ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-30


Tombak itu terpental. Ki Manggala terkejut melihat bahwa yang menangkis dan membuat tombaknya terpental ternyata hanya sebatang keris yang digerakkan Aji untuk menangkis tombaknya tadi.

Sementara itu Sulastri sudah mengamuk, dikeroyok oleh Ki Sajali dan kawan-kawannya. Dikeroyok belasan orang itu, Sulastri sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dia seperti mendapat kegembiraan. Dengan penuh semangat dia bergerak ringan dan cepat bagaikan bayang-bayang, berkelebatan ke sana sini dan pedangnya digerakkan cepat sekali hingga berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Dalam waktu beberapa menit saja terdengar teriakan-teriakan yang disusul robohnya empat orang pengeroyok, menjadi korban Pedang Nogo Wilis.

Aji juga sudah dikeroyok. Mula-mula Ki Manggala menggerakkan tombaknya, menyerang secara bertubi-tubi, namun dengan mudah Aji dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan tombak itu. Tubuhnya begitu gesit seperti seekor burung alap-alap ketika dihujani serangan patukan ular, mengelak dengan cepat dan ringan sehingga serangan tombak itu selalu mengenai tempat kosong belaka.

Kemudian dia bergerak sambil membalas dengan tamparan tangan kirinya dan tendangan kedua kakinya silih berganti. Dia tidak menggunakan kerisnya karena Aji sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Tapi serangan balasan itu cukup hebat sehingga akhirnya Ki Manggala tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran kaki kiri Aji.

“Bukk!”

Pinggang Ki Manggala menjadi sasaran tendangan yang dilakukan dengan tubuh miring sehingga dia pun terpental dan roboh terbanting. Akan tetapi dia memang cukup tangguh. Dia melompat bangun lantas menyerang semakin ganas, kini dibantu oleh lima orang anak buahnya, sisa dari mereka yang mengeroyok Sulastri.

Terjadilah pertempuran yang hebat di dekat pintu gerbang perkampungan gerombolan itu. Sulastri mengamuk dan pedangnya bergerak semakin ganas, Gulungan sinar kehijauan itu menyambar-nyambar dan terdengar bentakan-bentakannya yang nyaring.

Lima belas orang yang mengeroyok kini tinggal delapan orang saja karena yang lain sudah roboh terluka oleh pedangnya. Ketika Sulastri mempercepat gerakannya, delapan orang termasuk Ki Sajali itu bergabung menjadi satu dan selalu main mundur. Demikian cepat gerakan pedang sinar hijau itu sehingga mereka hampir tidak memiliki kesempatan untuk menyerang!

Biar pun Ki Manggala merupakan lawan yang cukup tangguh dan masih dibantu lima orang pula, namun Aji merupakan lawan yang terlalu berat bagi mereka. Sambaran kaki Aji telah merobohkan dua orang pengeroyok sedang tangkisan Keris Nogo Welang sudah membuat buntung dua batang golok para pengeroyok. Ki Manggala menjadi gentar juga dan melihat betapa Ki Sajali yang mengeroyok gadis itu pun kini terdesak hebat bahkan banyak yang roboh mandi darah, Ki Manggala segera memberi aba-aba sambil melompat ke belakang untuk melarikan diri.

“Kita pergi...!” Dia sendiri sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Mendengar ini, para anak buah yang semenjak tadi memang sudah merasa gentar, segera berlompatan untuk melarikan diri meninggalkan kawan-kawan yang terluka. Ketika melihat Ki Sajali melarikan diri, Sulastri cepat-cepat membungkuk dan mengambil sebatang golok yang terlepas dari tangan anggota gerombolan yang telah dirobohkannya, kemudian sambil mengerahkan tenaganya, dia melontarkan golok itu ke arah Ki Sajali yang melarikan diri.

“Singgg...!”

Golok itu menyambar sambil mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya lontaran itu. Tanpa dapat dihindarkan lagi golok itu tepat mengenai punggung Ki Sajali dan menancap sampai setengahnya. Ki Sajali mengeluarkan teriakan mengerikan kemudian dia pun roboh menelungkup dan tewas seketika!

“Mari kita kejar mereka, Mas Aji!” seru Sulastri.

“Tunggu dulu, Lastri!” kata Aji.

“Tunggu apa lagi?” gadis itu mencela. “Jangan biarkan ada satu orang pun yang lolos. Kita harus membasmi mereka semua!”

“Mereka hanya anak buah, Lastri. Lebih baik kita mencari seorang yang dapat membawa kita ke sarang mereka dan bertemu dengan pimpinan mereka. Kita dapat memaksa salah seorang di antara mereka yang terluka itu.”

Pada saat itu, seorang di antara para anak buah gerombolan yang roboh terluka, bangkit berdiri dan dia melarikan diri. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi Aji melompat dan tiba di depan orang itu.

Ternyata orang itu tidak terluka. Tadi dia roboh pingsan ketika tengkuknya terkena pukulan tangan Aji dan sesudah siuman dia berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Aji sudah berada di depannya. Karena tidak melihat jalan lain, dia menjadi nekat dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Aji.

“Wuuuttt...! Plakkk!”

Tangan kanan yang memukul itu tertahan dan telah ditangkap tangan kiri Aji yang segera mengerahkan tenaga untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan itu.

“Aduhhh... aduhhh... ampun...!” Orang itu berteriak-teriak kesakitan.

Sulastri telah loncat mendekat kemudian pedangnya menodong lambung orang itu disusul bentakannya.

“Dengar! Engkau harus menunjukkan sarang gerombolan Munding Hideung kepada kami. Awas kalau engkau menipu kami, pedangku akan membuntungi semua kaki tanganmu!”

Merasa betapa ujung pedang itu menempel pada lambungnya, orang itu terbelalak dengan wajah pucat. Dia mengangguk-angguk sambil berkata dengan takut-takut. “Baik... baik... akan saya antar...!”

Sulastri menarik kembali pedangnya dan Aji melepaskan cengkeraman tangannya. Orang itu memijit-mijit pergelangan tangan kanannya yang masih terasa nyeri berdenyut-denyut.

“Hayo cepat antar kami ke sarang itu!” bentak pula Sulastri dan dengan wajah ketakutan orang itu lalu mengangguk-angguk dan berjalan mendaki lereng bukit.

Diam-diam Sulastri harus membenarkan pendapat Aji. Ternyata pendakian Gunung Cireme itu tidaklah mudah dan lerengnya penuh dengan hutan dan semak belukar. Tanpa penunjuk jalan mereka berdua tentu akan mendapat kesulitan untuk bisa menemukan jalan setapak yang membawa mereka naik ke atas. Lereng yang penuh dengan jurang-jurang curam dan jalannya melalui semak belukar dan licin sekali.

Namun anggota gerombolan yang menjadi penunjuk jalan itu agaknya sudah sangat hafal dengan keadaan di sana. Dia melangkah tanpa ragu. Agaknya dia mengambil jalan pintas karena hanya dalam waktu sekitar dua jam mereka sudah tiba di lereng paling atas, dekat puncak.

“Berhenti dulu!” kata Aji. Orang itu berhenti melangkah dan Sulastri memandang kepada Aji, tidak mengerti apa kehendak Aji menghentikan perjalanan mereka itu.

“Ada apakah, mengapa kita berhenti di sini?” Tanya Sulastri dan juga tawanan mereka itu memandang wajah Aji dengan sinar mata bertanya.

“Kita sudah hampir tiba di puncak, mengapa belum juga sampai di sarang kalian?” Tanya Aji kepada orang itu. “Sebenarnya di manakah sarang gerombolan itu? Jangan coba-coba untuk menipu kami!”

Orang itu menggelengkan kepala, apa lagi ketika Sulastri memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan penuh ancaman. Ia merasa lebih takut terhadap gadis itu dari pada Aji. Tadi dia sempat melihat betapa banyak kawan-kawannya yang mengeroyok gadis itu roboh dan mandi darah, terluka parah atau tewas, bahkan Ki Sajali juga tewas oleh gadis itu. Sedangkan para pengeroyok Aji yang roboh tidak ada yang terluka parah seperti dia, dan agaknya tidak ada yang tewas.

“Tidak, saya takkan berani menipu. Dahulu sarang kami memang berada di hutan sebelah bawah itu. Tapi setelah dua kali diserang oleh pasukan Kadipaten Cirebon, pimpinan kami lalu memindahkan sarang kami di lereng balik gunung ini, di seberang sebuah danau kecil yang terdapat di sana.”

“Cepat antar kami ke sana! Ingat, kalau engkau berani menipu kami, aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit tubuhmu agar engkau mati dengan tersiksa sekali!” bentak Sulastri.

Orang itu mengangguk lantas melanjutkan perjalanan. Aji mengerling kepada Sulastri dan mengerutkan alisnya.

Sebetulnya dia tidak setuju dengan sikap dan sepak terjang Sulastri yang demikian ganas, akan tetapi dia tidak berani menegurnya, maklum bahwa teguran akan membuat gadis itu marah dan tersinggung. Mereka berdua jalan berdampingan di belakang penunjuk jalan itu. Kini mereka menuruni lereng di balik gunung. Dari atas sudah tampak sebuah danau kecil di lereng bawah puncak. Air danau tampak berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai meninggi, putih seperti cermin.

“Di seberang danau itulah sarang kami yang baru!” kata penunjuk jalan itu.

Mereka bertiga menuruni puncak dengan cepat. Sesudah tiba di tepi danau, Aji bertanya, “Di mana sarang itu?”

Penunjuk jalan itu menunjuk ke seberang danau. Danau itu tidak serapa luas dan keadaan di situ sunyi sekali. Di seberang sana tampak hutan lebat.

“Bagaimana kita harus menyeberangi danau ini?” Tanya pula Aji.

“Tak ada jalan lain menuju ke sana kecuali dengan cara menyeberang. Biasanya terdapat perahu-perahu kami di sini. akan tetapi sekarang tidak nampak sebuah pun perahu. Tentu para pimpinan kami sudah mendengar dari teman-teman kami yang melarikan diri, maka mereka menarik semua perahu ke darat agar andika tidak dapat mendatangi sarang kami. Aku... aku takut. Apa bila Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas melihat bahwa aku sudah menjadi penunjuk jalan, mereka pasti akan menyiksa dan membunuhku.” Orang itu memandang ke arah seberang dengan muka pucat.

Aji memandang keadaan sekeliling danau. Memang tak ada jalan lain menuju ke seberang danau di mana terdapat hutan luas. Danau itu dikelilingi tebing yang tinggi sehingga untuk menuju ke hutan di seberang itu jalan satu-satunya hanyalah menyeberangi danau. Kalau mengambil jalan memutari tebing itu tentu akan makan waktu lama dan juga sangat sukar karena terdapat jalan setapak.

“Sarang kalian berada di hutan seberang danau itu?” tanyanya.

“Benar, denmas,” kata orang itu. “Lihatlah, itu ada asap mengepul. Tentu asap dari dapur umum kami.” Dia menuding ke seberang. Aji dan Sulastri melihat itu dan mereka percaya.

“Berapa banyaknya anggota gerombolan?” tanya Sulastri.

“Ada lima puluh orang lebih, den roro.”

“Siapa saja yang menjadi pemimpin mereka?” Aji bertanya.

“Pemimpin kami adalah Ki Munding Hideung dan adiknya, Ki Munding Bodas, dibantu oleh lima orang. Kami membangun pondok-pondok kayu di dalam hutan itu.”

Sementara itu matahari telah naik tinggi.

“Lastri, kita harus menyeberang,” kata Aji.

“Kurasa juga begitu. Akan tetapi dengan apa? Tidak ada perahu di sini.”

“Mudah saja. banyak bambu besar tumbuh di sana.” Aji menuding ke kiri.

Sulastri langsung maklum. “Heh kamu! Cepat tebang tiga batang pohon bambu besar dan buatkan rakit untuk kami!” bentaknya kepada orang itu.

Orang itu mengangguk. “Baik, denroro. akan tetapi... saya tidak punya alat menebang.”

Sulastri mencabut pedang Nogo Wilis. “Aku yang akan menebang, tapi engkau yang harus membuatkan rakit untuk kami!”

Setelah berkata demikian gadis itu lalu mengajak anak buah gerombolan itu menghampiri rumpun bambu. Dengan tiga kali sabetan saja, tiga batang bambu yang besar dan sudah tua segera tumbang. Sulastri lalu memotong-motong tiga batang bambu itu sesuai dengan petunjuk orang itu.

Karena orang itu memang ahli dalam pekerjaan itu, sebentar saja dia telah merampungkan pembuatan rakit yang kokoh, terdiri dari bambu-bambu disejajarkan dan diikat dengan tali bambu yang kuat.

Aji membantu anak buah gerombolan mengangkat rakit ke pinggir danau. Setelah mereka siap menyeberangi danau dengan rakit, orang itu memandang Aji dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

”Denmas... denroro... harap kasihanilah saya... saya tidak berani ikut... mereka tentu akan mencincangku melihat saya membawa andika berdua ke sana. Kasihanilah saya... jangan ajak saya ke sana...”

“Engkau harus ikut! Kalau engkau tidak ikut, bagaimana kami tahu apakah engkau menipu kami atau tidak? Hayo ikut kami menyeberang!” Sulastri membentaknya.

Orang itu ketakutan dan memandang Aji dengan sinar mata penuh permohonan.

“Ikutlah, aku akan melindungimu dari mereka,” kata Aji yang tidak bisa menyalahkan sikap Sulastri karena memang orang itu perlu ikut untuk menjamin bahwa dia tidak akan menipu mereka.

Mendengar ucapan Aji, anggota gerombolan itu tampak lega dan dia pun ikut naik ke atas rakit sambil membawa dua potong kayu yang dibentuk sebagai dayung. Dia menyerahkan sepotong kepada Aji, kemudian dua orang lelaki itu mulai menggerakkan dayung. Sulastri berdiri di depan sambil mengamati keadaan depan dengan waspada.

Karena rakit itu didayung dua orang dan tenaga Aji yang mendayung sangat kuat, rakit itu dapat meluncur cepat. Danau itu tidak terlalu besar sehingga sebentar saja rakit itu sudah hampir mencapai seberang.

Mendadak nampak bayangan banyak orang bermunculan dari balik batang-batang pohon lalu meluncurlah puluhan batang anak panah menyambar ke arah tiga orang yang berada di atas rakit!

Karena Sulastri berdiri di bagian depan rakit, tentu saja ia yang lebih dulu menjadi sasaran hujan anak panah itu. Dia memutar pedangnya dan tampak gulungan sinar hijau menjadi perisai, lalu semua anak panah yang menerjang perisai gulungan sinar hijau itu runtuh dan terlempar ke kanan kiri.

Melihat serangan anak panah ini, anak buah gerombolan yang ikut di rakit segera berseru ketakutan dan dia sudah melompat ke dalam air, berenang sekuatnya berusaha menjauhi pantai itu. Tetapi beberapa batang anak panah segera menyambar ke arahnya. Terdengar dia menjerit dan dia pun lantas tenggelam. Tampak gelembung-gelembung di permukaan air yang berwarna agak kemerahan.

“Putar terus pedangmu, Lastri!” kata Aji.

Pemuda ini lalu mengerahkan tenaganya mendayung sehingga rakit itu meluncur dengan cepatnya ke tepian danau. Anak panah semakin gencar meluncur dan menyerang, namun tiada sebatang pun mampu menerobos gulungan sinar hijau dari Pedang Nogo Wilis yang diputar cepat sekali olah Sulastri. Puluhan batang anak panah itu terlempar ke sana sini, banyak di antaranya patah ketika bertemu sinar hijau. Setelah rakit meluncur dekat, dalam jarak dua tiga meter dari darat, Aji berseru kepada Lastri.

“Lastri, ayo kita mendarat!” Aji melompat ke darat sambil memutar dayungnya, sedangkan Sulastri melompat sambil memutar pedangnya.

Mereka menangkis anak panah yang masih menyerang bagaikan hujan. Akhirnya mereka tiba dan berdiri di atas tanah. Tidak ada anak panah lagi menyerang, akan tetapi puluhan orang mengepung mereka. Orang-orang itu nampak terbelalak, kagum dan heran. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa yang ‘menyerbu’ sarang mereka itu hanya dua orang muda, yang seorang malah seorang gadis remaja!

Mereka tidak mau percaya begitu saja ketika mendengar laporan-laporan para anak buah yang melarikan diri dari dusun Kapayun. Tetapi sekarang mereka sudah melihat buktinya, juga melihat betapa gadis remaja itu mampu menangkis semua anak panah yang mereka lepaskan dengan pedangnya!

Yang berdiri paling depan adalah dua orang yang jelas merupakan pimpinan mereka. Aji dan Sulastri sudah mendengar dari anak buah gerombolan yang mereka tawan tadi siapa yang menjadi pemimpin mereka, maka mereka segera dapat menduga siapa adanya dua orang tinggi besar yang mengenakan pakaian seorang senopati yang gagah dan mewah. Selain pakaian mereka terbuat dari kain halus dan potongannya seperti pakaian seorang senopati, juga mereka memakai kalung dan gelang yang terbuat dari emas!

Begitu kakinya mendarat dan saling adu pandang dengan dua orang laki-laki tinggi besar itu, Sulastri segera bertolak pinggang dengan tangan kiri dan pedangnya kini menuding ke arah muka dua orang itu.

“Heh, kalian berdua manusia-manusia curang dan licik! Kelihatannya saja kalian ini gagah perkasa dan tinggi besar, tidak tahunya kalian hanya pengecut-pengecut besar yang kalau berhadapan dengan musuh beraninya menggunakan racun dan main keroyokan! Aku telah mengenal siapa kalian. Engkau yang mukanya hitam tentulah Si Kerbau Hitam (Munding Hideung) dan kamu yang bermuka putih tentulah Si Kerbau Putih (Munding Bodas). Hayo kutantang kalian untuk bertanding satu lawan satu! Kalau main keroyokan ternyata kalian memang hanya kerbau-kerbau tolol yang pengecut!”

Semua anggota gerombolan itu terbelalak. Selama hidupnya belum pernah mereka melihat seorang gadis remaja seberani dan segalak ini! Menantang Munding Hideung dan Munding Bodas! Dan menghina mereka lagi, menghina secara begitu keterlaluan dan tidak kepalang tanggung!

Bahkan Aji sendiri merasa betapa Sulastri sudah menghina orang secara berlebihan, akan tetapi tentu saja dia hanya diam dan waspada, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi diam-diam dia pun kagum karena dia dapat menduga bahwa kegalakan sikap Sulastri itu memang disengaja untuk memanaskan perut dua orang pemimpin gerombolan supaya mereka menyambut tantangannya demi harga diri mereka! Hal ini memperlihatkan betapa cerdiknya Sulastri.

Dugaan Aji memang tepat dan ternyata akal Sulastri itu pun berhasil baik. Wajah Munding Hideung yang hitam itu berubah menjadi semakin hitam dan wajah Munding Bodas yang putih itu kini tampak kemerahan. Dari sinar mata mereka tampak bahwa kedua benggolan perampok itu sudah marah bukan main mendengar ucapan Sulastri yang amat menghina mereka.

Dua orang kakak beradik Munding Hideung dan Munding Bodas adalah tokoh-tokoh yang mewarisi sudah aji kesaktian dari peninggalan Kerajaan Pajajaran. Guru mereka adalah mendiang Ki Mahesa Sura, seorang datuk yang berasal dari kerajaan Pakuwan (Bogor).

Mereka memang digdaya sehingga tidak aneh kalau dua kali serangan pasukan Cirebon berhasil mereka pukul mundur. Selain aji kanuragan, yakni ilmu pencak silat yang disertai penggunaan tenaga sakti, juga mereka mempelajari ilmu sihir dari mendiang guru mereka. Kakek dari Ki Mahesa Sura yang bernama Mahesa Badag, dulu terkenal sebagai seorang datuk Kerajaan Pakuwan yang kemudian merajalela sampai ke Kerajaan Pajajaran, sukar dicari tandingnya.

Mendiang Ki Mahesa Badag ini memiliki aji kesaktian yang bisa membuat dirinya berubah menjadi berbagai binatang buas. Dia dapat berubah menjadi seekor harimau, atau seekor kerbau liar yang amat ganas. Bertahun-tahun dia merajalela di Kerajaan Pajajaran.

Akhirnya dia bertemu juga dengan seorang lawan yang sakti mandraguna, yang bukan lain adalah Sunan Gunung Jati yang semula dikenal dengan banyak nama, antara lain Syekh Ibnu Molana atau Nurullah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Faletehan atau Tagaril. Dia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati karena setelah wafat dia dimakamkan di sebuah gunung yang disebut Gunung Jati dekat ibu kota Cirebon. Ketika kebetulan Sunan Gunung Jati berada di Kerajaan Pajajaran, dia bertemu dengan kakek bernama ki Mahesa Badag ini.

Mereka bertanding, kabarnya sampai sehari semalam lamanya hingga akhirnya Ki Mahesa Badag harus mengakui keunggulan Sunan Gunung Jati, penyebar agama baru Islam itu. Semenjak itu Ki Mahesa Badag mengundurkan diri ke Pegunungan Cireme sampai anak cucunya yang hidup sebagai petani juga tidak pernah meninggalkan Pegunungan Cireme.

Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada keturunannya, tetapi sesudah ilmu-ilmu itu dipelajari oleh dua orang buyutnya, yaitu Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas, ilmu-ilmu itu hanya tinggal kurang lebih setengahnya saja. Pada jaman itu seorang guru menurunkan ilmu kepada muridnya tidak sepenuhnya sehingga makin lama ilmu itu semakin merosot tingkatnya.

Meski demikian Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas masih mewarisi aji kesaktian yang cukup hebat, di antaranya mengubah diri menjadi harimau besar yang ganas! Maka tentu saja mereka menjadi marah bukan main ketika ada seorang gadis remaja menghina mereka di depan anak buah mereka.

Kemarahan membuat mereka menjadi lengah, kemarahan membuat mereka lupa betapa pembantu mereka, Ki Sajali dikabarkan tewas di tangan gadis ini dan dua puluh lebih anak buah mereka dibuat kocar-kacir, ada yang tewas dan ada yang terluka, sisanya melarikan diri lantas melapor kepada mereka berdua. Mereka lupa bahwa sekarang mereka sedang berhadapan dengan lawan yang sakti mandraguna. Mereka terlalu takabur, mengandalkan kekuatan sendiri dan memandang rendah kepada orang lain.

Dua kakak beradik itu saling pandang dan maklumlah mereka akan isi hati masing-masing bahwa mereka harus membunuh gadis remaja yang sudah melontarkan penghinaan yang amat menyakitkan hati mereka itu. Mereka berkemak-kemik membaca mantera, kemudian keduanya mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan. Bukan suara manusia lagi, melainkan suara harimau yang menggereng-gereng marah, lalu suara itu makin meninggi menjadi auman harimau yang menggetarkan hati.

Tiba-tiba mereka menurunkan kedua tangan ke atas tanah, seperti merangkak, berjungkir balik tiga kali dan dua orang kakak beradik itu seketika berubah menjadi dua ekor harimau sebesar anak lembu! Dua ekor harimau itu mengaum-aum, mendesis memamerkan taring dan mencakar-cakar tanah dengan kedua kaki depan sehingga membuat tanah dan batu berhamburan!

Tapi Sulastri tidak merasa gentar. Gadis itu melintangkan pedangnya dan siap melawan dua ekor harimau itu dengan pedangnya. Akan tetapi Aji lalu melangkah ke depan.

“Mundurlah, Lastri. Biarkan aku yang menghadapi permainan mereka ini!”

Aji segera maju menghadapi dua ekor harimau yang tampaknya menjadi semakin ganas itu. Auman mereka menggetarkan seluruh tepi danau, bergema dalam hutan di belakang mereka. Akan tetapi Aji tenang-tenang saja. Dia lalu membungkuk, meraup tanah dengan kedua tangannya dan menyambit dua ekor harimau itu dengan tanah yang digenggamnya.

“Demi Asma Gusti Allah, yang palsu akan lebur, dari tanah kembali menjadi tanah pula! Makhluk jadi-jadian, kembalilah kalian ke asalmu!”

Sambitan itu dengan tepat mengenai kepala dua ekor harimau yang mengaum-aum dan sungguh aneh. Begitu terkena hantaman tanah itu, dua ekor harimau besar yang kelihatan sangat liar dan kuat itu langsung roboh terguling-guling dan ketika mereka bangkit kembali, mereka sudah berubah menjadi Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Dua orang itu membelalakkan mata dan memandang kepada Aji dengan penuh kemarahan.

“Keparat!” bentak Ki Munding Hideung sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Aji dan Sulastri yang kini telah melangkah maju di samping Aji. “Katakan siapa kalian dan kenapa kalian berdua mambuat kacau di wilayah kami?!”

Dengan sikap tenang tapi suaranya lembut penuh wibawa Aji menjawab. “Benarkah kalian bernama Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas yang menjadi pimpinan gerombolan yang suka mengacau di Kadipaten Cirebon selama ini?”

“Benar, kamilah pimpinan gerombolan Munding Hideung! Siapa kalian?”

“Aku bernama Lindu Aji dan gadis ini adalah Sulastri. Kami berdua merupakan utusan dari Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menangkap kalian yang mendatangkan kekacauan.”

“Hoa-ha-ha-ha!” Ki Munding Hideung tertawa bergelak. “Adi Munding Bodas, kamu dengar ocehan bocah gila ini? Mereka hanya datang berdua tanpa pasukan dan katanya hendak menangkap kita. Ha-ha-ha...!”

Ki Munding Bodas juga tertawa bergelak.

“Heh, kalian dua ekor kerbau gila yang tolol! Apa kalian berani menerima tantanganku tadi untuk bertanding satu melawan satu? Atau kalian adalah pengecut-pengecut yang hendak melakukan pengeroyokan? Kalau begitu pun kami berdua tidak takut dan akan membasmi kalian semua!” bentak Sulastri.

“Gadis sombong! Aku yang akan menandingimu dan jika sampai engkau tertawan olehku, maka engkau harus menghiburku sampai aku merasa bosan dan membunuhmu!” teriak Ki Munding Bodas dan dia telah menerjang gadis itu menggunakan sebatang senjata ruyung, yakni sebuah penggada terbuat dari galih asem (bagian tengah pohon asam) yang diberi benjol-benjol runcing. Senjata yang menggiriskan ini sangat berat, akan tetapi Ki Munding Bodas bisa menggerakkannya dengan cepat seolah-olah senjata itu hanya seringan kayu. Angin mengiuk dan menyambar ketika dia menyerang Sulastri dengan ruyungnya.

“Wuuuttt...! Wesss!”

Dengan mudah pukulan ruyung ke arah kepala Sulastri itu dapat dielakkan gadis itu ke kiri dan dari bawah pedangnya mencuat lalu menusuk ke arah perut lawan.

Ki Munding Bodas kaget sekali melihat betapa serangannya dibalas secara langsung oleh gadis itu. Dia memutar pergelangan tangannya. Ruyungnya yang tadi luput menghantam kepala gadis itu membalik ke bawah dan menangkis pedang bersinar hijau itu. Ki Munding Bodas mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud hendak memukul patah pedang lawan atau setidaknya membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan Sulastri.

“Cringggg...!”

Meski ruyung itu hanya terbuat dari kayu asam, akan tetapi keras sekali dan bertemunya ruyung dengan pedang itu sampai menimbulkan bunga api yang berpijar.

Alangkah kaget hati Ki Munding Bodas ketika melihat bahwa pedang hijau di tangan gadis itu sama sekali tidak patah atau terlepas, bahkan sebaliknya dia merasa tangan kanannya tergetar hebat, tanda bahwa tangan kecil lembut putih mulus yang memegang pedang itu memiliki tenaga sakti yang dahsyat! Barulah dia menyadari bahwa gadis itu bukan sekedar sombong melainkan benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.

Maka dia pun segera memutar ruyungnya lantas mengamuk dengan mengerahkan semua tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya.

Namun Sulastri tidak menjadi gentar dan mampu mengimbangi permainan senjata lawan, bahkan ia pun tidak mau mengalah melainkan membalas serangan dengan serangan yang berbahaya dan mematikan. Maka terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)