ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-23


Memang kadang-kadang dara itu bersikap ugal-ugalan dan kekanak-kanakan. Akan tetapi harus dia akui bahwa semua sepak terjang Sulastri dapat menyeretnya ke dalam suasana yang menggembirakan.

Dia yang biasanya memandang dunia ini dengan sikap serius, kini matanya seakan baru terbuka bahwa di dunia ini orang dapat memandang dunia ini sebagai sebuah tempat yang indah dan serba menggembirakan. Apa pun yang terjadi kepada mereka, gadis itu selalu dapat menanggapinya dengan gembira yang tidak dibuat-buat, melainkan dapat menerima apa adanya dan selalu dapat mengambil yang terbaik dan yang paling menggembirakan dari keadaan itu.

Seperti misalnya ketika mereka kehujanan sampai basah kuyup dan mereka harus berlari-lari mencari tempat untuk berteduh, gadis itu hanya tertawa-tawa gembira sambil berkata, “Wah, mengingatkan aku ketika aku masih kecil dan berhujan-hujan, betapa senangnya!”

Dan sesudah mereka memasuki goa, membuat api unggun untuk menahan dingin, Sulastri berkata, “Untung sekali udara dingin menusuk tulang sehingga berapi unggun begini terasa nyaman bukan main!”

Ketika mereka berteduh di bawah sebatang pohon rindang di tengah hari yang terik panas membakar, dia pun berkata dengan wajah ceria, “Wah, beruntung siang hari ini demikian panas sehingga kita dapat berteduh di sini sambil menikmati kipasan angin dan sejuknya bayangan daun-daun pohon!”

Pendeknya Aji tak pernah mendengar gadis itu berkeluh kesah. Dalam segala keadaan dia tetap bergembira dan tidak pernah mengeluh. Apa lagi setelah mereka semakin akrab dan saling mengenal, barulah Aji tahu bahwa di samping memiliki aji-aji kesaktian, dara ini pun pandai sekali bertembang dengan suara merdu, mengenal seni tari, dan pengetahuannya tentang sastra juga cukup luas.

Sungguh merupakan seorang gadis yang memiliki banyak keahlian, cantik jelita bertubuh indah, sakti mandraguna, gagah perkasa dan cerdik lagi pandai. Seorang gadis pilihan di antara seribu dan sukar dicari keduanya! Selain ini, kiranya baru Sang Puteri Wandansari saja yang dapat disejajarkan dengan Sulastri!

Aji sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara yang setiap hari bersamanya itu memiliki hubungan dekat dengan orang-orang yang hendak dicarinya, yaitu kakak tirinya Hasanudin dan putera gurunya yang bernama Sudrajat! Memang Sulastri yang merasa kesal kepada dua orang itu tidak pernah menceritakan kepada Aji mengenai mereka berdua. Dia hanya menceritakan bahwa gurunya bernama Ki Ageng Pasisiran, seorang pertapa di pantai Laut Utara di daerah Indramayu.

Pada suatu pagi yang cerah tibalah mereka di dataran rendah yang penuh dengan hutan. Di situ ada jalan yang cukup baik untuk bisa dilalui dengan cepat. Di kanan kiri terbentang sawah yang luas dan subur kehijauan dan di depan tampak hutan yang lebat. Pagi yang cerah, matahari yang hangat itu mendatangkan kegembiraan dalam hati Sulastri.

“Mas Aji, mari kita berlomba balap kuda. Aku ingat bahwa tidak jauh lagi, di tengah hutan depan itu atau di sebelah sananya, terdapat Kali Serayu. Marilah kita berlomba siapa yang dapat lebih dulu tiba di tepi sungai!”

Aji tersenyum, hanyut di dalam kegembiraan yang dipancarkan oleh wajah cantik itu. Pagi tadi Sulastri mandi di sebuah sungai yang airnya jernih sekali. Dengan menutup tubuhnya dengan tapih pinjung yang ujungnya dikaitkan di dada, dara itu mandi dengan gembira dan tanpa rikuh-rikuh lagi mengajak mandi pula! Ternyata Sulastri dapat juga berenang walau pun bukan ahli.

Ia mandi dan mencuci rambutnya yang hitam panjang sampai ke punggung. Setelah puas mandi dan bertukar pakaian di balik batu besar, dara itu kelihatan segar dan semakin ayu manis merak ati. Rambutnya dibiarkan terurai supaya cepat kering, wajahnya tampak putih mulus kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh semangat hidup, bibirnya selalu merekah dengan senyum manis. Setelah menunggang kuda beberapa lamanya dan rambutnya yang berkibar itu dikeringkan oleh angin, kini dia menggelung rambutnya dengan sederhana tapi membuatnya tampak lebih dewasa.

“Hai, Mas Aji, engkau jangan melamun. Aku akan menghitung sampai tiga dan kita mulai berlomba. Siap! Satu-dua-tiga...!” Sulastri sudah membedal kudanya yang melompat jauh ke depan lalu membalap dengan cepat.

Aji tersenyum kemudian membalapkan kudanya pula. Dia merasa yakin bahwa kalau dia bersungguh-sungguh maka kuda yang ditungganginya pasti dapat mengalahkan kuda yang dirunggangi oleh Sulastri. Kudanya adalah pemberian dari Sultan Agung, seekor kuda Arab yang kuat dan dapat berlari cepat sekali.

Akan tetapi dia sudah mulai mengenal watak gadis itu. Seorang gadis yang keras hati dan gadis seperti itu tidak akan mudah mengaku kalah! Bahkan kalau dikalahkan mungkin saja hatinya akan menjadi jengkel! Biarlah lebih baik membiarkan Sulastri yang menang karena dengan demikian hati gadis itu tentu akan merasa senang.

Maka Aji membatasi kecepatan lari kudanya. Ia hanya mengikuti dari belakang dalam jarak sekitar lima puluh meter. Cukup jauh akan tetapi dia masih dapat melihat bayangan gadis di atas kuda itu, setidaknya dia masih dapat melihat kepulan debu yang ditimbulkan oleh keempat kaki kuda itu.

Mereka berdua sudah memasuki daerah berhutan. Aji melihat bayangan gadis itu lenyap, membelok di sebuah tikungan jalan. Dia segera membedal kudanya untuk mengejar lebih dekat karena daerah seperti ini cukup gawat. Biasanya di tempat seperti itu muncul orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lewat.

Sesudah dapat melihat lagi Sulastri yang duduk di atas kudanya yang membalap, tiba-tiba terdengar seruan nyaring gadis itu dan Aji melihat betapa kuda yang ditunggangi Sulastri terjungkal! Dia terkejut sekali akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat tubuh Sulastri itu tidak terbawa jatuh. Tubuh gadis itu melayang ke atas, berjungkir balik di udara sampai lima kali lalu dengan ringannya gadis itu turun dan hinggap di atas tanah.

Bukan main tangkasnya gerakan itu, tangkas dan indah sekali sehingga Aji merasa kagum bukan main. Tetapi dia juga merasa khawatir karena terjungkalnya kuda yang ditunggangi Sulastri pasti ada penyebabnya. Aji membalapkan kudanya dan sesudah tiba di tempat itu dia cepat menghentikan kudanya lalu melompat, tubuhnya langsung melayang turun dekat Sulastri.

“Engkau tidak apa-apa, Lastri?” tanyanya khawatir.

Sulastri menggelengkan kepala. Dia mengerutkan alisnya memandang tajam ke depan lalu berkata sambil mengertakkan giginya. “Keparat, agaknya mereka itulah yang merobohkan kudaku!”

Aji memandang ke arah depan dan dia pun melihat empat orang yang melangkah perlahan menghampiri mereka. Kuda yang tadi ditunggangi Sulastri telah menggeletak tak bergerak, agaknya telah mati. Ketika Aji mengenal tiga orang di antara empat orang yang melangkah perlahan menghampiri mereka, dia menjadi terkejut sekali.

Tiga orang yang dikenalnya dengan baik itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, dan Nyi Maya Dewi! Sedangkan seorang lagi tidak dikenalnya, yaitu seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang gagah tampan dan berpakaian mewah.

Tampaknya Sulastri juga sudah mengenali Aki Somad dan Nyi Maya Dewi, dua orang yang pernah menjadi lawannya ketika dia membantu Ki Sumali dan gadis ini pun maklum bahwa dia dan Aji tengah berhadapan dengan lawan yang tangguh. Akan tetapi karena dia merasa mampu melawan Nyi Maya Dewi, sedangkan dia tahu bahwa Aji juga mampu melawan Aki Somad, maka hatinya menjadi besar dan dia pun memandang dengan berani dan marah.

Dia sama sekali tidak mengenal Ki Harya Baka Wulung dan lelaki berpakaian mewah itu, tidak tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti mandraguna yang tak kalah digdayanya dibandingkan Aki Somad sendiri sehingga tentu saja mereka merupakan lawan yang amat berat dan berbahaya.

Aji tahu akan hal ini tetapi dia tetap bersikap tenang. Dia hendak memperingatkan Sulastri akan lawan-lawan yang berbahaya itu, akan tetapi dia tidak dapat mencegah Sulastri yang telah mendahuluinya. Gadis itu telah melangkah maju kemudian dengan suara lantang dia segera memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Nyi Maya Dewi.

“Heii, nenek genit tak tahu malu, iblis betina Maya!”

Sulastri sudah mendengar dari Aji bahwa wanita cantik genit itu bernama Maya Dewi, tapi dia sengaja memanggilnya Iblis Betina Maya. “Mukamu benar-benar tebal sekali. Engkau sudah kalah dan kini muncul kembali mengandalkan banyak orang, bahkan dengan curang sekali menyerang dan membunuh kudaku! Kalau kamu bukan pengecut hina yang tak tahu malu, hayo lawanlah aku. Jangan sebut aku Sulastri kalau pedang pusakaku Nogo Wilis ini tidak dapat memenggal batang lehermu!”

Aji mengerutkan alisnya. Gadis itu pemberani, akan tetapi sekali ini benar-benar sembrono dan terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Dia tahu benar bahwa mereka berdua saat ini berada dalam ancaman bahaya besar.

Dia masih sanggup melawan Ki Harya Baka Wulung atau Aki Somad jika satu lawan satu, akan tetapi bila mereka berdua maju berbareng, sungguh merupakan lawan yang teramat tangguh dan berat. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sulastri berimbang dengan tingkat Nyi Maya Dewi, bahkan mungkin sekali Sulastri akan dapat mengatasinya. Akan tetapi di sana ada seorang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan mudah dilihat bahwa dia pasti bukan orang lemah!

Nyi Maya Dewi tertawa, suara tawanya amat masam dan jelas bahwa dia mencoba untuk menyembunyikan kemarahannya di balik sikap mengejek dan tertawa itu. “Bocah lancang dan sombong, sekarang engkaulah yang harus mati di tanganku. Engkau tidak akan dapat meloloskan diri dari kematian. Sayang, engkau harus mati dalam usia begini muda!”

Dengan gerakan perlahan penuh ancaman sambil mulutnya menyeringai penuh ejekan, Nyi Maya Dewi melolos sabuk cindenya. Sabuk Cinde Kencana itu berkilauan ketika tertimpa sinar matahari yang menerobos di antara celah-celah dedaunan. Akan tetapi Sulastri juga sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau yang menyilaukan mata.

Pada saat itu pula lelaki tampan gagah berusia empat puluhan tahun itu berkata, suaranya lembut dan kata-katanya teratur seperti biasanya kaum menak (priyayi) bicara. “Nyi Maya Dewi, perlahan dulu dan tahan kemarahanmu. Aku merasa sayang sekali kalau dara ayu manis merak ati ini terbunuh. Aku menginginkan dia dapat ditawan hidup-hidup dan tidak sampai cedera berat.”

“Andika menginginkannya, raden?” kata Nyi Maya Dewi. “Dia ini seperti seekor kuda betina liar. Tidak mudah untuk menangkapnya hidup-hidup, maka andika harus membantuku.”

“Mari kita berdua menangkapnya!” Laki-laki itu mencabut sebatang golok yang bergagang emas.

“Aku akan menahan pedangnya dan andika yang membuatnya tidak berdaya.”

“Baik, Raden, tetapi jangan melupakan aku kalau gadis itu sudah berhasil kau dapatkan!”

Mendengar percakapan antara dua orang itu, Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Jahanam-jahanam busuk!” bentaknya dan gadis itu telah menerjang maju menyerang laki-laki itu. Yang diserang segera menggerakkan goloknya yang bergagang emas.

“Trangg...!”

Bunga api berpijar ketika pedang bertemu golok dan laki-laki itu tampak kaget bukan main ketika dia merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda bahwa gadis muda itu memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main.

Akan tetapi pada saat itu sinar keemasan menyambar ke arah pundak Sulastri. Gadis ini maklum bahwa Nyi Maya Dewi menyerangnya dari samping, maka ia cepat mengelak dan memutar pedangnya membalas.

Segera dara perkasa itu dikeroyok dua dan dia mengamuk, memutar pedangnya sehingga pedang Nogo Wilis itu berubah menjadi gulungan sinar hijau.

Sementara itu Aji sudah dihadapi oleh dua orang kakek sakti itu. Dia berdiri dengan sikap tenang walau pun hatinya mengkhawatirkan keselamatan Sulastri yang dikeroyok dua.

“Heh, orang muda! Dulu andika sudah menggagalkan kami membunuh Puteri Wandansari! Sekarang tibalah saatnya kami membunuhmu atas dosamu mencampuri urusan kami dan menggagalkan usaha kami!” Ki Harya Baka Wulung berkata dengan suara nyaring sambil mencabut kerisnya yang besar berluk sembilan.

“Ki Harya Baka Wulung, aku sudah mendengar dari sang puteri siapa andika sebenarnya. Kalau andika memusuhi dan menentang Mataram sebagai seorang tokoh Madura, hal itu masih dapat kumengerti. Akan tetapi sekarang andika bergabung dengan Aki Somad dan Nyi Maya Dewi! Tidak tahukah andika siapa mereka? Mereka ini adalah telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda yang menjual tanah air kepada bangsa asing!”

“Orang muda yang sombong, tutup mulutmu! Kami semua adalah musuh-musuh Mataram. Siapa yang memusuhi Mataram adalah sekutu kami. Bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku!” bentak Aki Somad yang menjadi marah sekali.

Dia segera menggerakkan senjatanya tongkat ular kering, menyerang dengan tusukan ke arah tenggorokan Aji. Senjata kakek ini sungguh berbahaya karena tongkat ular kering itu sangat beracun. Sekali kulit tergores robek sudah cukup untuk mendatangkan kematian karena keracunan.

Maklum akan ketangguhan lawan ini, apa lagi di situ masih ada Ki Harya Baka Wulung, Aji cepat mencabut keris pusaka Kyai Nogo Welang pemberian dari Sultan Agung dan dia pun bergerak dengan ilmu silat Alap-alap sakti yang dirangkainya sendiri. Ilmu silat ini tercipta berdasarkan gerakan burung alap-alap pada waktu berkelahi melawan ular, mengandalkan kegesitan dan loncatan-loncatan seperti terbang.

Oleh karena tubuh Aji telah terlatih baik dalam kelincahan ilmu silat Wanara Sakti yang dia pelajari dari Resi Tejo Budi, maka dia dapat memainkan ilmu silat Alap-alap Sakti dengan amat baiknya. Dengan gerakan yang sangat gesit, mudah saja dia menghindarkan tiga kali serangan berturut-turut yang dilakukan Aki Somad dengan elakan, bahkan dia bisa segera membalasnya dengan tendangan kakinya yang mencuat dari samping dan hampir-hampir mengenai lambung Aki Somad yang menjadi terkejut sekali. Apa bila dia tidak cepat-cepat membuang dirinya ke samping, tentu lambungnya terkena sambaran kaki pemuda itu.

Melihat Aki Somad sudah mulai bertanding melawan pemuda yang dia tahu amat digdaya itu, Ki Harya Baka Wulung cepat menggerakkan kerisnya mengeroyok Aji.

Seperti yang telah kita ketahui, Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh Madura yang mendendam terhadap Mataram. Bukan hanya karena Mataram telah menundukkan seluruh Madura, akan tetapi terutama sekali karena putera tunggalnya yang sangat disayanginya, yang bernama Dibyasakti, telah tewas di dalam pertempuran melawan pasukan Mataram. Ia bersumpah untuk membalas dendam dengan memusuhi Mataram dan telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan sumpahnya.

Sesudah Madura jatuh dan kalah melawan Mataram, Ki Harya Baka Wulung mati-matian membantu Surabaya dan Giri melawan Mataram, bersama dua orang rekannya yaitu Wiku Menak Koncar datuk dari Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Usaha ini gagal pula karena Surabaya dan Giri juga jatuh dan menakluk kepada Mataram. Semua kegagalan ini justru membuat kebencian dan dendam di dalam hatinya terhadap Mataram semakin menjadi-jadi.

Dia tidak pernah berputus asa dalam usahanya membalas dendam, kepada Sultan Agung pada khususnya. Dia sudah berusaha untuk membujuk Adipati Cakraningrat yang dahulu bernama Prasena, putera Adipati Tengah Arisbaya yang telah diangkat oleh Sultan Agung menjadi adipati seluruh Madura, untuk memberontak terhadap Mataram. Namun muridnya ini menolak dan tetap setia kepada Mataram.

Akhirnya Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar dari Blambangan untuk membunuh Puteri Wandansari, puteri Sultan Agung yang menikah dengan Pangeran Pekik Adipati Surabaya, di samping untuk membuat Sultan Agung berduka juga untuk membuat hubungan antara Mataram dan Surabaya menjadi renggang. Akan tetapi usaha ini bukan hanya gagal karena Puteri Wandansari dibantu Aji, bahkan Wiku Menak Koncar tewas di tangan Puteri Wandansari!

Semua kegagalan ini tidak membuat Ki Harya Baka Wulung mundur. Ketika dia berjumpa dengan Aki Somad dan dibujuk untuk membantu Kumpeni Belanda, dia segera menerima dengan senang hati. Sama sekali bukan karena dia suka menjadi antek Belanda. Tidak, karena sebenarnya dia sendiri juga membenci bangsa Belanda. Tetapi dia melihat betapa Mataram bermusuhan dengan Kumpeni Belanda, maka dengan membantu Belanda dia mendapat kesempatan untuk membalas dendam terhadap Mataram!

Dendam kebencian selalu merupakan racun yang merusak pertimbangan akal budi dan menghilangkan kebijaksanaan. Demi pelampiasan dendam kebencian, orang tidak segan-segan melakukan segala cara!

Sekarang menghadapi Aji yang dia tahu adalah seorang yang setia kepada Mataram dan pernah membela Puteri Wandansari, Ki Harya Baka Wulung menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan lagi kehormatan diri seorang datuk besar yang biasanya merasa malu dan pantang melakukan pengeroyokan, terlebih lagi terhadap seorang pemuda, Ki Karya Baka Wulung langsung mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk merobohkan Aji.

Akan tetapi pemuda itu ternyata tidak mudah dikalahkan begitu saja. Gerakannya tangkas, ringan dan tenaga saktinya juga kuat sekali. Dengan Aji Bayu Sakti gerakan Aji bagaikan angin saja, tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara kedua orang pengeroyoknya yang sudah tua. Juga keris di tangannya adalah sebuah pusaka ampuh, ditambah lagi Aji Surya Candra yang terkandung dalam tenaganya membuat kedua orang kakek itu terkadang sampai terhuyung apa bila terpaksa mengadu tenaga.

Dua orang kakek itu maklum bahwa percuma saja mempergunakan kekuatan sihir mereka karena semua sihir itu tidak akan mempan terhadap pemuda luar biasa ini. Maka mereka mengandalkan pengeroyokan untuk mendesak Aji. Berulang-ulang tongkat ular kering di tangan Aki Somad dan keris besar di tangan Ki Harya Baka Wulung bertemu dengan keris pusaka Nogo Welang di tangan Aji.

Setiap kali beradu senjata, bunga api segera berpijar dan sesudah beberapa kali bertemu keris, ujung tongkat ular kering di tangan Aki Somad patah! Hal ini membuat pertapa dari Nusakambangan itu menjadi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi dia tetap tidak mampu mendesak Aji yang memiliki pertahanan amat kuat. Pertandingan antara Aji dan dua orang kakek itu berlangsung seru dan mati-matian.

Yang keadaannya gawat adalah Sulastri. Sesungguhnya dara yang berusia delapan belas tahun ini sudah mendapatkan gemblengan hebat dari Ki Ageng Pasisiran selama delapan tahun dan sudah menguasai aji kanuragan yang sangat hebat. Akan tetapi dalam usianya yang masih muda itu dia belum memiliki banyak pengalaman dan sekali ini dia berhadapan dengan dua orang lawan yang sangat tangguh. Kalau saja dia harus bertanding satu lawan satu dengan kedua orang pengeroyoknya itu, agaknya dia masih akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan itu, biar pun telah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya dia mulai terdesak juga.

Tingkat kepandaian Sulastri tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Nyi Maya Dewi sehingga melawan wanita itu saja keadaannya hanya berimbang. Kini dikeroyok oleh seorang lawan lagi yang juga sangat tangguh, yang tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah mereka, tentu saja Sulastri menjadi kewalahan.

Laki-laki tinggi kurus, tampan gagah berusia empat puluh tahun itu adalah seorang tokoh yang kini menjadi ketua Perguruan Dadali Sakti menggantikan guru atau ketua perguruan itu yang meninggal dunia karena usia tua. Dia bernama Raden Banuseta yang tinggal di Galuh.

Kita masih ingat bahwa Raden Banuseta ini bukan lain adalah orang yang dulu membunuh Harun Hambali dan Ujang Karim di dusun Gampingan dekat pantai Laut Selatan. Raden Banuseta adalah putera mendiang Aom Bahrudin, seorang menak (priyayi) di Galuh yang terbunuh oleh Harun Hambali karena dia merampas dan memperkosa istri Harun sehingga wanita itu membunuh diri. Harun membalas kematian istrinya itu dengan membunuh Aom Bahrudin sehingga dia terpaksa melarikan diri meninggalkan Galuh karena dikejar-kejar.

Ketika hal itu terjadi, Raden Banuseta baru berusia kurang lebih dua puluh tahun. Raden Banuseta tentu saja mendendam kepada Harun Hambali, kemudian dia memperdalam ilmu silatnya di Perguruan Dadali Sakti. Setelah menjadi seorang yang digdaya, maka mulailah dia pergi mencari pembunuh ayahnya. Setelah belasan tahun ayahnya terbunuh, akhirnya dia berhasil menemukan Harun Hambali di dusun Gampingan dan membunuhnya, bersama teman Harun yang bernama Ujang Karim.

Sebenarnya telah lama Raden Banuseta berkenalan bahkan berhubungan sebagai kekasih gelap dengan Nyi Maya Dewi. Karena itu, ketika wanita itu membujuknya untuk membantu Kumpeni Belanda, dia setuju dan diam-diam Raden Banuseta menjadi anggota komplotan yang mendukung Kumpeni Belanda memusuhi Mataram.

Ketika dia berkunjung ke Nusakambangan untuk bertemu dengan Nyi Maya Dewi dan Aki Somad, kebetulan Ki Harya Baka Wulung juga sedang berkunjung. Mendengar kekalahan Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Gerombolan Gagak Rodra melawan Ki Sumali yang dibantu Aji dan Sulastri, maka mereka berempat kemudian bersepakat untuk menuntut balas dan kebetulan sekali di tengah perjalanan mereka melihat Aji dan Sulastri yang sedang menuju ke barat. Di dalam hutan di lembah Sungai Serayu ini mereka lantas menghadang sehingga terjadilah pertempuran itu.

“Heeiiiitttt...!” Sulastri berseru dengan suara melengking nyaring. Pedangnya menjadi sinar hijau yang menyambar ke arah Raden Banuseta, meluncur ke arah leher pria itu.

Raden Banuseta terkejut, maklum akan hebatnya serangan ini karena tadi beberapa kali dia sudah merasakan betapa kuatnya tenaga gadis itu ketika senjatanya bertemu pedang. Serangan itu demikian cepat sehingga tidak mungkin menghindarkan diri dengan elakan, maka terpaksa dia menyambut dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

“Tranggggg...!”

“Maya, cepat...!” Raden Banuseta yang menangkis pedang itu terpental dan terhuyung.

Akan tetapi selagi Sulastri mengejarnya dengan tusukan pedangnya, Nyi Maya Dewi dari belakang sudah menggerakkan sabuk cinde kencana. Sulastri dapat merasakan sambaran angin dari belakang itu. Dia segera membalikkan pedangnya, tidak jadi menusuk pria yang sudah terdesak itu, melainkan menggerakkan ke belakang untuk menangkis sabuk cinde kencana.

“Plakkk!”

Ujung sabuk cinde yang lemas itu membelit pedang. Sulastri segera mengerahkan tenaga dan hendak menarik pedangnya untuk membikin putus sabuk itu, akan tetapi pada saat itu pula Raden Banuseta sudah mengeluarkan sehelai kain berwarna merah, kemudian sekali kain merah itu dikebutkan ke arah muka Sulastri, ada debu berwarna merah mengepul dan mengenai muka gadis itu.

Sulastri tidak mengenal serangan ini. Dia sangat terkejut dan tanpa dapat dicegah lagi, dia telah menyedot debu merah ini ketika bernapas. Tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap dan dia pun lalu terkulai roboh. Raden Banuseta cepat menangkap tubuh Sulastri sebelum tubuh gadis itu jatuh ke tanah.

Melihat gadis itu sudah dapat ditawan, Nyi Maya Dewi membentak ke arah Aji yang masih bertanding melawan pengeroyokan dua orang kakek sakti.

“Lindu Aji menyerahlah kalau tidak ingin melihat gadis ini kami bunuh di depan matamu!” Aji melirik dan terkejut bukan main melihat Sulastri terkulai lemas dalam rangkulan laki-laki berpakaian mewah itu.

Dia menjadi serba salah. Dia tahu bahwa wanita itu seorang yang sangat kejam, seorang yang melatih diri dengan ilmu-ilmu keji sehingga tega untuk membunuhi anak-anak dengan menyedot habis darah mereka. Tentu ancaman wanita itu bukan kosong belaka. Dia akan menyesal selama hidupnya bila tidak menyerah kemudian mereka benar-benar membunuh Sulastri di depan matanya.

Sebaliknya bila dia menyerah, walau pun dia belum tahu bagaimana nanti jadinya dengan dirinya dan Sulastri, setidaknya dia masih mempunyai harapan untuk kemudian berusaha membebaskan dan menyelamatkan Sulastri. Maka dia pun segera melompat ke belakang sambil berkata, “Aku menyerah. Jangan bunuh gadis itu!”

Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung juga menghentikan serangan mereka. Mereka lebih suka melihat pemuda itu menyerah karena tadi mereka telah merasakan betapa sukarnya mengalahkan pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu.

“Aji, kalau engkau benar-benar menyerah, cepat lemparkan kerismu ke sini!” perintah Nyi Maya Dewi.

Wanita ini bersikap sebagai pimpinan dan memang sesungguhnyalah, dalam hal bekerja untuk Kumpeni Belanda, wanita ini adalah orang penting. Dia yang berhubungan langsung dengan pembesar Kumpeni Belanda di Batavia, dan dia juga yang melaksanakan perintah Kumpeni dan menyampaikannya kepada para tokoh lain. Sungguh pun Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Nyi Maya Dewi, akan tetapi dalam hal bekerja membantu Kumpeni, wanita itu menjadi atasan mereka!

Melihat keadaan Sulastri yang tampaknya pingsan, terkulai dalam rangkulan laki-laki yang tidak dikenalnya itu, Aji terpaksa berkata, “Nyi Maya Dewi, aku mau menyerah, akan tetapi berjanjilah dulu bahwa gadis itu tidak akan diganggu!”

Biar pun janji orang-orang yang telah menjadi antek Kumpeni Belanda ini sama sekali tidak bisa dipercaya, akan tetapi dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, demi menyelamatkan Sulastri, Aji minta kepada wanita itu agar berjanji.

Aji lantas melemparkan kerisnya sambil mengerahkan tenaga dan keris itu meluncur cepat sekali menjadi sinar berkeredepan menuju ke arah kaki wanita itu. Nyi Maya Dewi terkejut bukan main sehingga tidak sempat mengelak. Keris meluncur terlalu cepat, bagaikan kilat menyambar.

“Celaka...!” Dia menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Singg...! Cappp...!”

Keris Kyai Nogo Welang itu menancap di tanah sampai ke gagangnya, hanya beberapa senti di depan kaki Nyi Maya Dewi. Dari lontaran ini saja sudah membuktikan bahwa kalau Aji menghendaki, keris itu tidak menancap di tanah, melainkan dapat menancap di tubuh wanita itu!

Diam-diam perbuatan Aji ini mengandung peringatan kepada para antek Kumpeni Belanda itu agar mereka tidak main-main dengannya dan agar mereka memegang janji tidak akan membunuh Sulastri!

Setelah Nyi Maya Dewi dapat menenangkan kembali hatinya yang tadinya terguncang, dia membungkuk dan mencabut keris yang menancap di tanah itu. Ia mengamati keris itu lalu mendekati Ki Harya Baka Wulung.

“Paman Harya, apakah andika mengenal pusaka ini?”

Ki Harya Baka Wulung menerima keris itu dari tangan Nyi Maya Dewi, mengamatinya lalu dia berseru sambil memandang kepada Aji. “Keris seperti ini merupakan pusaka Mataram, pasti milik Sultan Agung dan hanya diberikan kepada para senopatinya!”

“Kalau begitu dia adalah seorang senopati Mataram! Tunggu apa lagi?” Aki Somad berseru dan dia sudah mengangkat tongkat ularnya. Juga Ki Harya Baka Wulung sudah mencabut lagi kerisnya. Agaknya dua orang kakek ini hendak menyerang Aji yang kini sudah tidak memegang senjata itu.

“Hemm. aku tahu bahwa kalian hanyalah pengecut-pengecut curang!” bentak Aji dan dia pun sudah siap menghadapi dua orang lawan itu, walau pun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi pada saat itu Nyi Maya Dewi sudah melompat ke depan dua orang kakek itu.

“Tahan, paman berdua! Andika tidak boleh membunuh dia! Dia adalah senopati Mataram dan merupakan seorang tawanan yang teramat penting. Tuan Besar Jenderal tentu akan senang sekali mendapatkan tawanan ini dan merupakan jasa besar sekali kalau kita dapat menyerahkan dia hidup-hidup kepada Kumpeni.”

Mendengar ucapan Nyi Maya Dewi itu, Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung menyimpan kembali senjata mereka. Mereka maklum bahwa dalam urusan ini mereka harus menaati semua perintah Nyi Maya Dewi yang menjadi pemimpin mereka. Nyi Maya Dewi adalah pemegang dinar emas yang ada gambarnya dua ekor singa sebagai tanda bahwa dia telah mendapatkan kepercayaan besar dari para pimpinan Kumpeni Belanda di Batavia.

“Nyi Maya Dewi, aku sudah menyerah, oleh karena itu kuharap engkau suka menyerahkan Sulastri kepadaku. Ia kelihatan pingsan, biarkan aku merawat dan menyadarkannya,” kata Aji ketika melihat Sulastri masih terkulai dalam rangkulan laki-laki itu.

“Maya, jangan serahkan gadis ini kepadanya! Dia adalah milikku, aku akan membawanya pergi dulu!” kata Banuseta. Dia mengangkat tubuh Sulastri yang masih pingsan kemudian memondongnya.

Mendengar dan melihat ini, Aji kaget bukan main. Dia merasa tertipu. Tadi Nyi Maya Dewi berjanji tidak akan membunuh Sulastri, akan tetapi laki-laki itu dapat melakukan bencana yang lebih hebat dari pada kematian bagi gadis itu.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)