ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-20


Aki Somad segera menyambung serangannya yang luput itu dengan serangan lain, makin lama semakin dahsyat. Akan tetapi Aji dapat selalu mengelak dan melihat serangan yang semakin gencar, ketika tangan kiri kakek itu memukul ke arah lambung dari samping untuk menangkis...

“Dukkkk!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya keduanya terdorong ke belakang lalu terhuyung. Hal ini menandakan bahwa keduanya memiliki tenaga sakti yang seimbang. Aki Somad merasa penasaran bukan main dan kembali dia memukulkan kedua tangannya dengan pengerahan sepenuh tenaganya.

“Hyaaaaaaahhh...!” kedua telapak tangan bernyala itu mendorong ke depan dan hawa yang amat panas menyambar ke arah Aji.

Aji juga menekuk kedua lututnya, tubuhnya merendah dan dia pun mengerahkan aji tenaga sakti Surya Chandra dan mendorong ke depan menyambut pukulan jarak jauh itu.

“Wuuuuuuuttt...! Blarrrrr...!”

Kini keduanya terdorong ke belakang sampai delapan langkah. Wajah Aki Somad menjadi pucat dan dia merasa dadanya agak sesak karena tenaga saktinya membalik. Sementara itu Aji hanya terguncang saja dan tidak menderita.

Kemarahan Aki Somad memuncak. Dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan aji pamungkasnya yang belum pernah dia gunakan untuk melawan musuh. Aji ini amat gawat dan hanya jika terpaksa saja dia keluarkan. Kini saking marahnya Aki Somad lupa diri dan menggunakan aji yang teramat dahsyat itu hanya untuk mengalahkan seorang pemuda!

Dia berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya membuat gerakan menyembah ke atas lalu dia mengerahkan seluruh aji kesaktiannya ke langit-langit mulutnya karena di sanalah letak sumber kesaktian ini.

“Aji Gineng Soka Weda... uahh...!” Kekek itu membuka mulutnya dan dari dalam mulutnya meluncur sinar yang setelah tiba di atas lalu berubah menjadi kepala raksasa yang sangat mengerikan!

Kepala itu besar sekali, sebesar kepala gajah, botak akan tetapi di sekelilingnya terdapat rambut yang awut-awutan. Alisnya tebal dan matanya lebar mencorong, hidungnya besar pesek dan mulutnya amat menyeramkan. Mulut itu bercaling, terbuka lebar dan dari dalam mulut itu menjulur lidah panjang yang bernyala-nyala! Kepala ini melayang-layang di atas, mengelilingi Aji, mulutnya menyemburkan api, matanya beringas penuh ancaman.

Dari mendiang Resi Tejo Budi, Aji pernah mendengar mengenai aji kesaktian yang disebut Aji Geneng Soka Weda ini. Dia pun maklum bahwa semua ilmu kedigdayaan yang pernah dipelajarinya tidak mungkin mampu melawan aji kesaktian yang amat hebat ini yang konon diturunkan oleh para dewa! Namun dia tidak merasa khawatir sama sekali. Dia tahu benar bahwa dia memiliki Pelindung Yang Maha Sakti, yaitu Kekuasaan Gusti Allah.

Cepat dia tenggelam ke dalam Aji Tirta Bantala dan seluruh dirinya berlindung ke dalam kekuasaan Tuhan ketika dia menyerahkan diri dan pasrah sepenuhnya kepada Kekuasaan Yang Maha Sakti. Kemudian, pada waktu kepala raksasa melayang dan menyambar turun hendak menerjangnya, barulah tubuh Aji tampak bergerak, digerakkan oleh kekuasaan di luar kehendaknya, bergeraknya jiwa yang sudah hidup, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan dengan lutut agak ditekuk, mukanya menghadap ke arah kepala raksasa itu, kedua tangannya bergerak sendiri, dengan kedua telapak tangan terbuka seperti mendorong ke arah kepala itu.

“Syuuutttt...! Darrrr...!”

Terdengar ledakan dan kepala raksasa itu terpental ke atas. Kepala itu terbang berputar-putar, menyambar turun akan tetapi setelah dekat dengan Aji kepala itu lalu naik kembali, agaknya seperti ragu-ragu atau takut, kemudian kepala itu lenyap, berubah menjadi sinar dan meluncur masuk lagi ke dalam mulut Aki Somad yang terbuka lebar.

Aki Somad terhuyung, mukanya pucat sekali.

Aji memandang kemudian berkata dengan suara mengandung teguran tegas. “Aki Somad, sungguh sayang sekali selama bertahun-tahun andika mesu-raga (mengendalikan jasmani) dan mesu-brata (mengendalikan hawa nafsu) sehingga andika beruntung dapat menguasai Aji Gineng Soka Weda yang sakti itu. Akan tetapi ternyata engkau menyalah gunakan aji yang ampuh itu untuk mengumbar nafsu amarah. Engkau tak ada bedanya dengan Prabu Niwotokawoco yang senang mempergunakan aji yang agung itu untuk mengumbar nafsu angkara murka sehingga akhirnya aji itu sendiri yang menghancurkannya. Bertobatlah dan sadarlah akan kesesatanmu, Aki Somad!”

Mendengar ucapan ini Aki Somad bukan menjadi sadar, bahkan menjadi makin marah. Dia telah dinasehati seorang bocah!

“Bocah sombong! Aku belum kalah!” teriaknya dan kini dia sudah menyerang lagi dengan menggunakan tongkat ular keringnya.

Aji cepat mempergunakan kelincahannya untuk menghindar. Dia harus berhati-hati karena kakek ini tidak dapat disamakan dengan Nyi Maya Dewi karena kakek ini jauh lebih sakti dan berbahaya. Kini terjadilah perkelahian adu ketangkasan, tidak lagi menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir.

Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali dan Nyi Maya Dewi juga berlangsung seru dan mati-matian. Akan tetapi kini Ki Sumali sudah terdesak hebat oleh sabuk Cinde Kencana di tangan wanita itu yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Ki Sumali hanya mampu mengelak dan menangkis saja, sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas serangan lawan. Bahkan dada kirinya sudah terkena tendangan kaki wanita itu sehingga napasnya terasa agak sesak dan pundak kirinya terkena sabetan ujung sabuk itu sehingga lengan kirinya terasa ngilu. Akan tetapi dia masih membela diri mati-matian dan pantang menyerah.

Sementara itu anak buah kedua pihak sudah merasa gatal tangan. Tetapi karena pimpinan mereka masih bertanding dan belum memberi perintah, mereka pun tidak berani lancang bergerak.

Karto dan Ginah yang nama aslinya Bardo dan Sumi, tahu-tahu sudah memegang parang dan pisau belati. Keduanya maju membantu Nyi Maya Dewi mengeroyok Ki Sumali yang sudah terdesak hebat. Dua orang pembantu itu tidak berani membantu Aki Somad karena untuk membantu kakek itu menghadapi Aji, mereka tahu bahwa kepandaian mereka masih terlalu rendah sehingga bantuan mereka tidak akan menolong, bahkan akan merepotkan yang dibantu. Sebaliknya Ki Sumali sudah terdesak, maka mereka maju mengeroyok agar pendekar Loano itu segera dapat dirobohkan.

Masuknya dua orang yang membantu Nyi Maya Dewi itu tentu saja membuat Ki Sumali menjadi semakin repot. Dia sudah berusaha untuk balas menyerang dengan pekik Aji Jerit Birowo, akan tetapi pengaruh pekikan ini tidak mempan terhadap Nyi Maya Dewi dan dua orang pembantunya itu agaknya telah melindungi telinga mereka dan menutupnya dengan kapuk sehingga tidak terpengaruh oleh suara pekikan itu.

Ki Sumali memutar suling dan kerisnya. Pada saat yang teramat gawat baginya itu tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat. Segulungan cahaya hijau berkeredepan langsung menyambar dan menangkis sinar emas dari sabuk Cinde Kencana di tangan Nyi Maya Dewi yang mengancam Ki Sumali.

“Cringg...!”

Tampak bunga api berpijar dan sabuk itu terpental sehingga Nyi Maya Dewi terkejut dan melompat ke belakang.

“Mengasolah, Pakde (Uwa), biar aku yang menandingi perempuan genit ini!” kata-kata itu keluar dari mulut yang amat manis.

Dia seorang gadis yang masih muda, kurang lebih delapan belas tahun usianya. Wajahnya cantik jelita dan tubuhnya yang segar padat bagaikan buah yang ranum itu tampak gagah dan penuh keberanian. Matanya jeli dan kocak. Pada mata dan mulutnya yang indah itu terbayang kejenakaan.

Ki Sumali tertegun, memandang gadis itu dengan heran karena tidak mengenalnya. Akan tetapi gadis itu agaknya tidak melihat keheranannya karena perhatiannya ditujukan kepada Nyi Maya Dewi.

Wanita itu marah sekali. Tadi dia sudah hampir berhasil membunuh Ki Sumali, akan tetapi tiba-tiba ada gadis remaja ini yang menggagalkannya.

Nyi Maya Dewi memandang rendah gadis muda itu. Dia segera mengerahkan kekuatan batinnya, menatap mata gadis muda itu dan berkata dengan suara lembut namun penuh wibawa. “Adik yang manis, andika harus menaati perintahku! Hayo, berlututlah andika!”

Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak berlutut, melainkan tertawa bebas tanpa malu-malu dan dia pun berkata dengan nada mengejek, “Ih, nenek genit. Engkau ini sedang apa sih? Ngelindur barang kali, ya?”

Nyi Maya Dewi marah sekali. Sihirnya tidak mempan malah diejek! Dan dia disebut nenek genit. Dia yang biasa dipuji-puji dan digilai laki-laki karena kecantikannya dan semua orang mengatakan dia masih nampak seperti seorang perawan muda, kini disebut nenek genit. Sungguh penghinaan yang tidak dapat dimaafkan!

“Bocah gendeng...!” Dia memaki.

“Dan kau nenek edan!” Gadis itu balas memaki.

Nyi Maya Dewi tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan jerit yang menyeramkan sabuk Cinde Kencana di tangannya menyambar dan dia sudah menyerang dengan ganas sekali.

Akan tetapi gadis muda itu ternyata memiliki gerakan yang sangat lincah dan cekatan. Dia sudah cepat melompat ke kiri hingga sambaran senjata sabuk itu luput, dan kontan keras pedangnya berubah menjadi sinar kehijauan ketika menyambar dengan serangan yang tak kalah ganasnya.

Nyi Maya Dewi juga mengelak dan balas menyerang. Dua orang wanita cantik itu segera saling serang dengan hebatnya, dan ternyata mereka memiliki kelincahan yang seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru sekali.

Melihat betapa gadis yang tak dikenalnya itu mampu menandingi Nyi Maya Dewi, walau pun pundak Ki Sumali sudah terluka sehingga berdarah dan dadanya yang tertendang tadi masih terasa nyeri, dia segera bergerak menyerang dua orang yang tadinya menyelundup sebagai pembantu rumah tangganya. Bardo dan Sumi juga melawan mati-matian.

Para pemuda Loano sudah siap siaga, akan tetapi karena sudah dipesan Ki Sumali bahwa mereka tidak boleh turun tangan sebelum diperintah, maka mereka diam saja dan hanya bersiap-siap, tidak berani melakukan serangan.

Di lain pihak para anak buah gerombolan Gagak Rodra juga tidak berani menyerbu, apa lagi melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas di tangan Ki Sumali. Bahkan diam-diam beberapa orang di antara mereka sudah menyelinap memasuki perkampungan untuk mempersiapkan keluarga mereka kalau-kalau mereka itu terpaksa harus melarikan diri dan mengungsi.

Mereka menyuruh para keluarga yang terdiri dari wanita dan kanak-kanak itu untuk keluar dari perkampungan melalui pintu belakang perkampungan, di dekat kali Bogawanta. Juga perahu-perahu mereka telah dipersiapkan untuk dipergunakan menyelamatkan diri.

Perkelahian itu masih berlangsung dengan seru. Nyi Maya Dewi merasa penasaran sekali karena gadis remaja itu ternyata dapat menandinginya. Dia sudah berusaha memperhebat serangannya dan membantu serangan sabuk Cinde Kencana itu dengan serangan tangan kirinya. Serangan tangan kiri itu tidak kalah dahsyatnya karena jari-jari tangannya memiliki kuku panjang yang mengandung racun. Kuku-kukunya itu dapat menjadi senjata ampuh dan disebut Naka Sarpa (Kuku Ular).

Tetapi agaknya gadis muda itu sama sekali tidak gentar. Bukan saja dia dapat mengelak, bahkan dia menangkis dengan tangannya yang berkulit halus lembut tanpa takut tergores kuku beracun itu. Ketika sambaran sabuk Cinde Kencana menyerang, gadis itu membabat dengan pedangnya.

“Wuuuutttt...! Crakkkk...!”

Ujung sabuk itu terpotong! Nyi Maya Dewi terkejut dan marah melihat senjatanya rusak. Ia lalu mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular marah.

“Ssssssshhhhhh...!” Membarengi desisannya, tangan kirinya segera menghantam dengan menggunakan aji pukulan Wisa Sarpa (Bisa Ular). Angin yang membawa bau amis lantas menyambar ke arah gadis itu. Akan tetapi gadis itu melompat ke belakang sambil tertawa mengejek.

“Engkau memang nenek yang menjijikkan, seperti ular buduk!” katanya sambil menutupi hidungnya dengan memencet telunjuk dan ibu jari tangan kirinya.

Saking marahnya hati Nyi Maya Dewi seperti terbakar. Setelah menyimpan sabuknya dia segera menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua tapak tangan itu mengepulkan asap dan berubah menjadi merah seperti berlepotan darah. Dua telapak tangan merah itu lalu didorongkan ke arah gadis yang menjadi lawannya sambil berteriak nyaring, “Aji Tapak Ludiro...!”

Gadis itu terkejut akan tetapi tidak merasa gentar. “Ihhh... ilmu siluman!” Dia berseru dan dengan berani dia pun menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan dua tangannya.

“Aji Sunya Hasta...!” Gadis itu berteriak dan meski pun dari kedua tangannya seperti tidak mengeluarkan tenaga apa pun, namun daya pukulan dahsyat yang dilontarkan Nyi Maya Dewi itu seolah tertahan di udara dan bertemu dengan dinding yang tak nampak.

“Dessss...!”

Akibatnya Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang dan sebaliknya gadis itu tampaknya tidak bergeming!

Pada saat itu terdengar dua kali jeritan dan ternyata Bardo dan Sumi yang mengeroyok Ki Sumali sudah roboh dan tewas setelah terkena tusukan keris dan pukulan suling di tangan pendekar Loano itu.

Melihat betapa gadis remaja itu mampu menyambut aji pukulannya yang ampuh, bahkan membuatnya terhuyung, kemudian melihat dua orang pembantu itu pun sudah roboh pula, ditambah lagi keadaan Aki Somad yang bertanding melawan Aji masih berimbang, hati Nyi Maya Dewi menjadi gentar.

Nyi Maya Dewi maklum bahwa keadaan di pihaknya tidak menguntungkan, apa lagi kedua orang pimpinan Gagak Rodra telah tewas. Pemuda yang bernama Lindu Aji itu saja sudah merupakan lawan tangguh, dan kini tiba-tiba muncul gadis remaja yang sakti mandraguna itu.

Dia mengambil sesuatu dari pinggangnya lalu membantingnya di atas tanah. Itulah senjata api peledak yang didapatkan Nyi Maya Dewi dari Jenderal Jakuwes, panglima Kumpeni Belanda yang memimpin pasukan Kumpeni di Batavia sekaligus menjadi kepala pula dari seluruh jaringan telik sandi.

“Darrrr...!”

Tampak api meledak disusul asap tebal yang memenuhi tempat itu.

“Aki Somad, mari kita pergi!” terdengar Nyi Maya Dewi berseru.

Aki Somad mengerti. Dia sendiri sedang bingung karena belum juga mampu mengalahkan lawannya.

Jangankan mengalahkan, bahkan mendesak pun dia belum mampu. Pemuda itu tangguh bukan main dan keadaan mereka masih berimbang. Ilmu apa pun yang dia kerahkan dan keluarkan untuk menyerang, selalu dapat ditandingi pemuda itu!

Maka, begitu melihat ledakan berasap dan mendengar seruan Nyi Maya Dewi, Aki Somad menggunakan keadaan yang gelap dan kesempatan selagi lawannya melompat mundur itu untuk melompat jauh lalu melarikan diri.

Para anak buah Gagak Rodra menjadi sangat ketakutan. Mereka merasa gelisah, hendak menyerang tidak berani dan sudah kehilangan pimpinan, mau lari takut kalau diserbu para pemuda Loano itu. Melihat ini Ki Sumali lalu mengangkat tangan kanan yang memegang keris ke atas dan berseru dengan suara lantang sambil menahan rasa nyeri di pundak dan dadanya.

“Hei, para anggota Gagak Rodra! Pemimpin kalian sudah tewas. Kalau kalian semua mau menakluk, melempar senjata dan semua duduk di atas tanah, kami tidak akan membunuh kalian!”

Kata-kata Ki Sumali yang lantang itu mendapat sambutan. Mula-mula para anggota yang sudah tua membuang senjata kemudian duduk di atas tanah, lalu diturut para anggota lain dan akhirnya semua anggota perkumpulan itu membuang senjata lalu duduk dengan sikap menyerah.

“Bagus! Kalian telah menyerah semuanya. Sekarang keputusannya terserah kepada anak-mas Aji yang dalam hal ini menjadi orang yang sudah mendapat kepercayaan dari Kanjeng Sultan Agung di Mataram!” Ki Sumali lalu berkata kepada Aji. “Anak-mas, sekarang berilah keputusan sesuai dengan tugas anak-mas yang anak-mas bawa dari Mataram.”

Aji merasa terpaksa harus bertindak. Bagaimana pun juga kata-kata Ki Sumali tadi benar. Dia sudah menjadi seorang abdi Mataram yang dipercaya dan diangkat menjadi telik sandi Mataram untuk mengamati keadaan di sepanjang perjalanan dan apa bila perlu membantu Mataram menentang mereka yang menganggap Mataram sebagai musuh. Juga untuk menentang orang-orang yang dipergunakan Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram dan menggagalkan usaha Mataram untuk mempersatukan semua daerah.

“Saudara-saudara sekalian!” katanya sambil mengerahkan tenaga dalam hingga suaranya terdengar lantang berwibawa. “Sesungguhnya kita ini adalah sebangsa, sesaudara, maka tidak semestinya kalau kita saling bermusuhan. Ketahuilah bahwa bangsa serta tanah air kita sudah terancam oleh Kumpeni Belanda yang hendak memperluas kekuasaan mereka di Nusantara. Sebab itu sudah sepatutnya jika kita bersatu untuk menentangnya. Tindakan mendiang pemimpin kalian, yaitu Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Belanda itu adalah tindakan sesat, mengkhianati bangsa sendiri. Mereka hendak menjual tanah air kepada bangsa asing! Sadarkah kalian bahwa perbuatan itu sungguh hina dan terkutuk?”

Para anak buah Gagak Rodra mengangguk-angguk, kemudian ada beberapa orang yang berteriak, “Kami sadar...! Kami sadar...!”

Maka yang lain pun berteriak riuh rendah.

Baik Ki Sumali mau pun Aji maklum bahwa teriakan dari orang-orang yang sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan sesat itu tidak dapat dipercaya begitu saja. Karena itu Aji berseru lagi dengan lantang.

“Kami senang bahwa kalian telah menyadari kesalahan! Ketahuilah bahwa Kanjeng Sultan Agung di Mataram sama sekali tidak memusuhi bangsanya sendiri, tapi hendak mengajak semua daerah untuk bersatu padu guna menghimpun kekuatan dan menentang Kumpeni Belanda. Oleh karena itu, asal kalian tidak lagi menjadi antek Belanda dan menghentikan perbuatan kalian mengganggu keamanan, tidak mengganggu rakyat dan tidak melakukan kejahatan lagi, kami atas nama Gusti Sultan mengampuni kalian. Kalian boleh terus tinggal di perkampungan itu, bahkan boleh membangun lagi Gagak Rodra dan memilih pemimpin baru. Tapi ingat, untuk selanjutnya perkumpulan ini harus menjadi perkumpulan yang setia kepada Mataram dan tidak pernah melakukan tindak kejahatan. Kalau kelak terbukti kalian kembali menjalankan kejahatan seperti membajak, merampok terlebih lagi menjadi antek Kumpeni Belanda, kami akan kembali membawa pasukan dan membasmi kalian!”

Ki Sumali lalu ikut berkata lantang. “Kalian mengenal aku dan akulah yang menjadi saksi bahwa kalian akan mentaati pesan anak-mas Aji tadi!”

Setelah dinyatakan bahwa mereka diampuni, para anggota Gagak Rodra menjadi gembira sekali dan mereka cepat mengajak anak dan istri mereka keluar, bersalaman dengan para pemuda Loano, bahkan mengajak para penduduk Loano untuk memasuki perkampungan mereka di mana mereka menyuguhkan hidangan dan beramah tamah. Sebagian ada yang mengurus jenazah Ki Blekok Ireng, Ki Jalak Uren, Bardo dan Sumi.

Ki Sumali, Aji dan gadis perkasa itu tidak memasuki perkampungan. Kini Ki Sumali tidak dapat lagi menahan keheranan dan keinginan tahu hatinya terhadap gadis ayu manis yang sakti mandraguna itu. Mereka bertiga tinggal di luar perkampungan Gagak Rodra, berdiri di bawah pohon dan Ki Sumali menghampiri gadis itu. Setelah berhadapan dia mengamati wajah gadis yang sedang menatap kepadanya dengan senyum manis dan pandang mata tajam bersinar-sinar mengandung kejenakaan.

“Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap. Nona, aku masih merasa heran sekali melihat sikapmu karena andika seolah-olah mengenal aku dengan baik. Akan tetapi mengapa aku merasa sama sekali tidak pernah melihat dan mengenalmu?”

Pendekar Loano itu mengamati wajah gadis itu dengan penuh perhatian dan dia beusaha keras untuk mengingat.

“Pakde Sumali, aku sendiri pun baru yakin tentang diri Pakde sesudah aku melihat Pakde memegang Keris Sarpo Langking dan sebatang seruling bambu. Tentu saja Pakde sudah lupa kepadaku karena ketika pakde melihat aku, ketika itu aku baru berusia tiga tahun. Hi-hik!” Gadis itu terkekeh. Tawanya manis dan terbuka tanpa ditutup-tutupi seperti biasanya gadis tertawa malu-malu. Akan tetapi tawanya sopan, mulutnya terbuka sedikit sehingga hanya tampak deretan giginya yang putih rapi dan ujung lidahnya yang merah.

“Ahh...? Tiga tahun?” Ki Sumali sadar akan kesalahannya. Tadi dia membayangkan wajah gadis itu seperti sekarang. Tentu saja dia tidak pernah berjumpa. Sekarang dia mencoba membayangkan bocah perempuan yang menyebut dia Pakde. berarti gadis ini tentu puteri dari adiknya! Dan karena adiknya hanya seorang, maka tidak salah lagi!

Teringatlah dia sekarang. Puteri adiknya yang mungil itu! Dia mengamati wajah itu dengan seksama. Mata itu! Tajam bersinar-sinar dan seolah selalu tersenyum! Mata adiknya, tidak salah lagi!

“Duh, Gusti...! Engkau ini... puteri adikku Subali...? Engkau anak perempuan mungil lucu itu? Namamu... nanti dulu... namamu Sulastri! Ya, Sulastri, betul, kan?”

Gadis itu tersenyum lebar, lalu menjabat dan mencium tangan Ki Sumali, “Tepat sekali, Pakde Sumali. Aku Sulastri menghaturkan hormat dan menyampaikan salam hormat dari ayah dan ibu.”

“Lastri...! Ah, matur nuwun, Gusti. Aku dipertemukan dengan keponakanku dan sekarang engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang... yang... sakti mandraguna. Sungguh mengagumkan sekali. Aku amat bangga mempunyai keponakan seperti engkau, Lastri!”

“Ihhh..., paman. Jangan memuji setinggi langit, nanti bisa-bisa kepalaku membengkak dan membawaku membubung tinggi lalu pecah di udara! Paman membikin aku malu saja...” katanya dan mata yang tajam itu dengan sembunyi-sembunyi mengerling ke arah Aji yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa berani menatap wajah gadis itu secara langsung.

“Oh ya, aku sampai lupa saking gembiraku. Lupa memperkenalkan kalian. Anak-mas Aji, seperti engkau sudah mendengar sendiri, gadis perkasa ini ternyata keponakanku sendiri, puteri dari adikku Subali yang tinggal di Galuh, namanya Sulastri. Lastri, dia ini bernama Lindu Aji. Dia datang dari Mataram dan tadi pun engkau sudah mendengar. Dia ini seorang kepercayaan dari Gusti Sultan Agung di Mataram.”

Dua orang muda ini saling pandang. Aji hanya menatap wajah itu sekelebatan saja. Dia merasa tidak pantas dan malu kalau harus berlama-lama menatap wajah yang ayu manis itu. Di lain pihak Sulastri memandang wajah Aji dengan penuh perhatian, bahkan dia tidak menyembunyikan keheranannya tanpa malu-malu atau rikuh.

“Lindu Aji? Namanya kok lucu...!” kata Sulastri, sikapnya wajar, benar-benar heran tanpa bermaksud mentertawakan.

“Sebut saja aku Aji,” kata Aji perlahan.

“Aji, tadi aku melihat ketika andika menandingi kakek itu. Kepandaianmu sungguh hebat!” Sulastri memuji.

“Lastri! Engkau jauh lebih muda, masih remaja. Jangan panggil nama anak-mas Aji begitu saja. Sebut dia kakang-mas!” Ki Sumali menegur keponakannya.

Gadis itu tersenyum dan mengerling nakal ke arah pamannya. “Ahh, pakde ini! Aku bukan anak kecil lagi, lho. Usiaku sudah delapan belas tahun!”

Ki Sumali tertawa. “Engkau baru delapan belas tahun. Anak-mas Aji tentu jauh lebih tua. Bukankah begitu, anak-mas Aji?”

“Usia saya dua puluh tahun, paman.”

“Nah, Lastri, kau dengar sendiri! Anak-mas Aji ini lebih tua dua tahun dari pada engkau. Sudah sepatutnya engkau menyebut dia kakang-mas.”

Lastri tertawa. “ Hi-hik, baiklah, pakde. Ehh, kakang-mas Aji, engkau masih begini muda sudah menjadi seorang senopati Mataram. Hebat sekali!”

“Ah, Nimas Lastri, aku sama sekali bukan seorang senopati Mataram. Aku hanya berjanji kepada Gusti Sultan Agung untuk membantu Mataram dalam perjalananku ke barat.”

“Ahh, kenapa kita bercakap-cakap di sini? Lastri, mari ikut aku pulang. Engkau tentu ingin bertemu dengan budemu, bukan?”

Gadis itu memandang Pakdenya dengan kedua mata terbelalak. “Bude? Wah, pakde, ini merupakan kejutan yang menggembirakan! Menurut kata ayahku, Pakde hidup menyendiri, tidak menikah!”

Ki Sumali tersenyum. “Aku sudah menikah, tiga tahun yang lalu, Lastri.”

“Pakde sudah mempunyai anak?”

Ki Sumali menggelengkan kepalanya. “Belum. Mari, Lastri, engkau ikut denganku. Banyak yang harus kau ceritakan tentang orang tuamu di sana. Mari, anak-mas Aji, kita pulang.”

Mereka bertiga segera meninggalkan tempat itu, membiarkan orang-orang Loano yang kini menjadi sahabat dan beramah tamah dengan para anggota Gagak Rodra dan keluarga mereka.

Winarsih menyambut pulangnya Ki Sumali dan Aji dengan gembira dan lega bukan main. Wanita yang ditinggalkan di rumah kepala dusun itu selalu merasa gelisah. Maka ketika ia mendapat kabar dari seorang tetangga yang dimintai tolong oleh Ki Sumali untuk mengirim kabar kepada istrinya bahwa dia telah pulang, Winarsih cepat-cepat meninggalkan rumah kepala dusun dan berlari pulang. Melihat suaminya dan Aji berada di beranda rumah, dia menghampiri mereka dan dengan wajah cerah gembira dia berkata,

“Kakang Sumali! Dimas Aji! Kalian pulang dengan selamat! Syukurlah, hatiku menjadi lega dan bahagia!”

Melihat seorang wanita muda cantik jelita menyambut dua orang pria itu, Sulastri menjadi tertegun. Dia cepat bangkit dari duduknya, menghampiri Pakdenya dan bertanya, “Pakde, siapakah mbakayu ini?”

“Mbakayu? Ha-ha-ha! Inilah budemu, Lastri. Ini Winarsih, istriku! Winarsih, gadis ini adalah Sulastri, keponakanku. Ingat akan adikku Subali yang pernah kuceritakan kepadamu dan yang tinggal di Galuh? Nah, ini adalah puterinya!”

Dua orang wanita itu saling pandang dan Sulastri tidak menyembunyikan keheranannya. “Bude...? Masih begini muda dan cantik?”

“Memang, muda dan cantik! Pakdemu ini memang seorang laki-laki yang amat beruntung, Lastri. Budemu muda dan cantik dan... amat mencintaiku!”

Sulastri adalah seorang gadis yang sejak kecil memang berwatak terbuka dan jujur, sesuai dengan kegagahannya.

“Benarkah itu, Bude Winarsih?”

Winarsih mengangguk dan tersenyum lebar, lalu menoleh memandang suaminya. “Benar, Sulastri. Aku amat mencinta suamiku karena dia pun amat sayang kepadaku. Dia seorang suami yang baik dan bijaksana, tidak ada keduanya di dunia ini dan aku amat berbahagia menjadi istrinya!” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang sungguh-sungguh.

Sulastri menjadi terharu dan dia pun maju dan merangkul Winarsih.

“Bude Winarsih...!”

Winarsih balas merangkul. Dua orang wanita cantik itu berangkulan dan saling berciuman pipi. Ki Sumali memandang dengan senyum senang.

“Hayo, kita masuk dan duduk di dalam agar leluasa dan enak bercakap-cakap.”

Mereka berempat memasuki ruangan dalam lalu duduk. Sulastri duduk dekat Winarsih dan selalu menggandeng tangan budenya itu. Mereka tampak akrab sekali. Agaknya Sulastri senang dan kagum melihat Budenya yang masih muda, cantik dan sikapnya halus lembut itu. Sebaliknya Winarsih juga suka dan kagum kepada keponakan suaminya yang tampak demikian lincah dan wajahnya selalu cerah dan riang gembira....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)