ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-32


“Puuuuntenn...!” Terdengar suara orang beruluk salam dari luar pintu. Kedua tangan yang sudah bergerak ke depan itu tertahan dan kakek itu bangkit, bersungut-sungut.

“Hemm, siapa yang datang menggangguku?” Agaknya orang yang datang itu mendengar gerutunya.

“Bapa Guru, saya yang datang!”

“Huh-huh, kiranya engkau, Munding Hideung. Masuklah!”

Yang datang memang Munding Hideung. Dia masuk ke dalam pondok itu dengan langkah terhuyung dan ketika sudah masuk di ruangan depan, dia segera menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil mengerang kesakitan.

Kakek itu keluar dari dalam kamar. Melihat wajah yang hitam itu kini kelihatan agak pucat dan mulut muridnya yang tinggi besar itu menyeringai kesakitan, dia segera menghampiri.

“Huh-huh, apa yang telah terjadi denganmu, Munding Hideung? Agaknya engkau terluka!” kata kakek itu.

Kakek itu bernama Panembahan Kolo Srenggi. Dia adalah pertapa di hutan cemara yang berada di kaki Gunung Cireme dan menjadi guru dari Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas.

“Aduh, celaka, bapa guru. Kami sudah mengalami mala petaka. Adi Munding Bodas telah tewas...”

“Huh-huh, aku sudah tahu. Aku melihat mayatnya tergeletak di bawah tebing. Dan engkau sendiri kenapakah?”

“Pundak saya ini... kedua pundak saya... agaknya patah tulangnya, bapa guru...” Munding Hideung mengeluh.

Panembahan Kolo Srenggi terkekeh lalu menghampiri muridnya. Dia menggerakkan kedua tangan dan memegang kedua pundak muridnya itu.

“Aduh...!” Ki Munding hideung mengeluh kesakitan.

“Uh-uh, tulang kedua pundakmu sudah retak. Akan tetapi jangan khawatir. Obatku akan menyembuhkannya dalam waktu beberapa hari saja.” Setelah berkata demikian kakek itu masuk ke sebuah kamar di belakang di mana dia menyimpan bermacam-macam rempah-rempah untuk bahan jamu.

Dia mengambil Tangkai Cikal Tulang, lalu ditumbuk halus dan dicampur dengan daun Srigi, setelah itu tumbukan itu dicampur dengan sedikit garam. Kemudian dia membawanya ke ruangan depan di mana Munding Hideung masih menunggu sambil mengeluh kesakitan.

Panembahan Kolo Srenggi membuka baju atas muridnya itu, kemudian jari-jari tangannya yang panjang kurus tapi kuat itu memijat-mijat dan menekan-nekan, membetulkan kembali letak tulang pundak yang patah.

Ki Munding Hideung menggigit bibir menahan sakit sampai keringat keluar dari mukanya. Sesudah tulang yang patah berada dalam kedudukan yang benar, kakek itu mengoleskan bubukan obat itu pada kedua pundaknya, lalu membebatnya dengan kulit pohon randu dan diikat dengan kain.

Memang kemanjuran pengobatan kakek itu hebat sekali. Biar pun tulang-tulang pundaknya masih belum pulih benar, namun Ki Munding Hideung sudah mampu menggerakkan kedua lengannya!

“Nah, ceritakanlah apa yang terjadi,“ kata Panembahan Kolo Srenggi sambil duduk di kursi depan Munding Hideung.

Ki Munding Hideung menghela napas panjang. “Kami mengalami kesialan, bapa guru. Dua orang utusan Adipati Cirebon, seorang pemuda dan seorang gadis, tiba-tiba saja menyerbu perkampungan kami. Mereka itu sakti mandraguna sehingga banyak anak buah kami yang tewas dan terluka, bahkan Adi Munding Bodas juga jatuh ke bawah tebing. Kami berhasil membuat gadis itu terjungkal ke bawah tebing dan tentu mampus. Akan tetapi pemuda itu sakti sekali sehingga kedua tulang pundakku patah oleh serangannya dan terpaksa kami melarikan diri karena kalau tidak kami semua habis dibunuhnya.”

“Wah-wah, hanya dua orang saja dan kalian yang berjumlah puluhan orang sampai kalah? Siapakah dua orang utusan Adipati Cirebon itu?”

“Pemuda itu bernama Lindu Aji dan gadis itu bernama Sulastri.”

“Hemm, sudah berapa kali kuperingatkan agar kalian tidak membuat kekacauan di daerah Cirebon. Sang Adipati Pangeran Ratu itu adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati, bagaimana kalian berani main-main? Dan mengenai gadis itu, tadi kau katakan bahwa dia terjatuh ke bawah tebing?”

“Betul, bapa guru, saya melihatnya sendiri. Gadis itu memukul Adi Munding Bodas dengan pukulan jarak jauh sehingga Adi Munding Bodas terjungkal ke bawah tebing. Tetapi pada saat bersamaan serangan anak buah kami dengan panah berhasil. Sebatang anak panah mengenai pundak gadis itu dan ia pun terjungkal jatuh ke bawah tebing pula.”

“Uh-uh, aku belum memeriksa pundak itu. Munding Hideung, dengan siapa engkau datang ke sini?”

“Ada lima orang pembantu saya ikut lari dan kini mereka menunggu di luar pondok, bapa guru.”

“Biarkan mereka menunggu di sana dan marilah kau ikut aku dan lihat, siapa yang berada di dalam kamarku?”

Ki Munding Hideung memandang heran, tetapi dia segera bangkit dan mengikuti gurunya menuju sebuah kamar. Mereka memasuki kamar itu dan melihat gadis yang sedang rebah telentang di atas dipan itu, Munding Hideung berseru kaget.

“Itulah dia, gadis itu! Dan dia belum mati?”

Kakek itu menggelengkan kepala. “Tubuhnya tersangkut pada akar pohon dan aku sudah menolongnya. Luka pada dahinya cukup berat, tetapi aku belum melihat luka anak panah di pundaknya.”

Dia lalu menghampiri Sulastri dan melihat betapa baju di pundak gadis itu pun berdarah. Akan tetapi anak panah itu sudah tidak ada, agaknya sudah patah ketika tubuh itu terjatuh dan terbentur-bentur dinding tebing.

“Rrrrttt...!” Panembahan Kolo Srenggi merobek baju di pundak kiri gadis itu.

Tampak kulit pundak yang putih mulus itu. Ada darah berlepotan di situ, akan tetapi anak panahnya sudah tidak ada, tentu sudah terlepas ketika gadis itu terbentur-bentur dinding tebing. Luka itu tidak terlalu dalam dan Panembahan Kolo Srenggi segera mengobatinya dengan ramuan Widoro Upas dan Madu yang masih tersisa.

“Bapa Guru, berikan gadis ini kepada saya! Saya akan memperistrinya. Di samping untuk kesenanganku karena saya belum mempunyai pendamping yang begini cantik dan sakti, juga untuk membalas dendam atas kematian Adi Munding Bodas di tangannya!”

“Heh-heh-heh, engkau mau enaknya saja!” kata Panembahan Kolo Srenggi. “Akan tetapi karena sekarang aku sudah terlampau tua dan tidak tertarik lagi kepada yang denok ayu, bolehlah engkau memiliki dia sekedar untuk menghibur hatimu yang berduka karena mala petaka yang menimpa diri dan perkumpulanmu.”

“Terima kasih, bapa guru, terima kasih!” kata Munding Hideung dan bagaikan seekor singa kelaparan melihat seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, dia segera membuat gerakan ke arah dipan seperti hendak menubruk tubuh Sulastri.

Agaknya dorongan gairah nafsunya membuat dia lupa diri. Dia hendak menyalurkan gairah nafsunya pada saat itu juga, tidak peduli lagi bahwa di sana terdapat gurunya.

Pada waktu mudanya Panembahan Kolo Srenggi juga seorang hamba nafsu yang tersesat jauh dari jalan benar, maka ia hanya terkekeh seolah merasa lucu, bahkan ingin menikmati kejadian lucu dan menyenangkan yang akan terjadi di depan matanya.

Pada saat jari-jari kedua tangan Munding Hideung sudah hampir menyentuh dada Sulastri, mendadak tubuh gadis itu berbalik, menelungkup lalu seperti merangkak dan terdengarlah lengkingan yang demikian kuatnya sehingga seluruh pondok seperti terguncang hebat!

Gadis itu telah sadar dari pingsannya dan dia melakukan hal ini dengan tiba-tiba sehingga amat mengejutkan Munding Hideung. Raksasa bermuka hitam ini cepat-cepat melangkah mundur dengan perasaan kaget dan jeri.

Dia tahu betapa saktinya gadis itu. Apa lagi pada saat itu kedua pundaknya masih belum sembuh, baru saja diobati dan tidak mungkin dia akan menandingi gadis itu.

Panembahan Kolo Srenggi juga terkejut karena dia dapat merasakan kekuatan dahsyat terkandung dalam lengkingan itu. Pada saat kedua orang itu terkejut dan tertegun, tubuh Sulastri melompat keluar dari kamar itu.

“Tangkap! Tangkap gadis itu!” teriak Munding Hideung.

Teriakan ini ditujukan kepada lima orang pembantunya yang berada di depan pintu. Dan dia sendiri, bahkan didahului Panembahan Kolo Srenggi, juga telah melakukan pengejaran keluar pondok itu.

Lima orang pembantu Munding Hideung yang berada di luar pondok dapat mendengar dan mengenal suara teriakan pemimpin mereka. Mereka serentak bangkit menghadang di luar pintu dan mencabut golok masing-masing. Karena itu, ketika Sulastri melompat keluar, dia segera disambut serangan lima orang itu.

Gadis itu memandang heran seperti orang yang kaget dan tidak mengerti, tetapi nalurinya memperingatkan bahwa dia sedang terancam bahaya, maka dia bergerak cepat mengelak sambil membalas dengan tamparan dan tendangan. Akan tetapi lima orang itu adalah para pembantu Munding Hideung, rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari serangan Sulastri dan mengepung ketat.

Ki Munding Hideung dan Panembahan Kolo Srenggi juga sudah muncul. Munding Hideung tidak dapat ikut mengeroyok karena tulang pundaknya belum sembuh, tetapi Panembahan Kolo Srenggi sudah menggerakkan sebuah tongkat berbentuk ular yang panjangnya sama dengan tubuhnya. Gerakan tongkat ular ini cepat sekali dan mengandung tenaga sakti.

Sulastri melawan mati-matian. Ia tidak bersenjata, lagi pula kepalanya masih terasa pening karena luka di dahi dan pundaknya. Bahkan luka di pundak kirinya membuat gerakannya menjadi kaku dan lambat. Pada saat itu gadis itu bergerak menurutkan naluri saja karena dia tidak mampu mempergunakan akal pikirannya. Semua nampak tidak berarti dan tidak dimengerti hingga membuatnya bingung, hanya nalurinya mengatakan bahwa dia sedang berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya dan hendak mencelakainya. Maka dia melawan mati-matian.

Bagaimana pun juga, karena ternyata Panembahan Kolo Srenggi itu sakti dan gerakan tongkat ularnya amat berbahaya, sedangkan lima orang pembantu itu pun cukup tangguh, maka Sulastri terdesak hebat dan sudah dua kali pinggang dan pahanya terkena gebukan tongkat kakek itu. Untung baginya bahwa berkali-kali Ki Munding Hideung berteriak kepada para pembantu dan gurunya agar jangan membunuh gadis itu, melainkan menangkapnya.

Tentu saja Sulastri yang masih pening dan lemas itu, juga seluruh tubuhnya terasa nyeri karena tadi terbentur-bentur dinding karang, menjadi sangat sibuk dikeroyok enam orang itu.

Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang laki-laki muda. Usianya masih muda sekali, paling banyak dua puluh dua tahun. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang saja tapi gerak geriknya sigap. Wajahnya tampan dan sinar matanya mengandung kegagahan.

Sepasang alisnya tebal, matanya bersinar-sinar, kadang kala mencorong penuh wibawa. Hidungnya mancung dan pada bibirnya terdapat lekukan yang membayangkan kekerasan hati. Setitik tahi lalat kecil menghias dagunya, menambah manis wajah yang tampan itu. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam.

Melihat seorang gadis yang pakaiannya cabik-cabik, rambutnya terurai lepas, dan nampak kelelahan dikeroyok oleh enam orang laki-laki yang memegang golok dan tongkat, pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan dia membentak.

“Sungguh tidak tahu malu sekali! Enam orang lelaki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong yang sedang menderita luka dan tidak sehat. Kalian ini tentulah orang-orang jahat, karena hanya orang jahat saja yang tidak malu melakukan kecurangan seperti ini!” teriaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Begitu kaki tangannya bergerak, dua orang pemegang golok terpelanting dan mengaduh, tidak dapat bangkit kembali karena yang seorang kepalanya retak akibat terkena tamparan tangan pemuda itu dan yang seorang lagi dadanya terkena tendangan. Keduanya roboh dan setelah mengaduh-aduh lalu tewas!

Pemuda itu melihat bahwa yang paling berbahaya adalah kakek bungkuk yang memegang tongkat ular panjang. Maka dia pun cepat mencabut kerisnya dan menerjang Panembahan Kolo Srenggi.

“Trak-trang...!”

Bunga api berpijar ketika tongkat bertemu keris dan alangkah kagetnya rasa hati kakek itu ketika melihat betapa ujung tongkat ularnya telah terpotong! Dia memutar tongkatnya, tapi pemuda itu dengan tangkas telah menyerangnya dan mendesaknya dengan hebat. Bukan hanya keris di tangan kanan pemuda itu yang sangat tangguh, akan tetapi tangan kirinya juga memukul dengan tenaga pukulan yang dahsyat sekali.

Sementara itu, Sulastri yang kini hanya tinggal menghadapi tiga orang pengeroyok, sudah mengamuk hebat. Ia dapat menyambar golok yang terlepas dari tangan seorang di antara dua orang yang roboh tewas di tangan pemuda itu dan dengan golok ini ia pun mengamuk.

Gerakannya ganas dan cepat sekali dan dalam waktu singkat goloknya yang menyambar-nyambar ganas itu berturut-turut telah merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang pengeroyok itu roboh mandi darah dan tewas.

Sementara itu, pertandingan antara Panembahan Kolo Srenggi melawan pemuda itu pun berlangsung seru. Akan tetapi kini jelas tampak betapa kakek itu terdesak hebat, terutama sekali oleh dorongan tangan kiri pemuda itu yang mendatangkan angin pukulan dahsyat.

“Heh, mampuslah kau!” kakek itu membentak dan tongkat ularnya yang sudah terputus itu menyambar dahsyat.

Pemuda itu bukannya menghindar ke belakang, bahkan maju mendekat dan tangan kirinya berhasil menangkap tongkat, lalu tangan kanan yang memegang keris menusuk dan keris pusakanya tepat menghunjam pada dada yang kerempeng itu. Panembahan Kolo Srenggi menjerit dan melepaskan tongkatnya, menggunakan tangan kiri mendekap dadanya yang terluka dan dia pun terhuyung roboh telentang, tewas tak lama kemudian.

Melihat betapa lima orang anak buahnya telah roboh semua, bahkan gurunya juga tewas, Ki Munding Hideung cepat-cepat menggerakkan kakinya melarikan diri. Akan tetapi karena kedua pundaknya masih nyeri sekali kalau dipakai berlari, maka larinya juga tidak begitu cepat.

Melihat lawannya lari, Sulastri yang memandang semua itu dengan mata bingung segera melontarkan golok rampasannya.

“Syuuuttt...! Cappp...!”

Golok meluncur bagaikan anak panah lalu menancap pada punggung Munding Hideung. Raksasa muka hitam ini menjerit dan roboh tertelungkup, tewas seketika karena golok itu menancap dalam sekali.

Pemuda itu cepat menghampiri. Sekarang mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dua meter dan saling pandang. Pemuda itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan kagum. Dia melihat betapa dahi gadis itu terluka dan kebiruan dekat pelipis, akan tetapi luka itu sudah tertutup oleh bubuk jamu. Juga pundak kiri yang kulitnya putih mulus itu terluka dan sudah diobati.

Mata gadis itu indah sekali dan sangat tajam, tetapi pada saat itu memandang kepadanya dengan heran dan bingung. Dia melihat gadis itu masih amat muda sekali, akan tetapi tadi memiliki sepak terjang yang sangat hebat, pada hal tubuhnya sudah terluka.

“Nimas...” Dia menyebut nimas karena yakin bahwa gadis itu lebih muda dari padanya dan melihat sikap, wajah dan pakaiannya, tentu gadis itu pun bukan seorang gadis dusun yang sederhana dan bodoh. “Dahi dan pundak andika terluka. Tentu orang-orang jahat ini yang telah melukaimu.”

Sulastri menatap pemuda itu dengan pandang mata heran. Dia tahu bahwa pemuda ini tadi sudah menolongnya, membantunya melawan orang-orang yang mengeroyok dirinya, akan tetapi dia tidak mengenal siapa pemuda itu.

“Terima kasih atas petolonganmu, ki sanak. Mengenai luka-luka ini...” Ia meraba dahi dan pundak kirinya yang terluka. “Kukira bukan mereka yang melukaiku. Ketika bertempur tadi aku tidak merasa dilukai mereka...”

“Kalau begitu, mengapa dahi dan pundakmu terluka? Siapa yang telah melukaimu?”

Sulastri mengerutkan alisnya sambil menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu...”

Pemuda itu menatap wajah Sulastri dengan heran. Bagaimana orang sampai tidak tahu apa yang menyebabkan dia terluka seperti ini? Dia lalu memandang kepada mayat orang-orang yang tadi mengeroyok gadis itu.

“Siapakah mereka ini? Dan mengapa mereka mengeroyokmu?”

Sulastri memandangi mayat-mayat itu satu demi satu dengan penuh perhatian, akan tetapi alisnya berkerut dan dia memandang kembali kepada pemuda itu kemudian menggeleng kepalanya.

“Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka mengeroyokku...”

Pemuda itu menjadi semakin heran, “Ah, aneh sekali. Andika tidak mengenal mereka akan tetapi mengapa mereka mengeroyok andika? Sungguh jahat orang-orang ini. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, nona. Siapakah namamu dan bagaimana nona dapat sampai ke tempat ini?”

Mendengar pertanyaan itu Sulastri memandang pemuda itu dengan bingung.

Melihat sikap Sulastri, pemuda itu tersenyum maklum. Memang tidak pantas jika seorang gadis memperkenalkan diri lebih dulu kepada seorang pemuda.

“Perkenalkanlah, nimas, aku bernama Jatmika dari Banten, akan tetapi sekarang aku telah pindah dan kini tinggal di Dermayu. Nah, setelah andika mengenal namaku, bolehkah aku mengetahui siapa nama andika dari mana andika berasal?”

Mendengar pertanyaan ini, Sulastri menjadi semakin bingung. Dia meraba kepalanya dan menjawab lirih. “...aku... aku tidak tahu...! Ah, aku tidak... ingat siapa namaku... tidak ingat dari mana aku berasal... tidak tahu mengapa berada di sini!” Dia menjatuhkan diri berlutut sambil masih memegangi kepalanya. “Ahh, di mana aku sekarang ini? Siapa aku ini...? Ki sanak... ehh, kakang-mas Jatmika, tolonglah, beri-tahu aku, siapa aku ini...?”

Pemuda itu adalah Jatmika, putera tunggal Ki Sudrajat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ki Sudrajat adalah putera kandung mendiang Ki Tejo Budi, akan tetapi sejak kecil Ki Sudrajat menjadi putera tiri Ki Tejo Langit yang kemudian mengubah namanya menjadi Ki Ageng Pasisiran.

Semenjak kecil Ki Sudrajat dipelihara dan dididik oleh Ki Tejo Langit yang dianggap ayah kandungnya sendiri dan tinggal di Banten. Kemudian Ki Sudrajat menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Jatmika. Sejak kecil Jatmika dididik oleh ayahnya, tapi juga dibimbing dalam olah kanuragan oleh kakeknya di pantai Dermayu.

Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang sangat sayang kepada cucunya ini lalu minta agar Jatmika tinggal bersamanya. Tetapi pemuda ini tidak betah untuk tinggal menganggur saja di pondok kakeknya. Dia berpamit untuk merantau dan pada hari itu secara kebetulan sekali dia sampai di kaki Gunung Cireme dan lewat di hutan cemara itu sehingga melihat Sulastri yang dikeroyok enam orang, maka cepat dia membantu.

Sekarang melihat kedaan gadis yang lupa akan namanya sendiri itu, yang berlutut sambil memegangi kepalanya, wajahnya nampak sedih sekali dan minta tolong kepadanya untuk memberi tahu siapa adanya dia, Jatmika segera bisa menduga apa yang telah terjadi dan menimpa gadis itu.

Mungkin luka di dekat pelipis itu, pikirnya. Tentu gadis itu telah menerima pukulan keras di dahinya sehingga isi kepalanya mengalami guncangan hebat dan agaknya guncangan itu membuatnya melupakan segala hal! Dia merasa iba sekali dan kecerdikannya membuat Jatmika cepat mengambil keputusan ketika dia menjawab dengan sura lembut menghibur.

“Ahh, sekarang aku ingat, nimas! Namamu adalah Listyani dan biasanya engkau dipanggil Eulis! Dan aku tahu bahwa engkau datang dari daerah Cirebon walau pun aku tidak tahu tepatnya di mana karena aku belum pernah berkunjung ke rumahmu.”

“Listyani...? Eulis...?” Sulastri berkata perlahan seakan-akan sedang menghafalkan nama itu. “Mengapa aku dapat melupakan nama sendiri? Ahh, engkau tentu benar, kakang-mas Jatmika. Engkau sudah menyelamatkan aku, engkau baik sekali kepadaku, tentu engkau tidak berbohong! Namaku Listyani, biasanya disebut Eulis. Ya-ya... namaku bagus! Akan tetapi siapakah orang tuaku? Apa yang telah terjadi denganku selama ini? Aku telah lupa sama sekali!’

Jatmika tidak menjadi bingung. dia bahkan tersenyum. “Mana aku tahu, nimas Eulis? Kita baru saja berkenalan dan aku hanya mengetahui namamu saja. Sejak tadi engkau belum pernah bercerita kepadaku tentang orang tuamu dan segala hal mengenai dirimu. Agaknya engkau mengalami pukulan yang cukup parah. Aku mengerti sedikit tentang pengobatan. Mari, biarkan aku memeriksa luka-lukamu, nimas. Tetapi jangan di sini. Tempat ini tampak menyeramkan dengan mayat-mayat ini. Marilah kita mencari tempat lain yang lebih bersih dan nyaman. Akan tetapi tunggu sebentar, aku harus membereskan mayat-mayat ini.”

Melihat pemuda itu menyeret mayat-mayat yang berserakan itu ke dalam pondok, Sulastri atau supaya memudahkan mulai sekarang kita sebut saja nama panggilannya, yaitu Eulis, memandang dengan heran. Walau pun benturan pada kepalanya membuat dia lupa akan segala hal yang lampau, namun pikirannya masih bekerja dengan baik dan kecerdikannya tidak berkurang.

“Kakang-mas Jatmika, apa yang hendak kau lakukan dengan mayat-mayat itu?” tanyanya.

Pada saat itu Jatmika sudah menyeret mayat Munding Hideung yang letaknya paling jauh dari pondok, lalu memasukkannya ke dalam pondok. Sesudah itu dia memasuki pondok, menemukan seguci minyak dan dituangkannya minyak itu diatas mayat-mayat itu, lalu dia mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, ditimbunkannya semua itu pada mayat-mayat, barulah ditutupkannya pintu pondok.

“Aku hendak membakar pondok ini, nimas. Kasihan mayat-mayat itu kalau tidak ada yang mengurusnya, maka biarlah mereka itu terbakar bersama pondok ini agar sempurna.”

Sulastri mengangguk-angguk. Pemuda yang bijaksana, pikirnya. Sakti mandraguna serta bijaksana, inilah kesan hatinya terhadap Jatmika, di samping dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan, lembut dan menarik hati. Dia hanya memandang pada waktu Jatmika mengerjakan semua persiapan itu.

Setelah membakar pondok, pemuda itu lalu berkata kepada Eulis, “Mari kita meninggalkan tempat ini, mencari tempat yang lebih bersih untuk bercakap-cakap.”

“Bercakap-cakap?” Sulastri bertanya karena dia sendiri merasa bingung, sama sekali tidak ingat akan apa yang sudah dilakukan dan tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukan. Dia sama sekali lupa akan segala hal mengenai dirinya.

“Ya, bercakap-cakap... ehh, maksudku... aku harus memeriksa luka-lukamu dan mencoba untuk mengobatinya. Marilah, nimas,” kata Jatmika dengan lembut.

Eulis mengangguk kemudian mengikuti pemuda itu meninggalkan tempat itu. Tidak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu tidak banyak airnya, akan tetapi air yang mengalir di antara batu-batu itu jernih sekali. Sawah ladang membentang luas dan dari jauh tampak beberapa orang petani sedang mencangkul di sawah.

“Nah, mari kita duduk di sini dan aku akan memeriksa luka-lukamu, nimas,” kata Jatmika.

Eulis mengangguk lalu duduk di atas sebuah batu yang rata. Jatmika menghampiri.

“Maafkan aku, nimas,” katanya sopan sebelum dia memeriksa luka pada dahi dekat pelipis itu.

Luka itu memang tidak terlampau besar, akan tetapi cukup dalam dan melihat warna biru kehitaman di sekeliling luka, mudah diduga bahwa dahi itu terkena pukulan benda yang keras dan kuat sekali sehingga menggetarkan otaknya. “Bagaimana rasanya luka di dahi ini, Nimas Eulis?”

“Rasanya agak pusing dan panas,“ kata Eulis.

“Hmm, panas, ya?” Jatmika mengerutkan alisnya. “Tunggulah di sini, aku hendak mencari daun bayam dan madu. Dan luka di pundak ini... hemm, maafkan kelancanganku, nimas,” kata Jatmika. Dia tidak jadi menyentuh luka itu karena berada di pundak agak ke bawah sehingga mendekati kaki bukit dada gadis itu. “Agaknya luka ini akibat tertusuk oleh benda tajam. Ingatkah engkau apa yang melukai pundakmu ini?”

Eulis menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, tidak ingat lagi.”

“Hemm, luka akibat terkena tusukan benda dari logam ada bahayanya terkena racun dan membusuk. Tunggulah sebentar, nimas. Pesediaan obat yang berada di dalam bungkusan pakaianku tidak cukup. Aku harus mencari ke dusun di depan. Atau sebaiknya engkau ikut saja. Apa bila engkau kutinggalkan sendiri di sini, aku khawatir akan ada orang-orang jahat yang muncul lagi.”

“Aku tidak takut!” kata Eulis. Ternyata watak Sulastri yang keras dan pemberani itu masih belum berubah.

“Aku percaya, nimas. Akan tetapi engkau sedang menderita luka. Marilah.”

Suara lembut yang membujuk dari Jatmika membuat Eulis menurut, dan pergilah mereka ke dusun yang sudah tampak dari situ.

Jatmika mencari ramuan Asam Kawak (Asam lama), garam, daun Jarong berikut madu. Ramuan ini untuk dikompreskan pada luka di pundak, sedangkan untuk mengobati luka di dahi, dia menumbuk daun Bayam Duri, lantas dicampur madu dan ditempelkan pada luka itu. Selain itu Jatmika juga menggodok Temulawak dan Gadung untuk diminumkan kepada gadis itu.

Sikap Jatmika yang berwibawa dan lembut, juga karena dia membawa bekal uang yang cukup untuk semua biaya itu, membuat Ki Lurah di dusun itu menerima mereka dengan hormat dan senang. Selama tiga hari mereka berdua tinggal di rumah Ki Lurah.

Obat itu ternyata manjur sekali. Dalam waktu tiga hari saja luka-luka itu telah sembuh dan Eulis tidak merasa nyeri lagi. Hanya ingatannya yang belum kembali. Dia sama sekali lupa akan masa lalunya. Dia seolah baru saja lahir dan kehidupannya mulai dari pertemuannya dengan Jatmika! Dia hanya ingat bahwa dia dikeroyok enam orang lalu ditolong Jatmika, sejak saat itu sampai sekarang. Hanya itu saja yang dapat diingatnya!

Melihat keadaan Eulis telah sembuh benar, mulailah Jatmika merasa bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu? Gadis itu kehilangan ingatan, bahkan tidak ingat lagi siapa dirinya dan siapa pula orang tuanya, juga tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Tentu saja dia tidak dapat meninggalkan Eulis begitu saja! Gadis itu akan menjadi terlantar walau pun dia sakti dan tampaknya juga cerdik.

Pada sore hari ketiga di rumah Ki Lurah itu, Jatmika mengajak Eulis untuk duduk berdua saja di dalam kebun belakang rumah Ki Lurah.

Tuan rumah dan keluarganya tidak berani mengganggu. Mereka semua menaruh hormat kepada Jatmika dan Eulis, bukan hanya karena sikap kedua orang muda itu, melainkan juga karena Jatmika tak mau menyusahkan mereka dan selalu mengeluarkan uang untuk membiayai semua keperluan mereka berdua. Bahkan Jatmika sudah membeli beberapa perangkat pakaian pengganti untuk Eulis.

Kini mereka berdua duduk berdampingan di atas bangku yang berada di kebun merangkap taman itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)