ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-26


Kini semua penonton menjadi terbelalak dengan mulut ternganga. Tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Hendrik, raksasa jagoan mereka itu kini diperlakukan seperti seorang anak kecil saja oleh pemuda itu. Semua serangannya, kebanyakan serangan maut karena kalau mengenai sasaran tentu membuat tulang-tulang remuk dan kepala atau dada dapat pecah, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh lawan.

Hanya Sulastri yang tersenyum senang, akan tetapi dia mengerutkan alis karena melihat kenyataan betapa Aji sama sekali tidak pernah membalas, padahal dia yakin bahwa kalau Aji menghendakinya, sejak tadi raksasa itu sudah bisa dirobohkan. Akhirnya Sulastri tidak dapat menahan diri dan berseru nyaring.

“Mas Aji, apa maksudmu main-main seperti ini? Cepat kalahkan dia!”

Mendengar teriakan gadis itu, Aji juga merasa bahwa sudah cukup dia mempermainkan lawannya, membiarkan lawan menyerang sampai kehabisan teaga. Ketika kedua tangan raksasa itu menyambar lagi dengan pukulan, dia mengelak ke samping, menekuk lutut kiri dan dari bawah kaki kanannya menyambar cepat sekali. Kaki kanan itu menyambar dua kali ke arah lutut Hendrik, seperti ular memagut dan tepat sekali mengenai sasaran.

“Tukk! Tukk!”

Dengan tepat sekali sambungan lutut kedua kaki Hendrik tercium tendangan Aji dan tanpa dapat dipertahankan lagi kedua kaki raksasa itu terasa lumpuh lalu dia pun jatuh bertekuk lutut. Aji tidak membuang kesempatan ini. Tangan kirinya menyambar dengan jari terbuka ke arah tengkuk raksasa itu.

“Wuuuttt...! Dukkkk!”

Tubuh yang besar itu terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi karena pingsan.

Seruan-seruan kaget terdengar dan para anak buah kapal yang membawa bedil telah siap menodongkan bedil mereka ke arah Aji. Tapi Nyi Maya Dewi yang duduk dekat Kapten De Vos memberi isyarat kepada pembesar Kumpeni itu dan De Vos memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Beberapa orang anak buah kapal segera menggotong tubuh raksasa yang pingsan itu pergi dari situ.

“Tuan, jagomu telah kalah. Harap tuan suka memegang janji,” kata Aji kepada De Vos.

Melihat kekalahan Hendrik tadi, De Vos mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Maya Dewi tidak berbohong atau pun melebih-lebihkan. pemuda yang tampak lemah itu sungguh berbahaya sekali. Jika gadis cantik itu juga sama tangguhnya, maka mereka berdua betul-betul merupakan orang-orang berbahaya, apa lagi mereka adalah orang-orang Mataram!

“Oh tentu, tentu saja. Kami selalu memenuhi janji. Bukankah begitu, Warga?” Kapten De Vos menoleh kepada pembantu utamanya yang amat dipercaya itu.

Warga adalah seorang yang sangat cerdik. Dia sudah mendengar dari Maya Dewi tentang keadaan Aji dan Sulastri. Gadis sakti itu telah keracunan hingga membuat Aji dan Sulastri menyerah dan tunduk pada mereka, menuruti kemauan mereka. Dia yakin bahwa Aji dan Sulastri berada dalam keadaan keracunan dan belum diberi obat penawarnya. Sebab itu, ketika De Vos bertanya kepadanya, tanda bahwa kapten itu merasa gelisah dan bingung, merasa ragu apa yang harus diperbuatnya, dia pun segera menjawab.

“Tentu saja, tuan kapten. Aji dan Sulastri berhak untuk mengadakan perundingan berdua saja malam ini dan besok pagi mereka baru akan memberi keterangan tentang kekuatan pasukan Mataram dan tentang rencana penyerbuan ke Batavia. Aji sudah memenangkan pertandingan, maka sudah sepantasnya kalau kita menghormati seorang pendekar gagah perkasa seperti dia dan merayakan kemenangannya. Sekalian pula kita merayakan untuk menyambut kedatangan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang terhormat dan telah berjasa besar bagi Kumpeni!”

“Goed, heel goed! (Baik, sangat baik)! Kita berpesta untuk menyambut mereka!”

Pesta perjamuan diadakan dengan meriah. Aji dan Sulastri duduk pula bersama mereka semua, menghadapi meja makan besar yang dipenuhi bermacam hidangan. Mereka tidak merasa sungkan karena mereka memang membutuhkan cukup makan agar tubuh mereka tetap kuat. Juga mereka tidak takut keracunan makanan karena semua orang ikut makan.

Kapten De Vos ingin sekali menarik dua orang muda itu agar dapat menjadi pembantunya, maka dia memperlihatkan sikap ramah dan hormat. Dia sendiri yang menuangkan anggur ke dalam gelas dan menghidangkannya kepada Aji dan Sulastri.

Akan tetapi ketika dua orang ini mencium bau anggur yang keras dan yang belum pernah mereka rasakan, Aji segera menolak dan minta agar mereka diberi minuman air teh saja. Permintaan ini dipenuhi dan Kapten De Vos mengangkat gelas anggurnya.

“Marilah kita minum untuk mengucapkan selamat datang kepada Tuan Lindu Aji dan Nona Sulastri, juga mengucapkan selamat atas kemenangannya!’

Sulastri yang selama ini berdiam diri saja karena merasa tidak berdaya tiba-tiba berkata, “Nanti dulu, tuan. Sebelum kita minum, aku ingin mendengar dulu darimu. Apakah setelah kami berdua menceritakan apa yang kami ketahui, kami akan dibebaskan tanpa gangguan apa pun?”

Kapten De Vos merasa heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa Sulastri yang sejak tadi diam saja itu seorang gadis pemalu. Ternyata kini bicara dengan lancar dan pandang matanya kepadanya demikian mencorong penuh selidik dan wajah yang jelita itu nampak cerdik sekali!

“Ya, tentu, tentu! Tentu kami akan membebaskan kamu berdua tanpa gangguan!” kata De Vos sambil mengangguk-angguk.

“Akan tetapi kami sudah diracuni oleh Maya Dewi dan dia berjanji akan memberikan obat penawarnya kepadaku jika aku dan Mas Aji sudah memberikan keterangan. Apakah tuan berani tanggung bahwa Maya Dewi akan memegang janjinya?” tanya pula Sulastri sambil melirik ke arah Maya Dewi. “Terus terang saja, aku tidak mungkin dapat percaya dengan janjinya. Saya minta agar tuan berjanji karena saya lebih percaya kepadamu. Tuan adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, agaknya mustahil kalau tuan akan bertindak curang dan pengecut, menjilat ludah sendiri, menelan dan mengingkari janji!”

Diam-diam Aji kagum akan kata-kata dan sikap Sulastri. Dia memperhatikan dan melihat betapa wajah Maya Dewi berubah kemerahan lalu wanita ini bertukar pandang dengan pria jangkung yang menjadi kekasihnya dan telah menyimpan obat penawar untuk Sulastri.

Sementara itu, mendengar ucapan Sulastri, De Vos juga mengangguk-angguk dan melirik ke arah Maya Dewi. Baru sekarang dia mengetahui benar mengapa orang-orang digdaya seperti Aji dan Sulastri begitu mudah dibawa ke kapal dihadapkan kepadanya dan dipaksa membuka rahasia tentang Mataram. Ternyata gadis jelita itu sudah dibuat keracunan dan obat penawarnya ada pada Maya Dewi! Sungguh sebuah siasat yang sangat cerdik dari pembantunya yang cantik dan terpercaya ini.

“O, begitukah? Maya, apa kamu menyimpan obat penawar itu?” tanyanya sambil menoleh kepada Maya Dewi. Wanita itu mengangguk membenarkan.

“Nou... kalau begitu, geen problem (tiada masalah)! Biar kami berjanji bahwa kalau kalian memberi keterangan yang sejelasnya mengenai kekuatan pasukan Mataram dan rencana mereka menyerbu Batavia, maka kalian berdua akan dibebaskan tanpa gangguan dan obat penawar untuk Nona Sulastri akan kami berikan!”

“Bersumpahlah, tuan, agar kami mau percaya,” kata pula Aulastri.

“Bersumpah? Wat bedoel je (apa maksudmu)?”

Ki Warga yang ternyata cukup pandai berbahasa Belanda segera menerangkan apa yang dimaksudkan Sulastri dengan bersumpah.

“Oo, is dat zo (begitukah)? Baiklah, kami bersumpah akan memenuhi janji-janji kami tadi. Kalau kami berbohong, biarlah kami mati tenggelam bersama kapal kami!”

Seperti yang telah dijanjikan, setelah selesai makan Aji dan Sulastri mendapat kebebasan berdua saja di dalam sebuah bilik di kapal itu. Sebelum bicara keduanya meneliti keadaan kamar itu. Setelah melihat semua penjuru dan merasa yakin bahwa pembicaraan mereka tidak disadap atau diintai, mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara perlahan-lahan sehingga seandainya ada yang mendengarkan dari luar kamar sekali pun, pendengarnya tidak akan dapat menangkap suara mereka.

“Gertakanmu kepada kapten itu tadi sehingga memaksanya bersumpah sungguh baik dan tepat sekali, Lastri. Dengan begitu sekarang dia tentu tidak ragu lagi bahwa kita memang menyimpan rahasia Mataram,” bisik Aji.

“Akan tetapi sesungguhnya aku masih tidak mengerti, Mas Aji. Mengapa engkau katakan kepada mereka bahwa kita mengerti akan rahasia Mataram? Rahasia apakah itu?”

Aji tersenyum. “Itu hanya siasatku saja, Lastri. Kalau kita benar-benar mengetahui rahasia Mataram, apa kau kira aku akan sudi membocorkan rahasia itu kepada mereka? Tidak, lebih baik mati dari pada mengkhianati Mataram. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa, hanya kukatakan bahwa aku tahu tentang besarnya kekuatan pasukan Mataram dan bahwa engkau tahu tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia.”

“Akan tetapi kenapa? Untuk apa kebohongan itu?”

“Itu hanya siasatku agar kita tidak dibunuh karena aku sudah terpaksa menyerah melihat engkau roboh pingsan dan mereka tawan.”

“Ahh, ternyata engkau berkorban untuk aku, kakang-mas. Mengapa engkau menyerah dan tidak mengamuk saja? Kalau mereka terlalu kuat, engkau dapat melarikan diri. Karena aku maka engkau tertawan pula,” kata Sulastri dan penyesalan ini sungguh-sungguh.

“Ahh, nimas, bagaimana mungkin aku melarikan diri dan membiarkan engkau terjatuh ke tangan manusia-manusia berwatak iblis itu? Memang aku menyerah, namun aku segera bersiasat memberi harga yang tinggi sekali kepada kita, yaitu bahwa aku dan engkau tahu tentang rahasia yang amat penting dari Mataram, rahasia itu penting sekali bagi Kumpeni. Ternyata siasatku berhasil. Mereka tidak berani mengganggu kita dan menghadapkan kita kepada Kapten De Vos.”

“Akan tetapi nenek genit itu meracuni aku sehingga kita sama sekali tidak berdaya. Andai kata mereka ingkar janji dan tidak menyerahkan obat penawarnya kepadaku, maka segala usaha untuk menolongku sia-sia saja, mas. Apa tidak lebih baik kita mengamuk saja? Kita bunuh mereka semua dan engkau berusaha menyelamatkan diri.”

“Dan engkau?”

“Aku? Biarkan aku mati keracunan, aku tidak takut mati!”

“Tidak mungkin! Dengar, aku sudah mengatur siasat lain, karena itu aku minta agar diberi waktu sampai besok pagi supaya kita dapat berunding dan bergerak malam ini.”

“Apa yang akan kita lakukan, Mas Aji?”

“Ketika kita berada di rumah Ki Warga, aku berhasil mendengar percakapan antara Maya Dewi dan pria jangkung itu. Aku tidak tahu siapa namanya.”

“Aku juga hanya mendengar orang-orang menyebutnya raden saja,” kata Sulastri. “Urusan apa yang kau dengar?”

“Maya Dewi menyerahkan obat penawar untukmu itu kepada jahanam itu!”

“Ehh, kenapa?”

“Jahanam keparat itu agaknya tergila-gila kepadamu, nimas. Dia menginginkan dirimu dan dia minta obat penawar itu supaya dia dapat memaksamu. Kalau obat penawar itu berada di tangannya, berarti nyawamu berada di tangannya pula.”

“Si kunyuk babi anjing kurang ajar itu!” Sulastri memaki dan karena dalam amarahnya dia mengeluarkan suara keras, maka Aji cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak berteriak-teriak.

“Lastri, tenang dan sabarlah. Dalam keadaan terancam seperti ini kita harus bisa bersikap tenang. Aku sengaja minta agar kita berdua mendapat kesempatan untuk berunding dan siasatku berhasil. Sekarang kita dapat bicara. Tunggu sebenatar!”

Aji kembali memeriksa keadaan sekitar luar bilik kapal itu. Tidak ada orang mengintai. Dia kembali lagi, duduk dekat Sulastri dan melanjutkan pembicaraan dengan suara berbisik.

“Malam nanti kita harus bergerak, harus bertindak cepat.”

“Apa yang akan kita lakukan?”

”Malam nanti kita harus membuat kekacauan di kapal ini.”

“Bagus! Aku suka sekali. Akan tetapi... ahh, racun di tubuhku membuat aku tidak mungkin mengerahkan tenaga sakti. Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu, Mas Aji? Aku ingin sekali membantu. Berilah tugas padaku!” Sulastri bergairah sekali. Dia sudah hampir tidak tahan berada dalam keadaan tidak berdaya dan menjadi tawanan seperti itu.

“Tugasmu amat penting, Lastri. Untuk membuat suasana menjadi ribut dan kacau, engkau harus membuat kebakaran di kapal ini! Aku melihat anak buah kapal mengambil minyak dari bilik kecil di sudut sana. Agaknya bilik itu adalah gudang untuk menyimpan alat-alat, di antaranya minyak. Nah, kalau engkau bisa melemparkan api ke dalam bilik itu, pasti akan terjadi kebakaran dan suasana menjadi ribut dan kacau.”

Gadis itu mengangguk-angguk. “Itu mudah, aku dapat melakukannya. Akan tetapi setelah itu bagaimana?”

“Engkau sudah tahu pula bahwa Kapten De Vos itu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda dan agaknya amat berkuasa, dihormati dan juga ditaati oleh semua orang. Malah Maya Dewi dan orang penuh rahasia yang bernama Ki Warga itu tampaknya amat tunduk kepadanya. Nah, dalam kekacauan itu aku akan mencari kesempatan untuk menawan dan menyandera Kapten De Vos. Kalau usahaku berhasil, kita pasti dapat menuntut apa yang kita perlukan. Urusan selanjutnya serahkan saja padaku. Setelah melakukan pembakaran engkau harus selalu dekat denganku. Dengan Kapten De Vos sebagai sandera, mereka pasti tidak akan berani bertindak sembarangan dan akan mematuhi semua tuntutan kita.”

Sulastri mengangguk-angguk. Sepasang alis kecil hitam yang berbentuk indah itu berkerut memikir, kemudian dia bertanya. “Semua itu baik sekali, Mas Aji. Akan tetapi bagaimana seandainya rencana kita gagal? Andai kata aku tidak dapat melaksanakan pembakaran itu dan engkau tidak berhasil menyandera De Vos? Bagaimana? Mereka pasti akan memaksa kita untuk memberi keterangan tentang Mataram yang tidak kita ketahui sama sekali. Jika begitu, bagaimana?”

“Kalau kita gagal, masih ada harapan bagi kita. Selama mereka masih yakin bahwa kita berdua menyimpan rahasia tentang Mataram, aku yakin mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu kita. Rahasia itu masih dapat kita pakai sebagai perisai dan pelindung diri. Kita masih dapat mencari kesempatan dan akal lainnya. Kalau pun kita terpaksa harus bicara, kita dapat saja memberi keterangan secara ngawur. Kita dapat mengarang sesuka kita asal masuk di akal. Misalnya aku dapat mengatakan bahwa besar kekuatan pasukan Mataram ada lima puluh laksa (sepuluh ribu) orang dan masih ada cadangannya sebanyak itu pula. Aku dapat mengatakan bahwa seluruh kadipaten di Nusa Jawa siap membantu Mataram dan banyak lagi yang dapat kukatakan untuk membuat Belanda menjadi panik.”

“Dan aku, bagaimana? Aku tidak mengerti tentang siasat perang!” kata Sulastri bingung.

“Ahh, katakan saja bahwa bala tentara Mataram akan dipecah menjadi empat bagian. Tiga bagian akan menyerang dari barat, selatan dan timur Batavia, sedangkan yang sebagian akan menyerang dengan menggunakan perahu-perahu dan mengepung di utara. Dengan demikian Batavia akan dikepung dari semua penjuru. Jika ditanya tentang ransum, katakan saja bahwa rakyat di sekitar Batavia sudah siap membantu. Juga Banten akan datang pula menyerang. Dengan begitu Kumpeni Belanda akan menjadi semakin panik dan ketakutan. Tetapi semua keterangan ini tidak perlu kita ceritakan apa bila keadaan kita tidak terpaksa sekali. Maka usaha kita malam nanti harus berhasil baik.”

Mereka lalu mengatur siasat dan merundingkan dengan teliti. Supaya tidak mendatangkan kecurigaan kepada pihak musuh, sesudah mandi dan makan malam mereka tinggal di bilik masing-masing yang memang disediakan untuk mereka. Bilik kecil mereka berdampingan.

Malam itu gelap dan sunyi. Kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai itu bergoyang-goyang sedikit karena laut sedang pasang. Kapten De Vos mengadakan rapat bersama Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan Raden Banuseta. Mereka tengah membicarakan hasil para anggota jaringan mata-mata Kumpeni Belanda dan dalam hal ini yang banyak memberi keterangan adalah Ki Warga sebagai pemimpin jaringan mata-mata dan Maya Dewi yang bertugas sebagai pengawas dan banyak melakukan peninjauan di daerah-daerah. Dalam kesempatan itu Kapten De Vos tak lupa memuji siasat Maya Dewi yang telah meracuni Sulastri sehingga dua orang muda yang sakti dan tangguh itu dapat dibuat tidak berdaya dan dipaksa untuk membuka rahasia gerakan Mataram.

“Siasatmu itu sangat hebat, Maya. Keadaan mereka berdua sudah tersudut dan terpaksa, mau tidak mau mereka tentu akan membuka rahasia itu. Betapa setia pun mereka kepada Mataram, tentu mereka lebih sayang kepada nyawa mereka. Ha-ha-ha, kita akan berhasil! Kalau kita sudah tahu tentang kekuatan dan rencana siasat Mataram menyerang Batavia, maka akan mudah bagi kita untuk menghancurkan mereka!”

Kapten De Vos tertawa-tawa gembira. Dia sudah mulai mabok anggur sehingga mukanya yang biasanya sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali. Tiba-tiba suara Ki Warga yang tenang dan serius menghentikan suara tawa Kapten De Vos.

“Saya harap tuan kapten tidak terlalu gembira lebih dulu.”

Kapten De Vos menghentikan tawanya dan pada saat itu pula Hendrik De Haan memasuki ruangan itu. “Aha, Hendrik, kebetulan kamu datang. Duduklah dan ikut berunding. Mungkin kami membutuhkan pendapatmu!”

Raksasa itu menyeret sebuah kursi lalu duduk di tempat yang lowong, di depan Ki Harya Baka Wulung dan terhalang meja. Tanpa diperintah dia meraih botol minuman anggur dan menuangkan ke dalam sebuah gelas besar yang kosong, lalu minum dengan lahap sekali.

Kapten De Vos dan yang lain-lain tidak peduli dengan sikap itu. Memang demikianlah sifat dan watak raksasa ini, atau watak pelaut kulit putih pada umumnya, keras dan kasar.

“Tuan Warga, apa yang kau katakan tadi? Kenapa kamu mencegah kami terlalu gembira? Apakah masalahnya?”

“Begini, tuan kapten. Tuan bergembira karena dua orang tawanan itu, yaitu Lindu Aji dan Sulastri, akan membuka rahasia Mataram, memberi keterangan mengenai kekuatan bala tentara Mataram dan rencana siasat mereka menggempur Batavia sebagai pengulangan serangan mereka pertama yang berhasil kita gagalkan.”

“Ya, tentu saja. Apa salahnya itu?”

“Tidak salah, tuan. Akan tetapi jika bergembira sekarang, itu terlalu terburu-buru namanya. belum waktunya untuk bergembira.”

“Hei, Tuan Warga. Apa maksudmu?”

“Saya hanya ingin bertanya, tuan. Bagaimana andai kata besok pagi kedua orang tawanan kita memberi keterangan yang palsu? Keterangan yang sama sekali tidak benar dan tidak sesuai dengan kenyataan? Kalau mereka itu berbohong, bukankah pihak kita yang akan menderita rugi besar?”

Mendengar ucapan itu, semua orang tertegun dan baru ingat akan kemungkinan besar itu. Kapten De Vos termenung. Dia kelihatan bingung dan khawatir, kemudian mengepal tinju dan memukul meja.

“Brakk...!”

“God Verdomme, zeg...!” dia memaki. “Benar sekali omonganmu itu, Tuan Warga. Untung kamu mengingatkan kami akan kemungkinan itu. Natuurlijk (tentu saja), bisa saja mereka berbohong, bahkan lebih banyak kemungkinannya mereka itu berbohong! Lalu bagaimana baiknya, Tuan Warga?”

“Mudah saja mengatasinya, tuan kapten. Besok pagi biarkan saja mereka menerangkan tentang rahasia itu, akan tetapi kita tidak boleh membebaskan mereka dulu. Kita tunggu sampai penyerangan Mataram itu benar terjadi. Kalau memang benar seperti yang mereka laporkan, nah, barulah kita bebaskan mereka. Kalau sebaliknya laporan itu palsu dan tidak benar, kita hukum dan bunuh mereka.”

“Oho, bagus, bagus! Kami setuju dan sebaiknya diatur seperti itu. Kamu memang pandai, Tuan Warga. Maya, besok engkau dan para pembantumu yang baru ini, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad, harus siap siaga dan menjaga kalau-kalau dua orang tawanan itu akan memberontak. Kita biarkan mereka memberikan laporan, akan tetapi tetap menahan mereka sampai terbukti benar atau tidaknya laporan mereka seperti yang dikatakan Tuan Warga tadi.”

“Baik, tuan,” kata Nyi Maya Dewi patuh.

Tiba-tiba Ki Harya Baka Wulung berseru nyaring. “Aku tidak setuju!”

Tentu saja semua orang terkejut dan memandang kepadanya.

“Apa maksudmu dengan ucapan itu, Tuan Harya?” tanya Kapten De Vos sambil menatap penuh selidik dengan sepasang matanya yang kebiruan.

“Tuan Kapten, aku Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh besar Madura yang gagah perkasa. Bangsa kami terkenal keras tapi terbuka, dan sekali berjanji akan memenuhinya dengan taruhan nyawa. Aku tidak suka diajak untuk mengingkari janji, walau pun terhadap dua orang muda yang menjadi musuhku. Aku tidak setuju dengan cara yang curang itu.”

Mendengar perkataan yang nadanya keras itu, Hendrik De Haan yang menjadi pengawal pribadi dan jagoan Kapten De Vos menjadi marah. Dia bangkit berdiri, mengepal tinjunya yang besar kemudian diamangkan ke arah Ki Harya Baka Wulung.

“Harya Baka Wulung!” Dia berteriak dengan suara cedal lalu melanjutkan kata-kata dalam bahasa Belanda karena tidak mahir berbahasa daerah. Ki Warga segera menyalin dalam bahasa daerah agar dapat dimengerti Ki Harya Baka Wulung.

“Harya Baka Wulung! Kamu mengaku sebagai tokoh Madura yang gagah perkasa, tetapi buktinya Madura sudah jatuh ke tangan Mataram. Sekarang ini kamu menjadi pembantu Kumpeni Belanda dan kewajibanmu adalah untuk menaati semua perintah Kapten De Vos! Tidak sepatutnya kamu bersikap kasar seperti ini!”

Sepasang mata Ki Harya Baka Wulung terbelalak mendengar terjemahan Ki Warga itu. Dia pun mengamangkan tinjunya ke arah muka raksasa bule itu dan membentak.

“Hendrik De Haan! Kau kira aku takut padamu? Kamu hanya tukang pukul murahan! Aku mau bergabung dengan Nyi Maya Dewi hanya karena ingin melihat Mataram jatuh, tetapi bukan berarti aku bersedia menjadi antek Belanda. Aku hanya mau bekerja sama untuk menjatuhkan Mataram!”

Hendrik De Haan tidak bisa berbicara dalam bahasa daerah. Akan tetapi karena dia sudah lama mengikuti Kapten De Vos, kalau hanya mendengar saja dia dapat mengerti artinya. Maka, mendengar jawaban itu, dia lalu meninggalkan kursinya, berdiri di tengah ruangan itu dan menantang. Dia hanya menggapai dengan tangan kirinya dan mengamangkan tinju kanan ke arah Ki Harya Baka Wulung.

Tokoh Madura itu adalah seorang yang berwatak keras, maka dia pun segera melompat menghampiri. Dua orang ini sudah berhadapan dengan mata melotot. Biar pun Ki Harya Baka Wulung sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, dia masih tampak gagah dan kokoh dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Biar pun tubuhnya tidak sebesar tubuh Hendrik tetapi dia dapat disebut seorang bertubuh raksasa di antara bangsanya. Kumisnya yang tebal itu seolah berdiri saking marahnya.

“Majulah, setan bule!” Ki Harya Baka Wulung menantang.

“Paman Harya, jangan membunuh orang!” Nyi Maya Dewi berseru khawatir.

“Aku hanya ingin menghajar si keparat ini!” kata Ki Harya Baka Wulung.

Sementara itu Hendrik De Haan tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia sudah agak banyak minum anggur dan hawa panas sudah mulai naik ke kepalanya. Maka dia segera menerjang ke depan dan menyerang bagaikan seekor biruang.

Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti yang memiliki kemahiran pencak silat yang sudah matang. Melihat serangan kedua tangan dari kanan kiri atas itu, dia pun menangkis dari dalam dengan kedua lengannya.

“Dukkk!”

Dua pasang lengan bertemu dan ketika itu pula kaki kanan Harya Baka Wulung menyapu kaki lawan, berbareng itu lengan kanannya menangkis dan sikunya menghujam ke depan dengan kuat sekali.

“Desss...! Dukkk!”

Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Hendrik langsung terjengkang.

Tapi dia bukan orang lemah. Ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan kakinya terjegal, dia malah membuang diri ke belakang kemudian berjungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting roboh. Hantaman siku kanan Harya Baka Wulung yang mengenai dadanya tadi seolah tidak dirasakannya.

Hendrik menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan dari mulutnya yang berbau arak itu, dia kembali menerjang. Kini kedua lengannya yang besar panjang itu tidak memukul, melainkan seperti dua ekor ular cepatnya tahu-tahu telah menangkap kedua lengan lawan. Gerakannya cepat sekali karena dia mempergunakan ilmu gulat yang pernah dipelajarinya.

Harya Baka Wulung terkejut dan tidak mampu menghindar, tahu-tahu dua lengannya telah ditangkap. Raksasa bule itu lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Harya Baka Wulung dan membantingnya.

Hendrik biasa berlatih mengangkat beban yang beratnya dua kali berat tubuh Harya Baka Wulung, maka dia merasa amat yakin akan dapat mengangkat tubuh lawan itu tinggi-tinggi kemudian dibantingnya supaya tulang-tulang itu menjadi patah-patah. Akan tetapi raksasa Belanda itu terlalu memandang rendah lawannya.

Harya Baka Wulung seorang tokoh besar Madura yang memiliki banyak aji kesaktian dan dia merupakan seorang ahli tapa yang sudah menguasai berbagai ilmu yang hebat-hebat. Ketika dia maklum akan niat lawan, yaitu mengangkatnya ke atas, cepat dia mengerahkan Aji Selatantra. Dengan aji yang dahsyat itu tubuh Harya Baka Wulung seolah-olah menjadi seberat gunung batu!

Hendrik de Haan mengerahkan seluruh tenaganya, namun sia-sia belaka. Sama sekali dia tidak mampu mengangkat tubuh kakek tua itu! Dia bekah-bekuh, menahan napas sambil mengerahkan seluruh tenaganya sampai otot-ototnya menggembung dan tulang-tulangnya berkerotokan, bahkan hawa dalam perutnya yang didorong keluar hingga terdengar suara memberebet! Tetapi biar pun telah ber ah-ah-uh-uh beberapa lama tetap saja tubuh lawan tidak dapat diangkatnya.

Ketika kedua lengannya bagian atas siku itu dipegang lawan, kedua tangan Ki Harya Baka Wulung berada di sebelah dalam. Sekarang dia menggerakkan kedua tangannya ke depan kemudian menangkap pinggang Hendrik. Sambil mengerahkan tenaga Cantuka Sakti yang luar biasa dahsyatnya itu dan mengeluarkan suara nyaring, dia mengangkat tubuh Hendrik ke atas.

“Kok-kok-kokkk...!” dari dalam perutnya terdengar suara berkokok dan tubuh Hendrik yang tinggi besar itu telah diangkatnya ke atas kepalanya.

“Paman Harya, jangan membunuh!” kembali Maya Dewi berteriak.

Mendengar teriakan ini Harya Baka Wulung lantas teringat. Dia pun bukan seorang bodoh yang hanya menurutkan nafsu amarah. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh, bukan saja nyawanya terancam oleh Kapten De Vos dan anak buahnya yang mempunyai senjata api, akan tetapi usahanya bekerja sama dengan Belanda untuk membalas dendamnya kepada Mataram akan gagal.

Oleh sebab itu dia tidak membanting tubuh raksasa itu. Kalau dibantingnya dengan tenaga Cantuka Sakti tentu tulang-tulang tubuh itu akan remuk atau kepalanya akan pecah. Dia lalu melemparkan saja tubuh Hendrik ke atas.

“Bressss...!”

Tubuh itu melayang ke atas kemudian terbanting jatuh ke atas lantai kapal. Memang tidak sampai tewas atau patah tulang, tapi cukup membuat kepalanya pening, pinggulnya nyeri dan perutnya mulas.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)