ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-29


“Bagaimana kalau mereka menghidangkan minuman?”

“Sama saja, jangan diminum. Kita lihat saja nanti perkembangannya.”

“Engkau khawatir kalau mereka menggunakan racun, Mas Aji?”

“Orang-orang jahat tidak pantang menggunakan cara-cara yang licik dan jahat. Kita sudah mengalaminya sendiri ketika tertawan komplotan para antek Kumpeni Belanda itu. Karena kita tidak mengenal benar Ki Sajali dan keadaan di sini nampak mencurigakan, maka kita harus berhati-hati.”

Sulastri mengangguk-angguk, lalu berbisik, “Sstt, dia datang.”

Ki Sajali yang sekarang sudah berganti pakaian pula menghampiri mereka. “Denmas dan denroro sudah mandi? Ah, kenapa andika berdua membawa-bawa senjata pusaka? Saya hanya ingin mengundang andika berdua untuk makan malam!”

Aji cepat menjawab, “Paman, kami berdua adalah pengemban-pengemban tugas penting yang selalu menhadapi bahaya dimana pun kami berada. Oleh karena itu terpaksa kami selalu membawa pusaka untuk melindungi diri kami.”

“Akan tetapi di sini andika berdua aman! Marilah kita makan dulu sebelum beitirahat. Tapi di dusun ini kami tidak dapat menyuguhkan makanan yang pantas untuk andika berdua.”

“Ahh, sambutan paman ini saja sudah cukup menyenangkan hati kami dan kami berterima kasih sekali,” kata Aji dan bersama Sulastri dia segera mengikuti tuan rumah itu menuju ke ruangan makan yang berada di bagian kiri rumah.

Ketika mereka memasuki ruangan yang diterangi tiga lampu gantung yang cukup besar itu, mereka melihat di ruangan yang luas itu ada sebuah meja besar yang penuh dengan masakan sayur-sayuran, daging ayam dan daging kambing! Cukup mewah bagi suguhan di dusun kecil yang sunyi itu. Juga masakan-masakan itu masih mengepulkan uap, tanda bahwa masakan itu masih hangat. Nasinya dalam bakul juga putih dan masih hangat.

Dua orang muda-mudi itu dipersilakan duduk bersanding, berhadapan dengan tuan rumah terhalang meja yang penuh hidangan itu. Agaknya hal itu memang sudah diatur. Di depan mereka terdapat dua gelas minuman air teh. Akan tetapi di depan Ki Sajali tidak tersedia gelas terisi minuman teh, melainkan terdapat sebuah kendi besar hitam mengkilap.

“Mari denmas dan denroro, silakan makan seadanya!” Ki Sajali mempersilakan dua orang tamunya.

Aji dan Sulastri melihat ada dua orang lelaki muda bertubuh tinggi besar di dekat dinding, sikapnya seperti pelayan-pelayan yang siap menanti perintah. Sulastri melirik ke arah Aji. Gadis ini bersikap hati-hati. Dia tidak mau sembarangan mengambil makanan, melainkan hendak menanti apa yang akan diperbuat kawannya itu.

“Silakan paman mengambil lebih dahulu,” kata Aji dengan sikap menghormati tuan rumah yang lebih tua.

Ki Sajali tersenyum. “Harap andika berdua tidak malu-malu,” katanya dan dia pun mulai mengambil nasi di atas piringnya.

Diam-diam Aji dan Sulastri mengusap piring kosong mereka dengan jari tangan supaya merasa yakin bahwa piring mereka itu bersih dari olesan atau taburan racun. Juga mereka menggunakan ketajaman penciuman mereka. Piring mereka bersih. Kini barulah mereka berani mengambil nasi seperti yang dilakukan tuan rumah dan sengaja menyendok nasi di bekas yang disendok tuan rumah. Demikian pula cara mereka mengambil masakan.

Selalu mengambil sayuran atau daging yang lebih dulu diambil tuan rumah. Bahkan ketika mereka mulai makan pun, mereka selalu menyentuh dan makan hidangan setelah melihat tuan rumah memakannya. Sikap hati-hati mereka itu agaknya tidak diketahui Ki Sajali dan mungkin dia menganggap kecanggungan dua orang tamu mudanya itu karena rikuh dan malu-malu.

Setelah selesai makan, Ki Sajali mempersilakan dua orang tamunya untuk minum air teh mereka. Dia sendiri minum dari kendinya dengan mengucurkan air dari mulut kendi yang langsung diterima oleh mulutnya yang menganga.

Melihat ini Aji segera mengedipkan mata kepada Sulastri, kemudian mengerling ke arah kendi yang digunakan tuan rumah untuk minum. Sulastri mengangguk.

Ki Sajali menurunkan kendinya ke atas meja. Melihat dua orang tamunya belum minum air teh yang disediakan untuk mereka, dia kembali mempersilakan. “Mari, silakan minum air tehnya, denmas dan denroro, selagi masih hangat.”

Aji tersenyum dan berkata, “Paman Sajali, melihat paman minum air kendi itu kelihatannya segar sekali sehingga membuat saya ingin sekali minum air kendi itu pula!” Dia menuding ke arah kendi besar itu.

“Aku juga demikian! Kelihatan sejuk dan segar sekali!” kata Sulastri sambil memandang kendi besar itu penuh gairah.

“Ahh, begitukah? Silakan!” kata Ki Sajali.

Aji mengambil kendi itu lalu menyerahkannya kepada Sulastri. Karena yakin bahwa minum air kendi itu tentu aman, seperti yang telah dilakukan oleh Ki Sajali, maka dia membiarkan Sulastri minum lebih dulu.

Tanpa ragu lagi Sulastri mengangkat kendi, mengucurkan air dari mulut kendi ke mulutnya yang dibuka sedikit tidak seperti Ki Sajali tadi yang mulutnya dingangakan lebar. Setelah minum beberapa teguk air kendi, Sulastri bangkit dari duduknya, meletakkan kendi ke atas meja, lalu dia memegangi perutnya dan terhuyung, menabrak kursi yang tadi didudukinya sehingga kursi itu terpelanting.

“Lastri...!” Aji cepat-cepat bangkit lalu memegang lengan gadis itu untuk menjaganya agar jangan sampai jatuh. Dia lalu menarik gadis itu dan didudukkan di kursinya sendiri.

Sulastri terkulai, kepalanya di atas meja dan kedua tangannya menekan-nekan perutnya. “Aduh... perutku... di ulu hati... nyeri dan perih... panas...!”

Aji menendang kursi yang menghalanginya dan dia sudah melompati meja, tiba di dekat Ki Sajali dan memegang pergelangan tangan orang itu. Seketika dia paham apa yang terjadi. Air kendi itu dicampuri racun! Kalau tadi Ki Sajali dapat minum dan tidak keracunan, tentu dia telah menelan obat penawarnya.

“Tentu engkau telah menaruh racun dalam air kendi itu!” bentak Aji sambil mencengkeram pergelangan tangan Ki Sajali dengan kuatnya. “Cepat keluarkan obat penawarnya!”

Akan tetapi tiba-tiba Ki Sajali bangkit sambil tangan kanannya bergerak memukul ke arah kepala Aji. Angin yang berdesir menunjukkan bahwa orang tinggi kurus ini memiliki tenaga yang hebat juga! Dan pada saat itu pula dua orang laki-laki muda yang tadi berdiri di dekat dinding dan bersikap sebagai pelayan, segera berlompatan mendekat sambil memegang pisau belati dan langsung menyerang Aji! Melihat gerakan mereka, jelas bahwa dua orang ini pun bukan orang-orang lemah.

Melihat serangan Ki Sajali itu, Aji menangkis dengan tangan kirinya lalu mendorong dada Ki Sajali sehingga laki-laki setengah tua itu terjengkang dan jatuh terguling. Pada saat itu serangan dua orang yang bersenjata pisau belati telah menyambar. Aji mengelak dengan loncatan ke kiri, kemudian sebelum dua orang itu sempat menyerang lagi, dari samping dia mengayun kedua tangannya menampar.

“Plakk...! Plakk!”

Dua orang itu terpelanting roboh. Pada saat mereka bergerak untuk bangkit, Aji mengayun kakinya dua kali menendang hingga mengenai tangan mereka yang memegang pisau.

Dua orang muda itu berteriak kesakitan. Pisau belati mereka terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Agaknya mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah orang yang sakti, maka mereka cepat-cepat merangkak lalu melarikan diri.

Aji melihat Ki Sajali telah bangkit dan melarikan diri pula. Cepat dia melompat dan berhasil menangkap tengkuk orang itu, kemudian menekannya sehingga tubuh Ki Sajali terpaksa berjongkok. Dengan tangannya yang terisi tenaga sakti Aji menekan tengkuk itu.

“Aduhh... aduhhh...!” Ki Sajali mengeluh kesakitan, merasa tengkuknya seperti dijepit catut baja yang amat kuat.

“Cepat serahkan obat penawar itu!” Aji membentak lagi sambil memperkuat cengkeraman tangannya pada tengkuk itu.

“Aduhhh... baik... baik... akan tetapi... lepaskan...“ keluh Ki Sajali yang wajahnya menjadi pucat sekali saking nyerinya.

Aji melepaskan cengkeramannya sehingga Ki Sajali bisa bangkit berdiri, kedua tangannya memegangi leher dan dengan terengah-engah menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Dia meraba-raba ikat pinggangnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan putih, lalu menyerahkan botol kecil itu kepada Aji.

“Bagaimana cara menggunakannya?” tanya Aji.

“Minumkan semua maka dia akan segera sembuh.”

“Awas, kalau engkau membohongiku maka engkau akan dihukum seberat-beratnya,” kata Aji dan dia pun cepat-cepat menghampiri Sulastri yang masih terduduk dengan kepalanya menelungkup di atas meja berbantal lengan. Dia tampak pucat dan lemah, napasnya agak terengah-engah.

Ketika Aji duduk di atas kursi mendekati Sulastri, dia mendengar gerakan di belakangnya. Cepat dia menengok dan melihat Ki Sajali membuat gerakan melarikan diri. Disambarnya kendi yang berada di atas meja dan sekali menggerakkan tangan, kendi itu telah terlontar ke arah Ki Sajali yang melarikan diri.

“Wuuuttt...! Prakkkk!”

Kendi itu menghantam kepala Ki Sajali sehingga pecah berantakan. Air kendi muncrat dan tubuh Ki Sajali terpelanting roboh. Dia mengaduh dan merintih-rintih sambil berusaha untuk bangkit. Dengan beberapa langkah saja Aji sudah mendekatinya.

“Manusia jahat, engkau hendak melarikan diri? Tunggu, kau tidak boleh pergi ke mana pun juga sebelum Sulastri sembuh dari keracunan. Kau harus bertanggung jawab. Benarkah obat ini akan dapat menyembuhkan dia? Jawablah yang benar, atau aku terpaksa harus menyakitimu!” Aji mencengkeram lengan kanan Ki Sajali sedemikian kuat sehingga orang itu merasa tulang lengannya seperti remuk.

“Aduh...! Ampuuun...! Obat... obat itu akan menyembuhkan dia...” Ki Sajali meratap.

Aji cepat melepaskan lengannya dan kembali menghampiri Sulastri. Kini dia merasa yakin bahwa Ki Sajali pasti tidak akan berani berbohong setelah mendapat hajaran keras itu. Dia membantu Sulastri, menengadahkan kepalanya dan membuka mulut gadis itu dengan tangan kirinya.

Sulastri tidak pingsan, melainkan merasa lemas dan pening. Akan tetapi dia masih sadar bahwa Aji sedang berusaha menolongnya, karena itu dia menurut saja ketika kepalanya didongakkan dan mulutnya dibuka. Dia pun menelan saja ketika isi botol itu dimasukkan ke dalam mulutnya.

Tidak lama kemudian Sulastri membungkuk lantas muntah-muntah. Semua makanan dan air yang mengandung racun tadi juga ikut tumpah keluar semua dari dalam perutnya. Aji membantunya dengan memijit-mijit tengkuknya, mengurut punggungnya sampai semua isi perutnya dimuntahkan.

Tubuh gadis itu penuh keringat. Akan tetapi setelah muntah-muntah, peningnya hilang dan ulu hatinya tidak nyeri lagi. Kini dia merasa ringan dan lemas. Aji menggandengnya lalu didudukkan di kursi yang agak jauh dari meja itu. Sulastri duduk sambil mengusap peluh dari dahinya.

“Bagaimana rasanya, Lastri?”

Gadis itu tersenyum. “Rasanya sudah sembuh, Mas Aji. Kepalaku tidak pening lagi, juga perutku tidak nyeri lagi. Racun itu pasti sudah keluar semua. Aku hanya merasa lemas... ehh, mana dia manusia jahanam itu? Aku harus membunuhnya! Dia berani meracuni aku, keparat!” Sulastri bangkit dengan cepat, tetapi karena tubuhnya terasa lemas, dia segera terhuyung.

Aji cepat merangkul dan membantunya duduk lagi, lalu menengok ke arah di mana tadi Ki Sajali berada. Akan tetapi orang itu ternyata telah pergi.

Agaknya Ki Sajali menggunakan waktu selagi Aji menolong Sulastri tadi. Diam-diam dia segera melarikan diri dari rumah itu.

“Hemm, keparat itu telah melarikan diri,” kata Aji.

“Kejar dia, Mas Aji. kejar dan tangkap dia. Orang itu harus dipaksa mengaku, siapa yang berada di belakangnya dan dia harus dibunuh!” Suara Sulastri masih lantang galak walau pun tubuhnya sedang lemas.

“Percuma, Lastri. Dia sudah melarikan diri keluar dari rumah ini. Tentu akan sangat sukar menemukannya di tempat gelap. Lagi pula aku tidak mau meninggalkanmu seorang diri di sini selagi engkau masih dalam keadaan lemah seperti ini. Mari, engkau harus beristirahat di kamarmu itu. aku akan mencari beras dan membuatkan bubur untukmu. Engkau lemas karena perutmu kosong sama sekali.”

Aji membantu Sulastri bangkit berdiri, lalu memapahnya ke dalam, mengantarnya masuk ke dalam kamar yang disediakan untuknya. Untung bahwa di kamar itu dipasangi lampu-lampu yang cukup terang, seperti juga di ruangan lain dalam rumah itu,.

Sesudah Sulastri merebahkan tubuhnya, Aji lalu mengeluarkan sehelai kain dari buntalan pakaian gadis itu dan menyelimutinya. Ia menepuk-nepuk pundak Sulastri sambil berkata. “Kasihan sekali engkau, Lastri. Dua kali berturut-turut engkau diracuni orang sehingga keselamatan dirimu terancam maut dan engkau menderita sekali.”

Sulastri menyentuh tangan Aji yang menepuk-nepuk pundaknya dan dia tersenyum. “Dan untuk kedua kalinya pula engkau yang menolong dan menyelamatkan aku, kakang-mas Aji.”

“Akan tetapi engkau pun tahu bahwa engkau dua kali keracunan adalah karena melakukan perjalanan bersama aku. Akulah yang menyebabkan engkau diserang orang jahat.”

“Sudahlah, apa kau kira aku akan diam saja dan tidak berusaha sekuat kemampuan untuk menolongmu jika engkau yang terancam bahaya seperti yang kau lakukan tehadap diriku ini? Kita melakukan perjalanan bersama, harus menghadapi segala bahaya bersama pula. Bukankah begitu?”

Aji tersenyum dan memandang kagum. Dalam keadaan nyaris tewas dan baru saja lolos dari maut, gadis itu sudah bersikap sedemikian tabah dan gagahnya. “Sulastri, engkau... seorang gadis yang hebat! Mengasolah, aku akan membuatkan bubur untukmu,” katanya.

Dia lalu keluar dari dalam kamar itu, memeriksa semua jendela dan pintu, baik di belakang mau pun di depan. Dipalangnya semua jendela dan pintu.

Setelah memeriksa seluruh ruangan di dalam rumah itu dan merasa aman meninggalkan Sulastri seorang diri di kamarnya, Aji lalu masuk ke dalam dapur. Dia mendapatkan prabot dapur yang cukup lengkap dan dapat menemukan beras dan garam. maka dengan girang dia lantas memasak bubur secukupnya untuk Sulastri. Pada saat melakukan pekerjaan ini dia selalu waspada, menggunakan ketajaman pendengarannya untuk menjaga keamanan Sulastri yang berada di dalam kamarnya.

Sesudah buburnya matang, dia membawa makanan itu dalam sebuah mangkok besar ke kamar Sulastri. Gadis itu ternyata tidak tidur, sedang rebah telentang memandang ke atap kamar. Dia tersenyum ketika Aji memasuki kamar itu sambil membawa semangkok bubur panas dan sendoknya.

“Ahh, Mas Aji. Engkau membuat aku merasa malu sekali.” kata gadis itu sambil bangkit duduk. Dia tidak begitu lemas lagi dan sudah dapat bangkit duduk sendiri tanpa bantuan. Aji duduk di atas sebuah bangku dekat pembaringan.

“Kenapa engkau merasa malu kepadaku, Sulastri?” tanyanya heran. “Kalau engkau masih lemas, mari kusuapi, jangan malu-malu.”

“Jangan, mas. kesinikan, aku dapat makan sendiri.” Sulastri menerima mangkok bubur itu dengan tangan gemetar.

“Masih agak panas, Lastri. Ditiup dulu agar lebih dingin.”

“Mas Aji, bagaimana aku tidak menjadi malu. Keadaan kita sungguh terbalik. Masa malah engkau yang melayani aku, memasakkan bubur untuk aku? Mestinya wanita yang sibuk di dapur membuat masakan!”

“Ahh, kenapa engkau berpendapat seperti itu, Lastri? Dalam keadaan seperti ini, mengapa kita harus bersikap sungkan-sungkan lagi? Engkau keracunan, bahkan hampir saja tewas. Keadaanmu masih lemah, tentu saja harus aku yang membuatkan bubur untukmu! Dalam keadaan darurat seperti ini tidak ada perbedaan antara tugas seorang lelaki atau seorang perempuan. Sekarang makanlah, aku akan melakukan pemeriksaan dan penjagaan di luar untuk menjaga segala kemungkinan.”

“Mas Aji!” Sulastri memanggil ketika Aji sudah bergerak ke pintu kamar.

Aji berhenti melangkah dan menoleh. “Ada apakah, Lastri?”

“Aku berpendapat bahwa tuan rumah ini tentu mempunyai hubungan dengan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung. Ketika dia mendengar bahwa kita bertugas menumpas gerombolan itu, dia lalu turun tangan hendak membunuh kita.”

“Akan tetapi dia kepala dusun ini...” kata Aji meragu.

“Itu menurut orang-orang yang kita tanyai di dusun ini. Ingat, di dusun ini kita tidak melihat wanita atau kanak-kanak, hanya ada laki-laki muda. Siapa tahu mereka semua itu adalah anak buah gerombolan yang sedang kita selidiki.”

“Aku sependapat denganmu, Lastri. Akan tetapi malam ini kita tidak bisa berbuat apa-apa. Malam gelap sekali dan kita tidak mengenal medan. Makanlah lalu beristirahatlah. Engkau perlu menghimpun kembali tenagamu karena besok kita tentu akan menghadapi ancaman mereka. Aku akan melakukan pengintaian di luar pondok.”

“Baiklah, mas Aji. Akan tetapi berhati-hatilah.”

Aji melangkah keluar, ada pun Sulastri mulai menyendok dan makan buburnya yang masih hangat. Setelah menghabiskan semangkok bubur tubuhnya mulai pulih dan sehat kembali, tidak terlalu lemas seperti tadi. Dia lalu duduk bersila dan menghimpun tenaga sakti untuk memulihkan keadaan tubuhnya.

Sementara itu, Aji membuka daun pintu depan dengan hati-hati. Di luar pondok gelap dan sunyi, bahkan rumah-rumah dalam perkampungan itu tampak gelap sekali. Tidak ada sinar lampu sama sekali dari sekeliling pondok milik kepala dusun itu. Agaknya semua rumah di dusun itu tidak memasang lampu! Atau Ki Sajali yang memerintahkan semua penduduk agar memadamkan lampu di rumah mereka?

Dia menyelinap keluar dengan cepat, lalu menutupkan kembali daun pintu rumah dari luar. Lebih dulu dia membiasakan pandang matanya dengan kegelapan di luar rumah. Lambat laun tampaklah kelap-kelip beberapa kelompok bintang di langit dan pandangan matanya mulai terbiasa dengan kegelapan di luar. Dia lalu melangkah perlahan-lahan dan berjalan mengelilingi pondok itu sambil memperhatikan keadaan sekeliling. Sunyi saja di luar. Tidak terdengar suara manusia, sesepi kuburan!

Aji mendapat perasaan bahwa dusun itu sudah ditinggalkan dan agaknya malam itu tidak ada lagi seorang pun berada di sini! Setelah melakukan pengamatan selama hampir dua jam, Aji masuk lagi ke dalam pondok dan dia menghampiri kamar Sulastri, membuka daun pintu kamar perlahan-lahan. Lampu kecil itu masih bernyala di atas meja dalam kamar dan dia melihat gadis itu rebah miring. Mangkok bubur kosong berada di atas meja.

Aji tersenyum lega. Gadis itu sudah menghabiskan bubur dan dari pernapasannya yang lembut itu dia dapat mengetahui bahwa Sulastri sudah tertidur pulas! Dengan hati-hati dia keluar dan menutupkan kembali daun pintu kamar, lalu dia duduk di atas sebuah kursi di ruangan dalam. Dari situ dia dapat melihat ke pintu kamar yang ditiduri Sulastri.

Karena maklum bahwa keadaan mereka terancam bahaya, maka Aji tidak tidur, melainkan duduk di atas kursi dengan bersila seperti orang sedang bersamadhi. Biar pun pemuda ini memejamkan sepasang matanya namun dia sama sekali tidak tidur, bahkan dia waspada sekali. Semua panca inderanya bekerja sepenuhnya, bahkan amat peka, terutama sekali pendengarannya. Sedikit saja ada suara yang tidak wajar pasti akan dapat didengarnya dan semua urat syarafnya siap bergerak menghadapi segala macam keadaan darurat dan bahaya.

Ketika sudah jauh lewat tengah malam, tiba-tiba Aji terkejut. Biar pun amat lirih, dia dapat mendengar berkesiurnya angin dari arah belakangnya. Dia memang duduk menghadap ke arah pintu depan dan membelakangi kamar di mana Sulastri tidur. Dengan cepat dia pun memutar lehernya dan menengok.

Alangkah herannya ketika dia melihat ternyata Sulastri yang mengakibatkan berkesiurnya angin lembut itu. Gadis itu sedang menghampirinya dan tubuhnya seperti bayangan saja, demikian ringan dan gesit. Dia merasa kagum sekali. Jelas dapat dia ketahui bahwa gadis itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang hebat.

“Kiranya engkau, Lastri? Mengapa engkau bangun? Malam sudah larut, tidurlah lagi dan jangan bangun sebelum pagi.”

Gadis itu memandang Aji dengan sinar mata menyatakan kekagumannya yang tidak dia sembunyikan.

“Ah, Kakang-mas Aji! Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku untuk meringankan tubuh, namun tetap saja engkau dapat mengetahui kedatanganku. Tadinya aku hendak mengejutkanmu, akan tetapi aku kecelik.”

Aji bangkit berdiri dan tersenyum memandang gadis itu. “Aku cukup mendapat kejutan, Lastri, kejutan yang menggembirakan. Gerakan dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau telah sembuh dan tenagamu sudah pulih sama sekali. Syukurlah, Lastri. Tetapi mengapa engkau sudah bangun? Tidurlah kembali.”

“Tidak! Aku sengaja bangun untuk menggantikanmu, mas Aji. Sekarang engkaulah yang harus istirahat, biar aku menjaga di sini.”

“Tidak perlu, Lastri. Aku berjaga di sini juga sambil beristirahat.”

“Tetapi engkau perlu tidur agar besok pagi tubuhmu segar untuk bersamaku menghadapi gerombolan. Hayo, pergilah ke kamarmu dan tidur. Akulah yang akan melanjutkan tugas berjaga di sini.”

“Tapi Lastri...”

“Tidak ada tapi, Mas Aji. Kalau engkau menolak, hatiku akan merasa tidak senang karena berarti engkau tidak menghargai kerja sama dengan aku. Hayo, pergilah mengaso!”

Melihat kesungguhan gadis itu, Aji terpaksa menurut karena dia maklum bahwa Sulastri benar-benar akan merasa tersinggung dan akan marah kalau dia berkeras menolak. Lagi pula, menyaksikan gerakan gadis itu yang tubuhnya begitu gesit dan ringan, dia percaya bahwa Sulastri akan mampu menghadapi ancaman yang bagaimana pun juga. Dia pun pergi ke kamarnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia pun merebahkan dirinya dan sebentar saja dia sudah tenggelam dalam tidur yang pulas.....

********************

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Aji sudah bangun kemudian keluar dari kamarnya. Untung bahwa di dalam bak kamar mandi di rumah itu masih tersedia banyak air sehingga Aji dan Sulastri bisa mandi sepuasnya. Setelah mandi dan sarapan bubur, mereka berdua membuka pintu depan dan memandang ke luar.

Cuaca masih remang-remang dan keadaan dusun itu sunyi sekali. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago di sana sini dan burung-burung gereja berceloteh riang. Mereka berdua keluar dari dalam rumah, buntalan pakaian mereka telah bertengger di punggung masing-masing.

Ketika mereka mencari-cari, ternyata seperti yang sudah mereka duga dan khawatirkan, dua ekor kuda tunggangan mereka yang kemarin sore mereka tambatkan pada batang pohon di pekarangan rumah, kini sudah tidak tampak. Dua ekor kuda mereka sudah dicuri orang!

“Jahanam keparat Ki Sajali itu!” Sulastri mengepal tangan kanannya. “Awas kamu, sekali tertangkap olehku, akan tahu rasa kamu!”

“Sabar dan tenanglah, Lastri. Agaknya kita berhadapan dengan gerombolan yang teratur, licik dan berbahaya. Lihat, dusun ini agaknya sudah kosong. Kurasa dugaanmu semalam tepat sekali. Dusun ini adalah perkampungan gerombolan dan kemungkinan besar mereka adalah anak buah gerombolan pimpinan Munding Hideung.”

“Barang kali Ki Sajali itu adalah pimpinan mereka,” kata Sulastri.

Aji menggelengkan kepalanya. “Kurasa bukan. Menurut keterangan Gusti Pangeran Ratu, pemimpin gerombolan Munding Hideung itu amat digdaya sehingga berulang kali serbuan pasukan Cirebon mengalami kegagalan. Sedangkan Ki Sajali kulihat tidak berapa tangguh. Mungkin dia hanya seorang di antara para pembantunya saja.”

“Mari kita kejar dan cari mereka, kakang-mas! Tanganku sudah gatal-gatal untuk segera menghajar mereka!” kata Sulastri yang merasa tidak sabar lagi. Kini gadis itu bukan hanya menjadi utusan Adipati Cirebon untuk membasmi gerombolan Munding Hideung, tapi juga hendak membalas dendam karena dia nyaris tewas oleh gerombolan itu.

“Nanti dulu, Lastri. Lihatlah, cuaca masih remang-remang, apa lagi di atas sana, di dalam hutan, tentu lebih gelap lagi. Amat berbahaya bagi kita untuk memasuki daerah yang asing itu dalam keadaan gelap. Gerombolan licik itu mungkin memasang jebakan-jebakan yang berbahaya. Kita tunggu sebentar sampai sinar matahari mengusir kegelapan dan halimun tebal ini.”

Sulastri tidak membantah karena ia pun melihat kebenaran pendapat Aji itu. Mereka duduk di atas bangku di depan pondok itu sambil menunggu munculnya sinar matahari. Sesudah sinar matahari mulai menyentuh tanah pedusunan itu barulah Aji berkata, “Lastri, mari kita memeriksa keadaan dusun ini sambil menanti matahari naik lebih tinggi.”

Mereka meninggalkan halaman rumah itu dan berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu. Benar seperti yang mereka sangka, tidak ada seorang pun manusia yang berada di dusun itu. Dusun itu telah ditinggalkan orang dan ternyata pondok-pondok itu pun isinya sangat sederhana. Setelah selesai memeriksa semua pondok yang telah kosong, matahari sudah menjadi semakin terang. Mereka siap untuk meninggalkan dusun itu dan mendaki gunung.

Akan tetapi, ketika mereka berjalan menuju ke pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan tampak sekitar dua puluh orang laki-laki yang memegang parang (golok) berserabutan memasuki dusun itu. Segera mereka mengepung Aji dan Sulastri!

Baru melihat cara mereka bergerak mengepung itu saja, Aji dan Sulastri sudah maklum bahwa mereka merupakan sekelompok orang yang terlatih dan merupakan pasukan yang tangguh. Di antara mereka yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang itu tampak pula Ki Sajali bersama seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan celana dan baju loreng terbuat dari kulit harimau loreng. Laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun itu memegang sebatang tombak yang berwarna hitam dan berlekuk-lekuk, mengerikan sekali.

Aji menudingkan telunjuk kirinya kepada Ki Sajali dan berkata dengan lantang. “Ki Sajali, kiranya dusun ini menjadi sarang gerombolan. tentu engkau dan semua penduduk dusun ini adalah kaki tangan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!”

Ki Sajali yang memegang sebatang golok tidak menjawab, akan tetapi laki-laki gagah yang memegang tombak itu yang menjawab dengan suaranya yang besar dan parau. “Baguslah kalau andika sudah tahu bahwa kami adalah Gerombolan Mundung Hideung! Dan aku, Ki Manggala, yang memimpin pasukan ini. Kalian anak-anak menyerah dan berlututlah agar dengan baik-baik kami bawa menghadap pimpinan kami!”

“Gerombolan busuk! Gerombolan licik! Kalian pengecut, hanya berani menggunakan racun dan main keroyokan! Ki Sajali, engkau telah berani meracuni aku, sekarang engkau harus menebus perbuatanmu yang curang dan keji itu!” bentak Sulastri dan secepat kilat tangan kanannya sudah mencabut Pedang Nogo Wilis.

Sinar kehijauan tampak menyilaukan mata dan gadis itu dengan gerakan yang cepat dan ringan sekali sudah melompat ke depan. Gulungan sinar hijau pedangnya menyambar ke arah leher Ki Sajali.

Orang tinggi kurus itu terkejut bukan kepalang melihat sinar hijau menyambar sedemikian dahsyatnya seperti kilat saja. Dia cepat menggerakkan goloknya menangkis, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga ikut menangkis sambaran sinar hijau itu.

“Trang-cring-trakkk...!”

Golok Ki Sajali terpental, juga golok kawannya yang berada di samping kirinya, tapi golok seorang lagi di sebelah kanannya, yang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk mematahkan pedang hijau itu, sebaliknya malah patah menjadi dua potong!

Pada saat itu orang yang mengaku bernama Ki Manggala, yang memimpin gerombolan itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan dia telah menusukkan tombak hitamnya ke arah dada Sulastri.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)