ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-28


“Ya, bagaimana, nona? Sudah sembuhkah kamu...?” De Vos bertanya.

Sulastri tersenyum kepada Aji dan berkata. “Engkau lihat sendiri, Mas Aji!” Ia menghampiri pohon kelapa, berdiri dalam jarak dua meter, menekuk sedikit kedua lutut kakinya, sambil mengerahkan tenaga saktinya dia lalu mendorong dengan kedua telapak tangan terbuka dan membentak nyaring.

“Aji Margopati...!”

Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah batang pohon kelapa sebesar pinggang gadis itu.

“Wuuuttt...! Kraaakkk...! Bruuukkk...!”

Pohon kelapa itu tumbang! Kapten De Vos terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau tidak melihat sendiri, pasti dia tidak akan percaya bahwa ada orang apa lagi seorang gadis jelita, dapat merobohkan dan menumbangkan sebatang pohon kelapa hanya dengan satu pukulan jarak jauh.

“Lastri, engkau telah sembuh!” seru Aji dengan girang sekali.

Gadis itu sudah dapat menggunakan pukulan tenaga sakti, berarti dia telah sembuh sama sekali.

“Obat itu memang manjur sekali, semua racun terkuras keluar dari perutku. Saking girang dan lega, tadi aku sekalian mandi. Segar sekali rasanya,” kata Sulastri.

“Syukurlah! Kamu telah sembuh, ah... aku merasa girang sekali...!” De Vos berseru sambil berloncatan seperti hendak menari-nari karena hal itu berarti dia akan dibebaskan! Sulastri menoleh kepadanya dan alisnya berkerut.

“Jangan girang dulu, kumpeni jahat! Hendak kulihat apakah badanmu lebih kuat dari pada batang pohon kelapa itu!” Mendadak Sulastri sudah menghantamkan tangan kirinya yang terbuka dengan dorongan dahsyat ke arah orang Belanda itu.

“Haiiittt...!”

“Plakk...!”

Sulastri terdorong ke belakang dan dia memandang kepada Aji dengan mata terbelalak.

“Kangmas Aji! Kenapa... kenapa kau lakukan itu? Mengapa engkau menangkis pukulanku dan... melindungi kumpeni musuh rakyat ini?”

“Tenanglah, Adi Sulastri. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang yang melanggar janji sendiri. Kita sudah berjanji bahwa kalau obat penawar itu berhasil menyembuhkanmu, maka kita akan membebaskan Kapten De Vos ini.”

“Akan tetapi janji orang-orang seperti dia dan antek-anteknya itu, apakah bisa dipercaya?” Sulastri membantah dengan penasaran, sementara itu De Vos memandang dengan sinar mata gelisah.

“Memang mereka tidak dapat dipercaya dan bukan orang-orang yang baik, akan tetapi kita tidak sama dengan mereka, bukan? Kita adalah orang-orang yang menjaga kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Kita tak perlu meniru kecurangan mereka. Kita adalah orang-orang yang tidak akan melanggar janji sendiri, bukan?”

Sulastri menarik napas panjang. “Sudahlah, aku tidak akan menang berdebat melawanmu. Bebaskan dia kalau engkau sudah memutuskan demikian.”

Aji bernapas lega. Tadinya dia merasa khawatir kalau-kalau gadis yang keras hati itu akan memaksakan kehendaknya membunuh orang Belanda ini.

“Terima kasih, Lastri.” Kemudian dia berkata kepada De Vos, “Tuan kapten, sekarang juga engkau boleh pergi. Aku membebaskanmu.”

Kapten De Vos adalah seorang yang sejak mudanya prajurit dan pelaut. Dia pun seorang yang amat menghargai kegagahan dan dia merasa kagum sekali dengan sikap dua orang muda yang dianggap sebagai bangsa yang sederhana dan terbelakang itu, terutama sekali dia kagum melihat sikap Aji.

“Tuan Lindu Aji,” katanya dan nada suaranya mengandung hormat. “Apakah tuan tak akan menyesal membebaskan saya? Ketahuilah bahwa kalau kelak kita saling berjumpa dalam sebuah pertempuran, saya takkan ragu-ragu untuk menembak kepala tuan dengan pistol saya.”

Aji tersenyum. “Itu sudah menjadi kewajibanmu, tuan. Aku pun tidak akan ragu-ragu untuk membunuhmu kalau bertemu denganmu dalam pertempuran.”

“Mas Aji, kenapa susah-susah? Bunuh saja dia sekarang! Bukankah dia musuh kita?” kata Sulastri.

“Tidak, antara dia dan kita tidak ada permusuhan pribadi, Lastri. Tuan kapten, ketahuilah, kami adalah satria-satria Mataram yang mengerti tentang harga diri dan kehormatan. Yang bermusuhan adalah antara kerajaan kita. Karena itu, di dalam perang membela kerajaan masing-masing mungkin kita akan saling bunuh. Akan tetapi antara kita pribadi tidak ada permusuhan apa pun. Apa lagi kami sudah berjanji akan membebaskan sesudah Sulastri sembuh akibat obat penawar itu. Pergilah, tuan, mudah-mudahan engkau akan menyadari bahwa kerajaan tuan dari seberang lautan yang jauh itu telah mengganggu dan mengacau tanah air kami!”

Kapten De Vos tersenyum dan menggerakkan pundaknya sebagai tanda bahwa dia tidak berdaya dalam persoalan itu. “Apa boleh buat, Tuan Aji, salah atau benar Belanda adalah kerajaanku yang harus kubela. Selamat tinggal!”

Dia segera melangkah pergi dengan cepat menuju ke pantai di mana tadi Aji meninggalkan perahu kecil yang mereka naiki untuk mendarat.

Sesudah Kapten De Vos pergi, Sulastri menghela napas, lalu memandang Aji dan berkata, “Mas Aji, siasat kita berjalan baik dan mulus seperti kita rencanakan. Untung sekali bahwa aku sudah dapat disembuhkan. Akan tetapi hatiku merasa penasaran bukan main, bahkan sampai sekarang masih terasa panas dan tidak puas!”

“Wah, mengapa begitu, Lastri? Bukankah sepatutnya kita bahkan bersyukur kepada Gusti Allah karena kita berdua dapat meloloskan diri dari tangan mereka dengan selamat?”

“Benar, kakang-mas, akan tetapi hatiku merasa sangat penasaran karena kita tidak dapat membasmi orang-orang yang menjadi antek Kumpeni. Aku merasa muak dan benci sekali kepada mereka dan ingin sekali menumpas mereka! Terutama nenek tak tahu malu Maya Dewi itu!”

“Hal itu tidak mudah, Lastri. Kalau hanya Maya Dewi seorang, tentu tidak akan sukar kita mengalahkannya. Tapi dia memiliki sekutu orang-orang yang sakti mandraguna seperti Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, laki-laki bangsawan tinggi kurus itu, dan kita tidak boleh memandang remeh orang yang tinggi besar, pandai berbahasa Belanda yang disebut Ki Warga itu. Agaknya dia mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, juga menjadi orang penting dari Kumpeni Belanda. Belum lagi di sana ada Kapten de Vos dan anak buahnya yang amat berbahaya dengan senjata api mereka. Setidaknya kita sekarang mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi antek dan mata-mata Kumpeni.”

“Hemm, kalau saja tadi aku sempat membunuh Belanda itu, setidaknya rasa penasaranku akan tertebus.”

“Sebaliknya, Lastri. Perasaan kita akan tertekan karena kita sudah melanggar janji sendiri. Sudahlah, mari kita cepat pergi dari sini. Aku yakin bahwa begitu Kapten De Vos sudah kembali ke kapalnya maka mereka semua akan mencari kita di sini. Mereka tidak mungkin melepaskan kita begitu saja karena telah mengetahui semua rahasia mereka.”

Dengan wajah membayangkan ketidak puasan hati, Sulastri mengikuti Aji meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke arah barat, Karena mereka melakukan perjalanan cepat, mempergunakan ilmu berlari cepat, maka seandainya gerombolan antek Kumpeni melakukan pengejaran, tetap saja mereka tidak akan dapat menemukan dua orang muda perkasa itu.....

********************

Usaha penyerangan Sultan Agung dengan mengerahkan pasukan besar ke Batavia untuk pertama kalinya (tahun 1628) telah mengalami kegagalan besar. Senopati Baureksa yang diserahi tugas memimpin pasukan penyerbuan itu gugur dalam perang, tertembak peluru meriam Belanda.

Banyak perwira Mataram yang gugur sehingga melemahkan semangat bertempur pasukan Mataram. Di samping itu timbul pula gangguan yang teramat besar dan yang merupakan pukulan parah bagi pasukan Mataram yang mengepung Batavia, yaitu berjangkitnya wabah penyakit malaria yang menewaskan banyak prajurit dan melemahkan sebagian besar dari mereka. Ditambah lagi karena kekurangan pangan akibat gudang-gudang ransum mereka dibakar habis oleh antek-antek Kumpeni Belanda, maka penyerbuan pertama itu menjadi gagal sama sekali.

Sultan Agung merasa amat kecewa, menyesal dan marah besar. Saking marahnya melihat usaha penyerbuan itu gagal dan melihat pasukan Mataram pulang membawa kehancuran, Sultan Agung amat marah karena pasukannya tidak melawan terus sampai Batavia dapat dirobohkan.

Dia menganggap sebagian para perwira kurang semangat dan bersikap pengecut. Karena itu dia memerintahkan Tumenggung Suro Agul-agul untuk menghukum mati para pasukan pengikut yang melarikan diri.

Tapi perintah itu disalah artikan oleh Tumenggung Suro Agul-agul. Dia malah menangkap Adipati Mandureja dan Kyai Adipati Upasanta, lalu menghukum mati dua orang senopati ini. Hal itu tentu saja menggegerkan di kalangan pamong praja, apa lagi mengingat bahwa dua orang senopati yang dihukum mati itu adalah cucu-cucu keturunan mendiang Ki Patih Mandaraka yang termasyhur, yang menjadi pembantu utama dari mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati.

Ketika Sultan Agung mendengar akan kekeliruan hukuman ini, dia menjadi semakin sedih dan marah. “Semua pemimpin penyerangan ke Batavia yang gagal itu turut bertanggung jawab, bukan hanya kedua orang senopati itu!” katanya.

Sultan Agung lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Suro Agul-agul dan banyak bangsawan yang dianggap gagal memimpin penyerbuan itu.

Peristiwa yang amat menyedihkan ini, yaitu gagalnya penyerbuan ke Batavia, kehancuran pasukan dan banyaknya korban yang gugur di dalam perang atau terserang penyakit, lalu banyaknya bangsawan yang dihukum mati, segera mendatangkan kegelisahan di antara para menteri, senopati, para panglima dan perwira. Akan tetapi, kegagalan besar itu sama sekali tidak membuat jera hati Sultan Agung yang amat membenci sepak terjang Kumpeni Belanda yang makin meluaskan kekuasaannya secara licik, mula-mula lewat perdagangan lalu perlahan-lahan memperluas bumi Nusantara yang dicengkeramnya.

Sultan Agung membuat persiapan lagi untuk melakukan penyerangan kedua yang lebih besar. Untuk itu dia mengangkat Tumenggung Singoranu yang tua sebagai senopati yang akan memimpin penyerbuan, memerintahkan Tumenggung Singoranu untuk melatih dan memperkokoh barisan Mataram, mengundang para pemuda yang perkasa untuk menjadi prajurit. Juga Sultan Agung memberi kuasa kepada Senopati Suroantani untuk memimpin dan mempersiapkan penyerbuan dengan cara menyebar banyak telik sandi (mata-mata) ke kadipaten-kadipaten sampai menyusup ke Batavia, untuk menyelidiki siapa-siapa yang akan menjadi lawan dan siapa yang menjadi kawan, serta sampai di mana ketahanan dan kekuatan pihak Kumpeni Belanda.....

********************

Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman para antek kumpeni yang dipimpin Nyi Maya Dewi, Aji segera mengajak Sulastri untuk pergi ke Kadipaten Cirebon. Dari Senopati Suroantani Aji sudah mendengar bahwa Adipati di Cirebon dapat dipercaya dukungannya terhadap Mataram. Mereka lalu mohon menghadap dan setelah Aji memperlihatkan Keris Pusaka Nogo Welang hadiah yang juga merupakan tanda kekuasaan dari Sultan Agung, Sang Adipati Cirebon menerima kunjungan Aji dengan hormat.

Setelah memberi hormat dan kedua orang muda itu dipersilakan duduk oleh Sang Adipati, Aji lantas berkata dengan hormat. “Gusti Pangeran, hamba mohon beribu ampun karena sudah berani mengganggu ketenangan paduka dan berani menghadap tanpa dipanggil. Hamba menerima perintah Gusti Sultan Agung, diperbantukan kepada Paman Senopati Suroantani, dan dalam tugas ini hamba diberi sebutan Alap-alap Laut Kidul. Ada pun gadis ini adalah seorang sahabat hamba yang sudah membantu pekerjaan dan tugas hamba, namanya Sulastri.”

Adipati Cirebon adalah seorang pria yang sudah tua namun tubuhnya masih tampak sehat dan kuat. Dalam usianya yang sudah enam puluh lima tahun itu dia masih tampak penuh semangat. Matanya yang tajam mengamati wajah Lindu Aji dan Sulastri dan dia tampak puas dengan apa yang dilihatnya.

Raja ini disebut Pangeran Ratu dan dia adalah cicit dari Sunan Gunung Jati yang pernah menjadi penguasa di Cirebon dan sangat terkenal sebagai tokoh yang mengembangkan Agama Islam di Cirebon.

Sang Adipati mengangguk-angguk. “Kami sudah melihat pusaka yang merupakan hadiah penghargaan dari Sultan Agung dan kami percaya kepadamu, orang muda. Sebutanmu Alap-alap Laut Kidul? Andika pantas menyandang sebutan itu, akan tetapi siapakah nama andika yang sebenarnya? Ataukah nama itu dirahasiakan?”

“Tentu saja hamba tidak merahasiakan terhadap paduka kalau memang paduka berkenan ingin mengetahui. Nama hamba adalah Lindu Aji.”

“Lindu Aji? Wah, nama yang bagus sekali! Nah, kini katakanlah kepada kami, kepentingan apa yang membawa andika menghadap?”

“Hamba hendak melaporkan bahwa keadaan di Kadipaten Tegal betul-betul mencurigakan, Gusti Pangeran. Di sana hamba berdua sudah ditawan oleh segerombolan orang yang menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Beruntung sekali Gusti Allah masih melindungi hamba berdua sehingga hamba dapat membebaskan diri hamba, kemudian hamba segera menghadap paduka untuk menceritakan hal ini karena siapa tahu kalau-kalau mereka itu akan mengadakan kekacauan di daerah paduka.”

Adipati itu mengerutkan alisnya sambil berseru, “Alhamdulillah bahwa kalian telah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Apa yang terjadi dan siapakah mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda itu?”

Aji lalu menceritakan pengalamannya bersama Sulastri ketika bentrok dengan Nyi Maya Dewi dan kawan-kawannya hingga mereka berdua tertawan lalu dibawa ke kapal Belanda, dihadapkan kepada Kapten De Vos sampai akhirnya mereka berdua menggunakan siasat dan dapat membebaskan diri dari cengkeraman mereka.

Sang Adipati mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Aji mengakhiri ceritanya dia bertanya.

“Coba andika sebutkan lagi satu demi satu nama mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda.”

Aji menjawab dengan jelas. “Mereka adalah Ki Warga yang tinggal di Tegal dan agaknya dia orang penting dari Kumpeni. Kemudian Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad pertapa di Nusakambangan. Ki Harya Baka Wulung itu seorang tokoh besar dari Madura, dan seorang laki-laki berpakaian seperti bangsawan yang disebut Raden oleh Maya Dewi akan tetapi hamba tidak mengetahui namanya.”

Sang adipati mengangguk-angguk. “Hemm, kami mengenal nama-nama itu. Bukan nama yang asing. Tetapi baru sekarang kami yakin dari ceritamu bahwa mereka benar-benar sudah merendahkan diri menjadi antek Kumpeni Belanda. Ki Harya Baka Wulung setahu kami adalah seorang tokoh besar dan pahlawan Madura yang dahulu membela Madura secara mati-matian dari serbuan Mataram. Mengapa dia mau merendahkan diri menjadi antek Belanda padahal orang-orang Madura pada umumnya tidak suka kepada Belanda? Hemm, kukira dia hendak membalas dendam kepada Mataram dengan jalan membonceng kekuatan Kumpeni. Dan Nyi Maya Dewi?

Kami mengenal wanita cantik itu sebagai puteri mendiang Resi Koloyitmo, seorang datuk sesat yang sangat terkenal dari Parahyangan dan karena kejahatannya bahkan menjadi buronan Kerajaan Pajajaran. Kabarnya puterinya itu juga menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna namun sesat seperti bapaknya, akan tetapi sungguh tidak disangka-sangka bahwa dia pun begitu jauh tersesat untuk mengabdi kepada Bangsa Belanda memusuhi bangsa sendiri dan mengkhianati tanah airnya. Dan tentang Aki Somad? Wah, kami juga pernah mendengar nama tokoh dari Nusakambangan ini. Namanya juga tak dapat dibilang bersih. Kabarnya dia menjadi datuknya para bajak laut dan perampok di daerah Cilacap dan Banyumas. Akan tetapi juga sungguh mengejutkan kalau kini dia begitu merendahkan diri untuk menjadi antek Kumpeni Belanda.

Sedangkan tentang Ki Warga, dia itu seorang yang aneh. Ada berita bahwa dia memang orang kepercayaan Adipati Tegal dan dialah orangnya yang menjadi perantara di dalam semua urusan dengan pihak Kumpeni Belanda. Masih diragukan apakah dia itu antek Belanda ataukah sebenarnya dia adalah alat Kadipaten Tegal untuk menyelidiki keadaan demi keuntungan Kadipaten Tegal yang sesungguhnya tidak memperlihatkan tanda-tanda menentang Mataram, akan tetapi juga tidak berkeras menolak kehadiran kapal Kumpeni di pantainya. Bagaimana pun juga, berita yang andika sampaikan kepada kami ini teramat penting sehingga kami bisa bersiap-siap dan selalu waspada tehadap segala kemungkinan buruk.”

“Hal ini telah menjadi tugas kewajiban hamba, gusti. Memang Paman Senopati Suroantani telah berpesan kepada hamba untuk menceritakan semua hal yang menyangkut gerakan Kumpeni Belanda melalui para mata-matanya kepada para kadipaten yang menjadi sekutu Mataram termasuk Kadipaten Cirebon. Karena itu hamba berharap paduka sudi mengirim utusan untuk mengabarkan semua ini kepada Paman Senopati Suroantani di Mataram.”

“Jangan khawatir. Kami akan mengabarkan semua hal ini kepada Senopati Suroantani di Mataram. Dan andika, Nini Sulastri. Andika dapat membantu anakmas Lindu Aji. Agaknya andika juga seorang gadis yang memiliki aji kesaktian, nini. Apakah andika tunggal guru dengan anakmas Lindu Aji?”

“Hamba bukan saudara seperguruan Kakang-mas Aji, gusti. Guru hamba adalah Ki Ageng Pasisiran yang tinggal menyepi di daerah pantai Dermayu.”

“Hemm, Ki Ageng Pasisiran? Kami pernah mendengar akan adanya seorang pertapa tua renta di pantai Dermayu itu. Akan tetapi tidak pernah mendengar dia membuka perguruan pencak silat. Kiranya andika seorang wanita yang masih muda menjadi muridnya. Hebat sekali! Dari mana andika berasal, Nini Sulastri dan siapakah orang tuamu?”

“Orang tua hamba tinggal di Dermayu, ayah hamba bernama Ki Subali.”

“Ahh, apakah bukan Ki Subali, sastrawan yang juga pandai menjadi dalang itu?”

“Benar dia, gusti.”

“Bagus! Kami mengenal Ki Subali. Pernah kami mengundang dia mendalang di kadipaten. Kalau begitu, nini, andika adalah orang sendiri yang bisa kami percaya. Dan andika anak-mas Lindu Aji, siapakah guru andika?”

“Guru hamba adalah mendiang Eyang Tejobudi, gusti.”

“Mendiang Ki Tejobudi? Dia sudah meninggal dunia? Ahh, belasan tahun yang lampau dia pernah menjadi tamu kami dan kami bersahabat baik! Bagus, sungguh kebetulan sekali. Agaknya memang Gusti Allah yang mengirim kalian ke sini untuk membantu kami. Anak-mas Lindu Aji dan Nini Sulastri, kami membutuhkan pertolongan kalian dan kami harap kalian tidak berkeberatan untuk menyingkirkan duri-duri yang mengganggu ketenteraman kadipaten kami.”

“Tentu saja hamba berdua siap untuk membantu, gusti. Apakah yang bisa hamba lakukan untuk Kadipaten Cirebon?” tanya Aji.

“Begini, anak-mas. Sudah ada kurang lebih dua bulan ini ketenteraman daerah pinggiran kadipaten kami di sekitar Gunung Cireme, diganggu oleh gerombolan yang mengacau dan melakukan perampokan dan penganiayaan. Bahkan mereka itu berani merampok sampai ke Majalengka dan Leuwimunding. Gerombolan itu memakai nama Munding Hideung dan mempunyai pimpinan yang terdiri dari orang-orang digdaya. Beberapa kali kami mengirim pasukan untuk menumpasnya, namun sejauh ini belum berhasil bahkan kami kehilangan banyak perwira yang tewas ketika terjadi pertempuran. Gerombolan Munding Hideung itu bersarang di gunung Cireme. Nah, mengingat bahwa andika berdua adalah murid-murid tokoh sakti mandraguna dan juga merupakan orang kepercayaan dari Sultan Agung, kami harap andika berdua bisa menolong kami. Hancurkan gerombolan itu dan tangkap hidup atau mati para pimpinan Munding Hideung. Kami akan menyediakan pasukan yang kalian butuhkan.”

Aji menoleh kepada Sulastri. Kebetulan sekali gadis itu pun sedang menoleh kepadanya sehingga mereka bertemu pandang sejenak. Tapi pertautan pandang mata mereka yang sejenak itu sudah cukup untuk dapat saling mengerti perasaan masing-masing. Mereka setuju untuk membantu Kadipaten Cirebon. Sebab itu tanpa ragu-ragu lagi Aji lalu berkata dengan sembah.

“Hamba berdua siap membantu dan melaksanakan perintah paduka, gusti pangeran.”

Adipati itu tampak gembira bukan main. “Bagus! Terima kasih, anakmas Lindu Aji dan Nini Sulastri. Lalu, berapa banyak prajurit yang kalian butuhkan?”

“Hamba berdua tidak akan membawa pasukan, gusti. Jika membawa pasukan, tentu akan mudah ketahuan sehingga gerombolan itu dapat bersiap-siap, bersembunyi atau bahkan menjebak kami. Kami akan melakukan penyelidikan berdua saja dan akan berusaha untuk menangkap pemimpin gerombolan itu. Kalau pemimpinnya sudah dapat ditangkap, hamba kira para anak buahnya tidak akan merajalela lagi dan mudah untuk dibasmi.”

“Berdua saja? Apakah tidak berbahaya? Nini Sulastri, bagaimana pendapat andika?”

“Pendapat hamba sama dengan pendapat Kakang-mas Aji, gusti. Dengan bekerja berdua saja, kami akan lebih mudah menyusup ke sarang mereka dan lebih leluasa bergerak.”

Sang adipati mengangguk-angguk, “Hebat! Kami kagum akan keberanian dan semangat kalian orang-orang muda. Mengingatkan kami puluhan tahun yang lalu ketika kami masih muda. Ah, petualangan-petualangan semacam inilah yang membangkitkan semangat dan gairah hidup. Menghadapi bahaya, rintangan, ancaman, dan tantangan kemudian berhasil mengatasi semua itu. Alangkah indahnya! Kalau begitu katakan sekarang, apa saja yang kalian perlukan untuk bekal pelaksanaan tugas yang sangat berat ini, dan kami pasti akan mengadakannya untuk kalian.”

“Hamba menghaturkan banyak terima kasih, gusti Pangeran. Tetapi sesungguhnya hamba berdua tidak membutuhkan apa pun,” kata Sulastri.

“Benar, gusti Pangeran. Hamba berdua hanya membutuhkan doa restu paduka,” sambung Aji dengan suara sungguh-sungguh. Sang Adipati mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Tentu, tentu. Kami akan selalu berdoa semoga Gusti Allah melindungi andika berdua dan akan membimbing andika sehingga tugas berat ini dapat andika laksanakan dengan hasil baik. Nah, kalau begitu berangkatlah sekarang juga. Kasihan rakyat kami di pinggiran jika kekacauan ini dibiarkan berlarut-larut.”

“Sendika, kami nyuwun pangestu, gusti.” kata Aji dan Sulastri sambil menyembah. Sang adipati melambaikan tangan dan keduanya lalu keluar dari ruangan paseban.

Begitu mereka tiba di pintu gerbang kadipaten, dua orang prajurit yang menuntun dua ekor kuda menghadang mereka dan memberi hormat lalu berkata, “Kami diperintahkan Gusti Pangeran Ratu untuk menyerahkan dua ekor kuda ini kepada andika berdua.”

Aji saling pandang dengan Sulastri kemudian kedua orang muda ini tertawa senang. Jalan pikiran mereka sejalan. Jika bicara tentang kebutuhan mereka pada saat itu, yang mereka butuhkan memang dua ekor kuda sehingga mereka dapat melakukan perjalanan menuju pegunungan Cireme dengan cepat. Mereka mengucapkan terima kasih, lalu mencengklak kuda masing-masing dan melarikan kuda keluar dari Kadipaten Cirebon.

Menjelang senja sampailah mereka di sebuah dusun yang berada di kaki gunung Cireme, yaitu dusun kecil yang disebut Dusun Kapayun. Karena di dusun sekecil itu tidak terdapat warung makan mau pun penginapan, Aji dan Sulastri langsung mencari rumah pamong dusun atau kepala dusun itu.

Semua orang menunjuk pada sebuah rumah yang lebih besar dari pada sekitar tiga puluh rumah yang berada di dusun itu. Ki Sajali, lelaki berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis panjang yang menjadi pamong dusun Kapayun, menyambut dua orang muda itu dengan sinar mata penuh curiga. Sinar matanya memandang penuh selidik kepada dua orang muda yang sedang menambatkan kuda mereka di sebatang pohon di pekarangan rumahnya. Sesudah menambatkan kuda, Aji dan Sulastri melangkah menuju ke pendapa dan disambut oleh laki-laki yang tinggi kurus itu.

Aji membungkuk dengan hormat kemudian bertanya, “Maafkan kami, paman. Kami ingin bertemu dengan Paman Sajali yang menjadi pamong dusun ini.”

“Hm, siapakah andika dan ada keperluan apakah maka hendak bertemu dengan pamong dusun?”

Mendengar pertanyaan yang dilakukan dengan sikap kasar dan galak itu, Sulastri menjadi tidak sabar lagi dan menjawab dengan galak pula, “Kami adalah orang-orang kepercayaan dan utusan Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk membasmi gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!”

Orang itu tampak terkejut, matanya terbelalak dan sikapnya berubah hormat, “Ah, kiranya andika berdua adalah utusan Gusti Pangeran Ratu? Mohon maaf atas sikap saya tadi, denmas dan denroro! Saya adalah Ki Sajali, pamong dusun ini.”

Melihat Ki Sajali bersikap hormat, Aji segera berkata dengan lembut pula. Bagaimana pun juga dia dan Sulastri membutuhkan bantuan kepala dusun itu untuk diberi makan malam dan tempat peristirahatan malam itu. “Maaf, Paman Sajali. Sebetulnya bahwa kami berdua adalah utusan Gusti Pangeran Ratu yang mengemban tugas untuk membasmi gerombolan pimpinan Munding Hideung yang mengganas di sekitar Gunung Cireme. Karena kami kemalaman di sini, maka saya mohon paman suka menampung kami untuk semalam ini. Saya bernama Aji dan nona ini adalah Sulastri.”

“Ah, silakan, silakan, denmas aji dan denroro Sulastri! Saya merasa girang dan mendapat kehormatan besar sekali andika berdua sudi bermalam di sini. Mari silakan masuk, barang kali andika berdua ingin mandi-mandi dan mengaso dulu. Saya akan menyuruh orang agar mempersiapkan makan malam.”

“Wah, tidak usah terlalu merepotkan paman.” kata Aji agak rikuh.

“Tidak, sama sekali tidak repot, denmas!” Kepala dusun itu melangkah masuk diikuti dua orang muda itu.

Mereka mendapat dua buah kamar dan dengan ramah Ki Sajali mempersilakan mereka untuk mandi di sebuah kamar yang berada di belakang, lalu meninggalkan mereka untuk mempersiapkan makan malam.

Aji dan Sulastri memasuki kamar masing-masing. Kamar yang kecil sederhana tapi cukup lumayan untuk melewatkan malam itu karena di situ terdapat sebuah amben (dipan) yang bertilamkan tikar yang cukup bersih. Aji bersikap hati-hati, maka mereka mandi bergantian supaya dapat melakukan penjagaan atas barang-barang yang mereka tinggalkan di dalam kamar.

Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, mereka lalu keluar dari kamar, meninggalkan buntalan pakaian mereka kecuali senjata yang mereka bawa. Sulastri menggantungkan pedang Nogo Wilis di punggung sedangkan Aji menyelipkan Keris Nogo Welang di ikat pinggangnya. Mereka bertemu di luar kamar dan Sulastri berbisik.

“Mas Aji, engkau melihat sesuatu yang aneh?”

“Di rumah ini?”

“Di rumah ini dan di dusun ini.”

“Hemm, sikap Ki Sajali itu cukup mencurigakan. Tadinya dia bersikap angkuh, keras dan curiga. Sesudah dia tahu siapa kita, kemudian sikapnya berubah dan berlebihan, bahkan menjilat. Sikap seperti itu biasanya menyembunyikan niat tertentu yang tidak baik.”

“Aku melihat yang lebih aneh lagi.”

“Apa itu Lastri?”

“Apakah engkau tidak melihat di waktu pergi ke belakang untuk mandi tadi? Di rumah ini tidak tampak ada wanitanya. Semuanya laki-laki, bahkan aku melihat kesibukan di dapur juga dilakukan laki-laki dan mereka semua masih muda dan kelihatan kasar.”

“Ahh, sekarang aku ingat. Pantas ketika kita memasuki dusun dan bertanya-tanya tentang kepala dusun, aku merasa ada sesuatu yang kurang di dusun ini, yaitu tidak tampak ada wanita dan kanak-kanan di dusun ini.”

“Benar, bahkan tidak ada laki-laki tua. Semuanya laki-laki muda yang terlihat kasar. Inilah yang kuanggap aneh dan tidak wajar.” kata Sulastri.

Aji mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa girang karena perjalanannya ditemani seorang gadis seperti Sulastri yang ternyata selain digdaya, juga cerdik dan waspada.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)