ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-24
Melihat ini, Nyi Maya Dewi cepat-cepat berkata kepada kekasihnya itu. “Raden, lepaskan dulu gadis itu!”
“Tapi, Maya...” Banuseta terkejut dan hendak membantah.
“Lepaskan kataku!”
Banuseta tidak berani membantah lagi dan dia melepaskan tubuh Sulastri sehingga tubuh yang masih lemas itu terkulai dan rebah miring di atas tanah. Aji tidak mempedulikan lagi kepada mereka. Dia cepat menghampiri Sulastri yang menggeletak miring dan memeriksa keadaannya. Gadis itu masih pingsan dan biar pun dia sudah memijit dan mengurut jalan darah di tengkuk dan kedua pundaknya, tetap saja gadis itu masih terus pingsan.
“Aji, dia pingsan oleh debu racun pembius. Tanpa obat penawar maka dia tak akan dapat siuman.” kata Nyi Maya Dewi.
Aji mengerutkan alisnya. “Nyi Maya Dewi, sadarkan Sulastri!”
“Hm, nanti dulu, orang muda. Sekarang engkau tidak berada dalam keadaan memerintah dan menuntut, tetapi harus menaati kami. Kalian berdua menjadi tawanan kami, ingat?”
Aji terpaksa menahan amarahnya. Wanita itu memang benar. Dalam keadaan seperti ini dia harus mengalah dan tunduk. Andai kata di situ tidak ada Sulastri yang tidak berdaya dan terancam, pasti dia takkan mau tunduk begitu saja. Dia akan mengamuk dan mencari jalan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dia harus mengalah dan menahan kemarahannya demi keselamatan Sulastri.
“Nyi Maya Dewi, sebetulnya apa yang kalian kehendaki dari kami?”
“Tidak banyak. Pertama, apa bila engkau menghendaki kami menyadarkan gadis ini maka engkau harus menceritakan kepada kami segala hal tentang keadaan Mataram, kekuatan pasukan, dan rencana Sultan Agung untuk menyerang Batavia.”
Pikiran Aji bekerja dengan cepat. Sebenarnya dia sama sekali tidak tahu bagaimana dan berapa kekuatan pasukan Mataram, juga dia sama sekali tidak tahu rencana penyerangan Mataram yang kedua kalinya ke Batavia. Tugasnya hanyalah membantu Mataram dalam perjalanannya ke Galuh dan Banten, membantu pihak-pihak yang mendukung Mataram dan menentang pihak-pihak yang membantu Kumpeni. Namun pikirannya bekerja dengan cepat dan dia segera berkata.
”Hmm, Nyi Maya Dewi, aku tidak begitu bodoh untuk bisa kalian tipu begitu saja. Sebagai pembantu Sultan Agung memang aku mengetahui benar akan keadaan kekuatan pasukan Mataram. Sedangkan tentang rencana penyerangan Mataram ke Jayakarta, Sulastri lebih mengetahuinya sebab dia bertugas sebagai penghubung antara pasukan Mataram dengan kadipaten-kadipaten di sepanjang pantai utara. Akan tetapi kami berdua tentu saja takkan mau menceritakan kepada kalian sebelum kami yakin bahwa kalian tidak akan membunuh kami dan akan membebaskan kami sesudah kami bercerita.”
Aji memandang wajah Nyi Maya Dewi dengan penuh perhatian dan dia pun melihat betapa wanita itu tampak sangat tertarik namun mencoba menyembunyikan kegembiraan hatinya mendengar pengakuan Aji tadi bahwa Aji dan Sulastri ternyata dapat menceritakan rahasia kekuatan dan rencana penyerbuan Mataram. Sungguh merupakan penemuan yang amat penting!
Kini yakinlah hati Aji bahwa untuk sementara ini keselamatan Sulastri pasti terjamin. Nyi Maya Dewi pasti tidak akan membiarkan gadis itu terganggu atau terbunuh karena gadis itu dapat menceritakan tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia. Para pimpinan Kumpeni Belanda tentu akan senang sekali mendengar hal ini!
“Tapi Lindu Aji, aku pun tak begitu bodoh untuk membebaskan kalian begitu saja sebelum engkau dan gadis ini menceritakan segalanya di depan Kapten De Vos.”
“Kapten De Vos?” Aji mengulang nama asing itu.
“Dia adalah atasanku. Baiklah, aku akan menyadarkan Sulastri ini. Akan tetapi dia akan tetap kami sandera dan kami jaga. Kalau engkau membuat ulah mencurigakan, kami tidak segan-segan membunuhnya. Mundurlah Paman Somad dan Paman Harya, harap andika berdua menjaga pemuda itu, jangan memberikan kesempatan kepadanya untuk melawan!”
“Nyi Maya Dewi, aku telah berjanji untuk menyerah. Lagi pula aku tidak membawa senjata lagi, ada pun Sulastri berada dalam keadaan tak berdaya. Mengapa engkau masih takut?” kata Aji setengah mengejek.
“Mundur kau, orang muda!” Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad menodongkan senjata mereka menyuruh Aji menjauhi Sulastri. Aji mundur sampai agak jauh.
Nyi Maya Dewi mengambil pedang Nogo Wilis milik Sulastri dan melucuti pula sarungnya dari punggung gadis itu, lalu memakai pedang dan sarungnya pada punggungnya sendiri. Sedangkan keris Nogo Welang dia selipkan di ikat pinggang. Kemudian dia mengeluarkan sebatang jarum yang dibungkus kain kuning, lalu menusukkan jarum itu di kedua pundak Sulastri yang masih pingsan.
Aji mengira bahwa tusukan jarum pembius ini yang membuat Sulastri pingsan. Akan tetapi dia melihat Nyi Maya Dewi berpaling kepadanya dan tersenyum, senyum yang amat manis penuh ejekan.
“Nah, Lindu Aji, kalau engkau membuat banyak ulah, nyawa Sulastri tidak akan tertolong lagi.”
“Nyi Maya Dewi! Apa yang kau lakukan kepadanya?!” bentak Aji dan dia sudah mengepal kedua tangannya, siap menerjang.
“Eit-eit... tenang, Aji. Aku sudah memasukkan Racun Penghancur Jantung ke dalam tubuh Sulastri. Racun itu akan menjalar perlahan-lahan dan dia tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi kalau lewat tiga bulan dia tidak mendapatkan obat penawarku, maka dia akan mati dan tidak ada seorang pun di dunia dapat menyelamatkan nyawanya. Karena itu, selama tiga bulan ini engkau jangan membuat ulah atau gadis ini akan tewas dalam keadaan yang amat menderita dan mengerikan!”
“Kau... memang manusia kejam berhati iblis!” Aji memaki marah.
“Aku belum habis bicara. Dengarkanlah baik-baik, Aji. Aku akan membuat Sulastri sadar, akan tetapi beri-tahukan kepadanya bahwa racun penghancur jantung itu bukan saja akan membunuhnya dalam waktu tiga bulan, akan tetapi kalau dia berani mengerahkan tenaga saktinya, maka tenaganya akan mempercepat jalannya racun dan dia akan mati seketika! Karena itu kalian berdua jangan coba-coba untuk memberontak.”
Aji merasa tak berdaya sama sekali. Dia dan Sulastri sudah benar-benar terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang sangat jahat dan kejam. Dia harus bersikap cerdik. Dia menekan perasaan marahnya dan berkata. “Baik, sadarkanlah dia dan kami tidak akan melakukan perlawanan.”
“Nah, itu baru ujang kasep (anak tampan) namanya!” Nyi Maya Dewi tersenyum memuji. Dia lalu menoleh kepada Banuseta dan berkata. “Raden, keluarkan obat penawarnya.”
“Tetapi dia akan kau berikan kepadaku, bukan?” tanya pemuda jangkung itu. Rupanya dia sudah tergila-gila benar kepada Sulastri.
“Hush, Raden! Apakah engkau lupa akan tugas kita? Kita harus dapat menahan keinginan nafsu sendiri dan mementingkan tugas. Gadis ini memegang rahasia yang sangat penting. Sebelum dihadapkan kepada Kapten De Vos dan sebelum dia menceritakan rahasia itu, dia sama sekali tidak boleh diganggu. Mengerti?”
Raden Banutirta menarik napas panjang. Dia merasa menyesal sekali telah terlibat dengan urusan menjadi telik sandi membantu Kumpeni Belanda karena merasa tidak bebas dan harus menurut perintah. Akan tetapi dia pun maklum bahwa berkhianat merupakan bahaya maut. Pihak Kumpeni Belanda mempunyai banyak antek yang berbahaya. Baru Nyi Maya Dewi ini saja sudah sangat berbahaya. Dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna hijau.
Dibukanya tutup botol itu lalu botol itu dia dekatkan pada lubang hidung Sulastri sehingga dengan sendirinya isi botol tersedot ketika gadis itu bernapas.
Aji memandang dengan penuh perhatian sambil bersiap siaga. Jika sampai Sulastri tewas atau kehormatannya terancam, dia pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa! Ia melihat Sulastri menggerakkan kedua tangannya, lalu berbangkis tiga kali dan akhirnya membuka matanya. Agaknya begitu membuka mata, gadis itu menyadari keadaannya dan dia sudah melompat dengan cepat sekali, siap untuk berkelahi!
Melihat ini Nyi Maya Dewi dan Raden Banuseta cepat melangkah mundur menjauhinya.
Melihat Sulastri sudah bersiap hendak menyerang, Aji cepat melompat mendekati. “Lastri, jangan...!” Dia memegang lengan gadis itu.
Sulastri memandang Aji dengan alis berkerut, kedua matanya mencorong memandang ke arah empat orang lawan yang kini sudah berdiri berjajar itu. Hatinya lega melihat Aji dalam keadaan selamat. Dia tidak ingat lagi apa yang sudah terjadi dengan dirinya. Yang diingat hanyalah bahwa dia dan Aji menghadapi empat orang lawan yang tangguh.
“Mas Aji, apa maksudmu mencegah aku? Mari kita hajar mereka. Ehh, mana pedangku?”
“Hi-hik-hik! Pedangmu dan keris Aji sudah berada di tanganku, Sulastri!” kata Maya Dewi mengejek.
“Mas Aji, mari kita gempur mereka. Dengan tangan kosong pun aku masih sanggup untuk menjebol dada nenek genit itu!” Sulastri berseru marah.
Terdengar Nyi Maya Dewi tertawa terkekeh-kekeh dan Aji teringat ancaman wanita itu tadi. Maka dia cepat berkata,
“Jangan Lastri, jangan melawan dan jangan mencoba untuk mengerahkan tenaga saktimu.”
“Kenapa?” Sulastri bertanya penasaran kemudian dia mencoba untuk mengerahkan tenaga saktinya.
Akan tetapi dia segera mengeluh kesakitan dan mukanya berubah pucat, bibirnya ditarik menahan rasa nyeri yang menusuk jantungnya sehingga tangan kirinya bergerak menekan dada kirinya. Kembali terdengar suara Nyi Maya Dewi tertawa terkekeh.
Aji memegang lengan Sulastri dan menekannya agak kuat. “Lastri, dengar baik-baik! Kita sudah tertawan, tidak berdaya. Mereka telah memberimu racun penghancur jantung. Jika kau kerahkan tenaga saktimu maka engkau akan tewas. Engkau dapat bertahan selama tiga bulan, maka jangan melawan.”
Sulastri memandang kepada empat orang itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Akan tetapi apa yang mereka kehendaki dari kita?”
“Rahasia kita, Lastri. Engkau tahu akan rencana penyerangan Mataram kepada Kumpeni Belanda dan aku tahu akan keadaan kekuatan pasukan Mataram.” Diam-diam Aji memberi isyarat dengan tekanan-tekanan pada lengan gadis itu yang masih dipegangnya.
Tentu saja Sulastri merasa heran mendengar ucapan itu karena sesungguhnya dia sama sekali tidak tahu menahu tentang rencana penyerangan Mataram. Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang cerdik. Tekanan-tekanan pada lengannya itu membuat dia mengerti bahwa itu merupakan isyarat.
“Hemm, kalau begitu mengapa?” dia bersikap pura-pura memang menyimpan rahasia itu!
“Mereka ingin agar kita membocorkan rahasia itu. Tetapi kita tidak boleh bertindak bodoh. Kita tidak akan mengaku sebelum mereka memberimu obat penawar racun, dan sebelum mereka membebaskan kita. Rahasia itu harus ditukar dengan pembebasan kita.”
“Hmm, begitukah?” Sulastri memandang kepada Nyi Maya Dewi dengan mulut tersenyum mengejek dan mata menantang.
“Hei, nenek genit! Aku Sulastri bukan orang yang takut mati! Kalau engkau tidak memberi obat penawar dan membebaskan kami, aku tak sudi membuka rahasia itu. Biar aku mati, tetapi Batavia pasti akan hancur diserang Mataram dan engkau, nenek genit pengkhianat bangsa ini, akan ditangkap lantas dihukum gantung kaki di atas kepala di bawah, dihukum picis, setiap orang lewat diharuskan mengerat kulit dagingmu lalu mengoleskan asam dan garam pada lukanya!”
Ancaman Sulastri itu benar-benar mengerikan sekali. Hukum picis yang dimaksudkan dara ini merupakan hukuman yang paling sadis dan mengerikan.
Terhukum akan diikat di sebuah perempatan jalan dan di situ disediakan pisau, garam dan asam. Setiap orang yang lewat diharuskan mempergunakan pisau untuk menoreh tubuh si terhukum hingga terluka berdarah, kemudian mengoleskan asam dan garam pada luka itu. Dapat dibayangkan betapa tersiksanya si terhukum. Dia akan menderita hebat kemudian mati sedikit demi sedikit!
Bergidik juga Maya Dewi membayangkan hukuman seperti itu. Akan tetapi dia menutupi kengeriannya dengan senyum mengejek. “Jangan khawatir, neng geulis (nona cantik), asal engkau dan Aji tidak banyak tingkah dan di depan Kumpeni mau membuka semua rahasia itu, kalian berdua pasti akan dibebaskan dan aku akan memberi obat penawar untukmu.”
Rombongan itu lalu membawa kereta yang tadinya mereka sembunyikan di dalam hutan itu. Memang mereka sudah mempersiapkan segalanya. Kuda milik Aji segera dipasang di depan kereta, menambah dua ekor kuda yang sudah ada. Kereta itu cukup besar. Raden Banuseta menjadi kusirnya.
Aji dan Sulastri duduk di dalam kereta, dijaga oleh Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan Nyi Maya Dewi sendiri. Nyi Maya Dewi sudah merasa yakin bahwa dua orang tawanan itu tidak akan berulah sebab keadaan Sulastri membuat mereka sama sekali tak berdaya dan takkan berani memberontak.
Dalam pada itu diam-diam Aji dan Sulastri juga memeras otak untuk mencari jalan keluar supaya dapat membebaskan diri. Untuk sementara mereka merasa aman. Dengan adanya ‘rahasia’ tentang Mataram yang mereka miliki seperti yang dikira oleh para antek Kumpeni Belanda itu, mereka tidak akan diganggu.
Bahaya maut yang mengancam jiwa Sulastri juga baru akan tiba tiga bulan kemudian, dan sementara itu mereka akan mencari jalan sambil melihat perkembangannya nanti.
Sepanjang perjalanan itu, Aji dan Sulastri memperhatikan keadaan para penawan mereka. Dari sikap mereka tahulah Aji bahwa yang menjadi pemimpin adalah Nyi Maya Dewi walau pun bukan wanita itu yang paling sakti di antara mereka. Juga dia jadi mengerti bahwa Ki Harya Baka Wulung mau menjadi antek Kumpeni karena rasa bencinya kepada Mataram.
Tentang Aki Somad, dari sikap dan pembicaraan mereka, dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang mudah terpikat oleh rajabrana (kekayaan) dan kedudukan, dan dia bersedia menghambakan diri kepada Kumpeni Belanda tentu karena ingin memperoleh harta benda dan kedudukan.
Yang masih menjadi teka-teki baginya adalah pria berusia empat puluh bertubuh jangkung itu. Dia tidak pernah mendengar namanya disebut, Nyi Maya Dewi hanya memanggilnya dengan sebutan Raden saja yang menyatakan bahwa laki-laki itu tentu masih keturunan bangsawan.
Karena orang itu duduk sebagai kusir di depan kereta, maka Aji tidak dapat menilai lebih lanjut. Akan tetapi dia mencatat bahwa pria itu mempunyai niat kotor terhadap diri Sulastri. Agaknya lelaki itu tergila-gila kepada Sulastri dan kalau diberi kesempatan, tentu Sulastri berada dalam bahaya, Untunglah bahwa Nyi Maya Dewi menganggap Sulastri menyimpan rahasia yang sangat penting sehingga untuk sementara Sulastri aman dari gangguan pria berpakaian mewah itu.
Sesudah rombongan tiba di sungai Serayu, ternyata di situ telah siap anak buah Nyi Maya Dewi dengan satu perahu besar untuk menyeberangkan semua penumpang berikut kuda dan kereta. Namun Nyi Maya Dewi berkata kepada lima orang anak buahnya yang berada di situ.
“Kami tidak akan menyeberang, kami akan melakukan perjalanan menuju Kadipaten Tegal di utara. Akan tetapi kuharap ada dua orang yang dapat cepat memberi kabar ke Cirebon dan membawa suratku. Tentu kalian sudah tahu ke mana suratku harus disampaikan!”
Aji hanya melihat betapa wanita itu menyerahkan surat kepada dua orang anak buahnya. Kemudian kereta itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara.
Di sepanjang pejalanan, kalau malam tiba, di setiap tempat ada saja anak buah Nyi Maya Dewi yang menyambut dan memberi tempat penginapan yang pantas utnuk mereka. Juga hidangan yang disuguhkan cukup mewah, setidaknya pasti ada yang menyembelih ayam. Perjalanan itu berjalan dengan lancar dan lima hari kemudian kereta itu sudah memasuki Kadipaten Tegal.
Aji dan Sulastri merasa heran sekali ketika kereta itu memasuki kadipaten dengan aman. Agaknya para penjaga di kadipaten itu mengenal baik Nyi Maya Dewi! Agaknya tidak ada seorang pun yang curiga dan menduga bahwa wanita cantik itu sebetulnya adalah seorang telik sandi, seorang antek Kumpeni Belanda!
Padahal Aji pernah mendengar dari Senopati Suroantani bahwa Tumenggung Tegal dan juga Adipati di Cirebon sudah setuju untuk dijadikan lumbung beras bagi keperluan ransum bala tentara Mataram kalau nanti menyerbu Batavia untuk kedua kalinya. Dengan demikian berarti bahwa Tumenggung Tegal bersedia membantu Mataram. Akan tetapi kenyataannya kini, seorang telik sandi penting dari Kumpeni Belanda dapat masuk dan bergerak dengan leluasa di Tegal!
Bahkan rombongan ini diterima oleh seorang lelaki tinggi besar yang dilihat dari sikap serta pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penting. Rumahnya besar dan rombongan itu disambut dengan hormat dan diadakan pesta. Aji dan Sulastri tidak diperkenalkan, akan tetapi mereka mendengar orang tinggi besar berusia sekita empat puluh tahun itu disebut Ki Warga.
Rumah itu besar dan megah, tanda bahwa penghuninya orang yang kaya. Aji dan Sulastri masing-masing diberikan sebuah kamar dan dua orang tawanan ini dibiarkan berada dalam keadaan bebas seperti tamu, tapi mereka maklum bahwa mereka dijaga oleh sekelompok orang dengan amat ketat. Lagi pula mereka sama sekali tak berani meloloskan diri karena keselamatan nyawa Sulastri terancam. Hal ini yang membuat mereka merasa tak berdaya dan terpaksa harus menyerah.
Sampai tiga hari mereka bermalam di rumah orang bernama Warga ini. Aji tidak tahu apa yang mereka lakukan atau rencanakan. Mereka berdua dapat saling bertemu karena diberi kebebasan keluar dari kamar. Tetapi mereka tidak dapat saling bicara empat mata karena selalu ada saja penjaga yang mengamati dari dekat. Mereka hanya bicara seperlunya saja dan Aji hanya dapat menanyakan bagaimana keadaan Lastri.
Sulastri selalu menggelengkan kepala dan menghela napas panjang kalau ditanya tentang kesehatannya dan menjawab singkat, “Masih belum ada perubahan.”
Jawaban ini sudah cukup bagi Aji. Berarti gadis itu masih merasakan akibat keracunan itu dan dadanya terasa nyeri kalau dia mengerahkan tenaga saktinya. Selama gadis itu masih menderita karena keracunan, mereka berdua tidak berdaya dan tidak berani meloloskan diri karena hal itu berarti ancaman bahaya maut bagi Sulastri.
Selama menjadi tawanan itu tentu saja Aji tiada hentinya mencari kesempatan. Dia sendiri belum tahu kesempatan bagaimana yang dapat dia manfaatkan agar bisa menyelamatkan mereka berdua, karena dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan dalam keadaan Sulastri keracunan seperti itu. Dia benar-benar merasa tidak berdaya. Akan tetapi dia tidak pernah putus asa dan selalu waspada mencari jalan keluar untuk menanggulangi ancaman yang membayangi dia dan Sulastri.
Sudah beberapa kali Sulastri hampir tidak mampu menahan kesabarannya. Gadis itu ingin mengamuk saja tanpa mempedulikan keselamatannya. Tetapi dengan isyarat gerakan dan pandang matanya, Aji selalu dapat menyabarkannya.
“Selama kita masih hidup, selalu masih ada harapan,” demikianlah dia berkata pada suatu kesempatan tanpa terdengar oleh para penjaga yang mengamati mereka.
Sulastri cemberut, akan tetapi mengangguk tanda bahwa dia mematuhi kata-kata pemuda itu.
Malam itu udara dingin sekali. Aji duduk bersila di dalam kamarnya. Dia maklum bahwa di luar kamarnya ada dua orang yang bertugas mengawasinya. Nanti sesudah tengah malam dua orang penjaga itu akan diganti dengan dua orang lain. Demikian yang dia ketahui pada malam-malam yang lalu.
Dia sudah mengambil keputusan tetap. Malam itu adalah malam terakhir dia dan Sulastri berada di rumah itu. Siang tadi Nyi Maya Dewi sudah memberi-tahukan kepadanya bahwa besok pagi-pagi mereka akan melanjutkan perjalanan, entah ke mana wanita itu tidak mau memberi-tahu. Maka malam ini dia harus dapat melakukan penyelidikan ke mana mereka akan dibawa pergi sambil menyelidiki rahasia lain yang berhubungan dengan keselamatan Sulastri. Dia ingin mencari tahu di mana Nyi Maya Dewi menyimpan obat penawar racun yang mempengaruhi tubuh Sulastri.
Setelah keadaan di rumah itu sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah memasuki kamar masing-masing, dengan perlahan-lahan Aji membuka daun pintu kamarnya. Sedikit gerakan ini sudah cukup membuat dua orang penjaga itu menengok lalu menghampiri.
“Andika hendak pergi ke mana?” tanya mereka dan kedua orang itu sudah berdiri di kanan kiri Aji.
“Aku melihat di sana ada yang berkilauan. Apakah itu?” Dia menuding ke depan.
Tentu saja dua orang penjaga itu segera menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk Aji. Pada saat itulah kedua tangan Aji bergerak cepat sekali, menyambar ke arah tengkuk mereka dengan tangan miring.
Tanpa dapat mengeluarkan keluhan dua orang itu segera terkulai dalam keadaan pingsan. Aji menyambar tubuh mereka dengan dua tangannya untuk mencegah mereka roboh, lalu membawa mereka ke tempat mereka tadi berjaga. Dia mendudukkan keduanya di bangku yang tadi mereka duduki, menyandarkan tubuh itu ke dinding. Sesudah itu dia menutupkan daun pintu kamarnya dan berindap-indap menuju ke kamar besar di bagian kiri.
Dia tahu bahwa kamar itu adalah kamar Nyi Maya Dewi, sedangkan kamar Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan laki-laki jangkung berada di bagian kanan. Dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, tubuh Aji bergerak seperti angin, cepat dan ringan dan tak lama kemudian dia sudah melakukan pengintaian di luar jendela kamar yang didiami Nyi Maya Dewi.
Jantungnya berdebar tegang dan girang ketika dia melihat bayangan dua orang duduk di atas pembaringan dalam keadaan saling berpelukan mesra. Mereka bukan lain adalah Nyi Maya Dewi dan pria jangkung itu! Aji merasa rikuh dan malu menyaksikan pemandangan itu, maka dia segera mengalihkan pandangan dan menempelkan telinganya pada jendela untuk dapat menangkap pembicaraan mereka sebaiknya.
“Maya, sampai kapankah engkau akan menggodaku seperti ini? Engkau selalu menahan-nahan dan menghalangi aku memiliki gadis itu. Apakah ini berarti bahwa engkau merasa cemburu dan tidak rela kalau aku menggauli gadis itu?” terdengar suara lelaki itu dengan nada menyesal dan menegur.
“Cemburu? Ahh, sama sekali tidak, Raden. Di antara kita sudah terdapat janji bahwa kita tidak akan saling mengikat, tidak ada cemburu dan kita boleh bercinta dengan siapa saja tanpa yang lain mencegahnya. Bersabarlah, Raden. Kita membutuhkan gadis itu. Jika dia kuserahkan kepadamu sekarang, kemudian dia tidak mau membuka rahasia penyerangan Mataram, bukankah kita yang menderita kerugian? Sabarlah. Begitu dia sudah membuka rahasia itu, pasti dia akan kuserahkan padamu.”
“Bagaimana engkau bisa memastikan bahwa hal itu akan dapat terjadi, Maya?”
“Jangan khawatir, Raden. Bukankah obat penawar itu selalu ada padaku? Obat penawar itu adalah nyawa Sulastri! Selama obat penawar itu ada padaku, selama tiga bulan sejak dara itu keracunan, dia sepenuhnya berada di tanganku.”
“Kalau begitu berikanlah obat penawar itu kepadaku, Maya sayang? Setelah dia membuka rahasia, obat penawar itu akan dapat kupergunakan untuk membujuk dan mengancamnya agar dia suka menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku. Aku tidak ingin mendapatkan dia secara paksa. Aku ingin dia menyerah dengan suka rela.”
“Bodoh amat engkau, Raden. memang gadis itu cukup sakti dan kebal terhadap pengaruh sihir dan aji pengasihan, tetapi bukankah engkau memiliki racun perangsang yang sangat ampuh? Kalau kau menggunakan racun itu, tentu dia akan jatuh.”
“Ya, akan tetapi aku tidak suka karena dia hanya akan patuh seperti boneka hidup. Tidak, aku menghendaki dia menyerahkan diri karena ingin menyelamatkan nyawanya. Karena itu berikanlah obat penawar itu kepadaku. Biarlah aku yang menyimpannya. Dengan obat itu berada padaku, aku akan merasa yakin dan dapat bersabar menanti.”
“Hi-hi-hi, dasar mata keranjang kau! Tidak pernah ada puasnya!” terdengar suara Nyi Maya Dewi menggoda.
“Sama dengan engkau, Maya. Sudahlah, serahkan padaku. Aku pun selalu membantumu kalau engkau menginginkan seorang pria, bukan? Dahulu ketika di Sumedang, siapa yang membantumu hingga engkau berhasil mendapatkan keponakan adipati yang amat tampan seperti Arjuna itu?”
“Baiklah, baiklah...! Akan tetapi malam ini engkau harus dapat menyenangkan hatiku!”
“Jangan khawatir, manis!” Terdengar suara cekikikan tawa dan senda gurau.
Aji tidak mau mendengarkan lagi. Apa yang didengarnya sudah cukup baginya. Dia tahu bahwa mulai malam ini, obat penawar untuk menyembuhkan Sulastri berada di tangan pria bangsawan itu! Sekarang dia pun tahu ke mana harus mencari obat untuk menyelamatkan Sulastri dan dia hanya tinggal menanti kesempatan baik saja untuk dapat menangkap dan memaksa pria itu menyerahkan obat penawar. Dia akan mencari kesempatan terbaik.....!
Komentar
Posting Komentar