ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-33


Selama ini dia selalu bersikap sopan, bahkan jarang mengajak gadis itu bercakap-cakap karena tidak ingin menambah kebingungan pikiran gadis itu. Dia merasa kasihan kepada gadis itu, bahkan diam-diam dia harus mengaku bahwa dia sangat tertarik dan sudah jatuh cinta kepada gadis yang lupa akan namanya sendiri itu.

“Ya, kakang-mas Jatmika. Ada apakah?”

“Nimas, kulihat kesehatanmu sudah pulih. Luka-lukamu hampir sembuh dan engkau tidak merasa nyeri lagi, bukan?”

“Tidak, kakang-mas. Memang aku sudah sembuh dan semua ini berkat kebaikan hati dan pertolonganmu.” Eulis memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata sangat bersyukur dan berterima kasih.

“Jangan sebut-sebut lagi tentang pertolongan itu, nimas. Sekarang yang ingin kubicarakan adalah, bagaimana selanjutnya dengan dirimu? Ke mana engkau hendak pergi setelah kita meninggalkan rumah Ki Lurah ini?”

Ditanya begitu, Sulastri atau Eulis merasa seperti orang yang ditodong keris. Ia termangu-mangu, sejenak matanya menatap wajah Jatmika, lalu memandang ke kanan kiri seperti ingin minta bantuan dari mana saja, kemudian tampak bingung dan akhirnya dia menghela napas sambil menggelengkan kepalanya.

“Aku betul-betul tidak tahu, kakang-mas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak tahu ke mana harus pergi. Tetapi yang jelas aku harus pergi meninggalkan rumah Ki Lurah ini, dan aku akan pergi entah ke mana. Aku akan menghadapi ketidak-pastian itu dengan berani!”

“Engkau akan mencari orang tua dan tempat tinggalmu?”

“Aku tidak ingat lagi siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggalku, akan tetapi aku tahu bahwa namaku Listyani dan panggilanku Eulis. Siapa tahu akan ada yang mengenalku dan memberi-tahu di mana dan siapa orang tuaku.”

Jatmika menatap wajah ayu itu dan merasa sangat iba. Dia tidak tega untuk mengatakan bahwa nama Listyani atau Eulis itu sebetulnya hanyalah nama pemberiannya, bukan nama asli gadis itu!

“Nimas Eulis, aku bersedia untuk membantumu, mencari orang tua dan tempat tinggalmu sampai dapat. Akan tetapi sungguh sayang, saat ini aku terpaksa tidak bisa menyertaimu karena aku mempunyai tugas kewajiban yang teramat penting.”

Tadinya hati Eulis merasa girang sekali mendengar pemuda itu akan membantu mencari orang tuanya, akan tetapi dia kecewa mendengar lanjutan kalimat itu bahwa Jatmika tidak dapat menyertainya karena mempunyai tugas yang penting sekali.

“Tugas penting apakah itu, kakang-mas Jatmika? Engkau sudah menolongku, maka aku akan merasa girang sekali jika bisa membalasnya dan membantumu dalam melaksanakan tugasmu itu.”

Wajah yang tampan itu berseri. “Benarkah, nimas? Akan tetapi tugasku berbahaya sekali.”

Eulis tersenyum lebar, membuat jantung dalam dada Jatmika berdebar keras dan matanya terpesona memandang keindahan wajah itu ketika tersenyum. Alangkah manisnya!

“Apa artinya bahaya, kakang-mas? Ketika engkau menolongku melawan kakek bertongkat ular yang sakti dan para pembantunya, bukankah itu pun berbahaya? Bahaya merupakan makanan bagi kita yang menentang kejahatan. Bukankah begitu?”

Jatmika semakin kagum. Biar pun dia tidak tahu benar siapa sebenarnya gadis ini, namun dari sikapnya jelas mudah diketahui bahwa gadis ini memiliki watak pendekar yang gagah perkasa.

“Aku merasa gembira dan berterima kasih sekali kalau engkau mau membantuku, Nimas Eulis. Dengan bantuan seorang yang digdaya sepertimu, tentu pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi bukankah amat perlu bagimu untuk mencari orang tuamu supaya dapat memulihkan ingatanmu?”

Sulastri menggelengkan kepalanya. “Bagaimana aku dapat mencari mereka jika aku tidak ingat siapa nama mereka, bagaimana rupa mereka dan di mana mereka tinggal? Biarkan aku ikut denganmu dan membantumu, kakang-mas, sebab saat ini hanya engkaulah satu-satunya orang yang kukenal dan kupercaya kebaikannya. Nah, ceritakan, apa sih tugasmu itu?”

“Begini, nimas. Sesungguhnya aku mengembara dengan membawa pesan dan tugas yang diberikan ayahku dan eyangku (kakekku). Mereka adalah dua orang yang paling kuhormati dan kupatuhi di dunia ini, maka aku harus menaati pesan dan perintah mereka.”

Sulastri memandang wajah pemuda itu dengan kagum.

“Ahh, ternyata engkau adalah seorang yang sangat berbakti, kakang-mas. Siapakah ayah dan eyangmu itu?”

“Ayahku bernama Ki Sudrajat. Ibuku sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Tadinya aku tinggal di Banten bersama ayah. Akan tetapi sekarang kami tinggal di pantai Dermayu untuk menemani eyang yang sudah tua sekali. Lebih dulu ayah sendiri pergi ke Dermayu, aku menyusul tidak lama kemudian. Setelah tinggal di sana beberapa minggu, aku merasa tidak betah karena banyak menganggur, maka aku berpamit untuk pergi merantau. Ayah dan eyang memberi tugas ini kepadaku.”

“Engkau belum mengatakan siapa nama eyangmu, kakang-mas.”

“O, ya, eyang bernama Ki Ageng Pasisiran dan dia sudah tua sekali, maka perlu ditemani ayahku.”

Ingatan Sulastri ternyata telah terhapus sama sekali sehingga nama gurunya ini pun sama sekali tidak teringat olehnya. Dia seperti seorang yang hidup baru dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Listyani atau Eulis, dan satu-satunya orang yang dikenalnya hanyalah Jatmika!

“Dan apa tugas yang penting itu?” tanyanya.

“Menurut ayah dan eyang, pada saat ini Kadipaten Sumedang sedang menghadapi suatu pemberontakan yang kabarnya dipimpin oleh orang-orang yang sakti. Karena antara eyang dan Sang Adipati di Sumedang masih ada hubungan sanak keluarga biar pun sudah jauh, maka eyang menyuruh aku agar pergi ke Sumedang dan membantu Kadipaten Sumedang untuk menghancurkan para pemberontak itu.”

“Sumedang? Di manakah itu, kakang-mas?’

Jatmika menghela napas dan memandang dengan sinar mata penuh iba. Gadis ini seperti seorang asing yang baru datang dari luar negeri dan baru saja berada di bumi Nusantara sehingga tidak mengenal apa-apa, bahkan Kadipaten Sumedang tidak tahu. Padahal jika mendengar logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini tentu berasal dari daerah Cirebon.

“Kadipaten Sumedang terletak di sebelah barat sana. Kalau memang engkau mau ikut dan membantuku, nimas, marilah kita berangkat sekarang juga. Tidak enak jika kita terlampau lama mengganggu Ki Lurah.”

“Baiklah, kakang-mas. Memang aku ingin sekali membantumu, akan tetapi kelak engkau harus membantu aku mencari orang tuaku.”

“Tentu saja! Jangan khawatir, nimas Eulis. Aku pasti akan membantumu sampai engkau dapat bertemu kembali dengan keluargamu.”

Dalam hatinya Jatmika merasa khawatir. Bagaimana mungkin dia dapat menemukan orang tua gadis ini yang tidak diketahui namanya, bahkan wajahnya pun tidak dikenal oleh Eulis sendiri? Lagi pula ada satu hal lain yang merisaukan hatinya. Siapa tahu gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini sudah memiliki suami atau calon suami!

Sesudah berpamit kepada Ki Lurah sekeluarga serta mengucapkan banyak terima kasih, Jatmika dan Eulis lalu meninggalkan dusun itu, melakukan perjalanan ke barat.....

********************

Ketika Aji memasuki kadipaten Cirebon, dia melihat keadaan kota itu ramai dan makmur, seperti keadaan kota-kota pesisir pada waktu itu. Perdagangan agak ramai di kota Cirebon dan terdapat toko-toko bangsa Cina yang menjual berbagai barang yang tidak tedapat di pedalaman.

Juga keadaan kota itu biasa saja, seakan tidak ada persiapan menghadapi perang besar yang direncanakan Sultan Agung untuk menyerang Kumpeni Belanda di Batavia. Padahal menurut keterangan yang dia dengar dari Suroantani, Adipati atau Raja di Cirebon sudah merupakan sekutu yang mengakui kekuasaan Mataram.

Dia lalu mencari keterangan dari penduduk tentang kota Dermayu dan sesudah mendapat petunjuk lengkap, maka berangkatlah dia ke Dermayu dengan maksud mencari Ki Subali, ayah Sulastri.

Setelah memasuki Dermayu (Indramayu), dia bertanya-tanya dan semua orang tahu siapa Ki Subali dan di mana rumahnya. Ki Subali adalah seorang dalang, satrawan dan seniman yang terkenal, bukan hanya di Dermayu bahkan terkenal sampai ke kota raja Cirebon.

Sesudah mendapat keterangan, siang hari itu juga Aji langsung saja berkunjung ke rumah Ki Subali. Rumah itu cukup besar dan terbuat dari kayu jati. Hal ini menunjukkan bahwa pemiliknya orang yang memiliki penghasilan cukup. Di pekarangan depan terdapat taman bunga yang terawat oleh tangan-tangan mungil Sulastri!

Dia memasuki pintu pagar yang tidak terjaga, melangkah di atas jalan berkerikil di tengah taman pekarangan. Keharuman bunga mawar dan melati menyambut dirinya dan kembali keharuman ini mengingatkan dia akan Sulastri yang suka menyelipkan bunga mawar dan melati ke rambutnya.

Sesudah tiba di serambi depan, dia berhenti, berdiri menghadap pintu depan yang terbuka, lalu berseru dengan lembut namun disertai tenaga dalam hingga suaranya dapat terdengar sampai jauh.

“Kulo nuwun...!”

Tidak ada jawaban.

Aji teringat bahwa di tempat itu mungkin cara memberi salam lain lagi karena bahasanya sudah banyak menggunakan bahasa Sunda. Maka dia menyusulkan salam dalam bahasa Sunda.

“Puuuunnnnten...!”

Kembali dia menanti dan tidak terdengar jawaban.

Kemudian dia pun teringat. Orang-orang pesisiran ini sudah banyak yang beragama Islam, berbeda dengan di daerah pedalaman yang belum begitu banyak umat Islam. Maka sekali lagi dia memberi salam.

“Assalaamualaikum...!”

Dan benar saja. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam, suaranya agak lemah tanda bahwa yang menjawab itu berada jauh di bagian dalam rumah.

“Alaikum salaam...!” Suara wanita.

Berdebar rasa jantung Aji. Apa bila yang muncul adalah ibu Sulastri, bagaimana dia akan dapat menceritakan apa yang sudah menimpa diri Sulastri? Dia menunggu dan terdengar langkah lembut menuju ke luar.

Muncullah seorang wanita. Tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih meninggalkan bekas kecantikan. Pakaiannya sederhana namun sopan dan rapi. Melihat bahwa tamunya seorang pemuda tampan, wanita itu memandang ragu karena tidak merasa kenal dengan pemuda itu.

“Andika siapakah, ki sanak? Dan keperluan apa yang membawa andika datang berkunjung ke sini?” Pertanyaan itu pun terdengar lembut dan sopan, membuat Aji harus berhati-hati untuk bersikap.

“Maafkan saya, bibi. Saya bernama Lindu Aji dan kalau diperkenankan, saya mohon untuk bertemu dengan Paman Subali. Benarkah ini rumah kediaman Paman Subali?”

Wanita itu adalah istri Ki Subali. Ia senang melihat sikap dan mendengar jawaban Aji yang demikian lembut dan sopan.

“Benar, anakmas, ini adalah rumah kediaman Ki Subali dan aku adalah istrinya.”

“Ahh, maaf, kanjeng bibi. Terimalah, hormat saya,” kata Aji sambil membungkuk dengan sikap hormat.

“Andika ingin bertemu dengan Ki Subali? Masuklah dan duduklah, anak-mas. Tunggulah sebentar, aku akan memberi-tahu kepadanya.” Wanita itu mempersilakan Aji duduk di atas kursi yang terdapat di serambi itu.

“Terima kasih, kanjeng bibi,” kata Aji dan dia pun duduk di atas kursi serambi, menghadap ke arah pintu yang menembus ke dalam yang dimasuki wanita itu.

Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki di ambang pintu. Usianya sekitar lima puluh tahun, beberapa tahun lebih tua dari wanita tadi, tubuhnya agak jangkung kurus, wajahnya membayangkan kesabaran dan matanya bersinar tajam. Gerak-geriknya lembut ketika dia keluar dari pintu, memandang kepada Aji dengan mulut terhias senyum lembut.

Aji cepat bangkit berdiri dan membungkuk hormat kepada pria itu.

“Maafkan saya bila kedatangan saya ini mengganggu, paman. Apakah kanjeng paman ini yang bernama Ki Subali, ayah dari nimas Sulastri?”

Wajah itu berseri gembira. “Ah, andika mengenal Sulastri? Benar, dia adalah anak tunggal kami dan sudah agak lama pergi merantau meninggalkan rumah. Andika mengenalnya? Di mana dia sekarang, anakmas?”

Aji tidak mau langsung mengejutkan hati laki-laki itu dengan berita tentang musibah yang menimpa Sulastri, maka dia kemudian berkata. “Kanjeng paman, ceritanya agak panjang. Sebaiknya kalau saya menceritakan dari pemulaan saya bertemu dan berkenalan dengan Nimas Sulastri.”

“Ahh, sebaiknya begitu. Mari, silakan duduk, anak-mas. Ehh, siapa namamu tadi? Ibunya Sulastri tadi memberi tahu, akan tetapi aku lupa lagi.”

“Nama saya Lindu Aji, kanjeng paman.”

“Lindu Aji? Nama yang jarang kutemui, akan tetapi nama yang bagus, Nak Aji.”

“Terima kasih, paman.”

Mereka lalu duduk saling berhadapan dan sejenak Ki Subali mengamati wajah pemuda itu dan agaknya dia merasa suka.

“Nah, sekarang ceritakan apa yang kau ketahui tentang anak kami Sulastri, Anakmas Aji.”

Pada saat itu Nyi Subali keluar membawa baki yang terisi cangkir-cangkir dan sebuah teko tempat air teh. Dia menaruh semua itu di atas meja.

“Kebetulan sekali engkau datang, bune. Anakmas Aji akan bercerita tentang anak kita dan engkau berhak pula mendengarnya. Duduklah,” kata Ki Subali kepada istrinya.

Wanita itu memandang Aji dengan wajah berseri lalu duduk di sebelah suaminya. Aji tahu bahwa ceritanya akan membuat kedua orang suami istri itu terkejut dan berduka, maka dia harus berhati-hati menceritakannya.

“Begini, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya datang dari Mataram dan sekarang saya sedang melakukan perjalanan merantau. Pada suatu hari saya sampai di Loano kemudian berkenalan dengan adik paman yang bernama Ki Sumali, dan kami menjadi sahabat. Saya membantu Paman Sumali melawan orang-orang jahat yang hendak memaksanya supaya bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram. Paman Sumali menolak dan terjadi pertempuran. Saya membantunya dan pada saat itu muncul Nimas Sulastri yang segera membantu kami. Akhirnya musuh dapat diusir pergi dan kami kembali ke rumah Paman Sumali.”

“Ah, jadi Lastri telah bertemu pamannya dengan selamat? Bagus sekali kalau begitu,” kata Ki Subali.

“Kemudian bagaimana, anakmas? Apakah dia masih berada di rumah Adi Sumali?” Tanya Nyi Subali.

Aji menghela napas. Saat yang paling sulit untuk bicara tiba. Tapi dia harus menceritakan dengan sejujurnya, tidak mungkin mengelak lagi.

“Ketika saya berpamit kepada Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan saya ke barat, tiba-tiba Nimas Sulastri menyatakan ingin melakukan perjalanan bersama karena katanya ia pun hendak pulang ke Dermayu. Paman Sumali dan istrinya tidak mampu menahannya, dan saya sendiri tentu saja tidak dapat menolak keinginannya. Karena itu kami berdua lalu melakukan perjalanan bersama.”

Ki Subali tersenyum. “Ahh, ternyata Adi Sumali sudah menikah? Bagus sekali! Tentu saja kalian semua takkan mampu menghalangi kehendak Sulastri. Jika anak itu sudah memiliki keinginan, siapa pun tidak akan mampu mencegahnya! Lalu bagaimana, anakmas? Kalau kalian melakukan perjalanan bersama, bagaimana sekarang engkau datang ke sini tanpa Sulastri?”

Pertanyaan terakhir ini dilontarkan Ki Subali dengan alis berkerut karena dia mulai merasa heran dan penasaran. Juga istrinya memandang Aji dengan kedua mata terbelalak penuh pertanyaan.

Aji menguatkan hatinya dan sedapat mungkin bersikap tenang.

“Pada waktu kami berdua melakukan perjalanan, di tengah perjalanan kami dihadang oleh orang-orang yang pernah kami kalahkan ketika kami membantu Paman Sumali. Mereka adalah orang-orang sakti yang kemudian ternyata adalah antek-antek Kumpeni Belanda, di antara mereka terdapat Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang sakti mandraguna. Kami berdua melawan, akan tetapi kalah kuat dan kami berdua ditawan oleh mereka.”

“Oo... Allah...! Lalu bagaimana dengan anakku Sulastri?” tanya Nyi Subali dengan kaget.

“Tenanglah, bune. Biarkan Anakmas melanjutkan ceritanya,” kata Ki Subali yang berwatak lebih tenang. “Harap lanjutkan, anakmas!”

“Kami berdua ditawan dan dibawa ke Tegal, ke rumah seorang yang bernama Ki Warga, yang saya kira tentu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda. Lalu kami dibawa ke atas sebuah kapal Belanda yang berlabuh di laut sebelah utara Tegal. Oleh Kapten De Vos kami dipaksa mengaku tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia. Tapi kami menggunakan siasat untuk menjawab keesokan harinya, sedangkan malam harinya kami mencari jalan untuk meloloskan diri.”

“Akan tetapi mengapa kalian tidak melawan?” tanya Ki Subali penasaran.

“Tidak mungkin, paman. Perempuan jahat itu, Nyi Maya Dewi, telah memberi racun pada tubuh Nimas Sulastri dan tanpa obat pemunah darinya, nyawa Nimas Sulastri tidak akan dapat tertolong lagi.”

“Ahh, perempuan itu jahat sekali!” teriak Nyi Subali.

“Karena itu kami berdua tak berdaya dan terpaksa menurut saja ketika ditawan kemudian dibawa ke kapal. Sesudah merencanakan siasat, malam itu kami berdua bergerak. Nimas Lastri membakar kapal dan saya menangkap Kapten de Vos! Dengan kapten itu sebagai sandera, saya bisa memaksa Nyi Maya Dewi agar menyerahkan obat penawar bagi racun di tubuh Nimas Lastri dan kami dapat melarikan diri dengan perahu yang mereka sediakan sambil membawa Kapten de Vos sebagai sandera.”

“Bagus! Siasat yang bagus sekali!” seru Ki Subali gembira.

“Dan bagaimana dengan keracunan anakku? Apakah bisa disembuhkan? tanya Nyi Subali.

“Kami mendapat obat penawar itu dan ternyata obat itu memang manjur. Nimas Sulastri dapat disembuhkan.”

“Dan bagaimana dengan oraang Belanda tawananmu itu?” tanya Ki Subali. “Tentu Sulastri membunuhnya!”

“Tidak, paman. Saya mencegahnya dan kami membebaskannya sesuai dengan yang telah kami janjikan ketika kami menawannya dan minta obat penawar.”

Ki Subali mengangguk-angguk. “Bagus, memang kita harus memegang janji. Akan tetapi di manakah Sulastri sekarang?”

“Setelah kami berdua bebas, kami lalu melanjutkan perjalanan dan setibanya di Kadipaten Cirebon, kami pergi menghadap Gusti Pangeran Ratu, adipati Cirebon untuk menceritakan mengenai kapal Kumpeni itu dan tentang nama orang-orang yang menjadi antek Kumpeni Belanda agar Kadipaten Cirebon dapat bersiap-siap menghadapi orang-orang berbahaya yang mengkhianati nusa dan bangsa itu.”

Ki Subali mengangguk-angguk. “Tindakan kalian itu benar. Lalu bagaimana?”

“Sesudah mendengar laporan kami, Gusti Adipati lalu meminta bantuan kami berdua untuk menangkap pemimpin gerombolan Munding Hideung yang sering kali mengacau di sekitar Gunung Cireme. Sebagai seorang hamba Mataram yang mengemban tugas Gusti Sultan Agung untuk membantu daerah-daerah menghadapi kejahatan, maka tugas itu saya terima dan Nimas Lastri juga menyatakan sanggup untuk membantu. Gusti Adipati amat senang mendengar bahwa Nimas Lastri adalah puteri paman Subali, karena katanya beliau sudah mengenal paman.”

“Ya, memang aku pernah mendalang di Kadipaten Cirebon,” kata Ki Subali mengangguk. “Akan tetapi, lalu bagaimana kelanjutannya?” Dalam suaranya terdengar kekhawatiran.

“Kami berdua lalu pergi melakukan penyelidikan ke Gunung Cireme, paman. Kami berhasil menemukan sarang gerombolan yang dipimpin oleh Munding Hideung dan Munding Bodas, kemudan terjadi pertempuran. Kami dikeroyok banyak anak buah gerombolan, akan tetapi Nimas Lastri dan saya dapat merobohkan banyak di antara mereka. Bahkan nimas Lastri berhasil menewaskan Munding Bodas, akan tetapi...”

Sukar sekali Aji melanjutkan ceritanya mengenai mala petaka yang menimpa diri gadis itu.

“Akan tetapi apa, Anakmas Aji?” tanya Nyi Subali setengah berteriak. “Apakah yang terjadi dengan anakku?”

“Ketika itu Nimas Lastri mengejar Munding Bodas ke puncak tebing. Saya sudah berseru dan berusaha mencegahnya, akan tetapi dia nekat mengejar dan berhasil memukul roboh Munding Bodas sehingga terjatuh ke bawah tebing yang curam. Akan tetapi pada saat itu pula Nimas Lastri dihujani anak panah oleh para anak buah gerombolan itu. Saya melihat sebatang anak panah mengenai pundaknya dan dia... dia...”

“Dia kenapa?!” Ki Subali membentak dan wajah istrinya menjadi pucat sekali.

“Kenapa anakku Sulastri?” teriak wanita itu sambil bangkit berdiri.

Aji menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandangan mata mereka dan berkata lirih.

“Dia... dia terjatuh ke bawah tebing itu...”

“Aaaaiiiihhhh...” jerit melengking ini disusul robohnya tubuh Nyi Subali.

Suaminya cepat merangkulnya sehingga wanita yang pingsan itu tidak sampai terbanting roboh. Dengan bantuan Aji, wanita yang pingsan itu lantas diangkat dan direbahkan di atas sebuah dipan.

“Biarkan saya menolong bibi, paman,” kata Aji dan dia segera memijit lekukan bibir atas tepat di bawah hidung Nyi Subali lalu mengurut tengkuknya beberapa kali.

Wanita itu siuman dan mengeluh lirih. Dia membuka mata dan segera teringat. Serentak ia bangkit dan memandang kepada Aji dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat sekali.

“Ahh, anakku... Sulastri... bagaimana dengan dia...?” Dia bertanya lirih dan suaranya yang gemetar itu sudah diselingi isak tangis.

“Saya cepat turun ke bawah tebing untuk mencarinya, tapi saya hanya menemukan mayat Munding Bodas. Juga pedang Nogo Wilis milik Nimas Sulastri ditemukan oleh orang-orang yang membantu saya. Sedangkan Nimas Sulastri lenyap tanpa meninggalkan bekas...”

“Sulastri...! Oh Allah, anakku...!” Nyi Subali menangis tersedu-sedu.

Ki Subali segera bangkit menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi sambil mengguguk dalam tangisnya. Dia meletakkan tangannya di pundak istrinya sambil menghiburnya.

“Tenanglah, ibune dan jangan putus asa. Bagaimana pun juga, belum ada buktinya bahwa anak kita tewas.”

“Itu benar, kanjeng bibi. Saya sudah mencari, bahkan dibantu puluhan orang, namun tidak ada tanda-tandanya bahwa Nimas Sulastri tewas di dasar tebing itu. Harapan masih besar sekali dan kemungkinan besar dia masih hidup, kanjeng bibi.”

Ucapan dua orang laki-laki itu meredakan tangis Nyi Subali. Ia menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya dengan sepasang mata yang kemerahan. “Akan tetapi, jika dia masih hidup, ke mana dia pergi? Kenapa dia tidak menemui Anakmas Aji?”

Tentu saja Ki Subali tidak mampu menjawab. Dia menghadapi Aji lalu berkata. “Anakmas Aji, bukankah tebing itu tinggi sekali? Bagaimana mungkin Sulastri yang terjatuh ke bawah tebing itu dapat lolos dari maut?”

“Memang tampaknya aneh sekali, kanjeng paman. Sebenarnya kalau menurut perhitungan akal kita, saya juga tidak dapat percaya bahwa orang yang terjatuh ke bawah tebing yang demikian curam dan tinggi, dapat lolos dari kematian. Munding Bodas yang terjatuh itu pun tewas dengan tulang patah-patah.” Dia teringat akan tanda telapak tangan hitam di dada mayat Munding Bodas. “Tapi kenyataannya jenazah Nimas Sulastri tidak dapat ditemukan. Karena itu saya yakin, kanjeng paman dan kanjeng bibi, bahwa Nimas Sulastri pasti masih hidup!” Ucapan Aji yang penuh keyakinan ini menghidupkan harapan dalam hati suami istri itu.

“Akan tetapi bagaimana mungkin, Anakmas Aji?” tanya Ki Subali.

“Paman Subali, apakah paman percaya akan kekuasaan Gusti Allah yang mujijat?” tanya Aji.

“Tentu saja!”

“Nah, kalau memang demikian, mengapa kanjeng paman masih merasa sangsi dan heran kalau Nimas Sulastri tidak tewas, biar pun dia telah terjatuh ke bawah tebing? Kalau Gusti Allah menghendaki dia hidup, apa sukar dan anehnya bagi Kekuasaan Gusti Allah untuk menyelamatkannya?”

Ki Subali menarik napas panjang, kini hatinya merasa lega. “Maafkan aku yang bodoh ini, anakmas. Aku hampir saja lupa bahwa tak ada hal yang mustahil bagi Gusti Allah. Andika benar, sekarang aku pun mulai merasa yakin bahwa anakku Sulastri masih hidup karena buktinya, andika tidak dapat menemukan jenazahnya, berarti dia belum tewas dan dengan mujijat dan cara ajaib Gusti Allah telah menolongnya.”

“Tetapi kalau Sulastri selamat, semoga Gusti Allah mengampuni kami dan menyelamatkan anakku, lalu di manakah dia berada? Kenapa dia menghilang tanpa meninggalkan jejak?” tanya Nyi Subali yang kini telah menjadi tenang akibat ucapan-ucapan Aji dan Ki Subali.

“Memang terjadi keanehan, kanjeng bibi. Saya sendiri juga merasa heran dan sama sekali tidak mengerti ke mana Nimas Lastri pergi. Akan tetapi saya yakin bahwa dia selamat dan mungkin saja ada orang yang telah menyelamatkannya lalu dia pergi dengan penolongnya itu,” kata Aji.

“Mudah-mudahan dugaanmu itu benar, Anakmas Aji,” kata Ki Subali penuh harapan.

“Kanjeng paman, saya ingin menanyakan sesuatu kepada paman.”

“Silakan, apa yang ingin andika ketahui?”

“Saya mendengar dari Nimas Lastri bahwa gurunya bernama Ki Ageng Pasisiran. di mana beliau itu sekarang?”

“Ki Ageng Pasisiran tinggal di sebuah pondok di pantai laut. Mengapa andika menanyakan hal itu?”

“Begini, paman. Saya melihat ada satu aji pukulan yang dilakukan Nimas Sulastri, dan aji pukulan itu saya kenal baik. Karena itu saya ingin bertemu dengan Ki Ageng Pasisiran itu. Biarlah nanti saya mencarinya di pantai. Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah paman mengenal seorang bernama Raden Banuseta yang merupakan seorang tokoh persilatan terkenal di kerajaan Galuh?”

“Raden Banuseta? Tentu saja aku mengetahuinya, anakmas. Dia ini adalah ketua cabang perguruan Dadali Sakti di Dermayu. Dulu ketika Sulastri merengek minta belajar silat, dia hendak kumasukkan ke Perguruan Silat Dadali Sakti, akan tetapi anak itu tidak mau dan berkeras minta agar menjadi murid Ki Ageng Pasisiran.”

Berdebar rasa jantung Aji mendengar ini. “Kanjeng paman mengenalnya?”

“Tidak mengenal secara pribadi, anakmas. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang namanya dikabarkan sebagai orang yang tidak pantas kujadikan sahabat.”

“Ahh, bagaimana kabarnya tentang Raden Banuseta itu, kanjeng paman?”

“Dia terkenal angkuh dan sombong, sering mengandalkan kedigdayaannya dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukannya sebagai putera bangsawan. Kabarnya dia juga laki-laki mata keranjang yang suka merusak pagar ayu dan mengganggu anak bini orang. Tapi itu masih belum seberapa, belakangan ini aku mendengar desas desus bahwa dia berhubungan akrab dengan Kumpeni Belanda.”

“Hemm, benarkah itu?”

“Belum ada bukti nyata, akan tetapi ketika ada kapal Belanda mengadakan pesta, dia pun termasuk salah seorang yang datang sebagai tamu undangan. Sejak itu didesas desuskan bahwa Raden Banuseta itu membantu Kumpeni Belanda, atau setidaknya ada hubungan dengan mereka.”

Girang hati Aji mendengar ini. Ternyata Raden Banuseta adalah seorang yang tersesat. Di samping angkuh dan sombong, dia juga suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedigdayaan dan kedudukannya sebagai putera bangsawan, berwatak mata keranjang dan suka merusak pagar ayu, juga dicurigai sebagai pembantu Kumpeni Belanda. Alasan ini cukup baginya untuk menentang orang yang telah membunuh ayah kandungnya itu!

Dia masih ingat akan ajaran Ki Tejo Budi. Dia tak akan membalas dendam untuk kematian ayahnya, melainkan dia akan menentang Raden Banuseta karena kejahatannya.

“Kanjeng paman, di manakah rumah perguruan Dadali Sakti itu?”

“Di ujung jalan besar kota ini, di dekat gapura kota. Rumahnya besar dan pekarangannya luas. Semua orang tahu di mana rumah perguruan Dadali Sakti itu,” kata Ki Subali, sama sekali tidak tahu apa yang berada dalam hati Aji.

“Sekarang saya hendak mohon diri, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya berjanji akan mencari keterangan tentang Nimas Lastri dan kalau sudah berhasil, akan saya kabarkan ke sini.”

“Baiklah dan terima kasih atas semua berita yang andika bawa tentang anak kami. Juga terima kasih sebelumnya bahwa andika akan mencarinya,” kata Ki Subali.

Aji bangkit, memberi hormat lalu meninggalkan rumah orang tua Sulastri itu. Dari situ dia langsung pergi mencari rumah perguruan Dadali Sakti.

Akan tetapi baru belasan langkah dia meninggalkan rumah keluarga Ki Subali, dia teringat akan pedang Nogo Wilis milik Sulastri yang masih dibawanya. Pedang itu sudah tidak ada sarungnya, dan hanya dia libat dengan kain lalu dia selipkan pada pinggangnya. Teringat akan ini, dia segera memutar tubuhnya dan kembali ke rumah Ki Subali.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)