ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-31


“Bocah lancang, mampus kau!” bentaknya dan parangnya yang sudah menyambar dengan sangat cepat dan kuatnya ke arah leher Aji. Agaknya dia ingin memenggal kepala pemuda itu dengan satu kali bacokan!

“Singggg...!”

Golok itu menyambar lewat di atas kepala Aji ketika dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dengan sangat cepat golok itu seperti terbang membalik dan sudah menyambar lagi ke arah dadanya.

Bukan main cepatnya gerakan golok di tangan Munding Hideung itu. Namun Aji lebih cepat lagi. Dia telah melangkah ke belakang sehingga ujung golok itu menyambar lewat di depan dadanya. Akan tetapi golok itu kembali membalik dan telah menyerang lagi dengan cepat, kini menyambar ke arah kedua kaki pemuda itu.

Serangan golok datang bertubi-tubi, tapi Aji segera menghadapi serbuan golok itu dengan ilmu silat Wanara Sakti. Tubuhnya dapat bergerak lincah dan cepat luar biasa, berloncatan mengelak ke sana-sini sehingga golok itu sama sekali tak pernah bisa menyentuh dirinya.

Diam-diam Aji harus mengakui bahwa lawannya ini benar-benar memiliki ilmu golok yang amat dahsyat. Maka dia pun berhati-hati sekali dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil mencari kesempatan dan lowongan untuk merobohkan Ki Munding Hideung. Dia belum merasa perlu untuk mempergunakan pusakanya, yaitu Keris Nogo Welang.

Pertandingan antara Ki Munding Bodas dan Sulastri mencapai puncaknya. Setelah saling serang dengan sengit dan berulang-ulang ruyung bertemu pedang, Sulastri lalu mengubah gerakan pedangnya yang sekarang berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini terkadang menyambar serangan kilat yang membuat Ki Munding Bodas menjadi terkejut dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban.

Mulailah si muka putih itu terdesak dan main mundur. Akan tetapi Sulastri terus mengejar. Ki Munding Bodas agaknya menjadi jeri dan dia terus mundur mendaki tebing, akan tetapi sambil mundur dia memutar ruyungnya untuk melindungi tubuhnya. Mendadak mulutnya mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Sulastri tidak peduli dan mendesak terus.

Suitan itu merupakan isyarat sandi bagi para anak buah gerombolan untuk turun tangan mengeroyok. Kini puluhan orang itu bergerak, sebagian mengeroyok Aji dan sebagian lagi mengejar Sulastri yang mendaki tebing untuk terus mendesak Ki Munding Bodas.

Melihat dia terpisah dari Sulastri, Aji cepat berseru. “Lastri, jangan kejar! Kembali ke sini!”

Teriakannya nyaring karena Aji melihat adanya bahaya yang mengancam gadis itu. Kalau Sulastri terpisah jauh darinya, maka dia tidak akan dapat melindunginya lagi kalau sampai terancam bahaya.

Tetapi agaknya Sulastri tidak mau mengacuhkan peringatan Aji dan dia sudah mengejar Ki Munding Bodas sampai puncak tebing. Pada saat itu, melihat para anak buah gerombolan yang jumlahnya puluhan orang sedang mengejarnya, Sulastri lalu mengeluarkan pekik dan memukul dengan tangan kirinya, Tangan terbuka itu seperti mendorong ke arah tubuh Ki Munding Bodas.

“Haiiiitttt...!”

Kebetulan Aji mendapat kesempatan melompat ke belakang sehingga dapat memandang ke arah gadis itu. Mereka dapat terlihat dengan mudah karena berada di puncak tebing. Aji tertegun. Dia mengenal pukulan tangan kiri Sulastri itu. Itu adalah Aji Margopati! Aji yang dikuasai gurunya, namun yang oleh Ki Tejobudi sengaja tidak diajarkan kepadanya karena aji itu terlalu dahsyat, terlampau ganas sesuai dengan namanya, Margopati (Jalan Maut). Pukulan itu adalah pukulan maut jarak jauh dan tidak sembarang orang mampu bertahan atau menghindarkan diri dari pukulan maut itu.

“Aaahhhhh...!” Tubuh Ki Munding Bodas terjengkang roboh, terjungkal ke bawah tebing di sebelah sana.

Aji terpaksa mengelak dengan loncatan ke kiri ketika beberapa buah golok menyerangnya. Para anak buah gerombolan telah mulai mengeroyolnya. Akan tetapi dia sengaja meloncat jauh ke samping untuk melihat keadaan Sulastri. Betapa terkejutnya ketika dia melihat apa yang terjadi di atas puncak tebing itu.

Ketika Sulastri mempergunakan Aji Margopati memukul roboh Ki Munding Bodas, belasan orang anak buah gerombolan lantas menyerang Sulastri dengan hujan anak panah! Gadis itu cepat memutar pedang di tangan kanannya, akan tetapi agaknya dia sedikit terlambat karena tadi perhatiannya tercurah kepada Ki Munding Bodas sehingga ada sebatang anak panah yang mengenai pundak kirinya.

Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang, tidak sadar bahwa di belakangnya adalah akhir puncak tebing, maka tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh dara itu terjatuh ke bawah tebing.

Aji tidak sanggup melihat lagi, hanya mendengar lengkingan suara Sulastri yang bergema panjang. Perasaan kaget, khawatir dan sedih telah membangkitkan amarah dalam hati Aji. Sulastri sudah terjatuh ke bawah tebing! Sulastri sudah tewas!

Pikiran ini membuat dia bergerak seperti seekor burung alap-alap yang mengamuk. Tubuh pemuda ini melompat tinggi dan ketika turun, kedua tangannya sudah menyambar ke arah pundak Ki Munding Hideung.

Kepala geombolan ini mencoba menyambut tubuh pemuda yang meluncur ke arahnya itu dengan bacokan goloknya. Akan tetapi, sebelum bertemu dengan tangan Aji, timbul hawa yang amat kuat menyambut golok itu hingga terpental dan terlepas dari pegangan tangan Ki Munding Hideung, sementara itu kedua tangan Aji telah menghantam kedua pundaknya dengan jari-jari terbuka.

“Krekk! Krekk!”

Tulang kedua pundak itu patah. Saking nyerinya, Ki Munding Hideung berteriak parau dan dia pun jatuh terduduk, goloknya terlepas dan dia mengerang kesakitan dengan sepasang lengan tergantung lemas, terkulai lepas karena apa bila digerakkan sedikit saja pundaknya langsung terasa nyeri bukan main.

Para anak buah gerombolan menjadi marah lantas menerjang dan mengeroyok Aji! Dalam kekhawatirannya akan nasib Sulastri, pemuda ini mengamuk. Dia seperti seekor alap-alap yang menyambar-nyambar. Ke mana pun dia melompat seperti terbang dan menyambar, tentu ada satu atau dua orang anak buah gerombolan terpelanting dan tersungkur!

Keadaan menjadi kacau dan anak buah gerombolan menjadi gentar menghadapi amukan Aji itu. Walau pun anak buah gerombolan yang tadi mengeroyok Sulastri kini sudah turun dari puncak tebing dan ikut mengeroyok, tapi tetap saja mereka dihajar sampai kocar-kacir oleh Aji.

Selama hidup belum pernah hati Aji dicengkeram kemarahan seperti itu, kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hatinya terhadap Sulastri. Akan tetapi, betapa pun marah dan sakit hatinya, tetap saja Aji membatasi tenaganya sehingga anggota-anggota gerombolan yang dirobohkannya itu tidak ada yang sampai tewas, melainkan hanya menderita patah tulang dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan.

Sesudah lebih dari tiga puluh orang gerombolan yang roboh oleh tamparan dan tendangan Aji, sisanya menjadi gentar dan menghentikan pengeroyokan, bahkan mundur menjauhkan diri. Aji tidak mempedulikan mereka lagi. Dia cepat mendaki puncak kemudian menjenguk ke bawah tebing sebelah sana dan matanya terbelalak, wajahnya menjadi pucat.

Tebing itu ternyata curam bukan main! Orang yang terjatuh ke bawah tebing tak mungkin dapat lolos dari maut. Tentu tubuhnya akan remuk-remuk terhempas ke batu-batu gunung, terguling-guling dan akhirnya terhenti di dasar tebing dalam keadaan remuk!

“Sulastri...!” Dia mngeluh lirih lalu cepat mencari jalan menuruni tebing.

Jalan turun sungguh tidak mudah. Kadang-kadang dia harus merayap berpegangan pada batu-batu gunung yang menonjol dan akar-akar pohon, seperti seekor kera. Tinggi tebing itu tak kurang dari tiga ratus meter! Di bawah sana dasarnya tidak tampak karena tertutup daun-daun pohon dan semak-semak belukar.

Setelah tiba di bawah, mulailah Aji mencari-cari. Hatinya terasa seperti diremas-remas dan dia merasa ngeri membayangkan akan menemukan tubuh Sulastri dalam keadaan terluka parah, berdarah-darah dan remuk, dan tentu saja telah tewas. Tidak mungkin ada manusia yang memiliki kekuasaan untuk menyelamatkan diri sesudah terjatuh dari atas tebing yang sedemikian curamnya!

Apa bila Gusti Allah menghendaki, tentu saja tidak mustahil sama sekali kalau kekuasaan Gusti Allah menyelamatkan manusia yang terjatuh itu. Kekuasaan Gusti Allah!

Aji menyesali diri sendiri! Mengapa dia dicekam kekhawatiran dan kesedihan tadi sehingga sejenak melupakan hal yang mutlak tak dapat dibantah ini? Mengapa penyerahannya dan imannya kepada Gusti Allah tadi goyah sehingga dia menjadi putus asa?

Padahal mendiang gurunya sudah dapat menanamkan keyakinan di dalam hatinya bahwa segala sesuatu yang sudah, sedang dan akan terjadi, hanya dapat terjadi kalau semua itu sudah diperkenankan dan dikehendaki oleh Gusti Allah! Semua milik Gusti Allah dan kalau Gusti Allah menghendaki untuk mengambil apa yang menjadi milik-Nya, siapa yang akan mampu mencegahnya?

Seperti segala apa yang berada di seluruh alam mayapada ini, diri Sulastri juga milik Gusti Allah! Sebab itu dia harus pasrah dengan sepenuh penyerahan hatinya kepada kekuasaan Gusti Allah!

“Duh Gusti, ampunilah hamba...!” Aji berdoa di dalam hatinya, sadar akan kesalahan dan kelengahannya sehingga tadi dia lupa diri. Kekhawatiran dan kedukaan yang mencekam membuat dia sejenak terlupa akan penyerahannya.

Sesudah batinnya mengucapkan doa itu, hatinya menjadi tenteram dan dia mulai mencari-cari lagi dengan hati yang sudah siap untuk menghadapi segala yang akan ditemukannya. Karena itu Aji tidak merasa terkejut ketika dia menyibak semak belukar dengan sepotong ranting kayu kemudian melihat tubuh Ki Munding Bodas terkapar di antara semak-semak, telentang dengan pakaian cabik-cabik dan tubuh penuh darah, matanya melotot, dari mulut serta hidungnya keluar darah menghitam.

Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dada yang tidak tertutup baju lagi itu ada tanda telapak tangan menghitam. Itulah aji pukulan Margopati! Dia sudah mendengar banyak tentang aji itu dari mendiang Ki Tejobudi dan kakek itu memang sengaja tidak mau mengajarkan aji pukulan yang amat keji kepadanya.

Agaknya tubuh Ki Munding Bodas terhempas jatuh kemudian terguling-guling dan akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang lebat itu, yang kini seolah-olah mengubur jasadnya. Dia melepaskan kuakan pada semak itu yang menutup kembali menyembunyikan mayat itu, lalu melanjutkan pencariannya.

Akan tetapi biar pun sudah menjelajahi seluruh dasar tebing dan memeriksa setiap semak-semak, juga menjenguk ke jurang-jurang yang berada di bawah tebing, tetap saja dia tidak dapat menemukan Sulastri! Kini hatinya mulai dipenuhi harapan. Apa bila jenazahnya tidak dapat ditemukan, hal itu hanya berarti bahwa gadis itu masih hidup! Tetapi andaikan atas kehendak Gusti Allah Sulastri masih hidup, setidaknya dia tentu terluka dan takkan dapat pergi jauh. Harapan yang timbul ini menggembirakan hatinya, maka mulailah dia berteriak memanggil.

“Lastri...! Nimas Sulastri...!”

Karena dia memanggil dengan pengerahan tenaga saktinya, maka suaranya bergaung di sekeliling lembah. Dia menunggu sampai gema suaranya lenyap kemudian mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, tidak terdengar gerakan.

“Nimas Lastri...! Di mana engkau...?!” Kembali dia berteriak, bahkan lebih kuat dari pada tadi karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Gaung suaranya juga lebih panjang dari pada tadi. Akan tetapi tetap tidak terdengar jawaban.

Aji terus mencari-cari dan memanggil-manggil, namun sia-sia. Sulastri lenyap bagai ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Sesudah sang mentari condong jauh ke barat, terpaksa Aji meninggalkan tempat itu, kini dia kembali ke atas tebing melalui pendakian tebing yang sangat sukar.

Puncak tebing sudah sepi. Akan tetapi sarang gerombolan itu sudah tampak dari situ. Dia lalu menuruni tebing dan menuju ke sarang gerombolan yang berada tidak jauh dari danau kecil itu. Dengan tabah dan tenang Aji memasuki perkampungan yang pondok-pondoknya masih baru, terbuat dari kayu dan bambu itu.

Begitu dia masuk, tampaklah beberapa orang gerombolan itu berlarian memasuki sebuah pondok besar, sementara itu dari dalam pondok-pondok lainnya yang lebih kecil terdengar suara-suara rintihan kesakitan. Maka tahulah Aji bahwa semua anggota gerombolan yang luka-luka masih berada di perkampungan itu.

Melihat para anggota gerombolan yang tadinya berada di luar pondok kini berlarian masuk dan bersembunyi dalam pondok, Aji lalu berseru nyaring.

“Kalian semua keluarlah dari pondok, atau apakah aku harus membakar semua pondok ini lebih dulu untuk memaksa kalian keluar?!”

Teriakan dan ancaman ini berhasil. Berbondong-bondong para anggota gerombolan keluar dari dalam pondok. Bahkan yang terluka juga ikut keluar dengan dipapah oleh yang sehat. Agaknya mereka merasa takut bahwa pondok-pondok mereka akan dibakar oleh pemuda yang sakti mandraguna itu.

Aji melihat ada sekitar empat puluh orang yang keluar dari pondok lalu mereka berjongkok, tanda bahwa mereka takkan melawannya. Tentu sebagian yang lain sudah melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi dia tidak melihat Ki Munding Hideung yang hendak ditangkapnya dan dibawa ke Kadipaten Cirebon untuk diserahkan kepada Sang Adipati.

“Di mana Ki Munding Hideung dan para pemimpin lainnya?” tanya Aji dengan suara yang mengandung wibawa kuat. “Suruh mereka keluar! Aku ingin bicara dengan mereka.”

Pandang mata Aji menyapu para anggota gerombolan dan melihat mereka itu berdiam diri, hanya menundukkan muka dengan sikap takut-takut. Dia menunggu, akan tetapi sampai lama tidak ada yang berani menjawab pertanyaan itu. Aji menjadi penasaran. Dia dapat menduga bahwa sikap diam mereka itu sama sekali bukan hendak menentang, melainkan karena ketakutan.

“Hayo, seorang di antara kalian katakan, di mana adanya para pimpinan kalian itu? Jangan takut! Kalau para pimpinan kalian marah, aku yang akan melindungi kalian!”

Sesudah orang-orang itu saling pandang dan saling berbisik hingga gaduh, akhirnya salah seorang anggota gerombolan yang usianya sekitar lima puluh tahun bergerak maju sambil berjongkok, kemudian berkata dengan lirih seolah-olah takut kalau sampai terdengar para pemimpinnya.

“Denmas, harap ampuni kami. Para pemimpin kami sudah lari meninggalkan kami di sini. Ki Munding Bodas sudah terjatuh ke dalam jurang bawah tebing. Ki Munding Hideung dan lima orang pembantunya melarikan diri.”

“Ke mana? Ke mana mereka melarikan diri?” tanya Aji.

“Kami tidak tahu, denmas. Mereka pergi tanpa pesan dan tidak memberi-tahukan ke mana mereka melarikan diri.”

Aji percaya bahwa para anak buah gerombolan itu takkan berani membohonginya, tetapi untuk meyakinkan hatinya, dia lantas memeriksa dan menggeledah seluruh pondok. Benar saja, dia tidak menemukan Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Maka dia keluar lagi dan mendapatkan puluhan orang anak buah gerombolan itu masih berjongkok di luar rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal bagi Ki Munding Hideung dan pembantu-pembantunya.

Gerombolan itu ternyata tidak ada yang berkeluarga sehingga tidak terdapat seorang pun wanita atau anak-anak dalam perkampungan gerombolan itu.

Aji lalu menghadapi mereka. “Hei, kalian semua, anak buah gerombolan Munding Hideung yang telah membuat banyak kekacauan dan kejahatan di Kadipaten Cirebon. Sebenarnya aku sudah diberi wewenang oleh Gusti Adipati untuk membasmi kalian semua, maka kalau sekarang aku membunuh kalian semua sebagai hukuman, hal itu sudah semestinya dan sewajarnya!”

Anggota gerombolan tua tadi cepat menyembah-nyembah dan berkata, “Ampun, denmas, harap denmas sudi mengampuni kami. Kami hanya melaksanakan perintah dari pemimpin kami.”

“Sekarang apakah kalian masih akan melanjutkan perbuatan kalian menjarah-rayah rakyat yang tidak berdosa?”

“Kami sudah kapok, denmas!” teriakan ini keluar dari banyak mulut.

“Kalian adalah orang-orang yang bertubuh kuat, sepatutnya kalian malu jika menggunakan kekuatan kalian hanya untuk menjarah (merampok) rakyat yang tidak berdosa, mengacau dan mengganggu bangsa sendiri! Padahal bangsa dan negara sedang menghadapi musuh yang paling besar dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda. Kenapa kalian tidak memakai kekuatan kalian untuk membela nusa bangsa, untuk membantu Sultan Agung di Mataram, menentang Kumpeni Belanda? Kalau pun hal itu masih belum dapat kalian lakukan, paling tidak kalian harus bekerja baik-baik, kembali ke jalan benar dan tidak mengganggu rakyat bangsa sendiri. Kali ini aku masih mengampuni kalian, akan tetapi bila lain kali aku masih mendapatkan kalian merampok, aku tidak akan mengmpuni lagi dan akan membasmi dan membunuh kalian semua!”

“Terima kasih atas kebijaksanaan denmas!” kata anggota tua itu.

Semua anggota gerombolan itu pun ikut bergumam menghaturkan terima kasih mereka.

“Kini aku hendak minta bantuan kalian,” kata Aji. “Kalian yang tidak terluka, harap mencari jalan menuruni tebing ini dan mencari temanku, gadis yang terjungkal ke bawah tebing tadi sampai dapat kalian temukan. Sementara itu aku akan menanti di sini dan tinggal di rumah ini.” Dia menunjuk rumah bekas tempat tinggal Ki Munding Hideung.

Para anggota gerombolan menjadi amat girang karena mereka diampuni, maka mendengar permintaan Aji itu, berbondong-bondong mereka lalu mencari jalan untuk menuruni tebing, tentu saja dengan jalan memutar sebab mereka tak sanggup menuruni tebing dengan cara seperti yang dilakukan Aji tadi.

Aji segera memasuki rumah induk gerombolan itu dan mengaso. Dia duduk bersila sambil termenung. Wajah Sulastri selalu terbayang di hadapan matanya, apa lagi bayangan yang menggambarkan jatuhnya gadis itu ke bawah tebing. Ia selalu gagal dalam samadhi sebab pikirannya tak pernah dapat menghilangkan bayangan gadis itu. Perasaan hatinya tertindih duka yang mendalam, disertai kegelisahan membayangkan nasib Sulastri.

Benarkah gadis itu telah tewas dengan tubuh remuk di bawah tebing? Sungguh sulit dapat dipercaya bahwa gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa dan cantik jelita itu kini menjadi mayat yang rusak dan remuk. Aji merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk.

“Duh Gusti Allah, hamba mohon kekuatan iman dan bimbingan,” dia berbisik dan dengan sepenuh jiwa menyerahkan segalanya kepada Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Penyerahan secara total itu seketika menghapus semua duka.

Semua ini milik Gusti Allah, juga Sulastri adalah milikNya. Karena itu terserah kepadaNya untuk memutuskan apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Apa bila Gusti Allah memang sudah memutuskan, tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang dapat mengubahnya. Dan semua keputusan Gusti Allah sudah pasti baik dan benar, sudah pasti yang terbaik baginya dan bagi Sulastri.

“Duh Gusti, hamba menyerahkan Sulastri dan diri hamba sendiri ke dalam tangan Paduka. Semoga Paduka sudi mengampuni semua dosa-dosa dan kesalahan Sulastri dan hamba.” demikian suara hatinya keluar melalui pernapasannya.

Penyerahan ini bukan sekedar kata-kata atau sekedar pemikiran, melainkan tembus keluar dari jiwanya dan Aji merasa perasaannya tenteram kembali. Apa pun yang sedang terjadi pada diri Sulastri dia sudah menyerahkannya kepada Gusti Allah dan dia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri Sulastri, hal itu tentu yang terbaik bagi gadis itu karena sudah dikehendaki Gusti Allah.

Sampai dua hari lamanya Aji tinggal di perkampungan gerombolan itu, membiarkan para anak buah gerombolan setiap hari mencari-cari jejak Sulastri. Akan tetapi ternyata sia-sia belaka. Para anggota gerombolan hanya menemukan mayat Ki Munding Bodas saja. Akan tetapi seorang dari mereka menemukan pedang Sulastri dan menyerahkannya kepada Aji.

Aji menerima Pedang Nogo Wilis, mengamatinya dengan hati penuh tanda tanya. Pedang itu dapat ditemukan, berarti Sulastri tentu terjatuh di sana pula, tidak jauh dari pedangnya. Akan tetapi mengapa mereka tidak berhasil menemukan Sulastri? Secercah sinar harapan menerangi hatinya.

Sulastri tidak ada, juga tidak ditemukan bekas-bekas darah. ini hanya ada satu arti, yakni bahwa gadis itu tentu masih hidup dan sudah pergi dari dasar tebing itu. Tetapi mengapa pedang pusakanya ditinggalkan? Dan mengapa gadis itu tidak mendaki tebing lagi untuk menemuinya?

Dia yakin Sulastri pasti masih hidup. Tetapi bagaimana caranya gadis itu menyelamatkan diri dan ke mana kini berada, menjadi pertanyaan yang selalu bergema di dalam benaknya dan dia tidak dapat menjawabnya.

Aji memasuki rumah sambil membawa Pedang Nogo Wilis, lalu tepekur di dalam rumah itu hingga lama. Berbagai pertanyaan mengaduk-aduk benaknya. Sulastri hilang secara aneh. Sulastri mampu melakukan pukulan dengan Aji Mardopati! Sungguh aneh sekali.

Ia lalu merenung tentang kematian, dan tentang kedukaan akibat ditinggal mati orang yang dikasihi. Ia merasa yakin bahwa kematian bukanlah merupakan akhir segalanya. Memang kehidupan sebagai manusia dengan jasmani akan berakhir sesudah mati, tetapi kematian adalah kelanjutan dari kehidupan ini. Kematian di dunia ini merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan rahasia manusia yang masih hidup dalam alam ini. Karena itu, mengapa menyedihkan orang yang telah mati?

Bagaimana kita dapat merasa sedih kalau kita tidak tahu apa jadinya dengan orang yang kematiannya kita tangisi itu? Bukankah sudah jelas sekali bahwa tangisan itu sebetulnya merupakan bukti kedukaan terhadap diri sendiri? Aku menangisi kematian orang yang aku cintai karena aku kehilangan dia, aku ditinggalkan sendiri, aku tidak bisa lagi memperoleh kesenangan darinya, aku merasa kesepian dan aku merana. Karena itulah sebetulnya aku menangis!

Melihat semua kenyataan ini membuat Aji menghela napas dan melayangkan puji kepada Gusti Allah, mohon kemurahanNya supaya apa pun yang terjadi dengan diri Sulastri, Gusti Allah akan selalu melindungi dan membimbingnya.

Akhirnya Aji mengambil keputusan untuk segera meninggalkan perkampungan gerombolan itu. Sekali lagi ia memperingatkan para anggota gerombolan agar meninggalkan kejahatan mereka yang lama dan mulai kehidupan baru yang tidak menyimpang dari kebenaran.

Sesudah meninggalkan Gunung Cireme, Aji lalu pergi ke Kadipaten Cirebon menghadap Pangeran Ratu. Adipati Cirebon itu merasa girang mendengar dari Aji bahwa gerombolan pengacau sudah berhasil dikalahkan. Ki Munding Hideung melarikan diri dan Ki Munding Bodas telah tewas, sedangkan para anak buahnya sudah menyatakan bertobat dan tidak akan melakukan kekacauan lagi. Akan tetapi sang adipati juga merasa berduka sesudah mendengar bahwa Sulastri terjatuh ke bawah tebing dan lenyap.

Ketika sang adipati hendak memberi ganjaran, Aji menolak dengan halus dan dia pun lalu berpamit, meninggalkan kadipaten, menunggang kuda pemberian sang adipati yang kedua kalinya. Biar pun dia sudah bisa menerima musibah yang menimpa Sulastri dengan segala kepasrahan, namun tetap saja dia merasa kesepian dan kehilangan ketika meninggalkan pintu gerbang Kadipaten Cirebon.

Dia merasa seakan-akan ada sesuatu yang hilang, yang membuat hidup ini rasanya tidak lengkap lagi. bahkan ada rasa penyesalan besar dalam hatinya, seolah dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian Sulastri. Apa bila gadis itu tidak ikut dengannya, tidak melakukan perjalanan bersamanya, belum tentu gadis itu akan tewas. Sejak gadis itu ikut melakukan perjalanan dengannya, dia selalu mengalami ancaman maut dan menderita.

Ia pernah diserang racun penghancur tulang oleh Nyi Maya Dewi yang jahat. Kemudian ia juga keracunan oleh air yang disuguhkan Ki Sajali pembantu Ki Munding Hideung itu, dan sekarang ia bahkan terkena anak panah dan terjungkal ke bawah tebing yang amat tinggi.

Sulastri tentu tewas, hal itu tak bisa diragukan lagi. Orang yang terjatuh dari tempat begitu tinggi, biar dia seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali pun, sulitlah akan dapat terlepas dari cengkeraman maut. Tentu saja ada pengecualian, yakni apa bila Kekuasaan Gusti Allah bekerja, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Kekuasaan Gusti Allah untuk melakukan kemujijatan yang menurut ukuran pikiran manusia bagaimana tidak masuk akal dan aneh pun.

Sekarang dia harus melanjutkan perjalanannya. Seperti yang sudah direncanakan menurut petunjuk Senopati Suroantani, dia harus melanjutkan perjalanannya sampai ke Jayakarta atau Batavia, pusat benteng Kumpeni Belanda dan siap menanti di sana untuk membantu Mataram jika pasukan Mataram mulai menyerang benteng Kumpeni Belanda di Batavia.

Akan tetapi sebelum melanjutkan perjalanan ke sana, dia harus lebih dahulu mencari ayah Sulastri untuk mengabarkan mengenai diri Sulastri itu. Dia sudah mendengar dari Sulastri bahwa ayahnya bernama Ki Subali, seorang sasterawan, seniman dan dalang yang tinggal di Deramayu. Apa pun akibatnya, dia harus menceritakan sejujurnya mengenai nasib yang menimpa diri gadis itu.....

********************

Benarkah Sulastri sudah tewas seperti yang dikhawatirkan Aji? Atau apakah yang terjadi dengannya sehingga dia lenyap tanpa meninggalkan bekas? Kalau diukur dengan logika pikiran manusia, memang rasanya tidak mungkin kalau seseorang yang terjatuh dari atas tebing yang demikian curamnya, yang ratusan meter tingginya, akan dapat tinggal hidup.

Akan tetapi banyak sekali kenyataan dalam kehidupan manusia yang membuktikan bahwa kalau Gusti Allah menghendaki seseorang tinggal hidup, biar seribu satu macam ancaman maut menyerbunya, dia akan terbebas dari kematian. Sebaliknya bila Tuhan menghendaki seseorang mati, walau pun ada seribu satu perisai tidak akan mampu menghindarkannya dari sengatan maut yang mematikannya.

Sudah menjadi kenyataan bahwa Gusti Allah menghendaki Sulastri tetap hidup. Buktinya dia tidak mati walau pun terjatuh dari atas tebing yang begitu tinggi. Dia jatuh membentur-bentur dinding karang, bahkan kepalanya terbentur keras sehingga dia pingsan sebelum mencapai dasar tebing.

Dan anehnya, beberapa meter sebelum terbanting remuk di atas batu di dasar tebing, tiba-tiba luncuran tubuhnya terhenti karena bajunya tersangkut pada akar pohon besar yang mencuat dari dinding tebing seperti sebuah ujung tombak yang ada kaitannya! Tubuhnya tergantung di situ, bajunya terkait dan dia sama sekali tak bergerak karena dalam keadaan pingsan. Dahinya dekat pelipis kiri berdarah.

“Heh-heh-heh-heh, bocah denok ayu kok menggantung diri di situ!” terdengar suara orang terkekeh.

Dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun. Tubuhnya kurus kering dan bongkok, tangan kirinya ceko dan mukanya mengingatkan orang kepada tokoh Pendito Durno penasihat kerajaan Ngastino. Meski pun tangan kirinya ceko dan kaki kanannya agak pincang seperti tokoh Gareng dalam cerita wayang, akan tetapi dia dapat bergerak dengan sangat cekatan ketika mendaki tebing. Gerakannya ringan dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat di mana Sulastri tergantung pada akar pohon.

“Uh-uh, perawan kinyis-kinyis, sayang sekali kalau mati di sini!” kata pula kakek itu.

Dengan tangan kanannya dia melepaskan baju Sulastri dari kaitan akar pohon, kemudian memondongnya dan turun lagi seperti seekor monyet. Apa bila ada yang melihatnya tentu akan menjadi terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang kakek yang ceko dan pincang bisa memanjat tebing terjal seperti itu, bahkan ketika turun dia memondong tubuh seorang gadis? Dari gerakan-gerakannya saja sudah dapat diketahui bahwa kakek itu tentu bukan orang biasa, melainkan seorang kakek yang memiliki kesaktian.

Setelah turun, kakek itu lalu melanjutkan perjalanannya sambil memondong tubuh Sulastri. Ketika melihat mayat Ki Munding Bodas, dia pun berhenti dan mengamati mayat itu sambil berdiri.

“Uh-uh, Munding Bodas, engkau tewas terkena pukulan ampuh. Salahmu sendiri! Berapa kali sudah kuperingatkan agar jangan membuat kekacauan di Cirebon karena Sang Adipati adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati yang sakti mandraguna. Sekarang engkau tewas dan aku pun tidak mampu menghidupkanmu kembali. Tentu perawan denok ini ada hubungannya dengan kematianmu!” Setelah berkata demikian kakek itu lalu meninggalkan mayat itu dan dengan berlari cepat dia memanggul tubuh Sulastri menuruni lereng Gunung Cireme ke arah selatan.

Luar biasa cepatnya kakek itu berlari, melompati jurang-jurang seperti seekor kijang saja. Sama sekali dia tidak terlihat keberatan memanggul tubuh Sulastri yang masih pingsan.

Sesudah sampai di kaki gunung, dia memasuki sebuah hutan cemara dan ditengah-tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kayu. Dia membuka pintu pondok kemudian membawa Sulastri memasuki pondok. Direbahkannya tubuh gadis itu ke atas sebuah dipan bambu, lalu diperiksanya keadaan Sulastri.

Melihat bahwa gadis itu terluka dahinya dekat pelipis, dia segera mengomel. “Ahh, luka ini parah juga. Untung dia memiliki kepala yang keras dan kuat sehingga tidak sampai pecah. Kasihan engkau, perawan denok ayu. Tapi aku akan mengobatimu!”

Dia pun keluar dari pondok dan mencari Widoro Upas, lalu dibawanya kembali ke pondok. Dengan jari-jari tangannya dia meremas-remas Widoro Upas itu sampai hancur, kemudian mencampurkannya dengan beberapa tetes madu dan mengoleskan campuran itu ke luka di dahi Sulastri. Setelah itu dia duduk di tepi dipan dan mengamati wajah yang cantik jelita itu.

Biar pun rambut Sulastri terurai lepas dan pakaiannya cabik-cabik dan awut-awutan, tetapi kecantikannya bahkan tampak lebih menonjol.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)