ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-25


Tokoh ini sebenarnya adalah seorang yang penting. Ki Warga ini merupakan orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Kumpeni Belanda. Bahkan dia dipergunakan Belanda untuk menjadi pimpinan semua telik sandi yang bergerak di sepanjang pantai Laut Utara. Di samping itu Ki Warga juga menjadi orang kepercayaan Kadipaten Tegal.

Memang tidak bisa disangkal lagi bahwa Belanda amat pandai dalam bersiasat. Tidak saja melakukan gerakan memecah belah persatuan dengan cara mengadu domba, akan tetapi juga pandai mempengaruhi para pejabat daerah dengan mempergunakan pengaruh harta benda dan janji-janji kedudukan.

Banyak kadipaten yang dapat dipengaruhi Kumpeni sehingga biar pun tampaknya mereka takut dan menakluk kepada kekuasaan Mataram, namun diam-diam mereka mengadakan hubungan baik dengan Kumpeni Belanda dan melakukan hubungan dagang yang dianggap menguntungkan.

Sesungguhnya tidak adanya persatuan yang bulat di seluruh Nusantara dalam menghadapi Kumpeni Belanda inilah yang membuat semua usaha untuk menentang Kumpeni selalu gagal. Bahkan oleh sebab ini pula maka penyerangan besar-besaran pasukan Mataram ke Batavia telah mengalami kegagalan.

Aji dan Sulastri bersama empat orang pengawal mereka naik kereta seperti ketika mereka memasuki Tegal. Ki Warga sendiri menunggang kuda, malah dia telah mendahului kereta. Ternyata kedua orang tawanan itu dibawa ke pantai dan dengan sebuah perahu mereka dibawa ke sebuah kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai. Pantai itu terlalu dangkal bagi kapal itu sehingga tidak dapat berlabuh dekat daratan.

Aji dan Sulastri dibawa naik ke atas kapal itu. Diam-diam mereka memperhatikan keadaan kapal. Walau pun sikap mereka tenang saja, tapi sebenarnya mereka merasa tegang dan memperhatikan keadaan dengan penuh selidik.

Mereka melihat sebuah kapal besar yang dilengkapi dengan beberapa buah meriam besar. Di atas kapal terdapat belasan orang, hampir dua puluh banyaknya, semua adalah orang-orang kulit putih yang bertubuh tinggi besar, bermuka kemerahan dan rambut mereka tidak hitam melainkan ada yang coklat, kemerahan dan kuning keemasan!

Sulastri sudah sering melihat orang kulit putih di Indramayu atau Dermayu, maka dia pun tidak merasa heran. Akan tetapi Aji belum penah melihat orang Belanda, maka diam-diam dia memperhatikan dan merasa sangat terheran-heran. Keadaan orang-orang tinggi besar itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh wayang, yaitu golongan buto (raksasa). Jadi inilah bangsa yang merupakan ancaman bahaya bagi nusa dan bangsanya.

Dia pun melihat bahwa mereka semuanya membawa senjata bedil. Pernah dia mendengar cerita tentang bedil yang dapat menyemburkan api dan peluru, yang dapat membinasakan lawan dalam jarak jauh dan merupakan senjata yang amat berbahaya. Aji tahu bahwa dia harus berhati-hati sekali terhadap orang-orang bule ini. Mereka tampak kuat dan juga sinar mata mereka kejam. Ketika orang itu memandang ke arah Sulastri, tampak jelas gairah di dalam pandang mata mereka dan mereka menyeringai secara kurang ajar.

Akan tetapi ketika seorang Belanda setengah tua keluar dari bilik kapal itu, belasan orang itu segera berdiri tegak dalam keadaan siap. Orang Belanda setengah tua itu menyambut rombongan yang baru naik kapal dengan senyum ramah. Dari sikapnya saat dia menjabat tangan Nyi Maya Dewi, tampak bahwa di antara mereka terdapat hubungan yang akrab.

Orang itu berusia sekitar lima puluh tahun, berkumis dan berwajah tampan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya mewah dan gagah. Pada pinggangnya tergantung sebuah senjata pistol. Inilah Kapten De Vos yang menjadi atasan dari Nyi Maya Dewi.

Kapten de Vos adalah seorang perwira tinggi yang bertugas sebagai penyelidik dan sangat dipercaya oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen di Batavia! Bersama seorang perwira Belanda lainnya yang terkenal dengan sebutan Jakuwes (nama aslinya Jacques Levebre), De Vos inilah yang mengatur jaringan mata-mata kumpeni Belanda yang disebar di seluruh Nusantara!

“Hallo, Nyi Maya Dewi yang manis, apa kabar? Kami mendengar kau membawa tawanan yang amat penting bagi kami. Benarkah? Dan siapakah mereka semua ini?” tanya De Vos setelah menjabat tangan wanita itu dengan hangat.

Dengan senyumnya yang manis Maya Dewi memperkenalkan teman-temannya, sesudah memberi isyarat kepada Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad agar melangkah maju. “Ini adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura, tuan kapten. Dan yang ini adalah Aki Somad dari Nusa Kambangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang sangat setia dan dapat diandalkan, sakti dan tangguh.”

Dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya kemudian dia melanjutkan sambil menunjuk kepada Ki Warga dan Raden Banuseta. “Dua orang ini tentu sudah tuan kenal dengan baik.”

Kapten De Vos menyalami empat orang itu dan berkata. “Ya, ya, kami kenal baik dengan mereka ini. Dan mana tawanan itu?”

“Inilah mereka, tuan.” kata Nyi Maya Dewi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Aji dan Sulastri.

Sepasang mata yang kebiruan itu memandang kepada dua orang muda itu dengan penuh selidik dan Kapten De Vos tampak terheran-heran. “Mereka adalah orang-orang penting Mataram? Geweldig (hebat)! Begini muda, dan yang perempuan begini cantik, sudah jadi orang penting Mataram?”

Wanita cantik itu tersenyum dengan genitnya. “Ah, Tuan Kapten De Vos, jangan pandang rendah mereka ini! Walau pun mereka ini masih muda, akan tetapi mereka adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali!”

“Is dat zo (Begitukah)?” Kapten De Vos memandang ke atas. Dua ekor burung camar laut terbang di atas kapal itu.

Cepat dia mengambil senapan yang dipegang seorang anak buah yang berdiri di dekatnya. Dengan gerakan cepat sekali dia mengokang bedil itu, membidik dan ketika dia menarik pelatuknya, dua kali terdengar letusan. Api dan peluru menyambar keluar dari moncong bedil dan dua ekor burung berbulu putih itu jatuh ke atas dek kapal. Mati seketika.

Aji dan Sulastri melihat semua ini dan diam-diam mereka amat terkejut. Apa yang mereka dengar tentang kehebatan senjata api itu kini mereka lihat sendiri.

“Ha-ha-ha. Mereka ini sakti? Apakah mereka dapat terbang lebih cepat dari pada dua ekor burung itu?” Dia menuding ke arah bangkai dua ekor burung lantas melemparkan kembali senapan itu kepada anak buahnya.

Ki Warga, Maya Dewi dan Banuseta tak merasa heran menyaksikan keahlian menembak perwira itu. Mereka sudah mengenal Kapten De Vos yang terkenal sebagai jago tembak. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad juga merasa kagum. Orang Belanda ini cukup berbahaya, pikir mereka.

Nyi Maya Dewi yang pandai mengambil hati orang, bertepuk tangan memuji. “Hebat, tuan kapten, kepandaian tuan mempergunakan senjata api memang sangat hebat. Akan tetapi tuan harus berhati-hati terhadap mereka.”

“Goed, goed (baik, baik). mari kita duduk di dalam dan bicara!” ajak Kapten De Vos sambil mengangguk-angguk.

Mereka semua lalu memasuki ruangan kapal di mana terdapat sebuah meja besar dengan banyak kursi disekelilingnya. Aji dan Sulastri dipersilakan duduk di atas kursi, berhadapan dengan Kapten De Vos. Maya Dewi duduk di samping kiri Kapten Belanda itu, ada pun Ki Warga yang sejak tadi diam saja duduk di sebelah kanannya. Tempat duduk ini saja sudah menunjukkan betapa kedudukan Ki Warga itu penting sekali dan dia dihargai oleh Kapten De Vos.

Aji duduk di depan kapten itu, Sulastri duduk di sebelah kirinya. Mereka berdua diapit oleh Harya Baka Wulung dan Aki Somad, ada pun Banuseta duduk di sebelah kanan Ki Warga. Jelaslah bahwa yang duduk di jajaran Kapten De Vos itu adalah orang-orang yang sudah dipercaya kapten Belanda itu, sedangkan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang baru saja bertemu dengannya, merupakan pembantu-pembantu baru yang masih asing.

“Hemm, kalian berdua adalah orang-orang penting Mataram, ya? Dan kamu berdua mau bekerja sama dengan kami dan mau menceritakan kekuatan serta rencana Sultan Agung untuk menyerang Batavia? Goed zo! Kamu berdua akan kami beri hadiah banyak. Lebih dulu, katakan siapa nama kamu berdua, he?”

“Namaku Aji dan dia itu Sulastri!” jawab Aji pendek.

“Pemuda ini bernama Lindu Aji dan dikenal sebagai Alap-alap Laut Kidul, tuan kapten! Dia digdaya dan berbahaya sekali!” kata Ki Harya Baka Wulung menjelaskan.

“Ha-ha-ha, apa bedanya alap-alap dengan dua rkor burung yang aku tembak tadi?” tanya Kapten De Vos mencemoohkan.

“Alap-alap merupakan burung liar dan ganas. Burung Camar yang tuan tembak jatuh tadi dapat menjadi mangsanya.” Maya Dewi menerangkan.

“Ha-ha-ha, biar pun pandai terbang, sekali senapan di tanganku meletus, seekor alap-alap ganas pun tentu akan jatuh dan mati! Nah, sekarang cepat ceritakan kepada kami tentang keadaan pasukan Mataram, berapa kekuatan mereka dan bagaimana persiapan pasukan mereka. Juga ceritakan bagaimana rencana siasat mereka untuk menyerang Batavia!”

Sambil berkata demikian, sepasang mata biru itu mengamati wajah Lindu Aji dan Sulastri penuh selidik. Sulastri yang merasa tidak berdaya karena tubuhnya tengah terancam maut oleh racun itu, hanya melirik ke arah Aji. Dia tahu akan siasat yang dipergunakan pemuda itu, yaitu membiarkan lawan-lawannya percaya bahwa Aji dan dia mengetahui rahasia itu sehingga mereka tidak akan membunuh Aji dan dia. Tapi karena dia tidak tahu bagaimana siasat Aji selanjutnya akibat tidak mempunyai kesempatan untuk bicara berdua, maka dia pun hanya menyerahkannya kepada pemuda itu.

Aji telah mempersiapkan diri. Sebelumnya dia memang sudah mengatur siasat. Dia punya modal kuat, yaitu kepercayaan orang-orang itu bahwa dia dan Sulastri benar-benar dapat memberi keterangan penting mengenai gerakan pasukan Mataram yang ditakuti Kumpeni Balanda!

“Tuan,” katanya, suaranya tegas dan tenang. “Urusan ini penting sekali bagi kami berdua. Menceritakan semua itu kepada Kumpeni berarti kami berdua telah berkhianat, sedangkan hukuman untuk pengkhianat amat berat dan mengerikan.”

“Kamu berdua takut? Jangan takut! Kalau kamu berdua bekerja sama dengan kami, maka kamu berdua akan dilindungi. Jangan takut kepada Sultan Agung. Kami memiliki meriam-meriam besar dan senjata-senjata api yang ampuh. Hayo ceritakan saja, dan kamu akan memperoleh hadiah dan juga perlindungan dari kami!” kata Kapten De Vos.

Aji menghela napas lalu menggeleng kepala. “Sungguh, tuan. Urusan ini amat penting dan gawat bagi kami berdua. Oleh karena itu kami minta agar kami berdua diberi kesempatan untuk berunding dan memperbincangkan hal ini berdua saja. Ketahuilah, tuan. Ini adalah keputusan hidup mati kami, karena itu harus kami rundingkan dengan matang lebih dulu.”

Alis yang berwarna kelabu itu berkerut dan sepasang mata biru itu langsung mencorong marah. “Kamu harus menceritakan sekarang juga!” bentaknya.

Namun dengan tenang dan tegas Aji menggeleng kepala. “Besok pagi, tuan.”

“Sekarang! Atau, kami akan menembak kamu berdua!”

Kapten De Vos menggertak sambil mencabut pistolnya dan menodongkan senjata itu ke arah Aji dan Sulastri yang duduk di depannya.

Dia menatap wajah kedua orang muda itu dan diam-diam merasa heran dan kagum. Dua orang muda yang ditodongnya itu sedikit pun tidak terlihat takut malah balas menatapnya dengan sinar mata berapi.

“Kami tidak takut mati, tuan. Kalau sekarang tuan membunuh kami berdua, maka pasukan Mataram yang jumlahnya besar sekali akan membalaskan kematian kami, menyerbu dan membakar habis Batavia, membunuh semua Kumpeni Belanda!” Aji juga menggertak dan ucapannya itu mendatangkan kesan yang kuat.

Menghadapi sikap tenang Aji ini, Kapten De Vos meragu. Dia lalu menoleh ke kanan dan bertanya kepada Ki Warga, “Bagaimana pendapatmu, Warga?”

Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tersenyum. “Apakah tidak sebaiknya kalau dijadikan taruhan saja? Kalau tuan yang menang maka mereka harus memberi keterangan sekarang juga, tapi jika mereka yang menang terpaksa tuan harus bersabar sampai besok pagi.”

“Akan tetapi, laporan dua orang penjaga semalam?” tanya kapten itu.

“Ahh, mungkin mereka hanya mimpi, tuan.” kata Ki Warga sambil tertawa. “Mereka hanya melapor melihat Aji ini, lalu tiba-tiba mereka tidak ingat apa-apa lagi. Kalau laporan mereka itu betul, tentu semalam telah terjadi sesuatu. Buktinya tidak terjadi apa-apa.”

“Kalau begitu baiklah. Kita buat taruhan. Wacht even (tunggu sebentar), bukankah Maya Dewi tadi mengatakan bahwa pemuda ini digdaya dan tangguh? Bagus, mari kita adu dia melawan Hendrik De Haan, jagoan kita itu! Heh, Lindu Aji, sekarang begini saja baiknya! Dari pada kita terus bersitegang memperebutkan apakah kalian harus memberi keterangan sekarang ataukah besok pagi, maka kita adakan pertandingan untuk menentukan. Apa bila kamu sanggup mengalahkan jagoan kami dalam perkelahian tangan kosong, biarlah kami mengalah, malam ini kamu boleh berunding dengan Sulastri ini dan besok pagi memberi keterangan kepada kami. Akan tetapi kalau kamu kalah melawan jagoan kami itu, kamu harus menceritakan keterangan tentang pasukan Mataram itu sekarang juga! Bagaimana, Aji, beranikah kamu berkelahi menandingi jagoan kami?”

Aji berpikir sejenak lantas bertanya, “Pertandingan tangan kosong tanpa memakai senjata api?”

“Natuurlijk (tentu saja)! Kami bukan orang curang. Ini pertandingan boksen (tinju), tanpa senjata, satu lawan satu. Nah, beranikah kamu?”

Aji saling lirik dengan Sulastri, lalu memandang Kapten De Vos dan berkata tegas, “Aku berani, tuan! Akan tetapi tuan jangan melanggar janji. Jika aku keluar sebagai pemenang maka aku diberi kesempatan bicara empat mata dengan Sulastri dan besok pagi barulah kami memberi keterangan kepadamu.”

“Bagus!” Kapten itu tampak gembira sekali dan dia segera berseru kepada seorang anak buahnya. “Panggil Hendrik De Haan ke sini!”

Tidak lama kemudian muncullah kapten itu. Sulastri terbelalak memandang laki-laki yang melangkah datang seperti seekor gajah itu! Seorang bule berambut kecoklatan, usianya sekitar tiga puluh tahun dan segala yang ada pada diri lelaki ini hanya dapat dinilai dengan satu kata: besar!

Seorang raksasa yang tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Aji. Sepasang lengan yang memakai kaos pendek itu kelihatan besar dan kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Dadanya bidang dan tebal, penuh bulu coklat kekuningan, lehernya seperti leher badak.

Dengan diam-diam Sulastri merasa ngeri juga. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang laki-laki setinggi besar dan sekokoh ini. Orang-orang bule yang pernah dilihatnya kelihatan kecil dibandingkan raksasa ini. Tampaknya dengan sekali pukul saja kepala Aji akan dapat pecah dan tulang-tulang tubuhnya dapat remuk! Kedua kakinya juga panjang dan besar penuh bulu, tampak mengerikan karena dia mengenakan celana pendek.

Dengan penuh perhatian Aji juga memandang orang yang baru memasuki ruangan itu. Dia tidak tertarik dengan bentuk tubuh seperti raksasa itu. Baginya, tubuh yang tampak kokoh kuat tidak berarti apa-apa. Aji lebih memperhatikan sikap raksasa itu, terutama pandang matanya.

Hatinya merasa lega. Pandang mata raksasa itu membayangkan kebodohan, orang yang biasanya mengandalkan okol (tenaga) dari pada akal. Orang seperti ini bukan merupakan lawan yang berbahaya baginya, walau pun untuk merobohkannya juga tidak mudah karena melihat bentuk tubuhnya, orang itu tentu memiliki tenaga gajah dan tubuhnya itu agaknya berkulit tebal tahan pukul!

Dalam bahasa Belanda yang totok raksasa itu bertanya kepada Kapten De Vos, “Kapten, ada tugas apa untukku?”

“Hendrik, kami sedang mengadakan taruhan untuk mengadu kamu dengan pemuda ini. Pertandingan boksen satu lawan satu, tanpa senjata apa pun. Jangan sampai kamu kalah olehnya, Hendrik, karena yang kupertaruhkan ini penting sekali!”

Sepasang mata yang lebar memandang kepada Aji yang masih duduk dan dia terbelalak lalu memandang atasannya.

“Kapten! Aku hendak diadu dengan kleine jongen (bocah kecil) ini?”

“Ya, siapa yang roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan dianggap kalah.”

“Hua-ha-ha-ha! Ahh, kapten, jangan bergurau! Aku takut melawan anak ini, ha-ha-ha!”

“Takut? Apa maksudmu, Hendrik?” tanya De Vos heran.

“Aku takut jika pukulanku akan membuat kepalanya remuk atau dadanya pecah, kapten!” kata raksasa itu serius.

“Ohh! Jangan keluarkan semua tenagamu, Hendrik. Dia adalah orang penting, tidak boleh dibunuh, hanya boleh dikalahkan agar aku menang bertaruh.”

Hendrik mengangguk-angguk. “Kalau begitu aku mengerti, kapten.”

Kapten De Vos menoleh kepada Aji. “Nah, bagaimana, orang muda? Apakah kamu tetap bersedia dan berani melawan Hendrik De Haan ini?”

Sambil tetap duduk tenang Aji menjawab, “Saya siap dan berani, tuan.”

“Bagus, kalau begitu mari kita semua pergi keluar ruangan. Pertandingan dilakukan di atas dek luar yang luas.” kata De Vos.

Semua orang lalu bangkit berdiri. Juga Aji dan Sulastri bangkit berdiri dan mereka berdua mengikuti keluar dari ruangan itu menuju dek kapal yang cukup luas.

Sebentar saja berita mengenai diadakannya pertandingan itu sudah terdengar oleh semua anak buah kapal. Mereka menjadi gembira sekali. Bagi para anak buah kapal, perkelahian merupakan satu di antara kesenangan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa hidup keras menghadapi ancaman bahaya di tengah lautan, biasa bekerja keras dan suka pula akan kekerasan. Bahkan setiap kali mendarat mereka selalu terlibat perkelahian karena hal itu mereka anggap sebagai kejantanan mereka.

Kini mendengar bahwa Hendrik De Haan, raksasa jagoan itu akan diadu melawan seorang pemuda pribumi yang menjadi tawanan, tentu saja mereka merasa geli dan menertawakan Aji. Tadi mereka sudah melihat betapa pemuda itu seorang yang tubuhnya termasuk kecil dan nampak ringkih dibandingkan Hendrik, dan berat tubuhnya belum tentu ada setengah berat tubuh raksasa itu. Bagaimana mereka akan dipertandingkan?

Mereka semua telah berkumpul di dek, membentuk lingkaran lebar. Mereka bukan tertarik untuk menonton perkelahian yang seimbang, tetapi hendak menonton bagaimana Hendrik akan menggilas dan membantai lawan yang tak seimbang itu.

Kursi-kursi kecil telah dikeluarkan. Kapten De Vos duduk di atas salah sebuah kursi. Para pembantunya, yakni Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Raden Banuseta, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad juga sudah dipersilakan duduk di atas kursi yang berderet-deret.

Sulastri juga diberi sebuah kursi, tetapi dia tidak mau duduk. Dia hanya berdiri saja dengan hati mulai merasa tegang dan gelisah. Bagaimana pun juga raksasa itu menyeramkan. Dia khawatir kalau-kalau Aji akan tewas di tangan raksasa itu. Kalau Aji sampai tewas maka hilanglah harapan baginya untuk dapat lolos dari tangan mereka.

Dia tidak takut mati, tetapi dia merasa ngeri membayangkan dirinya dihina dan diperkosa. Kalau saja Aji sampai tewas di tangan raksasa itu, dia pun akan mengamuk. Tidak peduli apakah racun di tubuhnya akan menewaskannya, dia pasti akan mengamuk sampai mati. Karena itu dia tidak mau duduk, melainkan berdiri dan bersiap siaga.

Raksasa bule bernama Hendrik de Haan itu kini sudah menanggalkan baju kaosnya dan tinggal mengenakan sebuah celana pendek. Tubuh atas yang telanjang itu nampak besar dan kokoh sekali, dengan otot yang menggelembung dan melingkar-lingkar.

Aji maklum bahwa tubuh itu mengandung tenaga otot atau tenaga kasar yang sangat kuat, namun orang itu tidak mempunyai ‘isi’, hanya mengandalkan tenaga otot sehingga tak ada bedanya dengan seekor kerbau. Dia lalu melangkah maju menghampiri tempat yang telah dilingkari para anak buah kapal itu hingga berhadapan dengan Hendrik. Sikapnya tenang saja dan dia hanya mengikatkan kain sarungnya agar jangan terlepas atau berkibar kalau dipakai bergerak.

Aji tampak berdiri santai saja di depan calon lawannya, seakan-akan dia sama sekali tidak membuat persiapan. Tapi dari sinar matanya Sulastri tahu bahwa seluruh syaraf di dalam tubuh pemuda itu dalam kedaan siap siaga.

“Sebelumnya kamu harus tahu akan peraturannya!” kata Kapten de Vos kepada Aji.

“Pertandingan ini namanya boksen. Kamu hanya boleh memukul bagian pinggang ke atas. Bagian pinggang ke bawah tidak boleh dipukul. Juga dilarang mempergunakan tendangan, dilarang menangkap dengan tangan, mendorong atau menarik!”

Aji mengerutkan keningnya. Tentu saja dia tidak mengenal peraturan seperti itu. Dia tidak mengenal permainan tinju.

“Ahh, aturan macam apa itu? Bertanding dalam perkelahian tidak boleh memukul pinggang ke bawah, tidak boleh menendang, tidak boleh menangkap, menarik atau pun mendorong. Kalau tidak boleh ini tidak boleh itu, mengapa bertanding berkelahi? Lebih baik tidak saja!”

Hendrik tidak paham bahasa Indonesia, maka dia bertanya kepada Kapten De Vos ketika melihat Aji berdiri membelakanginya. Sesudah De Vos menceritakan keberatan Aji tentang peraturan pertandingan, Hendrik lantas tertawa.

“Ha-ha-ha, jika tidak memakai larangan dan berkelahi dengan sebenarnya, bagaimana aku dapat menjaga agar dia tidak sampai mati terbunuh?”

De Vos berkata kepada Aji. “Aji, peraturan itu diadakan justru untuk menjaga supaya kamu tidak sampai terpukul mati. Kalau tanpa batas dan Hendrik boleh mempergunakan segala cara untuk menyerangmu, bagaimana kamu akan dapat terhindar dari maut?”

“Tuan, aku sudah berani menerima tantangan berkelahi, berarti aku tidak takut dengan kematian. Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan adu kanuragan, siapa yang takut mati? Kalau berkelahi bebas tanpa larangan, aku mau melayaninya. Kalau memakai segala macam peraturan dan larangan, aku tidak mau berkelahi!” jawab Aji dengan tegas. Ucapan ini diterjemahkan De Vos kepada Hendrik dan kembali Hendrik tertawa.

“Kalau begitu aku tidak tanggung kalau dia sampai terpukul atau tertendang mati, kapten. Akan tetapi aku akan berusaha agar jangan sampai membunuhnya.”

Kapten De Vos mengangguk-angguk. Memang ia menghendaki pertandingan itu dilakukan dengan peraturan tinju karena dia tidak ingin kalau Aji sampai terpukul tewas. Dia sangat membutuhkan keterangan dan pengakuan pemuda itu tentang Mataram.

“Baiklah, Aji. Kamu boleh melawan Hendrik dengan cara bebas.”

Mendengar ini, Aji memutar tubuh dan kembali menghadapi Hendrik. Bagaikan dua ekor ayam jantan hendak berlaga, kedua orang itu kini saling berhadapan dan saling pandang. Sungguh bukan merupakan lawan seimbang. Hendrik hampir dua kali lebih besar dan lebih tinggi dari pada Aji. Kedua kakinya juga memakai sepatu kulit yang tebal.

Raksasa bule ini sudah memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kiri ke depan, kedua tangan dikepal dan siap memukul, tergantung di depan dada. Sebaliknya Aji berdiri tenang dan santai saja, hanya sepasang matanya yang dengan tajam mengikuti semua gerak tubuh lawan.

“Mulailah!” perintah De Vos yang menonton dengan mata bersinar-sinar.

Kecuali Sulastri, semua orang yang menonton kini memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Semua orang merasa gembira seperti biasa kalau mereka menonton adu tinju.

Mendengar perintah ini, Hendrik mulai menyerang. Karena pertandingan itu tidak dibatasi dengan peaturan tinju, maka kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Maksudnya dia hendak menangkap tubuh kecil itu kemudian akan dibantingnya sehingga dia akan keluar sebagai pemenang dalam satu gebrakan saja tanpa harus membunuh lawan yang kecil itu. Kedua tangan itu menyambar dengan cepat dari kanan kiri dan gerakannya yang didorong tenaga besar itu mendatangkan angin yang kuat.

“Wuuuttt...! Plakkkk!”

Dengan menimbulkan suara tepukan nyaring dua telapak tangan besar itu saling bertemu di udara karena kedua tangan itu luput menangkap sasarannya. Dengan gesitnya tubuh Aji telah mengelak dan condong ke belakang.

“Verdomme...!” Hendrik memaki dengan marah dan penasaran.

Bagaimana mungkin cengkeraman kedua tangannya itu bisa luput begitu saja? Dia cepat mengejar, melangkah ke depan dan karena sudah terbiasa, kini kedua tangannya dikepal dan membuat pasangan kuda-kuda orang bertinju.

Dua kepalan tangan itu kini cepat menyerang secara bertubi-tubi ke arah kepala dan dada Aji. Pukulannya sangat cepat dan kuat. Pukulan swing dan long hook yang cepat sekali, diseling pukulan upper cut yang mematikan. Namun semua pukulan bertubi-tubi itu hanya mendatangkan suara mengiuk dan bersuitan, sedikit pun tidak pernah mengenai sasaran. Apa lagi kena, menyerempet sedikitpun tidak! Semua pukulan itu dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Aji yang sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti.

Semua penonton terbelalak dan suasana menjadi riuh sebab mereka mengeluarkan seruan heran sekaligus terkejut. Mereka melihat pemuda itu membuat gerakan yang lucu seperti gerakan seekor monyet. Akan tetapi anehnya, semua pukulan hebat dari jagoan mereka itu tidak pernah mengenai sasaran.

Apa bila mengenai tempat kosong, pukulan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga dapat menguras tenaga. Setelah pukulan-pukulan keras itu tidak ada yang mengenai sasarannya hingga puluhan kali, maka mulailah Hendrik berkeringat. Dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia tahu bahwa ada orang yang pandai berkelit dan memiliki gerakan gesit sekali, tetapi belum pernah dia dapat membayangkan ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangkaian serangannya sampai puluhan kali, hanya dengan elakan dan tidak pernah menangkis. Demikian gesitkah orang ini? Atau serangannya yang lamban?

“Verrek, zeg...!” Dia memaki 8

dan kini kedua kakinya yang berbulu, besar dan panjang itu menyambar-nyambar dengan tendangan sekuat tendangan pemain sepak bola yang mahir. Agaknya tak pelak lagi tubuh Aji akan segera terlempar seperti bola kalau sampai terkena tendangan dahsyat itu.

Namun Aji yang bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti itu menjadi cekatan sekali, tidak ubahnya seekor kera. Hanya dengan sedikit memutar tubuh saja tendangan lawan sudah dapat dielakkan dan ketika tendangan demi tendangan susul menyusul datang bertubi-tubi, tubuhnya berputaran dan tak sebuah pun tendangan mampu menyentuh tubuhnya.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)