ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-19


Hal ini telah membuktikan bahwa dugaannya benar. Dua orang itu memang diselundupkan oleh Gagak Rodra untuk menjadi pembantu di rumahnya, tentu untuk memata-matai dan kemudian berusaha membunuhnya. Ki Sumali menjadi marah sekali.

Dia belum pernah berhadapan langsung dengan Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama dua orang pimpinan Gagak Rodra ini dan dapat menduga bahwa tentu dua orang laki-laki yang nampak gagah itu yang menjadi pimpinan Gagak Rodra.

Sementara itu Aji mengenal dua orang kepala gerombolan yang pernah bentrok dengannya itu. Dan dia pun diam-diam terkejut melihat Nyi Maya Dewi berada di sana, berdiri di pihak gerombolan Gagak Rodra, Juga dia melihat Mbok Ginah dan Pak Karto di situ. Akan tetapi Aji bersikap tenang. Dia membiarkan Ki Sumali berhadapan dan bicara dengan mereka.

Di lain pihak, Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren juga terkejut ketika mereka mengenal Aji. Mereka sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini. Akan tetapi kehadiran Nyi Maya Dewi di situ membesarkan hati mereka sehingga mereka bersikap congkak. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu Nyi Maya Dewi juga terkejut sekali.

Tentu saja Maya Dewi mengenal Aji, tetapi dia diam saja dan diam-diam memutar otaknya mencari akal untuk dapat mengatasi pemuda yang sakti mandraguna itu. Blekok Ireng lalu melangkah maju menghadapi Ki Sumali. Dengan sikap congkak sambil bertolak pinggang dia berkata.

“Kalau tidak keliru, andika tentu Ki Sumali dari Loano. Apa kehendakmu mengajak puluhan orang datang ke perkampungan kami?”

Ki Sumali memandang kepada dua orang laki-laki bertubuh tinggi itu, kemudian menjawab, “Kiranya tidak salah lagi, tentu kalian berdua yang bernama Blekok Ireng dan Jalak Uren, pimpinan gerombolan Gagak Rodra!”

“Memang dugaanmu tidak salah, aku adalah Ki Blekok Ireng dan ini adalah Ki Jalak Uren. Kami pemimpin Perkumpulan Gagak Rodra. Heh, Ki Sumali, apa kehendakmu datang ke perkampungan kami?”

Ki Sumali tersenyum mengejek. “Apakah kalian perlu kalian bertanya lagi? Mengapa kalian masih berpura-pura tidak mengerti? Kalian telah mencoba untuk menculik istriku Winarsih. Lalu kalian menyelundupkan dua orang hina yang mengaku sebagai Karto dan Ginah itu untuk mencoba membunuh kami, dan kini kalian masih bertanya apa maksudku datang ke sini? Kalian bukan laki-laki sejati, mempergunakan cara yang curang dan pengecut. Kalau kalian memang hendak memusuhi aku, kini aku datang untuk menantang kalian bertanding seperti laki-laki jantan!”

“Ki Sumali manusia sombong! Sikapmu yang sombong itu yang memancing permusuhan. Kalau saja engkau mau menuruti kehendak Aki Somad, tentu kami takkan memusuhimu, kita dapat bekerja sama dan sama-sama hidup mulia dan senang. Apa yang kami lakukan kepadamu itu adalah sesuai dengan perintah Aki Somad. Oleh karena itu, kalau engkau hendak bertanya tentang itu, bertanyalah saja kepada Aki Somad!”

“Hemm, tidak salah dugaanku. Kalian gerombolan Gagak Rodra juga telah menjadi antek-antek Belanda! Hei orang-orang Gagak Rodra, apakah kalian tidak malu? Lupakah kalian bahwa kalian adalah orang-orang Jawa yang tinggal di Nusa Jawa? Apakah kalian sudah begitu hina untuk mengkhianati bangsa sendiri, hendak menjual tanah air kepada bangsa Belanda? Sadarlah kalian, orang-orang lembah Kali Bogawanta, dan mari kita membantu Mataram untuk menentang Kumpeni Belanda!”

Blekok Ireng marah sekali, khawatir kalau di antara anak buahnya ada yang terpengaruh. “Tutup mulutmu, Ki Sumali! Engkaulah yang tidak tahu malu! Engkau yang sudah menjadi antek Sultan Agung yang telah menindas dan menaklukkan daerah kami. Kami akan terus menentang Mataram yang angkara murka dan Kumpeni Belanda hanya membantu kami!”

“Sudahlah, Blekok Ireng, tidak perlu banyak cakap lagi. Kedatanganku ini untuk membuat perhitungan karena kalian telah berusaha menculik istriku, kemudian berusaha membunuh kami. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu sebagai seorang jantan. Jika engkau tidak berani, jangan banyak cakap lagi. Engkau harus membubarkan gerombolan Gagak Rodra dan tidak lagi membantu Kumpeni Belanda atau aku dan kawan-kawan akan membasmi kalian semua!”

Merah muka kedua orang pimpinan Gagak Rodra. Jalak Uren melompat ke depan sambil menghunus sebatang klewang (semacam golok) yang berkilauan saking tajamnya.

“Ki Sumali, akulah yang akan melawanmu!”

Akan tetapi Blekok Ireng juga melompat ke sisi Jalak Uren dan berkata. “Ki Sumali, kami sebagai pimpinan Gagak Rodra menyambut tantanganmu, tentu saja kalau engkau berani melawan kami berdua!” sambil berkata demikian Blekok Ireng juga mencabut senjatanya, sebatang pedang besar panjang yang berkilauan tajam.

Ki Sumali mengerling kepada Aji dan melihat pemuda itu mengangguk. Dia tersenyum dan melangkah maju menghadapi dua orang pimpinan Gagak Rodra itu.

Aji sudah pernah bertanding melawan dua orang ketua gerombolan itu dan dia pun pernah bertanding melawan Ki Sumali, karena itu dia bisa menilai kepandaian masing-masing dan merasa yakin bahwa Ki Sumali mampu menandingi pengeroyokan dua orang itu.

Anak buah kedua pihak hanya menonton sambil bersiap siaga menanti perintah. Aji berdiri menonton dengan sikap tenang tapi waspada. Dia tahu bahwa wanita cantik yang berdiri di sana itu merupakan seorang yang amat berbahaya, curang dan juga kejam sekali.

Di lain pihak Nyi Maya Dewi juga hanya berdiri menonton. Baginya dia tidak peduli apakah pihak Gagak Rodra akan kalah atau menang karena mereka bukan anak buahnya. Mereka itu hanya antek-antek kecil saja.

Tapi kehadiran Aji di situ membuat perasaan hatinya tidak enak. Dia memandang pemuda itu dengan penasaran dan juga membencinya karena dia pernah dikalahkan. Akan tetapi dia juga merasa agak jeri di samping kagum. Kalau saja dia bisa memiliki seorang kekasih sesakti pemuda itu, masih amat muda dan tampan lagi, maka hatinya akan merasa puas!

Dia berdiri menonton dengan sikap yang tampaknya tenang, tapi dalam hatinya dia sedang mencari-cari cara untuk menghadapi pemuda itu, atau mungkin mengalahkannya, bahkan lebih baik lagi kalau dia dapat menarik pemuda itu menjadi sahabatnya, bukan musuhnya!

Melihat dua orang lawannya sudah menghunus parang dan pedang, Ki Sumali tidak mau bersikap sembrono dan dua tangannya segera bergerak ke arah pinggang sehingga di lain saat tangan kanannya telah mencabut sebatang keris yang berlekuk-lekuk panjang seperti seekor ular dan berwarna hitam. Itulah keris pusaka Kyai Sarpo Langking (Ular Hitam) dan tangan kirinya memegang sebatang suling dari bambu, namun berada di tangan Ki Sumali, benda lemah itu dapat menjadi senjata yang amat ampuh dan hal ini sudah dibuktikan oleh Aji ketika dia bertanding melawan pendekar Loano itu.

“Blekok Ireng dan Jalak Uren, aku sudah siap. Kalian mulailah!” tantang Ki Sumali sambil menyilangkan keris dan suling di depan dadanya. Sikapnya tenang tetapi waspada dan dia kelihatan gagah sekali.

Dua oang pemimpin Gagak Rodra itu juga bukan orang-orang lemah. Mereka berdua telah terkenal digdaya, apa lagi kini keduanya hendak maju bersama. Mereka menggeser kaki, perlahan-lahan Ki Blekok Ireng menggeser ke sebelah kanan Ki Sumali, ada pun Ki Jalak Uren menggeser ke sebelah kirinya. Mereka hendak mengepung lawan itu dari kanan kiri. Tiba-tiba Jalak Uren membentak dari sebelah kiri.

“Haahhhh...!” Bentakan itu disusul menyambarnya senjata klewang yang berkilauan tajam ke arah leher Ki Sumali.

Klewang itu tajam bukan main. Para anggota Gagak Rodra melihat sendiri betapa klewang itu mampu mencukur bersih brewok muka Ki Jalak Uren. Kalau sudah dapat dipakai untuk mencukur brewok, bisa dibayangkan betapa tajamnya klewang ini. Sekali babat saja leher tentu akan putus! Juga sabetan itu mengandung tenaga yang sangat kuat. Buktinya ketika disabetkan, klewang itu mengeluarkan bunyi berdesing.

Namun dengan gerakan yang ringan dan lincah, Ki Sumali sudah merendahkan tubuhnya sehingga sabetan klewang itu hanya lewat di atas kepalanya. Tetapi pada detik berikutnya pedang runcing di tangan Blekok Ireng sudah meluncur dan menusuk ke arah dadanya. Ki Sumali mengangkat lagi tubuhnya sambil menggerakkan keris di tangan kanannya dengan gerakan memutar untuk menangkis tusukan pedang sambil mengerahkan tenaganya.

“Trangggg...!”

Pedang itu terpental tertangkis keris dan tampak bunga api berpijar ketika dua senjata itu beradu.

Blekok Ireng terkejut karena pertemuan dua buah senjata itu membuat telapak tangannya yang memegang pedang menjadi panas dan pedang itu terpental seperti bertemu dengan benda keras yang sangat kuat. Dua orang Pimpinan Gagak Rodra itu menjadi penasaran sekali ketika serangan pertama mereka gagal.

“Hoosssss...!”

Kembali klewang menyambar ganas dan kini menyerampang ke arah kaki Ki Sumali. Jalak Uren menyerang sambil berjongkok. Ki Sumali melompat ke atas sehingga serampangan klewang itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Pada saat itulah pedang di tangan Blekok Ireng sudah menyambar lagi, kini menyerang dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah kepala.

“Hyaaaatttt...!” Blekok Ireng mengeluarkan teriakan nyaring ketika pedangnya membacok.

Tetapi dengan gerakan gesit sekali tubuh Ki Sumali yang masih belum menginjak tanah itu bergerak ke samping lalu berjungkir balik. Dia sudah bisa menghindarkan diri dari bacokan pedang itu. Dua orang lawannya menjadi makin penasaran dan mereka terus mendesak.

Sampai tujuh delapan kali Ki Sumali selalu mengelak atau menangkis sambil mempelajari gerakan dua orang pengeroyoknya. Sesudah mulai mengenali dasar gerakan kedua orang pengeroyoknya, maka mulailah Ki Sumali melakukan serangan balasan. Namun sepasang senjatanya terlampau pendek jika dibandingkan senjata kedua orang pengeroyoknya yang lebih panjang.

Ketika klewang dan pedang itu membacok dari kanan kiri, keduanya mengarah kepalanya, Ki Sumali cepat menyambut dengan keris dan sulingnya sambil mengerahkan tenaganya.

“Trakkk!”

Empat senjata bertemu dan seperti melekat. Pada saat itulah tubuh Ki Sumali melompat, kedua kakinya mencuat ke kanan kiri menendang ke arah dada lawan.

“Bukk! Bukk!”

Tepat sekali kedua kaki Ki Sumali menghantam dada Blekok Ireng dan Jalak Uren. Dua orang itu terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi dua orang pimpinan Gagak Rodra itu memiliki tubuh yang kuat juga. Tendangan itu tidak membuat mereka terluka. Mereka segera bangkit kembali kemudian melakukan pengeroyokan dengan lebih ganas.

Ki Sumali mengandalkan kecepatan gerak untuk menyambut kedua orang pengeroyoknya dan membalas serangan mereka. Serang menyerang terjadi dengan serunya.

Aji menonton dengan hati tenang. Dia sudah dapat melihat bahwa Ki Sumali takkan kalah menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Karena menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian, Aji tidak menyadari bahwa semenjak tadi Nyi Maya Dewi sudah tidak menonton pertandingan itu, melainkan mencurahkan perhatian kepadanya.

Agaknya wanita itu juga dapat melihat bahwa kedua orang pimpinan Gagak Rodra itu sulit sekali akan dapat keluar sebagai pemenang. Maka dia mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Aji. Biar pun Ki Sumali cukup sakti namun dia masih merasa yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan pendekar Loano itu. Yang berbahaya baginya adalah pemuda yang sederhana itu. Maka dia harus dapat mendahuluinya sebelum dua orang pimpinan Gagak Rodra itu kalah. Kalau kedua orang itu sudah kalah, maka kedudukannya menjadi sulit dan berat sekali kalau dia harus melawan Ki Sumali dan Lindu Aji.

Selagi perhatian Aji tertarik kepada pertandingan itu, sejak tadi Nyi Maya Dewi diam-diam telah menghimpun seluruh tenaga batinnya, mulutnya berkemak kemik membaca mantera dan dia mengerahkan aji pengasihan yang disebut Aji Pelet Mimi Mintuno. Setelah merasa bahwa kekuatan aji pengasihan itu sudah mencapai puncak kekuatannya, wanita ini lantas melangkah perlahan menghampiri Aji.

Sesudah berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter di sebelah kiri pemuda itu, dia lalu memasang aji pengasihan itu. Suaranya merdu merayu pada saat dia berkata lirih namun mengandung getaran aneh dan cukup keras untuk terdengar oleh Aji yang berdiri dekat.

“Aji, wong bagus! Inilah aku jodohmu! Kita sehidup semati, atut runtut berkasih-kasihan seperti Mimi dan Mintuno! Ke sinilah, sayang, aku rindu padamu.”

Aji menoleh dan di dalam pandangan matanya, wanita itu kelihatan ayu manis, cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan. Mata itu begitu jeli indah, sinarnya sayu lembut setengah terpejam mengandung gairah membangkitkan rangsangan birahi. Hidung kecil mancung itu cupingnya bergerak-gerak lembut mengembang kempis, mulut itu sedikit ternganga, ada pun sepasang bibir yang tipis, penuh, lembut dan merah membasah itu seperti terengah, merekah menantang. Tubuh yang ramping padat dan mengkal lembut itu seolah menuntut untuk didekap dan dibelai.

Aji belum pernah merasa tertarik oleh kecantikan wanita, kecuali saat dia bertemu dengan Ratu Wandansari yang membuatnya kagum namun penuh hormat. Tapi kali ini dia merasa tersedot oleh daya tarik yang luar biasa. Baru sekali ini selama hidupnya dia mengalami berkobarnya gairah birahi dalam dirinya dan dengan sendirinya kedua kakinya melangkah memenuhi panggilan wanita itu!

Pengalaman yang baru satu kali dirasakannya itu membuat Aji sangat terkejut dan segera dia menyadari bahwa hal ini adalah tidak wajar! Kesadaran sekilat ini bagaikan sinar yang menyambarnya dan otomatis dia telah tenggelam dalam Aji Tirta Bantala yang dia peroleh dari mendiang Ki Tejobudi. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak dan dengan suara berbisik dia menyebut,

“Allah... Allah... Allah...”

Pada saat itu, berhentilah semua nafsu hati akal dan pikiran yang tadi mencengkeramnya dan dia merasa dirinya tenang dan bersih kembali. Ketika dia membuka mata memandang ke arah Nyi Maya Dewi yang berdiri dalam jarak tiga meter darinya itu, dia melihat wajah itu tetap cantik tetapi sungguh mengerikan! Mata itu mencorong penuh nafsu, mulut yang indah bentuknya itu menyeringai sehingga tampak kejam mengerikan.

“Ya ampun, Gusti...!” Aji berbisik lirih dan kakinya cepat-cepat bergerak mundur beberapa langkah menjauhi wanita itu.

Tadinya Nyi Maya Dewi telah merasa girang dan hampir yakin bahwa aji pengasihan Pelet Mimi Mintuno yang dikerahkan itu tentu berhasil. Dia menjadi terkejut, kecewa dan marah ketika melihat pemuda itu sadar kembali. Dia tahu bahwa pengaruh aji pengasihannya itu telah gagal.

Dengan marah sekali ia mengeluarkan segenggam daun sirih dan setelah berkemak kemik membaca mantera ia pun berseru, “Aji, mampuslah engkau diserang barisan ularku!”

Dia lalu membanting segenggam daun sirih itu ke atas tanah.

Seruan itu terdengar pula oleh para pemuda Loano yang menonton dan mereka terbelalak keheranan juga ngeri melihat betapa daun-daun yang dibanting wanita cantik itu ternyata benar-benar sudah berubah menjadi banyak ular weling yang merayap ke arah Aji dengan sikap buas!

Para pemuda Loano ini tadi melihat betapa wanita itu seperti merayu Aji. Namun mereka tidak tahu apa yang terjadi, hanya melihat pemuda yang dirayu itu maju beberapa langkah lalu berhenti dan mundur kembali.

Tetapi melihat serangan aneh itu mereka menjadi jeri dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Juga mereka merasa takut menghadapi serangan sihir yang dapat mengubah daun-daun menjadi ular weling itu. Mereka semua mengenal ular yang amat berbahaya itu. Sekali tergigit maka orang akan tewas seketika!

Namun Aji yang diancam serangan puluhan ekor ular weling itu kelihatan tenang saja. Dia berjongkok mengambil segenggam tanah lantas dilontarkannya tanah itu ke arah ular-ular yang merayap menuju kakinya.

“Demi Allah, kembalilah kepada kodratmu!”

Begitu disambar tanah yang dilontarkan ke arah ular-ular itu, tampak asap mengepul dan ular-ular jadi-jadian itu pun kembali ke dalam wujudnya semula, yaitu beberapa helai daun sirih yang berserakan di atas tanah! Melihat ini para pemuda Loano bertepuk tangan dan bersorak. Sebaliknya para anak buah Gagak Rodra yang tadinya telah merasa girang, kini mengerutkan alis mereka.

Nyi Maya Dewi menjadi semakin marah. Tepuk tangan dan sorak sorai itu terdengar oleh telinganya seperti suara yang mengejeknya. Dia merangkapkan kedua tangannya ke atas, lalu sambil membaca mantera dia menurunkan kedua tangan tetap dalam bentuk sembah.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking dan panjang, kemudian kedua tangan itu dikembangkan ke arah puluhan orang pemuda Loano. Dari sepasang telapak tangannya itu muncul asap hitam yang tebal bergulung-gulung, dan bagaikan hidup asap itu melayang ke arah puluhan orang pemuda Loano!

Tentu saja puluhan orang pemuda Loano itu menjadi gentar dan panik. Mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hendak maju mereka takut, tapi untuk melarikan diri mereka merasa malu.

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Aji sudah melompat ke depan kelompok pemuda Loano itu. Dia menyambut datangnya asap hitam itu dengan dorongan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Surya Chandra.

“Wuuussss...!”

Dari dorongan ini muncul tenaga dahsyat seperti angin yang menerpa gulungan asap hitam itu.

Begitu diterjang tenaga dahsyat itu, asap hitam yang seperti hidup itu lantas membalik dan bergulung-gulung seperti naga yang ketakutan dan bingung, lalu asap itu terbang kembali ke arah kedua telapak tangan Nyi Maya Dewi!

Melihat betapa berbagai serangannya dengan ilmu sihir dapat dipunahkan Aji, kemarahan Nyi Maya Dewi jadi memuncak.

“Bocah sombong, aku bersumpah untuk membunuhmu!” teriaknya.

Cepat dia menggosok-gosokkan dua telapak tangannya. Tampak asap mengepul di antara kedua telapak tangannya yang berubah merah seperti berlepotan darah! Inilah Aji Telapak Ludiro yang didapatkannya dengan latihan yang sangat keji, yaitu menghisap darah anak-anak yang lahir batinnya masih murni! Kedua telapak tangan yang merah ini mengandung hawa pukulan beracun yang amat jahat.

Sejak menguasai ilmu sesat ini, belum pernah Nyi Maya Dewi mempergunakannya dalam perkelahian. Akan tetapi beberapa ekor kerbau dan sapi sudah menjadi korbannya, tewas seketika begitu terkena tamparan tangannya!

Aji tidak mengenal ilmu itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa lawannya tentu sedang menggunakan aji pukulan yang ampuh. Maka dia pun bersikap waspada.

“Mampuslah!” Wanita itu berteriak dan menerjang maju sambil tangan kirinya menampar.

Terdengar suara berdesir dan saking cepatnya tangan itu bergerak, yang tampak hanyalah sinar kemerahan menyambar ke arah kepala Aji. Tapi pemuda itu sudah memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Dengan mudahnya dia mengelak. Ketika tangan kanan yang merah itu menyambar dari jurusan lain, dia pun sudah cepat melompat dan mengelak.

Wanita itu semakin penasaran dan terus mendesak. Akan tetapi dengan cepatnya tubuh Aji berloncatan ke sana sini, kadang-kadang melompat dan jungkir balik, namun serangan wanita itu semuanya hanya mengenai tempat kosong.

Aji sendiri belum mau membalas karena bagaimana pun juga dia tak ingin memukul orang, apa lagi orang yang dilawannya itu adalah seorang wanita. Rasanya tidak pantas memukul seorang wanita!

Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali yang dikeroyok dua oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren berlangsung semakin seru. Namun segera tampak bahwa dua orang pimpinan Gagak Rodra itu kewalahan menghadapi kedigdayaan Ki Sumali. Suling di tangan kiri Ki Sumali bergerak cepat sampai mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup.

Hal ini membingungkan dua orang pengeroyoknya itu, apa lagi keris Sarpo Langking yang digerakkan dengan cepat sekali merupakan sinar hitam yang menyambar-nyambar ganas. Beberapa kali dua orang itu terjengkang dan terhuyung terkena sambaran tendangan kaki Pendekar Loano itu. Tapi tubuh mereka kebal sehingga tidak bisa terluka oleh tendangan. Melihat keuletan mereka, Ki Sumali menjadi marah dan penasaran juga.

Tiba-tiba Ki Sumali mengeluarkan pekik yang dahsyat sekali. Itulah Aji Jerit Bairawa yang mengandung tenaga dalam yang sangat ampuh. Dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra itu gemetar terserang pekik dahsyat itu sehingga sejenak mereka seperti lumpuh.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Sumali. Hampir berbareng keris Sarpo Langking di tangan kanan dan suling bambu di tangan kiri berkelebat dan robohlah Blekok Ireng yang tertembus dadanya oleh keris dan Jalak Uren yang retak pelipisnya oleh hantaman suling bambu!

Para pemuda Loano bersorak gembira melihat betapa Ki Sumali sudah dapat merobohkan dua orang pemimpin gerombolan itu. Tetapi pada saat itu muncul seorang kakek. Usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok karena punggungnya berpunuk.

Mukanya memanjang ke depan mirip muka seekor kuda. Matanya sipit. Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Kedua lengannya memakai gelang akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik besar-besar. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering. Itulah Aki Somad!

Kakek itu merasa penasaran sekali melihat betapa Nyi Maya Dewi agaknya tidak mampu mengalahkan Aji. Nyi Maya Dewi masih terhitung murid keponakannya dan dia tahu bahwa wanita itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bagaimana kini melawan seorang pemuda sederhana seperti itu tidak mampu mengalahkannya bahkan tampak kerepotan?

“Maya Dewi, minggirlah kau! Biar aku yang akan menghajar bocah itu!” teriak Aki Somad.

Melihat kedatangan paman gurunya yang dalam kedudukannya sebagai telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda masih berada di bawah kedudukannya sendiri sebagai pengawas umum, Nyi Maya Dewi merasa girang sekali.

“Paman, jangan bunuh dia. Tangkap hidup-hidup untukku!” teriaknya sambil melompat ke samping.

“Huh, dasar mata keranjang!” Aki Somad terkekeh lalu menghadapi Aji.

Sementara itu, melihat betapa dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra sudah tewas oleh Ki Sumali, Nyi Maya Dewi menjadi marah sekali dan dia telah meloncat ke depan lalu menyerang Pendekar Loano itu dengan ganas. Wanita ini sudah melolos senjatanya, yaitu sabuk Cinde Kencana. Begitu diputar, sabuk itu langsung berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyambar-nyambar ke arah Ki Sumali.

Pendekar Loano ini sudah siap. Dia cepat-cepat menggerakkan keris dan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Tanpa banyak cakap lagi mereka berdua sudah saling serang dengan sengitnya.

Sementara itu Aki Somad yang berhadapan dengan Aji sedang berkemak kemik membaca mantera, kemudian ia menudingkan tongkat ular kering itu ke arah kepala Aji dan berseru, “Terimalah ini dan matilah engkau!” Tiba-tiba dari ujung tongkat itu tampak sinar meluncur dibarengi suara menggelegar seperti ada petir menyambar ke arah kepala Aji!

Pemuda ini maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sambaran petir yang keluar dari tongkat itu berbahaya sekali. Dia cepat berlindung ke dalam Aji Tirta Bantala, dirinya menjadi kosong terisi kekuasaan Tuhan yang membuat dirinya seolah-olah menjadi seperti bumi atau air. Petir yang keluar dari ujung tongkat ular itu meledak-ledak dahsyat di atas kepalanya tetapi sama sekali tidak dapat menyentuhnya. Yang diserang itu seakan merupakan bumi atau air sehingga sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tidak meninggalkan bekas!

Aki Somad terbelalak heran melihat serangan petirnya sama sekali tidak dapat menyentuh pemuda itu seolah-olah diri pemuda itu terlindung perisai tak nampak yang amat kuat. Dia merasa heran bukan main. Kalau pemuda itu mengeluarkan aji kesaktiannya, menyambut serangannya dengan tenaga sakti untuk menangkis, dia tidak akan merasa heran. Namun pemuda itu diam saja seolah-olah menyerah dirinya diserang tanpa melawan, akan tetapi anehnya, tenaga serangannya tidak mampu menyentuhnya!

Aki Somad merasa penasaran bukan main. Dia adalah seorang ahli sihir, ahli ilmu hitam yang dikuasainya dengan jalan bertapa di Nusa Kambangan maka tentu saja dia merasa penasaran sekali bila kekuatan sihirnya itu tidak mampu menyerang seorang pemuda yang masih tampak remaja! Dia kembali berkemak-kemik membaca mantera lain, kemudian dia melontarkan tongkatnya yang sudah tidak mengeluarkan petir lagi itu ke atas.

“Wusssss...!”

Tampak asap mengepul kemudian tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar yang menyambar turun ke arah Aji dengan moncong terbuka lebar mengeluarkan api berkobar, sepasang matanya mencorong berapi-api dan dua kaki depannya dengan cakarnya yang runcing melengkung siap menerkam pemuda itu.

Seperti tadi ketika menghadapi ilmu sihir Nyi Maya Dewi, dengan tenang Aji berjongkok, mengambil tanah kemudian melontarkan tanah itu ke arah naga jadi-jadian sambil berseru, “Demi Allah, kembalilah ke wujudmu semula!”

“Byarrrr...!”

Naga itu seperti terbakar lantas runtuh menjadi sebatang tongkat ular kering kembali yang jatuh di atas tanah! Aki Somad menggerakkan tangan kanannya dan tongkat itu mendadak terbang kembali ke tangannya.

“Babo-babo, bocah kemarin sore yang ubun-ubunnya masih bau pupuk berani menentang aku! Bocah lancang, sudah butakah matamu dan tulikah telingamu sehingga engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan Aki Somad yang mbaurekso Nusa Kambangan?”

“Kiranya aku berhadapan dengan Aki Somad yang sudah kudengar bahwa andika menjadi telik sandi Kumpeni Belanda. Aki Somad, maafkan kalau aku yang muda memberi nasihat kepada seorang kakek seperti andika, tapi tidakkah andika menyadari bahwa menjadi telik sandi Kumpeni Belanda berarti sama saja dengan mengkhianati nusa bangsa dan hendak menjual tanah air? Seorang kakek yang sakti mandraguna seperti andika sepatutnya malu melakukan hal seperti itu, Aki Somad!”

“Keparat, bocah sombong! Aku tidak mengabdi kepada Belanda, aku mengabdi kepada daerahku sendiri, ingin membebaskan daerahku sendiri dari kekuasaan Mataram, dengan bantuan Kumpeni Belanda!”

“Sama saja, Aki Somad! Seharusnya andika membantu Mataram menghadapi Kumpeni Belanda, berarti membebaskan nusa dan bangsa dari ancaman bangsa Belanda, bukan sebaliknya. Harap andika dapat menyadari kesalahan ini, Aki Somad.”

“Omong kosong! Orang muda, siapakah gurumu yang tidak bisa mengajar adat kepadamu sehingga engkau berani melawan aku?”

Dengan harapan kakek ini akan dapat menyadari kesalahannya, Aji segera menyebutkan nama gurunya, “Mendiang guruku adalah Ki Tejo Budi.”

“Tejo Budi? Hm, tiga bersaudara itu, Tejo Wening, Tejo Langit, dan Tejo Budi! Tiga orang yang telah melupakan asal usul sendiri, Kerajaan Banten juga sudah menganggap mereka sebagai pengkhianat. Orang banten yang setia kepada Mataram! Cuhhh!” Kakek itu lantas meludah. “Dan engkau muridnya? Siapa namamu?”

“Namaku Lindu Aji.”

“Hemmm, sebutlah nama orang tua dan gurumu karena sekarang juga engkau akan mati di tanganku!”

Setelah berkata begitu kakek itu menyelipkan tongkat ular di ikat pinggangnya, kemudian dia meniup kedua telapak tangannya. Tampak lidah api berkobar-kobar pada kedua telapak tangannya ketika dia meniupnya.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)