ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-27


Akan tetapi, datuk besar Madura ini sudah siap. Dia sudah mengerahkan ajinya yang amat dahsyat yaitu Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Begitu dia mendorongkan dua tangannya, asap tebal hitam segera menyambar ke arah Hendrik dan terdengarlah kakek itu berseru dengan suara menggetar mengandung penuh wibawa.

“Lepaskan senjata api itu!”

Terjadi keanehan. Bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu membuat Hendrik tiba-tiba melepaskan pistolnya sebelum dia sempat menarik pelatuknya. Pistol jatuh berdetak di atas lantai dan asap hitam itu membuatnya terhuyung-huyung ke belakang sehingga dia terjengkang dan terjatuh.

Ki Harya Baka Wulung menarik kembali ajinya. Asap hitam itu lenyap dan tubuh Hendrik telah terkapar di atas lantai kapal dengan muka berubah menghitam seperti hangus. Akan tetapi dia masih untung karena Harya Baka Wulung tidak berniat membunuhnya sehingga tubuhnya tidak sampai melepuh terbakar, hanya hangus seakan-akan dia habis berjemur matahari dari pagi sampai petang!

Ketika Harya Baka Wulung memandang ke sekeliling, kiranya dia sudah dikepung belasan orang anak buah kapal yang menodongkan bedil mereka ke arahnya. Dengan sikap tenang Harya Baka Wulung menghadapi Kapten De Vos dan berkata, “Aku tidak membunuhnya dan aku bersedia bekerja sama dengan Kumpeni untuk mengalahkan Mataram, tapi bukan untuk menjadi antek Belanda, juga bukan untuk bermusuhan dengan Belanda!”

Ki Warga cepat berkata kepada Kapten De Vos dengan mempergunakan bahasa Belanda, “Tuan Kapten, orang ini sangat berguna bagi kita.”

Kapten De Vos cepat-cepat memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menghentikan penodongan mereka dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu. Para anak buah itu untuk kedua kalinya menggotong tubuh Hendrik dan meninggalkan ruangan itu.

Kapten De Vos tersenyum lebar sambil memandang Harya Baka Wulung. “Kami mengerti maksudmu, Tuan Harya. Maafkan kelancangan Hendrik tadi. Memang Maya Dewi sudah melaporkan kepada kami bahwa Tuan Harya dan Tuan Somad ingin bekerja sama dengan kami, bukan menjadi pegawai kami. Silakan duduk kembali, Tuan Harya. Mari kita bicara dan berunding sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan. Silakan.”

Kapten De Vos adalah seorang pejabat yang bertugas sebagai intelejen Belanda dan dia memang sudah mendapat pendidikan mendalam sehingga dia mampu menyesuaikan diri demi keuntungan Kumpeni. Menghadapi sikap sabar dan ramah ini meredalah kemarahan Harya Baka Wulung dan dia pun duduk kembali ke atas kursinya yang tadi.

Kapten De Vos menuangkan sendiri anggur ke dalam gelas di depan Harya Baka Wulung, lalu dia mengajaknya minum anggur sambil berkata. “Mari kita minum anggur ini sebagai pernyataan persahabatan dan sebagai permintaan maaf kami atas kelancangan Hendrik tadi.”

Harya Baka Wulung menyambut dan minum anggurnya. Suasana menjadi akrab kembali.

“Tuan Harya, jika kami boleh bertanya, kenapa kamu begitu membenci Mataram? Apakah karena Mataram sudah menaklukkan Madura dan sekarang kamu hendak membebaskan Madura dari kekuasaan Mataram?” tanya Kapten De Vos.

Harya Baka Wulung menggelengkan kepala dan menghela napas panjang.

“Kekalahan Madura terhadap Mataram tak perlu dipersoalkan lagi. Madura telah membuat perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena memang kalah kuat maka dapat ditundukkan, bahkan sekarang sudah bisa dipersatukan di bawah pimpinan Pangeran Cakraningrat yang diangkat oleh Sultan Agung dan berkedudukan di Sampang. Dulu Pangeran Cakraningrat itu adalah Raden Praseno, putera Bupati Arisbaya, dan dia adalah muridku. Tidak, tak ada alasan bagiku untuk mendendam kepada Mataram karena kekalahan Madura.”

“Kalau begitu mengapa kamu begitu membenci Mataram sehingga bersedia bekerja sama dengan kami untuk menjatuhkan Mataram?” Kapten De Vos mendesak. Dia merasa perlu mengetahui latar belakang orang yang akan bekerja sama dengan Kumpeni menghadapi Mataram.

Mendengar pertanyaan itu, Harya Baka Wulung seperti diingatkan kembali dengan segala suka dukanya, terutama sekali kedukaan yang amat besar sehubungan dengan tewasnya putera tercinta.

Dia hanya memiliki seorang putera yang diberi nama Raden Dibyasakti, seorang pemuda yang menurut penilaiannya sendiri sangat tampan gagah dan patut dibanggakan. Seluruh cinta kasihnya tercurah kepada puteranya itu. Akan tetapi puteranya itu tewas pada saat perang antara Madura dan Mataram sedang panas-panasnya. Kematian Raden Dibyasakti itu menghancurkan hatinya dan menanamkan bibit dendam kebencian yang teramat besar terhadap Mataram umumnya dan Sultan Agung pada khususnya. Dia harus membalas dendam kematian puteranya itu, apa pun yang terjadi! Setelah menghela napas panjang barulah Harya Baka Wulung menjawab pertanyaan Kapten De Vos itu.

“Sebetulnya ini urusan pribadi. Aku sudah bersumpah dalam hati untuk membalas kepada Sultan Agung untuk dengan cara apa pun juga menghancurkan Mataram. Mataram sudah merenggut nyawa puteraku yang tunggal, sudah menghancurkan semua kebahagiaanku.”

Melihat wajah Harya Baka Wulung yang penuh duka dan kini kakek itu menunduk dengan lesu, suasana menjadi hening.

Akhirnya Kapten De Vos berseru, “Mari kita minum lagi. Kita lupakan kenangan masa lalu dan mari kita bersiap untuk menghancurkan Mataram, musuh kita bersama!”

Mereka minum anggur lagi. Sesudah ketegangan mereda, De Vos bertanya kepada Harya Baka Wulung. “Tuan Harya, tadi tuan mengatakan tidak setuju untuk tetap menahan dua orang tawanan sampai terbukti bahwa laporan mereka benar, lalu kalau menurut tuan, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak sampai menderita rugi oleh kebohongan mereka?”

“Kalau besok pagi mereka memberi keterangan, kita harus membebaskan mereka seperti yang sudah dijanjikan. Untuk mencegah mereka berbohong, kita minta mereka bersumpah terlebih dulu sebelum memberi keterangan mereka. Orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan seperti mereka pasti tak akan mau melanggar sumpahnya sendiri. Apa bila hal ini masih meragukan, kita beri mereka racun yang akan bertahan sampai saat terjadinya penyerbuan Mataram seperti yang mereka katakan. Sesudah ternyata keterangan mereka kelak benar, mereka boleh datang minta obat penawar kepada kita.”

Kapten De Vos melihat semua pembantunya mengangguk-angguk menyetujui siasat itu, maka dia pun berkata gembira, “Bagus, bagus sekali. Dengan begitu, kita tidak melanggar janji tapi kita juga tetap mengikat mereka sehingga mereka pasti tidak berani berbohong!” Dengan gembira dia lalu mengajak semua orang untuk menambah minuman anggur.....

********************

Sementara itu, setelah menanti cukup lama, membiarkan musuh-musuh mereka berpesta dan makan minum sepuasnya, sesuai dengan yang telah mereka atur dalam pembicaraan mereka siang tadi, Sulastri menerima ketukan pada dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Aji.

Ketukan tiga kali, berarti dia harus mulai dengan tugasnya. Dia membalas dengan ketukan tiga kali sebagai isyarat bahwa dia sudah mengerti dan siap melaksanakan tugasnya. Dia lalu mengintai dari balik daun pintu kamarnya. Ada dua orang penjaga duduk di depan, di antara kamarnya dan kamar Aji. Dua orang kulit putih dan bertubuh tinggi kurus, bermuka merah dan hidung mereka panjang seperti hidung Petruk.

Sulastri segera memasang aksi, tersenyum manis sekali ketika membuka pintu kamarnya dan menghampiri dua orang anak buah kapal yang memegang bedil itu.

Melihat gadis cantik itu tersenyum-senyum sambil menghampiri mereka dengan langkah yang lemah gemulai, dua orang laki-laki kulit putih itu tentu saja merasa senang, Mereka juga tersenyum dan menyambut Sulastri dengan bahasa daerah yang patah-patah.

“Selamat malam, nona manis. Belum tidurkah?” tegur seorang.

“Nona manis hendak pergi ke mana?” tanya yang kedua.

Sulastri memperlebar senyumnya sehingga sinar lampu gantung menimpa deretan giginya yang putih mengkilap. “Aku amat kesepian, tuan-tuan. Sebab itu aku ingin mengajak kalian bercakap-cakap,” kata Sulastri dan sengaja ia menggunakan jari-jari tangannya yang lentik untuk menyentuh tangan mereka.

Seperti hampir semua pelaut, tentu saja dua orang anak buah kapal itu selalu haus akan hiburan dan gila perempuan.

“Ahh, kami senang sekali, nona!” kata orang ke dua lebih yang berani. Tangannya hendak merangkul, akan tetapi Sulastri melangkah mundur lalu menoleh ke kanan kiri dan berkata lirih.

“Jangan di sini, tuan. Aku takut dan malu kalau ketahuan orang lain. Mari kita bicara dalam kamarku saja.”

Dua orang anak buah kapal yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu saling pandang, terbelalak dan tersenyum. Hati mereka melonjak dan rasanya ingin bersorak gembira.

Ketika melihat gadis itu melangkah kembali menuju kamarnya dengan lenggang memikat sehingga pinggulnya menari-nari, dua orang itu bagaikan berebut mengikuti dari belakang. Karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada tubuh belakang Sulastri yang betul-betul menggairahkan, mereka sama sekali tidak sadar bahwa pintu kamar sebelah terbuka dan sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar itu.

Ketika dua orang penjaga itu tiba di luar kamar Sulastri yang daun pintunya terbuka lebar, Sulastri berkata dengan manis, “Masuklah saja, tuan-tuan, jangan ragu dan malu!”

Dua orang itu melangkah masuk dan pada saat itu pula Aji melompat ke belakang mereka. Kedua tangannya menyambar ke arah tengkuk dua orang anak buah kapal itu.

“Ngek-ngek!” Tubuh kedua orang itu segera terkulai.

Sulastri cepat-cepat menyambut bedil mereka yang terlepas dari pegangan supaya tidak menimbulkan suara gaduh, ada pun Aji telah menangkap lengan kedua orang itu sehingga tidak sampai terguling roboh. Dia lalu menyeret dua tubuh yang sudah tak dapat bergerak karena pingsan itu ke dalam kamar. Dengan menggunakan kain alas pembaringan yang dirobek, Aji mengikat kaki tangan kedua orang itu lalu menyumbat mulut mereka. Sesudah itu kedua orang muda itu berindap ke luar tanpa mengeluarkan suara.

Mereka tidak perlu bicara lagi karena tadi siang mereka sudah mengatur rencana dengan matang. Sesudah membuat dua orang penjaga itu tidak berdaya, Sulastri menyelinap dan menuju ke buritan kapal, sedangkan Aji sudah menyelinap dan bersembunyi di balik tiang. Sulastri tiba di luar bilik yang menjadi gudang kapal itu. Ia mengambil lampu gantung yang berada di luar bilik, kemudian mendorong daun jendela dengan kekuatan tangannya.

Dia tidak berani mengerahkan tenaga sakti karena hal itu akan menimbulkan nyeri hebat di dalam dadanya. Tetapi kedua tangannya yang terlatih itu memiliki tenaga otot yang cukup kuat untuk membuat daun jendela yang tidak begitu kokoh itu terbuka. Setelah jendela itu terbuka dia lalu melemparkan dan membanting lampu gantung ke dalam gudang.

Terdengar ledakan kecil dan gudang itu segera terbakar. Minyak yang tersimpan di dalam gudang itu segera disambar api dan bernyala besar. Sesudah berhasil membakar gudang, Sulastri cepat berlari dan terengah-engah dia mendekam di samping Aji, di belakang tiang besar.

“Brand! Brand! (Kebakaran, kebakaran!)” Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan banyak kaki berlari-larian.

Mereka yang sedang berpesta terkejut bukan main, sementara mereka yang tidak paham bahasa Belanda saling pandang dengan perasaan heran. Ki Warga segera memberi-tahu mereka, “Ada kebakaran!”

“Cepat kita lihat! Maya Dewi, Tuan Harya dan Tuan Somad, juga kamu Tuan Warga dan Tuan Banuseta, pergilah kamu ke kamar dua orang tawanan itu!” kata Kapten De Vos.

Mereka semua segera berhamburan ke luar dari ruangan di mana mereka tadi berpesta. Lima orang pembantu itu berlari ke arah dua buah kamar di mana dua orang tawanan itu berada, sedangkan De Vos sendiri berlari ke arah buritan kapal karena di situlah terjadinya kebakaran.

Semua anak buah kapal sibuk berusaha memadamkan kebakaran. Dengan tenaga banyak orang sebenarnya kebakaran itu tentu mudah dipadamkan. Akan tetapi karena persediaan minyak di dalam bilik gudang itu terbakar, maka agak sukarlah kebakaran itu dipadamkan, Kapten De Vos yang marah-marah memberi petunjuk dan aba-aba kepada anak buahnya. Dia berjalan mondar-mandir sambil berteriak memberi komando.

Tiba-tiba lengan kanannya ditangkap sebuah tangan yang amat kuat kemudian lengan itu ditelikung ke belakang tubuhnya. Sebelum dia dapat meronta, ujung sebatang belati yang runcing tajam telah menempel di lehernya. Aji yang menangkap kapten itu berseru, “Diam! Jangan bergerak atau lehermu akan kupenggal!”

Sulastri yang berada di dekat Aji, cepat mengambil pistol yang tergantung pada pinggang Kapten De Vos lantas membuang senjata api itu ke luar kapal, kemudian mereka berdua mundur ke pagar kapal. Aji menarik dan memaksa De Vos ikut dengan menyeretnya.

Sementara itu, lima orang pembantu yang berlarian menuju ke dua buah kamar tawanan, tentu saja menjadi terkejut bukan main melihat dua orang penjaga berada di kamar Sulastri dalam keadaan terikat dan mulutnya tersumbat, sedangkan dua orang tawanan itu tidak terlihat. Ki Warga cepat membebaskan mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.

“Perempuan itu... dia memanggil kami dan tahu-tahu kami dipukul dari belakang lalu tidak ingat apa-apa lagi. Ketika kami siuman, kami sudah berada di sini dalam keadaan begini.” Dua orang itu bercerita.

“Tawanan lolos! Tentu mereka yang melakukan pembakaran itu. Ayo cepat keluar dan cari mereka!” kata Ki Warga.

Semua orang segera berlari keluar. Mereka berlari ke arah buritan dan membantu mereka yang memadamkan api. Tidak lama kemudian api dapat dipadamkan.

“Di mana Kapten de Vos?” tanya Ki Warga.

Barulah semua orang merasa heran dan panik. Pemimpin mereka itu tidak tampak batang hidungnya, padahal tadi sibuk memimpin anak-anak buahnya memadamkan api. Tiba-tiba mereka mendengar suara nyaring yang datangnya dari bagian tengah di atas dek itu.

“Heii, kalian semua lihatlah! Kapten De Vos berada di sini!”

Semua orang berlarian menuju ke arah suara dan sesudah tiba di dekat tiang layar besar, mereka tertegun, berdiri mematung dengan mata terbelalak. Di sana, dekat pagar di pinggir kapal, Kapten De Vos berdiri tidak berdaya dengan muka pucat dan di belakangnya berdiri Lindu Aji dan Sulastri, keduanya memegang sebatang pisau belati yang runcing dan tajam. Aji menempelkan belatinya di leher De Vos sedangkan Sulastri menodongkan belatinya di lambungnya! Melihat ini, para anak buah kapal sudah menodongkan bedil mereka ke arah dua orang tawanan itu, akan tetapi Aji cepat membentak.

“Lepaskan bedil kalian atau kami akan membunuh Kapten De Vos lebih dahulu!” Dia dan Sulastri menekan pisau belati yang mereka rampas dari dua orang penjaga tadi lebih kuat sehingga ujung pisau yang runcing itu mulai menembus kulit dan kulit di leher dan lambung terluka dan mengeluarkan darah.

“Berhenti! Cepat kalian lepaskan semua bedil itu, goblok!”

Kapten De Vos berteriak kepada anak buahnya. Anak buah kapal itu tidak dapat berbuat lain kecuali menaati perintah atasan mereka. Kalau mereka tetap nekat menembak, tentu Kapten De Vos akan mati dan kalau hal ini terjadi, berarti mala petaka besar bagi mereka! Ditangkapnya De Vos oleh kedua orang tawanan itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Terpaksa mereka melepaskan bedil masing-masing ke atas dek.

Nyi Maya Dewi berkata dan suaranya terdengar penuh ancaman. “Lindu Aji, apa yang kau lakukan? Bukankah kita sudah berjanji bahwa besok engkau akan melaporkan keterangan kepada kami dan sebagai gantinya kami akan membebaskan kalian setelah memberi obat penawar kepada Sulastri yang akan mati tersiksa beberapa hari lagi?”

“Maya Dewi, siapa percaya dengan janji-janji kalian? Sekarang bukan saatnya bagi kalian untuk menuntut. Bukan kalian yang berhak menentukan, tetapi kami berdua! Kalian harus memenuhi permintaan kami sebagai pengganti nyawa Kapten De Vos!” Melihat beberapa orang di antara mereka ada yang membuat gerakan seakan-akan hendak menyerang, Aji segera berteriak lantang. “Jangan bergerak atau aku akan memenggal leher Kapten De Vos! Jangan kira bahwa kami tidak akan berani melakukan itu. Kami akan membunuhnya dulu kemudian mengamuk sampai mati!”

“Tahan...!” Ki Warga berseru. “Aji, apa yang kau kehendaki? Tetapi bersumpahlah dahulu bahwa engkau akan membebaskan Kapten De Vos kalau kami memenuhi permintaanmu.”

“Baik, aku bersumpah akan membebaskan Kapten De Vos kalau kalian memenuhi semua permintaan kami,” kata Aji. “Permintaan kami yang pertama, serahkan obat penawar bagi Sulastri!” Berkata demikian, Aji memandang kepada Nyi Maya Dewi.

Dia tahu bahwa obat itu ada pada kekasih wanita itu yang kini berdiri di sebelah kiri Maya Dewi. Maka dia akan tahu bahwa kalau obat itu diberikan oleh Maya Dewi, berarti obat itu palsu.

Ki Warga beserta semua orang kini menoleh dan memandang kepada Maya Dewi. Mereka tahu bahwa yang dapat memberikan obat yang diminta itu hanyalah Maya Dewi.

Nyi Maya Dewi balas menatap Aji dan sikapnya tenang saja. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang banyak pengalaman, licik dan tidak mudah gugup.

“Akan tetapi, Aji. Aku tidak dapat menyerahkan obat itu kepadamu di sini. Obat penawar itu kusimpan di daratan, yaitu di rumah Ki Warga di Tegal.”

“Hmm, Nyi Maya Dewi, kau tak perlu berbohong lagi. Aku tahu pasti bahwa obat penawar itu ada padamu. Hayo cepat berikan! Ataukah aku harus menyiksa Kapten De Vos lebih dulu?” Aji sengaja menekan pisau belati itu di leher De Vos sehingga kapten itu berteriak.

“Ben je gek, Maya (Gilakah kamu, Maya)? Cepat berikan obat penawar itu kepadanya!”

Maya Dewi tampak bingung dan memandang kepada Banuseta. Terpaksa ia mengangguk memberi isyarat kepada pria itu dan berkata lirih, “Berikanlah, Raden.”

Banuseta mengerutkan alisnya dan memandang kepada Sulastri. Ia tidak rela melepaskan kesempatan untuk menguasai gadis yang digandrunginya itu. “Akan tetapi... Maya...”

“Tidak ada tapi!” Kapten De Vos membentak marah.

“Godverdomme, zeg! Berikan obat itu atau kuperintahkan orang-orangku untuk menembak kepalamu!”

Mendengar bentakan ini muka Banuseta menjadi pucat dan dia segera merogoh ke balik ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil kemudian menyodorkannya kepada Sulastri. Akan tetapi seperti yang sudah dia rencanakan bersama Aji, Sulastri tidak mau menerimanya, tidak mau memberi kesempatan dirinya ditangkap.

“Letakkan di atas lantai dekat sini!” perintah Aji.

Banuseta menurut karena Kapten De Vos memandang kepadanya dengan mata mendelik dan memerintah. Dia meletakkan bungkusan obat penawar itu di atas lantai di depan Aji.

“Tuan Kapten, sekarang perintahkan Maya Dewi supaya mengembalikan keris dan pedang kami yang dirampasnya,” kata Aji.

“Kembalikanlah, Maya dan cepat!” perintah De Vos.

Maya Dewi tidak berani membangkang. Ia mengeluarkan Pedang Nogo Wilis milik Sulastri dan Keris Nogo Welang milik Aji, kemudian meletakkan dua buah pusaka itu di atas lantai dekat bungkusan obat penawar.

“Lastri, ambillah semua itu,” kata Aji.

Sulastri melangkah maju, dengan waspada dia mengambil bungkusan obat penawar dan menyimpan di ikat pinggangnya, kemudian menyerahkan Keris Nogo Welang kepada Aji dan menggantung sarung pedang Nogo Wilis di ikat pinggangnya. Kedua orang muda itu lalu membuang pisau belati dan kini memegang pusaka masing-masing untuk menodong Kapten De Vos dan melindungi diri sendiri.

Karena Kapten De Vos sudah benar-benar berada dalam kekuasaan Aji dan Sulastri, dan keselamatan nyawanya terancam, maka biar pun di situ hadir orang-orang sakti seperti Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, Nyi Maya Dewi, Ki Warga, Raden Banuseta, Hendrik dan para prajurit, tetapi mereka tidak berani berkutik. Bahkan Aki Somad dan Harya Baka Wulung juga tidak berani membuat ulah atau mencoba mempergunakan aji sihir mereka karena mereka maklum betapa saktinya kedua orang muda itu, terutama sekali Lindu Aji.

“Kapten, cepat perintahkan menurunkan perahu kecil itu!” kata Aji kepada tawanannya.

“Juga sediakan tangga tali untuk turun!” Perintah ini diteriakkan Kapten De Vos.

Sesudah perahu diturunkan ke air dan tangga tali dipasang, Aji memberi isyarat kepada Sulastri untuk menurunkan tangga tali kemudian masuk ke dalam perahu kecil yang sudah diturunkan di sisi perahu besar. Kemudian dia berkata kepada Nyi Maya Dewi dengan nada suara mengancam.

“Kami akan menyandera Kapten ini. Kalau obat penawar yang kau berikan ternyata manjur dan menyembuhkan Sulastri, nanti kami pasti akan membebaskan dia. Sebaliknya kapten ini akan kami bunuh kalau ternyata engkau menipu kami dan obat penawar itu tidak dapat menyembuhkan Sulastri!”

Mendengar ini wajah Kapten De Vos menjadi pucat. “Maya, jangan main-main kamu! Jika kamu menipu dan gadis itu tidak bisa disembuhkan sehingga aku terbunuh, tentu Kumpeni akan menangkap kalian semua dan menghukum kalian dengan siksaan yang paling berat!”

Mendengar ini Maya segera berkata kepada Aji. “Aji, semua permintaanmu sudah dituruti, tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau akan benar-benar membebaskan Tuan Kapten De Vos.”

“Aku pasti akan membebaskannya. Katakan bagaimana aturan minum obat penawar racun itu.”

“Mudah saja. Masukkan semua obat bubuk itu ke dalam secangkir air kelapa muda hijau, kemudian minum sampai habis dan pengaruh racun itu akan punah. Akan tetapi setelah itu engkau harus membebaskan tuan kapten.”

“Aku tidak akan melanggar janji!” Sesudah berkata demikian Aji memegang lengan kanan De Vos, tetap menempelkan keris pada punggungnya dan memaksa kapten itu menuruni tangga tali bersama dia.

Mereka turun ke perahu di mana Sulastri sudah menunggu. Dengan cepat Aji mendayung perahu itu meninggalkan kapal menuju ke pantai. Lampu-lampu yang menyorot dari rumah-rumah para nelayan di pantai memudahkan Aji menujukan arah perahunya.

Fajar sudah mulai menyingsing ketika akhirnya perahu kecil itu mendarat. Aji dan Sulastri mengajak De Vos meninggalkan pantai menuju ke arah barat yang jauh dari perkampungan karena mereka tidak ingin menarik perhatian para penduduk pantai. Juga mereka hendak memasuki daerah yang tertutup oleh bukit karang supaya tidak nampak dari kapal karena mereka maklum bahwa mereka yang berada di kapal tentu akan berusaha untuk mengintai dengan alat teropong.

Mereka berhenti di suatu tegalan di mana tumbuh beberapa batang pohon kelapa. Melihat beberapa butir buah kelapa muda hijau bergantungan di pohon, Aji mempergunakan batu karang untuk menyambit dan dua butir buah kelapa muda hijau runtuh ke bawah. Dengan pedang milik Sulastri dia membelah buah kelapa muda itu secara hati-hati sehingga airnya tidak tumpah. Dimintanya bungkusan obat dari Sulastri dan dimasukkan obat bubuk itu ke dalam air kelapa muda.

“Minumlah, Lastri. Mudah-mudahan engkau sembuh.”

“Maya pasti tidak bohong.” kata De Vos. “Jika dia bohong dan obat itu tidak menolong, dia dan kawan-kawannya akan dihukum mati semua!”

“Mudah-mudahan engkau benar, tuan kapten, karena nyawamu sangat tergantung kepada kesembuhan Sulastri,” kata Aji.

Sulastri minum air kelapa muda yang sudah dicampur obat bubuk itu. Sesudah air kelapa muda diminumnya habis, dia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan untuk membiarkan obat di dalam perutnya bekerja. Aji dan De Vos memandang dengan penuh perhatian dan perasaan tegang. Tiba-tiba gadis itu mengerutkan alisnya dan menggigit bibirnya sendiri. Dia tampak menahan perasaan nyeri yang hebat.

“Lastri, kenapa...?” Aji bertanya khawatir.

“Perutku... mulai melilit-lilit... ah, aku tidak kuat lagi... harus ke sungai...!” Gadis itu cepat melompat berdiri kemudian berlari ke arah anak sungai yang tadi mereka lewati.

“Oh, God... (Tuhan)! Apa yang terjadi dengannya...?” De Vos berkata dengan muka pucat sambil memandang ke arah menghilangnya bayangan gadis itu di balik pohon-pohon.

Aji masih tenang. Dia merasa yakin bahwa Maya Dewi pasti takkan berani menipunya, apa lagi mencelakai Sulastri dengan obat palsu karena nasib Kapten De Vos masih berada di tangannya. Wanita itu tak akan berani melanggar perintah De Vos yang merupakan orang penting dari Kumpeni.

“Mungkin itu pengaruh obat penawar yang akan menyembuhkan,” kata Aji tenang.

“Mudah-mudahan begitu...” Kapten De Vos termenung, hatinya masih diliputi kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada diri gadis itu yang dapat menyebabkan dia dibunuh. Dia duduk dengan lemas di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah dan menanti.

Dia merasa tak berdaya sama sekali. Selama ini andalannya hanyalah senjata apinya, tapi pistol-pistolnya sudah dilucuti sebelum dia ditawan tadi. Untuk nekad menyerang pemuda ini dengan kaki tangannya? Hal itu sama saja dengan membunuh diri! Dia sudah melihat akan kehebatan pemuda itu ketika tadi pemuda itu bertanding melawan Hendrik De Haan. Jagoan juara tinju itu saja tidak mampu berkutik melawan Aji, apa lagi dia!

Tak lama kemudian Sulastri muncul. Gadis itu melangkah dengan lenggang gemulai bagai menari. Sinar matahari pagi yang kemerahan menimpa wajahnya, tampak cemerlang dan segar, masih basah. Sepasang matanya yang jeli tampak bersinar mencorong, betul-betul berbeda dengan pandang matanya tadi yang mengandung penasaran dan agak gelisah.

Sinar mata ini saja sudah menggirangkan hati Aji karena merupakan pertanda yang baik. Tetapi Kapten De Vos menyambutnya dengan penuh perhatian dan ketegangan. Keadaan gadis itu menentukan nasib dirinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)