ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-21
Winarsih tersenyum. “Usiaku sudah dua puluh satu tahun.”
“Ahh, kalau begitu bude seusiaku ketika bertemu dan menikah dengan Pakde Sumali!”
“Sudahlah, Lastri, jangan bertanya melulu! Sekarang engkau yang harus bercerita tentang keadaan orang tuamu di Galuh. Sudah kurang lebih lima belas tahun aku tidak berjumpa dan tidak mendengar kabar tentang mereka. Mereka baik-baik saja, bukan?”
“Ayah dan ibu baik-baik saja, Pakde. Mereka titip salam hormat agar kusampaikan kepada Pakde.”
“Setahuku adikku Subali hanya menguasai ilmu kanuragan biasa saja. Semenjak muda dia malas memperdalam ilmu kanuragan, lebih menyukai ilmu sastra. Bagaimana kini engkau anaknya memiliki kesaktian yang demikian hebat? Winarsih, tadi Lastri membantu kami. Kalau tidak ada dia yang membantu, mungkin kami akan menghadapi kesukaran.”
“Ahh, Pakde ini bisa saja memuji orang. Jangan percaya, Bude Winarsih. Pakde melebih-lebihkan!”
Winarsih tersenyum sambil mengusap pipi gadis itu yang berkulit lembut halus. “Pakdemu tak pernah berbohong, Lastri. Jika dia memuji, berarti engkau memang sudah sepatutnya dipuji.”
“Wah, Bude ini setia sekali kepada Pakde, mati-matian membela dan membenarkan. Aku pasti kalah kalau dikeroyok begini!” Sulastri pura-pura cemberut. Sikapnya demikian lucu sehingga semua orang tersenyum.
“Hayo jangan berputar-putar, Lastri. Ceritakan bagaimana engkau dapat menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. bahkan engkau dapat menandingi seorang iblis betina yang sakti seperti Nyi Maya Dewi. Bukankah dia Nyi Maya dewi, anak-mas Aji? Aku baru sekali itu bertemu dengannya, akan tetapi sudah lama mendengar akan namanya yang kesohor!”
“Benar, paman. Dia memang Nyi Maya Dewi,” kata Aji.
“Apa? Jadi wanita itu tadi Nyi Maya Dewi datuk wanita Parahiyangan itu?” Sulastri tampak terheran dan tertegun.
“Sudahkah engkau mengenalnya, Lastri?” tanya Ki Sumali.
“Hanya mendengar namanya saja, Pakde...!” Gadis itu tampak termenung.
“Hayo, Lastri. Cepat ceritakan dari siapa engkau mempelajari semua aji kesaktianmu itu,” Ki Sumali mendesak.
“Memang benar kata Pakde tadi bahwa ayahku hanya mengenal sedikit ilmu pencak silat. Ayah lebih seang membaca kitab-kitab kuno dan bertembang mocopat dari pada berlatih silat. Ibu juga seorang wanita yang lembut keibuan seperti bude ini.”
“Apakah engkau mempunyai kakak atau adik, Lastri?” Tanya Winarsih.
“Tidak, Bude. Aku anak tunggal, anak manja...” Gadis itu tertawa.
Melihat gerak-gerik dan ucapan gadis itu, mau tidak mau Aji tersenyum. Ia percaya bahwa gadis ini memang manja sekali, akan tetapi harus diakui bahwa Sulastri mempunyai sikap yang keras dan gagah akan tetapi jujur terbuka.
“Hayo lanjutkan ceritamu!” Ki Sumali mendesak.
“Wah, Pakde Sumali ini orangnya tidak sabaran. tentu dia pencemburu, ya, bude?” Tanya Sulastri sambil memandang kepada Winarsih.
Wajah Ki Sumali menjadi kemerahan karena merasa tersindir. Akan tetapi Winarsih cepat berkata, “Sama sekali tidak! Pakdemu orangnya penyabar dan penuh kepercayaan. Hayo ceritakanlah, Sulastri, kami semua ingin sekali mendengarnya.”
“Ketika aku berusia delapan tahun, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang kakek. Dia berkata bahwa aku memiliki bakat baik dan berjodoh untuk menjadi muridnya. Dia meremas-remas batu sampai hancur menjadi tepung, maka aku tertarik sekali dan aku merengek-rengek kepada ayah dan ibu agar diperbolehkan menjadi murid kakek itu. Ayah dan ibu akhirnya menyetujui. Ingat, aku anak manja. Kalau mereka tidak menyetujui maka aku bisa menangis menjerit-jerit sampai orang-orang sedusun berdatangan karena kaget!” Gadis itu tertawa dan yang mendengarkan ikut merasa geli dan tertawa.
“Demikianlah, selama sepuluh tahun aku digembleng oleh kakek itu yang menjadi guruku.”
“Siapa nama kakek itu, Lastri?”
“Tidak ada orang yang tahu siapa namanya, Pakde. Dia tak pernah mau memperkenalkan namanya, bahkan kepada aku pun tidak. Dia hanya mengaku disebut Ki Gede Pasisiran dan berasal dari Banten.”
“Tentu kakek yang sakti mandraguna,” kata Ki Sumali.
“Jadi engkau sudah mewarisi aji kesaktiannya, Lastri? Sekarang ceritakan bagaimana tadi engkau dapat tiba-tiba muncul di tepi Kali Bogawanta dan menolong kami?”
“Aku memang sedang menuju ke Loano untuk mencarimu, Pakde. Ketika melihat seorang lelaki gagah perkasa berusia lima puluh tahun lebih memegang keris berbentuk ular hitam dan sebatang suling, aku segera dapat menduga bahwa orang itu tentulah Pakde Sumali seperti yang sudah digambarkan oleh ayah. Maka aku segera membantumu, Pakde.”
“Kenapa seorang gadis seperti engkau melakukan perjalanan seorang diri menempuh jarak sedemikian jauhnya mencariku? Apakah engkau diutus oleh ayahmu untuk mencariku?”
Sulastri menggeleng kepalanya, “Tidak, pakde.”
“Kalau begitu kenapa? Engkau bahkan tidak mengenalku karena engkau baru berusia tiga tahun ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Apa maksudmu mencariku, Lastri?”
Sulastri cemberut menatap wajah Ki Sumali. “Apakah aku tidak boleh mencari Pakde?”
Winarsih cepat merangkulnya. “Tentu saja boleh dan kami merasa senang dan berbahagia sekali menerima kunjunganmu, Lastri. Tapi pakdemu dan aku ingin sekali tahu, angin apa yang meniup engkau sampai ke sini, keperluan sangat penting apa yang membawamu ke rumah kami?”
“Aku sedang kesal sekali, Bude!”
“Kesal sekali? Kenapa, Lastri?” Tanya Winarsih.
“Pokoknya aku sedang jengkel sekali!” mulut gadis itu cemberut dan alisnya yang hitam melengkung indah itu dikerutkan.
Ki Sumali tersenyum. Keponakannya ini kolokan dan manja sekali, akan tetapi bukan tidak menyenangkan. “Lastri, katakanlah mengapa engkau kesal dan jengkel? Barang kali kami dapat membantumu melenyapkan kekesalan hatimu itu.”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Pakde. Yang membuat aku kesal merupakan urusan pribadiku yang tidak dapat kukatakan kepada siapa pun juga, bahkan kepada ayah juga tidak. Pendeknya aku sedang kesal dan jengkel sekali. Karena itu aku lalu berpamit kepada ayah dan ibu untuk pergi mengunjungi Pakde di Loano. Aku mengetahui alamat Pakde dari ayah. Seperti biasa, ayah dan ibu tidak dapat melarangku dan pergilah aku ke sini dan di tengah jalan tadi kebetulan aku melihat Pakde sedang berkelahi, maka aku lalu membantu Pakde. Tentu bude tidak marah karena aku tidak mau berterus terang tentang persoalan pribadiku itu dan mau menerima aku, bukan?”
“Tentu saja, Lastri! Persoalan pribadi yang dirahasiakan adalah hak setiap orang dan kalau engkau tidak mau menceritakan kepada orang lain, jangan ceritakan! Kami menerimamu dengan senang hati.”
“Lastri, engkau boleh tinggal di sini untuk menenteramkan hatimu sampai berapa lama pun kau inginkan.”
“Terima kasih, Pakde dan Bude. Sekarang giliran Pakde, Bude dan juga kakang-mas Aji bercerita. Pakde Sumali yang mendapatkan giliran lebih dulu!” kata Lastri yang kini sudah tersenyum-senyum cerah lagi, sudah lupa akan kekesalan hatinya.
“Aihh, keenakan bicara aku sampai lupa pekerjaan di dapur. Bisa hangus nanti nasi yang sedang kumasak,” kata Winarsih sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Biar aku membantumu, Bude!” Sulastri juga bangkit.
“Eeitt, kalau engkau membantu Bude, lalu bagaimana engkau dapat mendengarkan cerita Pakdemu? Tentang diriku, engkau dapat mendengar langsung dari Pakdemu juga. Nanti saja engkau membantuku kalau percakapanmu dengan Pakdemu sudah selesai, Lastri,” kata Winarsih yang segera pergi ke dapur. Sulastri terpaksa duduk kembali menghadapi Ki Sumali.
“Tentang diri kami berdua, tidak banyak yang dapat diceritakan, Lastri. Semenjak dulu aku tinggal di Loano, maka ayahmu mengetahui alamatku. Aku bertemu dengan budemu tiga tahun yang lalu ketika aku menentang gerombolan perampok yang mengacau di Loano, juga menolong budemu dari tangan mereka. Kami pun saling jatuh cinta dan karena pada waktu itu aku masih bujangan sungguh pun usiaku sudah lima puluh satu tahun, kami lalu menikah. Beberapa bulan yang silam, pada suatu hari kami kedatangan tamu. Dia adalah Aki Somad, seorang pertapa di Nusa Kambangan yang sakti. Kami kenalan lama dan kami menyambutnya dengan baik. Akan tetapi kunjungannya itu bermaksud membujuk aku agar menjadi antek Kumpeni Belanda. Tentu saja kutolak tegas dan dia pergi dengan marah-marah.”
“Pakde maksudkan kakek bongkok yang punggungnya berpunuk, yang bertanding dengan kakang-mas Aji tadi?”
“Benar, dialah orangnya. Tidak lama kemudian, pada suatu pagi budemu Winarsih lenyap diculik orang!”
“Ahh...!” Sulastri mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Siapakah jahanam yang berani menculiknya?”
“Yang menculiknya ternyata kemudian adalah gerombolan Gagak Rodra, sudah tentu atas perintah Aki Somad. Agaknya dia hendak menggunakan penculikan itu untuk memaksaku supaya mau menjadi antek Belanda. Sampai dua hari aku mencarinya tanpa hasil. Untung sekali di tengah perjalanan para penculik itu bertemu dengan anak-mas Aji yang berhasil menolong dan membebaskan Winarsih, lalu membawanya pulang ke sini.”
“Ahh, ternyata kakang-mas Aji sudah berjasa besar kepada keluarga pakde!” kata Sulastri sambil memandang wajah Aji. “Aku ikut berterima kasih padamu, kangmas!”
“Ahh, Nimas Sulastri, aku hanya memenuhi kewajibanku. Kita semua patut bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah.”
“Wah, bicaramu ini mirip sekali dengan ayahku!” kata Sulastri dengan seruan heran. “Lalu bagaimana, Pakde, bagaimana ceritanya sampai terjadi pertempuran tadi?”
“Sesudah Winarsih diantar pulang oleh anak-mas Aji dengan selamat, aku merasa yakin bahwa pelakunya adalah para pimpinan Gagak Rodra. Malam itu aku mengumpulkan para pemuda Loano dan merencanakan persiapan untuk besok pagi-pagi menyerbu ke sarang Gagak Rodra bersama anak-mas Aji dan para pemuda itu. Tetapi malam itu kami bertiga, anak-mas Aji, Winarsih, dan aku sendiri hampir saja menjadi korban karena diracuni oleh dua orang pembantu kami sendiri.”
“Ahh! Bagaimana dua orang pembantu sendiri hendak meracuni keluarga Pakde sendiri?”
“Ternyata mereka itu adalah orang-orangnya antek Belanda yang sengaja diselundupkan ke sini sebagai pengungsi kemudian kami terima sebagai pelayan karena merasa kasihan. Sekali lagi untung ada anak-mas Aji. Dia yang mula-mula menaruh curiga dan membiarkan ayam makan singkong rebus beracun itu sehingga ayam itu mati. Dua orang pelayan itu membuktikan kebersihan mereka dengan berani makan singkong rebus itu sehingga kami terkecoh. Tetapi pagi-pagi sekali tadi, dua orang yang mengaku suami istri itu memasuki kamar anak-mas Aji dan bermaksud membunuhnya. Akan tetapi anak-mas Aji telah curiga dan siap siaga sehingga usaha pembunuhan itu pun dapat digagalkan. Mereka melarikan diri dan ketika tadi kami menyerbu ke sarang Gagak Rodra, ternyata keduanya berada di sana pula. Dalam perkelahian aku berhasil membinasakan mereka berdua dan dua orang pimpinan Gagak Rodra.”
“Kalau begitu, Pakde dan kakang-mas Aji bersalah besar sekali!” tiba-tiba Sulastri mencela sambil mengerutkan alisnya.
Dua orang laki-laki itu tentu saja terkejut dan heran sekali. Keduanya saling pandang dan tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba menyalahkan mereka!
“Lastri, apa maksudmu? Engkau mengatakan kami berdua salah besar? Mengapa?” tanya Ki Sumali heran dan juga penasaran.
“Sudah jelas bahwa gerombolan Gagak Rodra terdiri dari orang-orang jahat yang berdosa besar! Kenapa Pakde berdua tidak membasmi dan membunuh mereka semua akan tetapi memaafkan mereka? Itu merupakan kesalahan yang besar sekali!”
Ki Sumali mengerling kepada Aji. Dia sendiri diam-diam dapat menyetujui pendapat gadis itu. Dia tidak akan menolak andai kata Aji tadi mengajak dia untuk membasmi gerombolan itu. Buktinya dia sudah menewaskan empat orang penting gerombolan itu yang bertanding dengan dia.
“Biarlah anak-mas Aji yang menjawab pertanyaan itu, Lastri.”
Ki Sumali dan Sulastri menoleh kepada Aji. Pemuda itu menghela napas panjang sebelum menjawab, menjernihkan pikirannya lalu berkata dengan tenang.
“Nimas Sulastri, ada dua sebab mengapa kami memaafkan para anggota Gagak Rodra itu. Pertama, sesuai dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Gusti Sultan Agung, dan kedua, atas pertimbangan peri kemanusiaan.”
“Coba jelaskan satu demi satu, kakang-mas, agar hatiku tidak merasa penasaran.”
“Gusti Sultan Agung telah mengambil kebijaksanaan terhadap semua daerah yang dahulu menentang Mataram. Beliau menganggap bahwa semua daerah itu merupakan bangsa dan saudara sendiri, bukan musuh tapi saudara sebangsa yang sedang berselisih paham. Buktinya, ketika Mataram mengalahkan daerah-daerah yang tadinya menentang itu, Gusti Sultan tidak menghukum para bupati dan adipati yang tadinya menentang. Bahkan mereka diberi kedudukan kembali. Ingat saja, Pangeran Pekik dari Surabaya bahkan dinikahkan dengan Gusti Puteri Ratu Wandansari, lalu Raden Praseno putera Bupati Arisbaya malah diangkat menjadi Adipati Madura berjuluk Pangeran Cakraningrat. Kemudian Sunan Giri juga dimaafkan dan diangkat kembali dengan gelar Panembahan, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu kalau sekarang kami memaafkan para anggota Gagak Rodra dan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan mengubah jalan hidup mereka, hal ini adalah sesuai dengan kebijaksanaan Gusti Sultan Agung.”
“Hmm, engkau sungguh seorang yang setia dan mencontoh kebijaksanaan Sultan Agung, kakang-mas Aji. Lalu alasan yang kedua? Peri kemanusiaan? Apa maksudmu?”
“Nimas, jawablah dahulu pertanyaanku ini. Percayakah engkau dengan ucapan orang bijak jaman dulu bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun manusia yang tanpa salah dan tidak berdosa?”
Gadis itu mengangguk. “Aku percaya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan, setiap orang manusia pasti berdosa. Hanya Gusti Allah yang tanpa kesalahan tanpa dosa, serba sempurna.”
“Bagus! Jawabanmu itu telah menjawab pertanyaanmu tentang alasan ke dua itu. Engkau, aku, dan Paman Sumali adalah manusia-manusia juga, bukan?”
“Tentu saja!”
“Kalau begitu, sesuai dengan kepercayaan kita tadi, sebenarnya kita bertiga ini pun tidak bersih dari kesalahan dan dosa! Kita bertiga ini pun hanya merupakan orang-orang yang berdosa, bukankah begitu?” Gadis itu agak meragu, akan tetapi lalu mengangguk.
“Ya, begitulah mestinya.”
“Nah, kalau kita sendiri pun adalah manusia-manusia berdosa, mengapa kita menyalahkan orang-orang lain yang kita anggap jahat? Mereka dan kita sama saja, bukan? Sama-sama berdosa. Hanya dosa kita itu berbeda-beda sifatnya atau kadarnya, akan tetapi tetap saja kita sama-sama orang yang berdosa. Jadi sudah sepatutnyalah kita memaafkan kesalahan orang lain berdasarkan persamaan dan rasa peri kemanusiaan.”
“Wah, wah, wah! Ucapan dan pendapatmu makin mirip ayah, kakang-mas. Akan tetapi aku masih merasa penasaran. Mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya...”
“Orang yang sedang melakukan perbuatan menyimpang dari kebenaran tak ada bedanya dengan orang yang sedang sakit, nimas. Yang sakit itu batinnya, bukan badannya. Akan tetapi ingat, orang yang sakit itu dapat sembuh dan orang yang sedang sehat itu bisa saja tiba-tiba jatuh sakit, artinya orang yang sekarang jahat itu dapat saja bertobat dan menjadi baik, sebaliknya orang yang sekarang tampak baik itu bukan tidak mungkin akan jatuh dan melakukan perbuatan jahat. Karena itu, mencoba menyadarkan orang jahat sama dengan mencoba menyembuhkan orang sakit dan aku percaya seyakin-yakinnya, bila Gusti Allah menghendaki, mereka yang tadinya jahat itu dapat menjadi orang-orang yang berguna dan baik.”
“Ah, betapa sulitnya untuk dapat memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada kita!” kata gadis itu.
“Engkau benar, Lastri. Memang sulit sekali memaafkan orang yang bersalah kepada kita itu.”
Pada saat itu muncul Winarsih. “Hei, tiada habis-habisnya kalian bicara. Mari berhenti dulu bicaranya dan kita makan. Hari sudah siang, makanan sudah kupersiapkan di meja makan ruangan dalam. Silakan!”
Mereka berempat segera memasuki ruangan dalam lalu makan bersama. Sulastri merasa gembira setelah mendapat kenyataan bahwa uwanya ternyata adalah seorang yang ramah dan baik. Hatinya tambah senang lagi melihat istri uwanya itu ternyata seorang yang amat ramah dan lembut, bersikap demikian akrab kepadanya seolah mereka sudah lama sekali berkenalan.
Akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah Aji. Selama ini belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu lembut, sopan, berpandangan luas, pandai berfilsafat seperti seorang kyai, dan memiliki kesaktian yang hebat pula!
Sampai tiga hari tiga malam lamanya Aji tinggal di rumah Ki Sumali. Suami istri itu selalu menahannya, bahkan Sulastri yang kini mulai akrab dengannya juga ikut membantu suami istri itu menahan Aji. Namun pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Aji memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dan berpamit.
Setelah menikmati sarapan pagi, dia berkata kepada Ki Sumali. “Paman, pagi hari ini saya terpaksa mohon diri. Paman tentu maklum bahwa saya sedang mengemban tugas, maka saya tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Saya harus melanjutkan perjalanan saya, jadi saya harap kali ini Paman Sumali, Mbakayu Winarsih dan Nimas Sulastri takkan menahan saya lagi.”
Ki Sumali mengangguk. “Kami mengerti, anak-mas Aji. Kami sudah amat bersyukur sebab anak-mas mau tinggal di sini sampai tiga hari lamanya. Kalau anak-mas sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan hari ini, kami bertiga hanya dapat memberi bekal doa keselamatan agar engkau selalu dlindungi Gusti Allah dalam perjalanan dan berhasil melaksanakan tugas-tugasmu.”
“Dan percayalah, Dimas Aji. Kami sekeluarga tidak akan pernah melupakan budimu yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Mudah-mudahan Gusti Allah membalas segala budi kebaikanmu itu.” kata Winarsih dan suaranya mengandung keharuan.
“Eh, Mas Aji, engkau hendak melanjutkan perjalanan ke mana? Ataukah hal itu merupakan rahasia besar dan aku tidak boleh mengetahuinya?” tiba-tiba Sulastri bertanya, sepasang mata yang jeli itu memandang penuh selidik.
Aji tersenyum. “Tentu saja engkau boleh mengetahui, Lastri.” Kini hubungan antara kedua orang muda itu demikian akrab sehingga Sulastri menyebut pemuda itu Mas Aji sebaliknya Aji menyebutnya Lastri begitu saja. “Aku akan pergi ke daerah Galuh, lalu menyusup ke daerah Kumpeni Belanda di Batavia dan mungkin juga aku akan pergi ke Banten.”
Gadis itu memandang dengan wajah berseri-seri dan sepasang matanya bersinar-sinar. “Ke Galuh? Ah, sungguh kebetulan sekali! Aku pergi denganmu, Mas Aji. Aku pun hendak pulang ke Galuh!”
“Lastri, baru tiga hari engkau di sini. Masa sudah hendak pergi lagi?” kata Winarsih.
“Lastri, anak-mas Aji melakukan perjalanan guna melaksanakan tugas. Bagaimana engkau dapat melakukan perjalanan bersama dia?” kata pula Ki Sumali.
“Bude, aku berjanji kepada ayah ibu untuk tidak terlalu lama pergi, maka aku akan segera pulang. Dan Pakde, aku takkan mengganggu Mas Aji. Melakukan perjalanan berdua tentu lebih mengasyikkan dan menyenangkan! Lagi pula, kalau perlu aku dapat membantu Mas Aji melaksanakan tugasnya!” kata gadis itu dengan lincah dan gembira.
Ki Sumali mengerutkan alisnya. Dia adalah pakde (uwa) dari gadis itu, sudah sepantasnya jika dia menganggap Sulastri sebagai anak sendiri dan mewakili adiknya untuk menasihati gadis itu.
“Nini Sulastri.” katanya dan suaranya terdengar sungguh-sungguh serta penuh wibawa.
“Dengarkan nasihatku ini karena sekarang aku menjadi pengganti ayahmu. Engkau tidak boleh melakukan perjalanan berdua dengan anak-mas Aji. Seorang perawan dan seorang perjaka, bagaimana boleh melakukan perjalanan jauh berhari-hari hanya berdua saja? Apa anggapan orang nanti? Ini namanya tidak pantas dan kalian dapat disangka suami istri!”
Mendengar ucapan pakdenya itu, Sulastri tertawa. “Hi-hik, sudah habiskah nasihat pakde? Kalau sudah habis, aku akan menjawab!”
Ki Sumali mengerutkan alis. Biar pun baru berkumpul selama tiga hari dia sudah mengenal gadis itu sebagai seorang yang berwatak keras dan jujur. Namun dia tidak percaya bahwa gadis perkasa itu memiliki watak yang bandel dan keras kepala.
“Jawablah, asal jawabanmu masuk akal,” katanya.
“Begini, pakde dan bude. Aku akan menjawab nasihat pakde tadi satu demi satu. Pakde bilang bahwa pakde menjadi pengganti ayahku, akan tetapi aku melihat bahwa pendapat pakde dan ayahku sama sekali berbeda, jauh berbeda. Buktinya, ayahku mengijinkan aku melakukan perjalanan ke sini seorang diri saja! Dan aku yakin akan pendirian ayah, pasti beliau tidak akan memberikan nasihat seperti yang pakde berikan tadi. Sekarang tentang seorang perawan dan seorang perjaka melakukan perjalanan bersama. Mengapa tidak boleh? Biar pun melakukan perjalanan jauh bersama dan berhari-hari, hanya berdua saja, apa salahnya? Melakukan perjalanan berdua bukanlah dosa, pakde. Dan sekarang tentang anggapan orang! Hidup kita tidak ada sangkut pautnya dengan pendapat dan anggapan orang-orang lain! Pantas dan tidak pantas itu bergantung sepenuhnya kepada prilaku kita sendiri. Kalau ada orang menganggap kita melakukan perbuatan yang tidak pantas dan berdosa, yang penting kita harus mengamati diri sendiri. Kalau kita benar-benar melakukan perbuatan yang salah itu, maka kita harus mawas diri dan berusaha sekuat tenaga untuk bertobat dan mengubah prilaku kita. Sebaliknya kalau kita bersih dari anggapan itu, maka kita tak perlu menghiraukan semua anggapan itu. Aku yakin ayahku akan memberi nasihat seperti ini, pakde. Kalau kita terlalu menggantungkan kehidupan kita pada pendapat orang lain, maka kita akan sulit untuk melangkah, tentu akan tersandung-sandung pendapat dan anggapan orang lain yang hanya usil dan mau tahu urusan orang lain.”
Mau tidak mau Ki Sumali tersenyum. Bantahan itu memang bernada keras, tapi dia dapat melihat kebenaran yang terkandung di dalamnya.
“Wah, engkau ini pantas menjadi Srikandi, Lastri. Akan tetapi kita ini adalah manusia yang bermasyarakat, bukannya hidup sendiri, bagaimana kita akan bisa mengabaikan pendapat umum begitu saja?”
“Pendapat umum memang harus kita perhatikan, akan tetapi kita terima yang kita anggap benar dan baik saja, yang salah dan tidak baik tentu saja kita tolak! Wah, kita berbantahan panjang lebar mengenai niatku melakukan perjalanan bersama mas Aji, sama sekali tidak ingat bahwa yang bersangkutan dan berkepentingan berada di depan hidung kita! Padahal yang berhak menentukan adalah Mas Aji sendiri! Nah, Mas Aji, sekarang jawablah dengan jujur, tak perlu rikuh-rikuh dan tidak usah berpura-pura. Bagaimana tanggapanmu? Apakah engkau mau jika aku menemanimu melakukan perjalanan ke Galuh? Atau engkau merasa keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama?”
Dalam perbantahan antara pakde dengan keponakan tadi, Aji dapat merasakan kebenaran kedua orang itu. Sesungguhnya, kalau dia mau jujur terhadap dirinya sendiri, dia merasa senang akan tetapi juga rikuh apa bila melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang gadis yang demikian ayu manis merak ati!
Untuk menolak tentu saja tidak mungkin. Hal itu tentu akan membuat Sulastri tersinggung dan marah, dan dia tidak menghendaki demikian. Dia lalu tersenyum, memandang kepada Ki Sumali, kemudian kepada Winarsih dan akhirnya kepada Sulastri yang sedang menatap wajahnya dengan sinar mata mencorong penuh selidik.
“Lastri, tentu saja aku tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersamamu...”
“Yahuuuuu...!” Gadis itu bersorak sambil mengangkat kedua lengan ke atas dan membuat gerakan tari yang sangat luwes dengan gerakan leher, pundak, dan pinggul sehingga tiga orang itu mau tidak mau tertawa melihatnya.
“Akan tetapi, Lastri...”
Sulastri tiba-tiba menghentikan tariannya, menghadap Aji dan bertanya keras, “Akan tetapi apa?”
“Karena aku sedang mengemban tugas dari Gusti Sultan Agung, tentu saja perjalananku mengandung bahaya dan aku tidak ingin melibatkan dirimu dalam bahaya.”
“Phuuuhhhh! Bahaya? Bahaya adalah makananku sehari-hari, mas Aji! Kalau ada bahaya yang menghadang, aku malah bisa membantumu mengatasinya. Aku juga bukan seorang perempuan lemah yang butuh perlindungan! Aku dapat melindungi diri sendiri bahkan bisa membantumu!”
“Lastri, jika engkau berlawanan dengan pendapat umum, berarti engkau menentang arus!” kata Ki Sumali. Gadis itu memutar tubuh, kini menghadapi pakdenya.
“Menentang arus, pakde? Harus! Harus! Seorang yang merasa dirinya gagah dan memiliki prinsip, mempunyai pendirian teguh, harus berani menentang arus! Kita ini sudah terbiasa mengaminkan saja semua pendapat umum seakan-akan pendapat umum itu pasti benar! Itu salah kaprah namanya, walau pun salah akan menjadi benar bila mana sudah menjadi pendapat umum! Celakalah orang yang tidak memiliki pendirian. Contohnya pakde sendiri. Pakde adalah seorang yang memiliki pendirian teguh dan pakde tentu berani menentang arus. Misalnya seluruh orang di Loano ini menjadi antek Belanda, apakah pakde juga akan mengikuti arus, menuruti pendapat umum dan ikut-ikutan menjadi antek Belanda? Nah, itu namanya menentang arus karena pakde mempunyai prinsip berdasarkan kesetiaan pakde kepada Nusa dan Bangsa! Sekarang contoh lain yang lebih jelas. Contohnya bude ini. Dia pun seorang wanita yang berani menentang arus karena mempunyai prinsip!”
“Eh! Aku?” Winarsih membelalakkan matanya yang indah dan bersinar lembut itu. “Jangan bergurau, Lastri! Aku ini hanya seorang perempuan yang lemah dan bodoh!”
“Siapa bilang bude lemah dan bodoh? Aku bukan hendak menyinggung atau mengejek, bahkan aku kagum dan memuji, juga bicara dari hati tanpa tedeng aling-aling karena aku membicarakan kenyataan. Pakde dan bude, kukira umum akan berpendapat bahwa amat tidak baik dan tidak pantas bagi bude yang cantik dan muda menjadi istri pakde yang jauh lebih tua, bukan? Akan tetapi bude mempunyai prinsip yang kuat berdasarkan cinta kasih murni. Nah, karena prinsip itu bude berani menentang arus, bertindak berlawanan dengan pendapat umum. Tetapi aku sama sekali tidak berpendapat bahwa tindakan yang diambil bude itu salah!”
Ki Sumali dan Winarsih saling pandang, namun mereka tidak merasa tersinggung karena gadis itu bicara blak-blakan, walau pun wajah mereka berubah kemerahan.
“Ha-ha-ha! Sudahlah, sudahlah! Kami mengaku kalah. Mana mungkin menang berdebat melawan seorang Srikandi?” kata Ki Sumali tertawa.
Istrinya, Winarsih tersenyum saja. Diam-diam dia harus membenarkan ucapan keponakan suaminya itu. Semenjak dia menjadi istri Ki Sumali, entah sudah berapa banyak kenalan sedusunnya, baik dengan sindiran halus mau pun terang-terangan menyatakan keheranan mereka, menyayangkan dirinya yang masih begitu muda menjadi istri suaminya yang jauh lebih tua.
Tetapi semua itu dianggapnya angin lalu saja karena di dasar hatinya dia harus mengakui bahwa dia sangat kagum dan cinta kepada pria itu. Baginya tidak ada pria lain yang patut dikagumi, dikasihani dan disayang kecuali Ki Sumali.....!
Komentar
Posting Komentar