki Sumali mengajak istrinya masuk ke ruangan dalam.

“Kakang, aku khawatir sekali. Aki Somad itu... menyeramkan dan aku mendapat perasaan yang tidak enak, seolah ada bahaya besar yang mengancam kita, kakang.”

“Tenanglah, Narsih, Gusti Allah akan selalu melindungi orang yang tak bersalah. Memang tadi kakang Somad marah karena aku tidak mau diajak memberontak terhadap Mataram. Kelak dia tentu akan menyadari kesalahannya dan menyesal atas sikapnya hari ini.”

Setelah menceritakan semua yang sudah dialaminya kepada Aji, Ki Sumali memandang kepada pemuda itu dan menghela napas panjang. “Demikianlah, anakmas Aji. Sejak hari itu aku selalu waspada dan menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi dua hari yang lalu kami kecolongan juga! Aku masih tidur ketika Winarsih meninggalkan rumah pada waktu fajar untuk mencuci pakaian di sungai belakang rumah. Hal ini kuanggap aman saja karena di sana ada kedua orang pelayan kami yang juga sudah bangun. Aku sama sekali tidak menduga bahwa kesempatan itu dipergunakan orang-orang jahat itu untuk menculiknya.”

“Dua orang itu menepuk tengkukku dan aku tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Dalam keadaan tidak mampu bersuara itu aku dilarikan kemudian dibawa dengan perahu. Setelah beberapa lamanya barulah aku dapat mengeluarkan suara kembali dan melihat seorang pemuda tengah berkelahi melawan anak buah penjahat itu, aku lalu berteriak minta tolong. Akhirnya dimas Aji berhasil menyelamatkan aku.”

“Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih, andika berdua telah menceritakan semua kejadian kepadaku. Sekarang Mbakayu Winarsih sudah pulang dengan selamat. Lalu bantuan apa lagi yang paman kehendaki dariku?”

“Begini, anak-mas Aji. Engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng Sultan Agung, tentu tak akan tinggal diam melihat ada usaha pengkhianatan dan pemberontakan. Aku yakin bahwa penculikan atas diri Winarsih itu ada hubungannya dengan kemarahan Aki Somad padaku. Usahanya untuk membujuk para pamong praja supaya mengkhianati Mataram, agar kelak menghalangi Mataram bila pasukan Mataram hendak menyerbu ke Jayakarta atau Batavia, haruslah ditentang dan digagalkan.”

“Paman Sumali, apakah engkau mengenal nama Ki Blekok Ireng?”

“Ehh...?” Ki Sumali memandang heran. “Mengapa engkau menanyakan nama itu? Apakah engkau juga mengenal nama kepala bajak dan rampok yang terkenal di seluruh Kadipaten Kedu itu?”

“Orang yang bernama Ki Blekok Ireng itulah yang memimpin penculikan atas diri Mbakayu Winarsih. Dia mengakui namanya ketika bertanding denganku di dalam air.”

“Ahh, sudah kuduga! Dan ini menjadi bukti kebenaran kecurigaanku terhadap Aki Somad. Sekarang jelas sudah, dialah dalang penculikan ini dengan niat untuk menghancurkan aku. Ketahuilah, anak-mas Aji. Ki Blekok Ireng itu adalah ketua dari gerombolan Gagak Rodra yang terkenal bersikap menentang dan memusuhi Mataram. Tidak aneh bila gerombolan itu kini diperalat oleh Kumpeni Belanda. Aku sudah mendengar bahwa Aki Somad menjalin hubungan dengan gerombolan itu. Hal itulah yang membuat aku enggan bersahabat lagi dengan dia. Kalau sekarang ketua gerombolan itu yang menculik Winarsih, mudah diduga bahwa Aki Somad berada di belakang peristiwa itu.”

Aji mengangguk-angguk. “Tampaknya dugaan paman itu tidak salah. Lalu apa yang akan paman lakukan sekarang?”

“Gerombolan Gagak Rodra itu harus kita hancurkan. Ya, kita. Engkau dan aku, anak-mas Aji. Hancurnya gerombolan itu berarti lenyapnya penghalang dan gangguan bagi Mataram, juga berarti hancurnya segerombolan antek Belanda di daerah ini!”

Pada saat itu seorang wanita memasuki ruangan itu. Dia berusia sekitar lima puluh tahun, rambutnya sudah berwarna dua dan pakaiannya yang sederhana menunjukkan bahwa dia seorang pelayan. Memang wanita itu adalah Mbok Ginah, pembantu keluarga Ki Sumali. Dia membawa sebuah piring besar berisi singkong rebus yang masih mengepul panas.

“Silakan makan singkong rebusnya, raden,” katanya kepada Aji. Setelah berkata demikian dia keluar dari ruangan itu. Winarsih tersenyum. “Silakan, dimas Aji. Selagi masih hangat, singkong rebus ini gurih sekali.” Dia menawarkan.

“Ya, silakan, anak-mas Aji! Ini makanan desa, hanya seadanya saja,” kata pula Ki Sumali mempersilakan.

Aji tersenyum. “Ahh, saya juga biasa makan singkong rebus seperti ini, paman.” Dia lalu menggerakkan tangan kanan untuk mengambil makanan itu. Akan tetapi terjadi keanehan.

Tangannya itu seperti bergerak di luar kehendaknya dan mendorong piring berisi singkong rebus itu sehingga piring itu terdorong jatuh dari atas meja lantas isinya berserakan di atas lantai.

Ki Sumali dan Winarsih memandang heran. Mereka hendak bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil makanan yang terjatuh berserakan itu. Namun tiba-tiba Aji menjulurkan kedua tangan dan memegang lengan mereka.

“Harap kalian jangan bergerak dan biarkan ayam itu makan singkong rebus!” bisiknya.

Tentu saja suami istri itu merasa heran sekali. Mereka memandang kepada seekor ayam, yaitu ayam mereka yang memasuki ruang itu dari pintu depan. Agaknya ayam itu tertarik melihat singkong rebus berceceran lalu binatang itu lari mendekat dan mematuk sepotong singkong, terus memakannya dengan asyik.

Aji dan suami istri itu memandang, Aji dengan penuh perhatian, dan suami istri itu dengan heran dan tidak mengerti akan sikap Aji yang sangat aneh itu.

Kemudian terjadi hal yang membuat suami istri itu terbelalak dan Winarsih menahan jerit di balik tangannya. Mereka berdua melihat ayam itu tiba-tiba terguling, lalu berkelojotan dan akhirnya mati! Aji bangkit dari duduknya dan mengangguk-angguk.

“Sudah kuduga. Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih. Singkong rebus itu mengandung racun yang amat berbahaya.”

“Apa? Bagaimana mungkin?” Ki Sumali berseru heran, lalu memandang ke arah dalam rumah dan berteriak memanggil. “Mbok Ginah...! Ke sinilah...!”

Terdengar langkah kaki berlari-larian dari dalam kemudian muncullah Pak Karto dan Mbok Ginah. Agaknya suami istri pelayan ini amat terkejut mendengar panggilan Ki Sumali yang berteriak keras itu.

“Ada... apakah...?” Pak Karto bertanya gagap.

“Andika memanggil saya...?” Mbok Ginah bertanya kepada Ki Sumali yang memandang kepadanya dengan alis berkerut.

Aji cepat mengambil dua potong singkong rebus dari atas tanah, kemudian menyerahkan dua potong singkong rebus itu kepada Pak Karto dan Mbok Ginah.

“Kami bertiga minta agar kalian bedua makan singkong rebus ini, sekarang juga, di muka kami!” kata Aji dengan nada memaksa.

Suami istri tua itu menerima sepotong singkong rebus. Mereka tampak bingung dan heran, kemudian keduanya saling pandang dan memandang kepada Ki Sumali dan Winarsih. Ki Sumali maklum bahwa Aji mencurigai dua orang pelayan itu menaruh racun pada singkong rebus dan kini sengaja menyuruh mereka makan.

Dia mengangguk dan berkata, “Turuti saja permintaan anak-mas Aji.”

Winarsih mengawasi dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika dengan tenang suami istri itu membawa singkong rebus ke mulut mereka dan hendak menggigitnya. Melihat ini, tiba-tiba tangan Aji menyambar dan kedua orang tua itu berseru kaget. Singkong rebus di tangan mereka terpental kemudian jatuh ke atas tanah.

“Ahh, apa artinya ini...?” keduanya berseru heran.

Melihat mereka tadi benar-benar hendak makan singkong rebus itu, Ki Sumali merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa mereka berdua tidak tahu menahu tentang racun yang berada di singkong rebus. Kalau mereka tahu tidak mungkin mereka mau memakannya.

“Begini, Pak Karto dan Mbok Ginah, kami mendapatkan kenyataan bahwa singkong rebus ini mengandung racun yang mematikan.”

“Racun...?” Suami istri pelayan itu berseru kaget.

“Lihatlah ayam itu,” kata Ki Sumali. “Ayam itu langsung mati setelah makan singkong yang tercecer.”

“Akan tetapi... kenapa denmas ini menyuruh kami memakannya kalau sudah tahu bahwa singkong itu beracun?” tanya Mbok Ginah penasaran. “Tetapi kemudian mencegah kami memakannya?”

“Ahh, sekarang saya tahu!” kata Pak Karto. “Mbokne, agaknya denmasnya ini mencurigai kita yang meracuni singkong itu dan hendak menguji kita!”

“Sebenarnyalah,” kata Aji. “Memang aku tadi mencurigai kalian dan maafkan aku, ternyata bukan kalian yang menaruh racun di dalam singkong rebus itu. Akan tetapi ceritakanlah, siapa yang merebus singkong ini?”

“Saya yang merebusnya, denmas!” kata Mbok Ginah.

“Apakah ketika merebusnya engkau menjaganya? Ataukah kau tinggalkan pergi, mbok?”

“Tentu saja saya tinggalkan untuk melakukan pekerjaan lainnya, denmas. Mosok nggodok singkong saja harus dijaga?”

“Apakah tadi kalian tidak melihat ada orang yang memasuki dapur, atau masuk ke dalam pekarangan rumah ini?”

“Tidak ada, denmas,” kata Mbok Ginah.

“Nanti dulu!” kata Pak Karto. “Ketika tadi sedang menyirami bunga, saya seperti melihat bayangan orang berkelebat di samping rumah. Karena heran dan tertarik, saya langsung mengejar dan mencarinya di sekitar rumah, tapi tidak menemukan orang. Maka saya kira saya hanya salah lihat. Jangan-jangan...“

“Hemm, tentu ada orang lain menyelinap masuk!” kata Ki Sumali. “Sudahlah, kalian bawa singkong ini dan cepat tanam di dalam tanah. Hati-hati, jangan tercecer. Bisa mati semua ayam kita. Dan jangan lupa membawa bangkai ayam itu, juga kuburlah bangkai itu.”

Suami istri itu lalu mengumpulkan singkong rebus yang tercecer dan mengambil bangkai ayam lalu meninggalkan ruangan itu. Setelah mereka pergi, Ki Sumali berkata kepada Aji.

“Nah, anak-mas Aji. Engkau melihat sendiri betapa mereka itu berusaha untuk mencelakai dan membunuh kami. Oleh karena itu aku harus mendatangi gerombolan Gagak Rodra, menuntut mereka yang telah menculik Winarsih. Kalau mereka tidak berterus terang siapa yang menyuruh mereka atau mendalangi semua ini, aku akan membasmi perkumpulan itu yang menjadi pengkhianat bangsa dan antek belanda. Dan aku mengharap engkau akan suka membantuku, mengingat bahwa engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng Sultan!”

Aji mengangguk. “Sesudah mendengar semua ceritamu dan melihat kenyataan mengenai penculikan atas diri Mbakayu Winarsih dan usaha meracuni kita tadi, aku pun tahu bahwa aku harus membantumu, Paman Sumali. Pertama untuk menentang kejahatan dan kedua untuk membela Mataram.”

“Bagus!” Ki Sumali berseru girang sekali. “Terima kasih, anak-mas Aji. “Dengan bantuanmu aku tidak takut menghadapi Kakang Somad, seandainya benar-benar dia yang berdiri di belakang gerombolan Gagak Rodra. Sekarang sebaiknya kita mengaso dahulu. Malam ini kita harus mengumpulkan tenaga. Besok pagi-pagi barulah kita akan berkunjung ke sarang geombolan Gagak Rodra.”

“Apakah paman tahu di mana sarang gerombolan itu?” tanya Aji.

“Aku tahu. Mereka mempunyai sebuah perkampungan yang dijadikan sarang mereka di Lembah Kali Bogawanta,” kata Ki Sumali.

“Akan tetapi jumlah mereka tentu banyak sekali. Bagaimana kalian yang hanya berdua saja akan menentang mereka? Tentu kalian akan dikeroyok banyak orang!” kata Winarsih dengan khawatir sekali.

“Jangan khawatir, Narsih. Aku mendengar bahwa di sarang mereka itu terdapat keluarga mereka, istri dan anak-anak mereka. Para anggota gerombolan itu pun manusia-manusia yang menyayangi anak istri mereka. Kami berdua hanya akan menentang para pimpinan mereka saja. Apa bila pimpinan mereka sudah dapat kami tundukkan, anak buahnya tentu akan tunduk pula. Selain itu aku pun akan mengumpulkan para muda di Loano untuk ikut dengan aku. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan di samping itu mereka tentu siap kalau diajak menyerbu gerombolan perampok yang sering mengganggu penduduk di daerah Kedu dan sekitarnya. Sekarang harap engkau suka beristirahat dulu, anak-mas Aji. Aku bersama mbakayumu akan pergi mengunjungi para pemuda di Loano dan mempersiapkan mereka untuk ikut dengan kita besok pagi.”

“Baiklah, paman. Aku akan beristirahat.”

“Engkau pakailah kamar di sebelah ini, Dimas Aji. Jangan sungkan, kau minta saja kepada Mbok Ginah,” kata Winarsih ramah.

“Terima kasih, Mbakayu Winarsih.”

Suami istri itu meninggalkan rumah, sementara Aji lalu memasuki kamar yang disediakan untuknya. Ketika dia teringat akan kuda yang tadi ditungganginya bersama Winarsih, dia segera keluar dari kamar lalu menuju ke belakang untuk melihat keadaan kuda itu. Dia pun hendak melihat suami istri pembantu rumah tangga itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)