ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-22


“Aihh, tidak bisa, bude! Kalau perlu, jika kuanggap dia keliru, pasti akan kubantah, bude!” kata dara itu sambil menatap wajah Aji dengan sinar mata menantang.

Aji tersenyum, “Nimas Lastri memang benar. Setiap orang perlu menerima kritik dari orang lain karena jika tidak, dia tidak akan pernah dapat menyadari akan kesalahannya sendiri.”

“Nah, itu baru jantan namanya!” Sulastri berseru girang, merasa dibenarkan. “Mengakui kebenaran orang lain dan menyadari kesalahan sendiri akan tetapi juga melihat kesalahan umum dan berani menentangnya, itulah seyogyanya sikap seorang gagah!”

“Wah, kalau melihat gelagat begini, agaknya Anakmas Aji yang akan kau lindungi, bukan sebaliknya!” kata Ki Sumali sambil tertawa.

“Ah, ya tidak, pakde. Orang hidup harus saling bantu, saling menolong, saling melindungi. Betul tidak, kangmas Aji?”

Aji tersenyum dan mengangguk. “Engkau benar, nimas.”

Diam-diam Aji merasa senang. Gadis ini luar biasa. Belum pernah dia bertemu dengan gadis selincah ini. Sama cantik jelitanya dengan Puteri Wandansari, istri Adipati Surabaya dan puteri Sultan Agung. Hanya bedanya, Puteri Wandansari yang juga gagah perkasa itu sikapnya lembut dan penuh wibawa, sedangkan Sulastri lincah jenaka dan keras kepala, seperti kuda betina liar yang sukar ditundukkan dan dijinakkan. Akan tetapi gadis ini jelas boleh diandalkan. Sakti mandraguna dan penuh keberanian, memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa.

Sesudah berkemas, pada hari itu juga Aji dan Sulastri berangkat meninggalkan Loano. Ki Sumali menyerahkan seekor kuda yang cukup baik untuk Sulastri dan kedua orang muda itu menyeberangi Kali Bogawanta lalu menunggang kuda menuju ke barat.

Benar seperti yang menjadi dugaan dan harapan Aji, perjalanan bersama Sulastri benar-benar sangat menyenangkan hati. Dara itu selalu riang gembira, wajahnya cerah ceria dan sikapnya lincah jenaka sehingga suasananya selalu menyenangkan. Selain menjadi teman seperjalanan yang amat menyenangkan, juga Aji menganggap Sulastri bisa menolongnya menjadi penunjuk jalan dalam usahanya mencari kakak tirinya Hasanudin dan juga Raden Banuseta yang telah membunuh ayahnya.

Di lain pihak Sulastri juga semakin akrab dan suka kepada Aji. Dia mengagumi Aji yang dia tahu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan pemuda ini sungguh amat berbeda dari pada pemuda lain. Biasanya para pemuda memandang kepadanya dengan sinar mata penuh gairah dan sikap mereka condong untuk menggodanya. Tapi pandang mata Aji kepadanya lembut dan sopan, sikapnya terkendali dan menghormatinya. Hal ini membuat dia merasa senang sekali dan dia merasa semakin suka kepada pemuda itu. Akan tetapi kadang kala dia pun dapat memperlihatkan kejengkelannya terhadap Aji yang dicelanya sebagai terlalu lamban, telalu sabar dan terlalu mengalah.

Dara yang cantik jelita, lincah jenaka dan gagah perkasa ini adalah anak tunggal Ki Subali yang tinggal di daerah Indramayu. Ki Subali sendiri adalah seorang saterawan dan dia juga menjadi seorang dalang yang terkenal di sekitar Indramayu. Keahliannya sungguh berbeda dengan kakaknya, Ki Sumali.

Kalau Ki Sumali sejak mudanya suka memperdalam olah kanuragan, sebaliknya Ki Subali suka mempelajari sastra dan seni. Dia amat pandai menari, menembang, mendalang dan ahli sastra, bahkan pandai pula mendalang wayang golek.

Istrinya pun seorang waranggana (penembang) yang bersuara merdu dan sering menjadi pesindennya ketika suaminya mendalang. Mereka hanya mempunyai seorang anak, yaitu Sulastri. Tidaklah mengherankan kalau suami istri itu amat memanjakan Sulastri sehingga anak ini tumbuh menjadi seorang anak yang manja dan keras hati, selalu menuntut agar semua keinginannya dituruti.

Sejak kecil Sulastri berwatak lincah dan nakal, seperti seorang anak laki-laki yang diam-diam didambakan ayah ibunya, bahkan dia lebih senang bergaul dengan anak laki-laki dari pada dengan anak perempuan. Kebiasaan ini tentu saja membuat dia semakin lincah dan nakal seperti anak laki-laki. Maka tidak aneh kalau sesudah dia berusia sepuluh tahun, dia merengek kepada ayahnya dan minta supaya dibawa ayahnya untuk berguru ilmu bela diri kepada Ki Ageng Pasisiran, seorang kakek tua renta yang dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna.

“Ah, kau kira mudah saja menjadi murid Ki Ageng Pasisiran?” teriak Ki Subali terkejut dan heran ketika anaknya yang masih berusia sepuluh tahun itu merengek minta agar diantar ayahnya untuk menjadi murid kakek sakti itu. “Hal itu sama sekali tidak mungkin, Lastri!”

“Aihh, ayah ini! Mengapa tidak mungkin? Aku tahu bahwa ayah adalah sahabat Ki Ageng Pasisiran! Kalau ayah yang membawa ke sana, tentu dia akan mau menerimaku sebagai murid!” Sulastri membantah.

“Hemmm, anak tak tahu diri. Mau tahu mengapa tidak mungkin? Pertama karena engkau masih anak kecil dan perempuan lagi! Kedua, setahuku Ki Ageng Pasisiran tidak pernah menerima murid. Selama ini kulihat dia hanya mempunyai dua orang murid, itu pun yang seorang adalah puteranya sendiri. Dan ketiga, Ki Ageng Pasisiran kini sudah tua, usianya sudah tujuh puluh tahun, bagaimana dia dapat menerima murid seorang bocah perempuan berusia sepuluh tahun seperti engkau?”

Sulastri membanting-banting kaki dan menangis, lalu lari ke pangkuan ibunya. “Ibu... ibu... kalau begitu ibu saja yang mengantarkan aku ke sana. Ayah tidak mau, ayah tidak sayang kepadaku...!”

Subali mengerutkan keningnya dan menghela napas panjang ketika melihat betapa istrinya memandang padanya dengan penuh tuntutan. Selalu saja istrinya membela puteri mereka itu.

“Lastri, engkau seorang anak perempuan, bagaimana ingin mempelajari olah kanuragan? Mau jadi apa engkau kelak?”

“Ayah, jika aku menjadi orang kuat dan digdaya, pasti akan kuhajar orang-orang jahat itu! Anak-anak lelaki yang suka menggangguku, mengejek aku cengeng, ringkih, penakut dan sebagainya, akan kusikat semua!”

“Hmm, engkau anak perempuan tapi ingin menjadi tukang pukul, ya?” Ki Subali menegur.

“Bukan tukang pukul, ayah, melainkan seorang wanita yang berjiwa satria. Apa salahnya kalau seorang wanita menjadi sakti mandraguna? Bukankah Srikandi itu juga wanita? Dia gagah perkasa, tidak takut menghadapi penjahat yang mana pun juga. Aku ingin menjadi seperti Srikandi!”

Ki Subali menggeleng-gelengkan kepala. “Baiklah, kalau engkau ingin belajar pencak silat, akan kumasukkan ke sebuah perguruan silat.”

“Aku tidak mau, ayah...! Aku hanya ingin menjadi murid Eyang Ageng Pasisiran!” Sulastri merengek dan menangis.

Seperti biasa, kalau sudah begitu, ibu anak itu mendesak suaminya dan akhirnya Ki Subali mengalah. Apa boleh buat, pada suatu pagi dia pun mengantar anak perempuannya yang berusia sepuluh tahun itu kepada Ki Ageng Pasisiran yang tinggal di daerah pesisir, tentu saja dengan dugaan bahwa kakek tua renta itu pasti menolak. Sesudah itu tentu anaknya yang bandel ini tidak akan dapat memaksanya lagi.

Rumah kediaman Ki Ageng Pasisiran berada dekat laut utara, sebuah rumah yang kokoh akan tetapi sederhana. Kurang lebih lima tahun yang lalu Ki Ageng Pasisiran datang dan bertempat tinggal di situ sebagai seorang duda. Sekarang usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan dia hidup menyepi di rumah yang terpencil itu, hanya ditemani seorang cantrik atau pelayan laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tahun.

Pada saat datang dan bertempat tinggal di situ, dia dikenal sebagai seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran. Tapi sebenanya kakek ini bukan lain adalah Ki Tejo Langit yang datang dari Banten. Seperti kita ketahui, nama ini pernah disebut oleh Ki Tejo Budi sebagai kakak seperguruannya. Tapi sekarang Ki Tejo Langit muncul di pesisir Indramayu dengan nama Ki Ageng Pasisiran dan hidup menyendiri, hanya ditemani seorang pelayan atau cantrik.

Ki Subali adalah salah seorang di antara beberapa orang yang dikenal Ki Ageng Pasisiran, yang tak banyak juga jumlahnya. Kakek tua renta itu suka sekali bercakap-cakap dengan Ki Subali tentang seni dan sastra. Sebaliknya Ki Subali juga mengagumi kakek tua renta itu karena pengalamannya sangat luas.

Akan tetapi Ki Subali merasa ragu dan tegang juga ketika berkunjung bersama puterinya. Tentu kakek sakti itu akan menganggap dia bergurau. Memang menggelikan kalau minta kakek tua renta sakti mandraguna itu agar mengambil Sulastri yang baru berusia sepuluh tahun, anak perempuan lagi, menjadi muridnya untuk mempelajari aji kesaktian!

Ki Ageng Pasisiran yang masih tampak tegap dan kuat itu menyambutnya dengan ramah. “Wah, kebetulan sekali andika datang berkunjung, Ki Subali. Sudah cukup lama kita tidak berjumpa. Ini puterimu? Manis dan mungil sekali!” Ki Ageng Pasisiran menyentuh pundak Sulastri.

Begitu dia menyentuh pundak anak itu, dia memandang heran dan penuh perhatian. Kini kedua tangannya meraba-raba kedua pundak dan punggung, menelusuri tulang punggung dengan jari-jari tangannya.

“Ada apakah, paman?” Tanya Ki Subali heran melihat kakek itu meraba-raba pundak dan punggung anaknya.

Ki Ageng Pasisiran seolah tersadar. Dia melepaskan rabaannya lalu berkata ramah. “Ahh, tidak apa-apa. Mari, silakan duduk. Engkau juga duduklah, anak manis. Siapa namamu?”

“Nama saya Sulastri, eyang,” kata anak itu dengan tabah.

Sesudah mereka bertiga duduk, Ki Subali memberanikan diri berkata, “Paman, sebetulnya kedatangan saya sekali ini bukan sekedar ingin bercakap-cakap seperti biasa, melainkan ada urusan yang hendak saya sampaikan kepada paman. Karena itu saya mengajak anak saya Sulastri.”

Ki Ageng Pasisiran tersenyum sabar. “Ya, ya... urusan apakah itu, Ki Subali. Katakanlah.”

Ki Subali merasa agak rikuh dan tegang karena menganggap bahwa permintaannya tidak pantas. “Begini, paman. Kedatangan saya ini, ehh, kami ini... yaitu anak saya Sulastri ini... maksud saya ingin sekali... ahh, bagaimana saya harus mengatakan...?”

Mendadak Sulastri yang berkata lantang. “Eyang, saya ingin belajar aji kanuragan kepada eyang. Saya ingin menjadi murid eyang!”

Ki Subali terkejut dan cepat berkata dengan sikap hormat kepada kakek itu. “Ahh, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami, paman. Kami sudah mengajukan permintaan yang bukan-bukan dan tidak pantas...”

Akan tetapi betapa heran dan girang hati Ki Subali ketika Ki Ageng Pasisiran tertawa dan berkata, “Heh-heh-heh, bagus sekali, bagus sekali! Inilah kesempatan baik bagiku, dalam tahun-tahun terakhir hidupku dapat mewariskan ilmu-ilmuku kepada seorang murid yang bertulang baik dan berbakat! Sulastri, aku suka menerimamu sebagai muridku!”

Sulastri memang anak yang luar biasa. Dalam usia sepuluh tahun dia sudah pandai sekali membawa diri. Begitu mendengar dirinya diterima menjadi murid Ki Ageng Pasisiran maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di depan kaki ki Ageng Pasisiran!

“Terima kasih banyak bahwa eyang guru sudi menerima saya menjadi murid!”

Melihat ulah puterinya, Ki Subali juga cepat-cepat menghaturkan terima kasih.

Demikianlah, mulai hari itu Sulastri menjadi murid Ki Ageng Pasisiran. Setiap hari anak ini datang ke rumah kakek itu untuk menerima gemblengan langsung dari Ki Ageng Pasisiran. Ternyata dia sangat berbakat dan juga tekun sekali sehingga kakek tua renta itu semakin bersemangat mengajarkan semua ilmu yang dikuasainya kepada murid itu.

Namun Ki Subali tidak melalaikan pendidikan sastra dan seni kepada puteri tunggalnya itu. Dia maklum bahwa pelajaran ilmu kanuragan yang tidak dibarengi dengan pendidikan ilmu kerohanian akan dapat membawa anaknya menyeleweng dan hanya akan mengandalkan kekerasan saja. Hal ini amatlah berbahaya.

Karena itu dengan bertukar pendapat bersama Ki Ageng Pasisiran, dia menanamkan jiwa satria kepada anaknya itu agar semua aji kanuragan yang dipelajarinya itu akan digunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, agar Sulastri mempunyai watak seperti seorang pendekar atau satria.

Demikianlah, bertahun-tahun Sulastri mempelajari ilmu kanuragan dari Ki Ageng Pasisiran sampai berusia delapan belas tahun. Selama delapan tahun itu dia mempelajari semua aji yang dikuasai Ki Ageng Pasisiran sehingga ia menjadi seorang dara perkasa yang memiliki kedigdayaan.

Kini Sulastri sudah menjadi seorang dara yang sakti mandraguna, akan tetapi biar pun dia berwatak keras dan lincah jenaka seperti pembawaannya sejak dia kecil, namun pelajaran budi pekerti, kesusilaan dan kerohanian yang dia terima dari ayahnya menjadi pengekang sehingga dia tidak sampai menjadi orang yang suka bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan aji kesaktiannya.

Setelah dia berusia delapan belas tahun dan sudah menyerap sebagian besar ilmu milik Ki Ageng Pasisiran, pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang laki-laki yang oleh gurunya diperkenalkan sebagai seorang puteranya dan seorang muridnya! Pagi itu, ketika Sulastri seperti biasa datang berkunjung, dua orang laki-laki itu sudah berada di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan seorang lagi yang berusia kurang lebih lima puluh tahun.

Tentu saja Sulastri menjadi heran sekali. Dua orang lelaki itu juga memandang kepadanya dengan kagum. Lalu muncullah Ki Ageng Pasisiran yang kini telah berusia delapan puluh tahun lebih. Dia tersenyum melihat kedatangan Sulastri.

“Ahh, engkau, Lastri. Kebetulan sekali. Perkenalkanlah, ini adalah puteraku, Sudrajat. Kini dia tinggal di Banten bersama keluarganya dan kebetulan dia sedang datang berkunjung.” Kakek itu menunjuk kepada laki-laki yang berusia lima puluh tahun yang bertubuh sedang dan bersikap tenang dan lembut. “Ajat, ini adalah Sulastri, muridku seperti yang sudah aku ceritakan kepadamu tadi malam.”

Karena lelaki itu diakui sebagai putera eyang gurunya, maka Sulastri cepat membungkuk dengan hormat sambil berkata ramah. “Paman Sudrajat, kapan paman datang dan apakah paman sekeluarga baik-baik saja?”

Laki-laki itu adalah Sudrajat yang sebenarnya adalah anak tiri Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit karena sebenarnya Sudrajat ini adalah putera kandung Ki atau Resi Tejo Budi, guru Lindu Aji. Melihat sikap dan mendengar tegur sapa Sulastri yang demikian ramah, dia memandang kagum.

Jarang ada gadis yang demikian lincah, ramah dan sama sekali tidak tampak malu-malu seperti para gadis lain. Juga dia merasa heran bagaimana ayahnya yang sudah begitu tua mengambil murid seorang gadis yang begini muda, apa lagi kalau diingat bahwa gadis ini menjadi murid ayahnya sejak berusia sepuluh tahun!

“Sulastri, aku merasa gembira dapat bertemu dengan andika yang menjadi murid ayahku. Menurut cerita ayah, andika seorang murid yang baik dan patuh. Aku ikut berterima kasih kepadamu, Lastri, karena setidaknya andika telah membangkitkan semangat ayahku yang sudah tua untuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepadamu.”

“Terima kasih, Paman Sudrajat. Ternyata paman sangat baik dan ramah sekali. Tetapi hal ini tidak mengherankan hati saya. Sebagai putera eyang guru, tentu saja paman bijaksana dan baik hati!”

“Aha! Menurut ayah kini andika baru berusia delapan belas tahun. Tapi kulihat andika telah berpikiran dewasa dan pandai membawa diri. Aku bangga mempunyai seorang keponakan seperti andika yang menurut tingkat juga adik seperguruan, Sulastri!” kata Sudrajat sambil tersenyum. “Ayah, cucu ayah Jatmika sudah berusia dua puluh tahun. Alangkah cocoknya kalau Jatmika dijodohkan dengan Sulastri! Saya akan bahagia sekali mempunyai seorang menantu seperti Sulastri!”

Pada saat itu pula laki-laki kedua yang usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap dan berkumis pendek, mendadak berkata dengan suara nyaring.

“Eyang guru, apakah eyang tidak akan memperkenalkan saya dengan adik seperguruan saya, Nimas Sulastri ini?”

“Heh-heh, sampai lupa aku,” kata kakek tua renta itu.

“Lastri, dia ini adalah kakak seperguruanmu, namanya Hasanudin dan panggilannya adalah Udin.”

Sulastri memandang kepada pria itu. Seorang pria dewasa yang sudah matang. Wajahnya ganteng dan menarik, akan tetapi ketika melihat sinar mata yang tajam itu menggerayangi tubuhnya, Sulastri mengerutkan alisnya dan rasa tidak suka memenuhi hatinya. Maka dia diam saja biar pun sudah diperkenalkan oleh gurunya kepada laki-laki yang menjadi kakak seperguruannya itu, tidak seperti ketika diperkenalkan kepada Sudrajat yang segera saja disapanya dengan ramah. Dia hanya memandang dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik, seolah hendak mengetahui laki-laki macam apa yang berada di hadapannya itu.

Melihat gadis itu diam saja, pemuda itu tersenyum. Dia menganggap gadis jelita itu tentu malu kepadanya, tidak seperti kepada Sudrajat yang sudah tua, tentu tidak merasa rikuh lagi. Maka dia pun berkata dengan sikap manis. “Aihh, Nimas Sulastri, harap jangan malu-malu kepadaku. Aku adalah kakak seperguruanmu sendiri.”

“Kakang-mas Hasanudin...”

“Aihh, jangan panggil Hasanudin. Orang-orang yang dekat denganku menyebut aku Udin, lebih akrab!”

“Akan tetapi aku menyebutmu kakang-mas Hasanudin!” kata Sulastri dengan suara datar. “Dan aku tidak malu, hanya masih asing karena aku tidak menyangka mempunyai seorang kakak seperguruan. Eyang guru tidak pernah bercerita tentang engkau.”

“Memang sudah lama aku tidak menghadap eyang guru, sudah lebih dari delapan tahun. Aku terlalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Aku tinggal di Galuh...”

“Tentu dengan keluargamu, bukan?” Sulastri memotong.

“Aihh, Adik Sulastri, aku belum berkeluarga, belum beristri kalau itu yang kau maksudkan. Aku masih perjaka tulen, ha-ha-ha! Dan aku pun tidak mempunyai seorang pun keluarga, kecuali Paman Sudrajat dan Eyang Guru ini.” Dia berhenti sebentar kemudian cepat-cepat disambungnya, “Tapi sekarang ada engkau yang boleh kuanggap sebagai keluargaku yang terdekat, ha-ha-ha...!” Sambil berkata demikian sepasang mata itu memandang tajam dan penuh arti dan berkedip beberapa kali.

Panaslah rasa perut gadis itu. Dia melihat kedipan mata yang jelas mengandung maksud tidak sopan itu. Akan tetapi karena di situ terdapat eyang gurunya dan juga Ki Sudrajat, ia menahan kemarahannya dan untuk menutupi perasaan marahnya, ia bertanya sambil lalu.

“Ayah ibumu?”

“Ibuku meninggal ketika aku masih kecil dan ayahku... dia juga sudah mati. Aku sebatang kara, tapi sekarang... hmm, ada engkau di sini, Lastri.” Kemudian tiba-tiba dia memandang Ki Ageng Pasisiran dan berkata, “Eyang guru, bagaimana kalau saya dan Sulastri menjadi suami istri? Tentu eyang guru akan menyetujuinya, bukan?”

Sulastri terkejut dan marah bukan main, matanya terbelalak dan mukanya berubah merah. Kalau tadi Ki Sudrajat mengusulkan perjodohan, hal itu dilakukan untuk puteranya, tetapi Hasanudin ini mengusulkan perjodohan untuk dirinya sendiri! Betapa beraninya! Ia merasa diremehkan sekali. Akan tetapi kemarahannya menjadi agak reda ketika melihat gurunya menegur laki-laki itu.

“Udin, jangan lancang kau! Urusan perjodohan tidak bisa diputuskan begitu saja! Sulastri masih memiliki ayah ibu. Tanpa perkenan ayah ibunya dan tanpa persetujuan dia sendiri, bagaimana mungkin perjodohan dapat dilakukan?”

“Aihh, eyang, bukankah sejak lama eyang selalu mendesak saya untuk menikah? Selama ini saya belum menemukan seorang gadis yang cocok dan tepat untuk menjadi istri saya dan sekarang tiba-tiba saja saya bertemu dengan nimas Sulastri ini. Ia cocok sekali untuk menjadi istri saya, eyang. Mohon eyang suka mengatur agar saya dapat berjodoh dengan nimas Sulastri ini, eyang.”

Sekarang Sulastri tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Aku tidak sudi! Aku belum ingin menikah! Eyang guru, maafkan saya, saya hendak pulang!” Sesudah berkata begitu Sulastri melompat dan berlari keluar, terus meninggalkan rumah gurunya.

Setelah gadis itu berlari pergi, Ki Ageng Pasisiran menghela napas panjang. Dia merasa dirinya telah tua dan lemah sehingga wibawanya berkurang banyak dan dia melihat betapa murid-muridnya berani bersikap kurang mengacuhkannya.

“Udin, kulihat engkau masih belum dapat mengendalikan keinginan perasaanmu. Setelah bertahun-tahun berpisah dariku, kulihat engkau masih juga tidak memiliki ketenangan dan kesabaran. Tidak semestinya engkau bersikap seperti tadi,” tegur Ki Ageng Pasisiran.

“Ayah berkata benar, Udin. Sikapmu tadi tidak benar, engkau telah menyinggung perasaan Sulastri!” Sudrajat juga menegur.

Hasanudin memandang kedua orang itu dengan kening berkerut. “Paman Sudrajat, paman sendiri tadi mengusulkan pernikahan antara Sulastri dengan putera paman. Tetapi Jatmika itu masih belum dewasa benar, masih hijau dan belum waktunya menikah. Dan bukankah lebih pantas kalau paman gurunya menikah lebih dulu sebelum dia?” Kemudian Hasanudin berkata kepada gurunya, “Eyang, sejak dulu saya menganggap eyang sebagai pengganti orang tua saya. Karena itu saya mohon agar melamarkan Nimas Sulastri untuk menjadi jodoh saya kepada orang tuanya.”

“Sabar... sabar Udin, jangan tergesa-gesa...” kata kakek tua renta itu.

“Kalau eyang tidak mau berarti sebenarnya eyang tidak sayang kepada saya. Kalau begitu biarlah saya akan melamar sendiri!” kata Hasanudin dengan suara tegas.

“Hemm, Udin. Jangan berdikap kasar begitu. Urusan perjodohan ini harus kita rundingkan dulu baik-baik. Jika kehendakmu memang sudah bulat, tentu ayah akan suka melamarkan Sulastri untukmu,” kata Ki Sudrajat untuk menyabarkan hati pemuda itu karena dia tidak ingin terjadi ketegangan dalam hati ayahnya yang sudah tua sekali itu.

Mereka lalu duduk dan membicarakan keinginan Hasanudin untuk minta tolong Ki Ageng Pasisiran melamar Sulastri.....

********************

Sementara itu Sulastri berlari pulang. Mukanya masih merah dan hatinya masih panas ketika tiba di rumah orang tuanya. Ki Subali merasa heran melihat puterinya begitu cepat pulang. Biasanya, kalau berkunjung ke rumah gurunya, gadis itu sedikitnya setengah hari baru pulang.

“Ehh, kenapa engkau sudah pulang, Lastri? Kenapa begitu cepat?” kata ayahnya.

Ibunya memandang heran melihat wajah puterinya kemerahan dan matanya mencorong.

“Lastri, ada apakah? Engkau kelihatan tidak senang!” tanya ibunya.

Gadis itu menjatuhkan diri di atas bangku di depan ayah ibunya. Mulutnya yang berbentuk indah itu cemberut, akan tetapi malah nampak manis dan menggemaskan.

“Aku bertemu dengan dua orang murid eyang guru,” katanya dengan nada jengkel.

“Eh, Ki Ageng Pasisiran masih mempunyai dua orang murid lain? Siapa mereka?” tanya Ki Subali.

“Lho! Bertemu dengan dua orang saudara seperguruan mengapa malah tidak senang dan marah-marah?” tegur ibunya heran.

“Mereka itu adalah Ki Sudrajat yang ternyata putera eyang guru sendiri. Ia berusia kurang lebih lima puluh tahun. Yang kedua bernama Hasanudin. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Bagaimana hatiku takkan merasa sebal? Ki Sudrajat ingin mengambil aku sebagai menantunya, dan Hasanudin itu ingin mengambil aku sebagai istrinya. Memangnya aku ini apa? Diambil menantu dan istri begitu saja! Menyebalkan!” Sulastri masih cemberut.

Suami istri itu saling pandang dan mau tak mau mereka berdua tersenyum lebar menahan tawa yang hendak terlepas dari mulut mereka.

“Akan tetapi mengapa engkau marah-marah, Lastri? Itu berarti bahwa mereka suka sekali kepadamu!” kata Ki Subali menahan tawa.

“Ya, Lastri. mereka itu ingin mengambil menantu atau memperistri engkau, berarti mereka kagum dan suka kepadamu!” kata pula ibunya, bangga karena puterinya begitu dikagumi banyak orang!

“Ahh, ayah dan ibu ini! Aku tetap saja tidak suka dan tidak sudi dianggap barang mainan indah yang boleh diambil begitu saja! Ayah, kini aku mau melaksanakan keinginanku yang sudah bertahun-tahun kutunda. Aku ingin pergi mengunjungi Paman Sumali di Loano!”

Ayah ibunya terkejut. “Akan tetapi Loano itu jauh sekali, Lastri!” kata ibunya.

“Sekarang keadaan sedang tidak aman! Sedang ada bahaya perang. Kabarnya pasukan Mataram hendak menyerang lagi ke Jayakarta, tentu terjadi pergolakan di daerah-daerah. Melakukan perjalanan dalam keadaan begini amat berbahaya!” kata pula Ki Subali.

“Ah, aku tidak takut, ayah. Aku sudah cukup kuat untuk menjaga dan membela diri. Hatiku sedang kesal dan aku merasa sebal kepada mereka. Apa bila mereka benar-benar berani datang untuk melamarku, ayah harus menolaknya! Sekarang aku hendak pergi ke Loano untuk mengunjungi Paman Sumali!”

“Ahh, bagaimana ini, Lastri? Kalau Ki Ageng Pasisiran sendiri yang datang meminangmu, bagaimana aku berani menolaknya?” kata ayahnya.

“Apa susahnya? Ayah tinggal bilang saja bahwa aku tidak sudi, tidak ingin menikah, habis perkara. Bukan ayah yang menolak, tetapi aku yang tidak suka! Nah, sekarang aku akan berkemas karena hari ini juga aku akan pergi ke Loano.”

“Tetapi engkau belum pernah ke Loano yang amat jauh itu, Lastri. Juga engkau baru satu kali bertemu dengan pamanmu, itu pun ketika engkau baru berusia tiga tahun. Bagaimana engkau dapat mengenalnya?” cegah Ki Subali.

“Ayah, kini aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu bahwa Loano terletak di selatan. Aku dapat bertanya kepada orang. Dan ayah telah menceritakan keadaan Paman Sumali. Wajahnya mirip ayah dan dia seorang gagah yang sakti mandraguna, memiliki senjata istimewa yaitu sebatang suling dan keris. Mudah sekali mengenalnya, bukan?”

“Lastri, engkau jangan pergi, anakku. Aku tak akan enak makan dan nyenyak tidur karena memikirkanmu, takut kalau-kalau engkau menghadapi gangguan,” kata ibunya.

Sulastri merangkul ibunya dengan manja. “Aihh, ibu, apakah ibu masih menganggap aku seorang gadis yang lemah? Jangan khawatir, ibu. Aku adalah murid Ki Ageng Pasisiran yang terkasih! Kalau ada orang jahat yang berani menggangguku dalam perjalanan, berarti mereka mencari penyakit. Aku sudah berpamit dengan baik-baik, harap ayah dan ibu suka melepas aku pergi dengan ikhlas. Ayah dan ibu tidak menghendaki aku pergi dengan cara minggat, bukan?”

Ayah dan ibu itu maklum bahwa tidak mungkin mereka mengubah niat hati puteri mereka yang manja dan keras hati ini. Akhirnya terpaksa mereka membiarkan Sulastri berkemas, membawa bekal kemudian mengantar kepergian gadis itu sampai di luar kota Indramayu sebelah selatan.

Demikianlah seperti kita ketahui, akhirnya gadis perkasa yang keras hati ini berhasil juga bertemu dengan pamannya, Ki Sumali, bahkan dapat membantu pamannya menghadapi musuh-musuh yang tangguh. Dan sekarang Sulastri melakukan perjalanan menuju Galuh ditemani Aji.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)