ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-18


“Ah, denmas Aji..., apa yang bisa kami lakukan untukmu?” tanya Mbok Ginah dan mereka berdua bangkit berdiri.

“Aku hendak bertanya kepada Pak Karto apakah kudaku itu sudah dirawat dengan baik,” kata Aji.

“Ohh, jangan khawatir, denmas. Kuda itu sudah saya guyang (mandikan) dan sudah saya beri makan rumput,“ kata Pak Karto.

“Syukurlah kalau begitu dan terima kasih, Pak Karto.”

Aji lalu masuk kembali dan di dalam kamarnya dia duduk termenung di atas pembaringan. Dia merasa curiga kepada suami istri tua itu. Pertama, sikap dan ucapan mereka kadang kala rapi teratur, tidak seperti orang dusun dan sikap ketololan itu tampaknya dibuat-buat.

Kedua, tadi ketika disuruh makan singkong rebus, dia melihat Pak Karto memberi isyarat dengan kedipan mata yang tak kentara kepada istrinya, dan sikap mereka yang keheranan itu pun terlihat dibuat-buat sebab pandang mata mereka sama sekali tidak membayangkan keheranan melainkan penasaran.

Ketiga, baru saja kedua orang itu membuktikan bahwa mereka bukan orang sembarangan karena mereka berdua dapat menangkap suara langkah kakinya yang dibuat dengan hati-hati. Dua orang itu patut dicurigai, biar pun belum ada bukti yang nyata.

Sesudah jauh malam barulah Ki Sumali dan Winarsih pulang. Ki Sumali nampak gembira ketika Aji keluar dari kamar menyambut mereka.

“Ehh, anak-mas Aji, engkau belum tidur?” tanya Ki Sumali.

“Kenapa engkau tidak mengaso, dimas Aji?” tanya pula Winarsih.

Aji tersenyum. “Aku belum mengantuk, paman. Bagaimana hasilnya?”

“Wah, bagus sekali! Para pemuda itu penuh semangat dan menyatakan akan membantu kita besok. Sedikitnya lima puluh orang pemuda akan ikut dengan kita!”

“Bagus sekali,” kata Aji. “Akan tetapi kuharap paman memberi tahu kepada mereka agar tidak terburu nafsu turun tangan menyerang bila keadaan tidak memaksa. Seperti paman katakan tadi, kalau bisa kita tundukkan para pemimpinnya supaya anak buah mereka tidak melakukan perlawanan lagi. Apa bila sampai terjadi pertempuran, aku khawatir akan jatuh banyak korban di kedua pihak.”

“Tepat sekali, cocok dengan jalan pikiranku, anak-mas Aji. Aku memang sudah memesan demikian kepada mereka. Aku mengajak mereka pun hanya untuk menggertak agar para anak buah gerombolan Gagak Rodra tidak akan dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi apa boleh buat seandainya mereka berlaku nekat. Para pemuda Loano juga bukan orang-orang lemah. Sedikit banyak mereka juga sudah mempelajari ilmu kanuragan dan mereka mempunyai semangat tinggi untuk membela Mataram dan menentang para penjahat yang mengganggu keamanan.”

“Syukurlah kalau begitu, paman.”

“Sekarang sudah larut malam. Mari kita mengaso, anak-mas Aji. Besok pagi barulah kita berangkat.”

Mereka lalu memasuki kamar masing-masing. Aji segera merebahkan dirinya untuk tidur. Akan tetapi dia tetap memasang kewaspadaannya karena dalam hati kecil dia tetap curiga kepada Pak Karto dan Mbok Ginah. Biar pun dia tidur pulas tetapi pendengaran telinganya tetap peka dan siap menangkap suara yang tidak wajar.

Ketika itu sudah jauh lewat tengah malam, bahkan sudah menjelang fajar. Pada saat-saat seperti itu orang-orang sedang pulas-pulasnya tidur. Bahkan ayam jantan pun belum ada yang bersuara. Suasana sunyi sekali dan hawa udara amat dinginnya.

Rumah Ki Sumali juga masih sunyi sekali. Agaknya semua penghuninya masih tidur pulas. Dua sosok bayangan manusia bergerak dengan cepat dan ringan sekali di dalam rumah itu. Dua pasang kaki itu bergerak sedemikian ringannya seperti kaki kucing saja. Mereka menghampiri jendela kamar yang ditempati Aji. Daun jendela yang cukup lebar itu mereka buka dengan mudah sekali, hanya ditarik begitu saja sudah terbuka. Agaknya memang tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan begitu saja.

Dua orang itu mencabut senjata, seorang mencabut sebatang parang dan yang seorang lagi mencabut sebatang pisau belati. Sesudah melongok ke dalam kamar yang gelap dan sunyi itu, mereka lalu bergerak melompat ke dalam kamar lewat lobang jendela. Gerakan mereka yang gesit membuktikan bahwa kedua orang itu memiliki ketangkasan.

Tanpa ragu ragu lagi dua orang itu langsung menghampiri pembaringan di mana Aji tidur. Agaknya mereka sudah hafal benar dengan keadaan di dalam kamar itu. Buktinya mereka dapat bergerak dalam kegelapan tanpa menabrak meja kursi.

Sesudah tiba di tepi pembaringan, dengan gerakan cepat dan kuat kedua orang itu segera membacokkan parang dan menusukkan pisau belati ke atas pembaringan. Mereka merasa yakin bahwa sekali serang, orang yang tidur di atas pembaringan itu tentu tewas seketika tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

“Wuuuttt...! Brakkkk...!”

Dua orang itu kaget bukan main. Senjata mereka mengenai papan pembaringan sehingga menimbulkan suara keras. Agaknya tidak ada orang tidur di atas pembaringan itu! Dua orang itu terkejut dan cepat mereka berloncatan ke luar dari kamar itu melalui jendela. Di luar kamar tidak segelap dalam kamar karena tempat itu diterangi sebuah lampu gantung. Ketika mereka tiba di luar kamar, Aji sudah berdiri menunggu mereka.

“Pak Karto dan Mbok Ginah, seperti yang kuduga, kiranya kalian benar-benar mempunyai niat buruk untuk membunuh!” kata Aji kepada dua orang yang bukan lain adalah Pak Karto dan Mbok Ginah.

Kini Pak Karto dan Mbok Ginah tidak tampak loyo seperti biasanya. Mereka mengenakan pakaian ringkas dan tampak gesit dan bersemangat sekali. Ucapan Aji itu mereka sambut dengan serangan parang dan pisau belati mereka!

Melihat gerakan mereka yang tangkas dan serangan yang mengandung tenaga kuat itu, maklumlah Aji bahwa dua orang itu memiliki kepandaian tinggi. Mereka yang menyamar sebagai pembantu itu ternyata adalah orang-orang yang digdaya.

Dia sudah bersiap siaga. Memang dia sudah menaruh curiga, apa lagi ketika tadi malam dia melihat bahwa jendela kamarnya hanya ditutup begitu saja tanpa dipalang. Tampaknya memang ada orang yang sengaja melakukan hal ini dan karena itu maka dia cepat bersiap ketika tadi mendengar suara gerakan mereka yang amat ringan. Dia sudah meninggalkan pembaringan dan bersembunyi di balik almari di sudut.

Ketika dua bayangan itu masuk, dia pun diam-diam ke luar melalui pintu dan menghadang mereka di luar jendela. Kini, melihat serangan kedua orang itu, Aji cepat menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Tebasan parang ke arah lehernya itu dielakkan dengan merendahkan tubuhnya dan tusukan pisau belati ke arah perutnya dia tepis dengan tangan kirinya sehingga tangan Mbok Ginah terpental.

Akan tetapi dua orang itu cepat menyerang lagi dengan lebih ganas, bahkan kini serangan mereka bertubi-tubi. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya, mengelak dan tubuhnya berkelebat, tidak pernah dapat tersentuh dua senjata itu. Dia melihat bahwa gerakan Pak Karto jauh lebih cepat dan lebih bertenaga dibandingkan gerakan Mbok Ginah.

Setelah menghindarkan diri dari serangan mereka selama belasan jurus, Aji menggerakkan kaki kirinya, menendang ke arah samping. Dia tidak ingin melukai dua orang itu, sebab itu kakinya hanya menyambar pergelangan tangan Mbok Ginah yang memegang pisau belati.

Wanita itu berteriak kesakitan, pisau belatinya terlepas dari pegangannya lantas terlempar dan jatuh berkerontangan di atas lantai. Suara ribut-ribut itu membangunkan Ki Sumali dan Winarsih.

“Heiii... ada apa ini...?” Ki Sumali keluar dari kamarnya dan berseru heran ketika melihat Aji diserang Pak Karto dengan parang.

Melihat munculnya Ki Sumali, Pak Karto yang sudah merasa gentar melihat ketangguhan Aji, segera melontarkan parangnya ke arah Aji, kemudian dia melompat pergi diikuti oleh Mbok Ginah.

Parang itu meluncur cepat ke arah dada Aji karena dilontarkan dari jarak yang amat dekat dengan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi Aji tidak menjadi gugup. Dengan tenang dia memiringkan tubuhnya dan sekali tangan bergerak, dia telah berhasil menangkap gagang parang itu.

Ki Sumali masih merasa terkejut dan heran sekali.

“Anak-mas Aji, ada apakah? Mengapa Pak Karto dan Mbok Ginah tadi bersikap demikian aneh?”

Winarsih juga keluar dari kamar dan wanita ini tampak gelisah. “Apa... apa yang terjadi...?”

“Tenanglah, Mbakayu Winarsih. Tidak ada apa-apa, bahaya telah lewat. Mari kita duduk, akan kuceritakan apa yang terjadi.”

Mereka semua duduk di ruangan dalam. “Seperti yang sudah kuduga, ternyata Pak Karto dan Mbok Ginah itu hanyalah pelayan-pelayan palsu, malah nama mereka mungkin bukan Karto dan Ginah. Mereka adalah orang-orang digdaya yang agaknya sengaja menyamar menjadi pelayan kalian, tentu saja dengan niat buruk. Apakah mereka sudah lama menjadi pelayanmu, Paman Sumali?”

“Belum, baru beberapa bulan saja. Mereka mengaku pengungsi karena kampung mereka kebanjiran. Karena merasa iba kami lalu menerima mereka menjadi pembantu-pembantu kami,” kata Ki Sumali.

“Mereka memang sengaja diselundupkan ke sini, tentu untuk memata-mataimu, paman. Pada saat aku datang dan kita sedang merundingkan perlawanan terhadap Gagak Rodra, mereka berdua mencoba untuk membunuh kita dengan singkong beracun.”

“Akan tetapi ketika engkau menyuruh mereka makan singkong itu, mereka tidak menolak dan hampir saja mereka memakannya.” kata Winarsih.

“Memang benar aku ingin menguji mereka. Kalau mereka menaruh racun pada singkong, tentu mereka takkan mau memakannya. Maka ketika melihat mereka mau memakannya, aku lalu mencegahnya. Pada waktu itu aku juga meragu apakah mereka sengaja meracuni singkong itu. Akan tetapi ada hal-hal yang mencurigakan hatiku. Pertama, sikap dan kata-kata mereka yang kadang kala teratur rapi itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang-orang dusun yang bodoh, Kedua, pada waktu aku menyuruh mereka makan singkong, aku melihat Pak Karto memberi isyarat berkedip kepada Mbok Ginah.”

“Akan tetapi kalau ketika itu engkau tidak melarangnya, tentu mereka sudah mati karena makan singkong beracun itu, Dimas Aji!” kata Winarsih.

“Belum tentu, mbakayu. Baru tadi malam aku teringat bahwa orang yang pandai memakai racun, tentu juga memiliki obat penawarnya. Aku yakin kedua orang itu sudah makan obat penawar ketika mereka kuuji untuk makan singkong beracun itu. Kecurigaanku bertambah kuat ketika aku melihat bahwa jendela kamarku tidak terpalang, hanya ditutup begitu saja sehingga mudah dibuka dari luar. Karena itu aku sudah siap siaga sehingga ketika mereka berdua memasuki kamar lewat jendela dan menyerang dengan senjata ke pembaringan, aku sudah meninggalkan pembaringan itu dan menghadang mereka di luar jendela. Maka terjadilah perkelahian itu.”

“Ih, sungguh mengerikan sekali kalau diingat bahwa selama berbulan ini kami memelihara dua orang pembunuh di tengah-tengah kami!” kata Winarsih.

“Kukira anak-mas Aji benar. Mereka sengaja diselundupkan ke sini hanya untuk memata-matai aku. Mereka masih mengharapkan aku mau bekerja sama dengan mereka. Setelah dua orang mata-mata itu melihat aku dan anak-mas Aji bertekad untuk menentang mereka barulah dua orang itu berusaha untuk membunuh,” kata Ki Sumali. “Sungguh sayang kita tidak dapat menangkap mereka, anak-mas Aji. Kalau saja mereka dapat ditangkap, tentu kita dapat memaksa mereka mengaku siapa yang mengirim mereka ke sini.”

“Memang aku tidak tega melukai mereka, paman. Tapi agaknya tidak dapat diragukan lagi bahwa mereka berdua itu pasti ada hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra. Menurut apa yang paman ceritakan, Gerombolan Gagak Rodra mempunyai dendam permusuhan dengan paman. Pertama, tentu saja ketika dahulu mereka menyerbu dusun ini dan paman memusuhi mereka dan kedua, mungkin karena mereka itu menentang Mataram padahal paman bersikap setia kepada Mataram.”

“Kurasa pendapatmu itu benar, anak-mas Aji. Sekarang fajar sudah hampir menyingsing. Sebaiknya kita bersiap-siap. Anak-anak sudah kupesan untuk berkumpul di luar dusun dan kita berangkat setelah matahari terbit,” kata Ki Sumali.

“Baiklah, paman.”

Winarsih lalu sibuk di dapur mempersiapkan sarapan pagi agar dua orang itu dapat makan lebih dahulu sebelum berangkat,. Sesudah sarapan, Ki Sumali mengajak Winarsih pergi ke rumah kepala dusun Loano. Dia menitipkan istrinya di rumah kepala dusun itu agar istrinya aman selagi dia pergi bersama Aji.

Setelah menitipkan istrinya barulah Ki Sumali mengajak Aji berangkat, Di luar dusun sudah berkumpul kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka sudah mempersiapkan diri dan membawa senjata tajam apa saja yang mereka miliki. Mereka sudah siap dan semuanya bertekad untuk bertempur melawan para gerombolan orang jahat itu.....

********************

Gerombolan Gagak Rodra memiliki sebuah perkampungan di lembah Sungai Bogawanta. Perkampungan yang khusus dihuni oleh para anggota gerombolan ini terpencil dari dusun-dusun lain dan menjadi sarang gerombolan itu. Kurang lebih lima puluh orang anak buah gerombolan tinggal di perkampungan itu dan anak istri mereka pun tinggal di situ sehingga seluruh penghuni perkampungan itu berjumlah hampir dua ratus orang.

Pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali perkampungan Gerombolan Gagak Rodra kedatangan seorang tamu istimewa. Tamu itu seorang wanita cantik yang cantik jelita. Usianya tampak masih jauh lebih muda walau pun usianya yang sebenarnya sudah tiga puluh tahun.

Rambutnya panjang hitam ngandan-andan (berombak) sampai ke punggung dan dibiarkan terurai. Pakaiannya mewah sekali. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memang ayu manis dengan mata lebar dan hidung mancung.

Mulutnya memiliki bibir yang berbentuk indah dan menantang, menggairahkan hati setiap pria yang melihatnya. Mata serta mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat sekali, mulut yang selalu tersenyum manis dan mata jeli yang bisa mengerling dengan genit. Tubuhnya yang berkulit putih mulus itu pun ramping dan padat.

Namun kedatangan wanita ayu ini ternyata disambut dengan penuh kehormatan oleh dua orang pimpinan Gagak Rodra, yakni Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren. Bagi anak buah Gagak Rodra pun, wanita ini sudah amat dikenal dan ditakuti. Mereka semua tahu bahwa wanita itu adalah seorang sakti mandraguna yang wataknya sangat kejam. Kalau sedang marah, siapa saja akan dibunuhnya dengan darah dingin.

Dan wanita itu pun oleh mereka dianggap sebagai seorang iblis betina. Walau pun cantik menarik, tak ada seorang pun di antara para anggota Gagak Rodra yang kasar itu berani bersikap kurang ajar. Bahkan begitu wanita itu muncul, para ibu yang menyusui anak-anak cepat-cepat menyembunyikan anak mereka karena mereka tahu bahwa wanita cantik itu mempunyai kebiasaan seperti iblis sendiri, yaitu suka menghisap darah anak-anak sampai habis! Kita sudah mengenal wanita itu. Ia adalah Nyi Maya Dewi, datuk wanita dari daerah Parahiyangan yang mempelajari ilmu sesat.

Di dunia hitam, yaitu dunianya kaum penjahat, Nyi Maya Dewi ini dikenal baik dan ditakuti. Semua orang menghormatinya karena takut kepadanya. Maka ketika wanita itu muncul di perkampungan Gerombolan Gagak Rodra, ia disambut dengan penuh penghormatan oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren, dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra.

“Aha! Selamat datang di perkampungan kami, Nyi Maya Dewi yang kami hormati. Apakah kiranya yang bisa kami lakukan untuk andika?” tanya Blekok Ireng setelah mempersilakan wanita itu mengambil tempat duduk. Mereka berdua, ditemani oleh Jalak Uren, duduk di pendopo rumah besar yang menjadi tempat tinggal kedua orang pimpinan gerombolan itu.

“Ki Blekok Ireng dan Jalak Uren, kalian berdua adalah pimpinan Gagak Rodra, maka kalian berdualah yang bertanggung jawab atas kemajuan di daerah Kedu dan di sepanjang Kali Bogawanta. Nah, laporkan kepadaku bagaimana kemajuan usaha kalian.”

Dua orang pimpinan Gagak Rodra itu saling pandang dengan hati heran. Memang mereka mengenal datuk wanita ini sebagai seorang tokoh besar yang ditakuti dan dihormati. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa datuk wanita itu menjadi pemimpin mereka, bahkan mereka tidak pernah merasa menjadi anak buah Nyi Maya Dewi. Bagaimana sekarang wanita itu tiba-tiba saja minta mereka memberi laporan? Tentang kemajuan usaha apakah?

“Maafkan kami, Nyi Maya Dewi. Sebenarnya kami masih belum mengerti apa yang andika maksudkan. Laporan apakah yang harus kami berikan? Kemajuan dalam usaha apakah?”

“Hemmm, aku lupa bahwa kalian belum mengenal benar siapa aku. Lihatlah ini, kenalkah kalian dengan benda ini?” Wanita itu mengeluarkan sebuah uang emas yang bergambar sepasang singa.

Melihat ini, dua orang pemimpin Gerombolan Gagak Rodra itu terbelalak, kemudian cepat mereka bangkit berdiri dan memberi hormat dengan menyembah kepada Nyi Maya Dewi.

“Mohon maaf, karena kami tidak mengetahui maka kami kurang hormat dalam menyambut andika yang ternyata adalah seorang di antara para pengawas yang mendapat kekuasaan dari Jenderal Kumpeni di Batavia. Selama ini yang menjadi pengawas dan selalu memberi petunjuk kepada kami adalah Aki Somad di Nusa Kambangan.”

“Aku mengenal Aki Somad. Pagi ini dia pun akan datang ke sini karena sudah kuundang untuk datang. Aku membawa pesan khusus dari Tuan Jenderal Kumpeni sendiri untuknya. Nah, sekarang cepat kalian memberi laporan. Apakah kalian telah berhasil membujuk para pamong praja di daerah Kedu dan di sepanjang Kali Bogawanta, khususnya di Loano?”

“Kami sudah berusaha keras, Nyi Maya Dewi, tetapi hasilnya belum memuaskan. Mereka itu kebanyakan takut dan setia kepada Sultan Agung di Mataram, terutama sekali karena mereka itu terpengaruh oleh seorang pendekar yang dihormati di Loano.”

“Hemmm, seorang pendekar menjadi penghalang? Siapakah dia?” Tanya Nyi Maya Dewi penasaran.

“Namanya Ki Sumali, seorang yang sakti mandraguna.”

“Ahh, lalu apa kerjanya Aki Somad? Apakah dia tidak mampu menanggulangi orang itu?”

“Aki Somad sudah berusaha membujuk Ki Sumali untuk diajak bekerja sama, akan tetapi tidak berhasil. Bahkan dia lalu mengutus kami untuk bertindak menculik istri Ki Sumali.”

“Siasat itu bagus sekali untuk memaksa dia tunduk. Lalu bagaimana hasilnya?”

“Kami sedang sial. Kami telah berhasil menculik wanita itu, tetapi kemudian kami bertemu dengan seorang pemuda yang amat digdaya. Pemuda itu menggagalkan penculikan kami dan menolong wanita itu.”

“Tolol benar kalian!” Nyi Maya Dewi mamaki.

“Tapi kami tidak putus harapan dan kami masih mempunyai cara lain untuk menundukkan dia atau kalau perlu membunuh dia sekeluarga agar tidak menjadi penghalang bagi kami.”

“Bagaimana caranya?”

“Kami tidak kekurangan akal, Nyi Maya Dewi!” kata Ki Blekok Ireng dengan suara bernada bangga.

“Benar, Nyi Maya Dewi. Kami tanggung Ki Sumali akan mampus di tangan kami!” Ki Jalak Uren cepat menyambung untuk menghibur karena kegagalan usaha mereka.

“Hemm, bagaimana akal itu? Cepat katakan!”

“Jauh hari sebelumnya, sudah beberapa bulan ini kami dapat menyelundupkan dua orang yang kini diterima menjadi pembantu-pembantu rumah tangga Ki Sumali. Mereka sudah dipercaya dan melalui kedua orang pembantu itu kami akan dapat mencelakai Ki Sumali.”

“Bagus! Sungguh bagus sekali akal itu. Kalau siasat kalian ini berhasil, aku akan mencatat jasa kalian!” kata Nyi Maya Dewi girang.

Tiba-tiba saja terdengar suara dua orang berlari-lari masuk ke dalam ruangan itu. Mereka bukan lain adalah laki-laki dan wanita yang mengaku bernama Pak Karto dan Mbok Ginah pelayan rumah Ki Sumali!

“Eh, kalian Bardo dan Sumi, kalian sudah datang? Bagaimana dengan tugas kalian, sudah beres dan berhasil baik, bukan?” tegur Ki Blekok Ireng.

“Wah, celaka, Kakang Blekok Ireng, celaka sekali...!” kata Karto alias Bardo.

“Celaka bagaimana? Hayo lekas katakan, celaka bagaimana?” Ki Blekok Ireng membentak dengan alis berkerut marah.

“Kami telah gagal...!” kata pula Mbok Ginah alias Sumi.

“Keparat! Kalian layak dihukum!” bentak Ki Blekok Ireng dan dia segera melangkah maju hendak memukul dua orang pembantunya itu.

“Tahan! Jangan pukul dulu. Biarkan mereka menceritakan kenapa mereka sampai gagal!” tiba-tiba Nyi Maya Dewi berseru dan Ki Blekok Ireng menahan diri lalu duduk kembali.

Dua orang pembantu itu berlutut di atas lantai, tampak ketakutan sekali.

“Kau dengar itu? Bardo, cepat ceritakan apa yang terjadi!” kata Ki Blekok Ireng.

“Ceritakan sejujurnya bagaimana kalian sampai gagal, Kakang Bardo, agar hukumanmu ringan.” Ki Jalak Uren ikut bicara.

“Begini kejadiannya. Kami berdua melihat Winarsih pulang dalam keadaan selamat diantar seorang pemuda. Kami tahu bahwa usaha kita menculiknya berarti sudah gagal. Kami lalu mengintai dan mendengarkan percakapan antara Ki Sumali dengan pemuda penolong itu. Rupanya mereka hendak membongkar rahasia kita dalam membantu Kumpeni dan hendak menentang kita. Sebab itu kami segera melaksanakan rencana berikutnya, yaitu meracuni mereka. Kami telah menaruh racun ke dalam singkong rebus dan menghidangkan kepada mereka. Tetapi lagi-lagi pemuda itu yang menggagalkan usaha kami. Bahkan pemuda itu mengetahui bahwa singkong rebus itu beracun! Dia menyuruh kami untuk memakannya. Kami tahu bahwa dia curiga kepada kami dan hendak menguji kami. Karena kami sudah menelan obat penawar, maka kami siap memakannya. Akan tetapi pemuda itu mencegah kami memakannya. Agaknya kesediaan kami makan singkong itu sudah menghilangkan kecurigaannya. Akan tetapi kami menganggap pemuda itu sangat berbahaya sekali, maka kami melakukan usaha yang terakhir. Jauh lewat tengah malam tadi, sebelum fajar, kami berdua memasuki kamar pemuda itu dengan niat membunuhnya. Akan tetapi ketika kami menyerang pembaringan, ternyata pembaringan itu kosong dan ketika kami keluar kamar, pemuda itu telah menghadang di luar! Kami berdua menyerangnya, akan tetapi dia benar-benar sakti mandraguna. Kami berdua yang bersenjata tidak dapat mengalahkan dia yang bertangan kosong. Karena Ki Sumali terbangun, kami berdua lalu melarikan diri dan cepat lari ke sini.”

“Nanti dulu,” kata Nyi Maya Dewi. “Siapakah pemuda yang sakti mandraguna itu? Coba jelaskan, bagaimana orangnya?”

Bardo dan Sumi tentu saja sudah mengenal Nyi Maya Dewi, maka Bardo menjawab, “Dia masih muda sekali, jangkung tegap, wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.”

“Namanya! Siapa namanya?” tanya datuk wanita itu.

“Kami tidak tahu, akan tetapi kami mendengar Ki Sumali menyebut dia anak-mas Aji, dan Winarsih menyebutnya Dimas Aji.”

“Ahhh... kiranya dia...!” Nyi Maya Dewi berseru kaget.

Teringatlah dia akan pengalaman di pantai Laut Kidul ketika dia menculik dua orang bocah yang dianggapnya berdarah bersih untuk dijadikan korbannya. Anak-anak itu diselamatkan oleh seorang pemuda yang sakti mandraguna. Tentu pemuda itulah yang kini menolong Ki Sumali! Siapa lagi kalau bukan pemuda itu?

“Andika sudah mengenal pemuda itu?” Ki Blekok Ireng bertanya.

“Mungkin. Bagaimana pun juga kita harus bersiap siaga. Alangkah baiknya kalau sekarang Aki Somad sudah berada di sini agar kedudukan kita menjadi lebih kuat.”

“Kakang Blekok Ireng, kita memang harus bersiap siaga. Ki Sumali sudah mengumpulkan pemuda-pemuda Loano dan agaknya dia hendak menyerbu ke sini.” kata Bardo.

“Benarkah? Ahh... kalau begitu cepat siapkan kawan-kawan. Kita semua harus menjaga di luar perkampungan. Jangan sampai mereka menyerbu ke dalam agar keluarga kita tidak terancam!” kata Blekok Ireng.

Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren segera mengumpulkan semua anak buahnya, berjumlah lima puluh orang lebih dan mereka semua menghadang di depan perkampungan dengan senjata di tangan, siap bertempur. Hati kedua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra ini menjadi agak tenang karena di situ ada Nyi Maya Dewi yang bisa mereka andalkan.....

********************

Matahari sudah naik tinggi ketika rombongan pemuda Loano yang dipimpin oleh Ki Sumali tiba di luar perkampungan gerombolan Gagak Rodra. Para pemuda itu sudah dipesan oleh Ki Sumali supaya jangan bertindak sembrono dan tidak melakukan penyerangan sebelum diperintah.

Pesan ini sesuai dengan permintaan Aji yang tidak menghendaki terjadinya pertempuran besar-besaran yang dapat menjatuhkan banyak korban di kedua pihak. Kalau mungkin dia hendak menyadarkan Gerombolan Gagak Rodra itu. Yang perlu ditundukkan adalah para pemimpinnya, karena jika para pemimpinnya sudah bisa ditundukkan, tentu anak buahnya akan mudah diatur.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)