ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-34

Suami istri itu masih berdiri di serambi depan, masih termenung memikirkan anak mereka. Melihat pemuda itu datang lagi, mereka cepat-cepat menyambut.

“Andika kembali lagi, ada berita apa lagi, anakmas?” tanya Ki Subali penuh harap.

Aji menghela napas, merasa kasihan kepada orang tua itu yang tentu saja merasa sangat gelisah karena kehilangan puterinya tersayang itu. Dia mencabut pedang yang terbungkus kain itu lalu menyerahkannya kepada Ki Subali sambil berkata, “Kanjeng paman, tadi saya lupa untuk menyerahkan pedang ini kepada paman. Terimalah pedang ini dan simpanlah, paman. Ini adalah pedang milik Nimas Sulastri.”

Ki Subali menerima bungkusan pedang itu. “Apakah andika tidak memerlukan pedang ini, anakmas? Kalau andika memerlukannya, bawa dan pakailah dulu.”

“Terima kasih, paman. Saya tidak memerlukannya. Sebaiknya paman simpan saja dahulu dan kelak paman berikan kembali kepada Nimas Sulastri bila dia pulang. Permisi, kanjeng paman dan kanjeng bibi.” Aji berpamit lalu melangkah keluar lagi.

Kini ia melangkah cepat menuju ke ujung jalan besar kota Dermayu. Setelah tampak pintu gerbang, dia bertanya kepada seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang dia jumpai di jalan.

“Maafkan saya, paman. Saya hendak bertanya.”

Lelaki itu memandang kepadanya dan tersenyum. “Orang muda, apakah yang hendak kau tanyakan? Wajahmu tampak begitu gembira! Tentu perkara baik yang akan kau tanyakan padaku.”

Diam-diam Aji terkejut sekali. Dia berwajah gembira? Apa yang menggembirakan hatinya? Dia termangu sejenak, lantas berkata, “Saya hendak bertanya, di mana rumah perguruan Dadali Sakti, paman?”

“Ahh, perguruan Dadali Sakti?” Tiba-tiba wajah orang itu nampak muram, alisnya berkerut dan pandang matanya tidak senang. “Kiranya andika orang Dadali Sakti?”

Aji menggelengkan kepalanya. “Kalau saya orang Dadali Sakti, tentu tidak akan bertanya di mana rumah perguruan itu, paman.”

“Hemm, akan tetapi andika hendak berkunjung ke sana, tentu sahabat perguruan itu. Di sana tempatnya, itu yang pekarangannya luas.” Sesudah berkata demikian, dengan muka membayangkan ketidak senangan hatinya, laki-laki itu segera melanjutkan perjalanannya, pergi meninggalkan Aji.

Untuk sejenak Aji masih berdiri termenung. Yang teringat olehnya dan masih berdengung di dalam telinganya adalah ucapan orang tadi yang mengatakan bahwa wajahnya tampak amat gembira! Kini harus diakuinya bahwa memang hatinya sedang gembira sekali.

Mengapa? Dia bertanya kepada diri sendiri dan dia menyadari bahwa kegembiraannya itu timbul ketika mendengar bahwa Raden Banuseta adalah orang jahat, bahkan mungkin dia menjadi antek Kumpeni. Dengan demikian maka ada alasan untuk menentangnya, bahkan membunuhnya! Padahal sejak dahulu keinginan ini memang selalu bersembunyi di dalam kalbunya, keinginan untuk membunuh Raden Banuseta, keinginan yang timbul karena rasa dendam dan sakit hati, karena ayahnya telah dibunuh Raden Banuseta!

Menyadari akan hal ini, Aji tertegun! Dia lalu memejamkan mata dan hatinya berbisik, “Duh Gusti, ampuni kiranya hati hamba yang lemah ini, yang dicemari dendam kebencian. Duh eyang Tejo Budi, ampunilah murid eyang ini.”

Setelah menenangkan perasaannya barulah Aji membuka matanya kemudian memandang ke arah rumah berpekarangan besar yang ditunjuk orang tadi. Kini hatinya menjadi tenang, perasaan gembira yang menyembunyikan dendam itu pun sudah tidak terasa lagi. Dengan tenang dia melangkah menuju ke rumah besar yang berpekarangan luas itu. Kini dia yakin apa yang akan dilakukannya.

Tidak, dia tidak sudi dipengaruhi dendam sakit hati karena terbunuhnya ayah kandungnya oleh Raden Banuseta. Dia tahu bahwa dahulu ayahnya juga telah membunuh ayah Raden Banuseta karena bangsawan itu menculik dan memperkosa istri pertama ayahnya hingga wanita itu membunuh diri.

Dendam mendendam, balas membalas yang tiada berkesudahan!

Dia tidak boleh menambah mata rantai baru pada untaian mata rantai karma itu. Rantai balas membalas itu baru akan putus kalau dia tidak mendendam dan membenci. Dia akan menghadapi Raden Banuseta untuk menentang kejahatannya, sama sekali bukan untuk membalas dendam.

Di pintu pagar pekarangan itu dia berhenti. Dilihatnya di pekarangan itu tumbuh sebatang pohon jambu dan sebuah papan yang cukup lebar tergantung di dahan pohon. Papan itu warna dasarnya putih dan terdapat lukisan sepasang burung dadali (walet) hitam sedang bertarung di udara. Lukisan sepasang burung itu sangat indah dan di bawahnya terdapat tulisan:

PERGURUAN SILAT DADALI SAKTI.

Tidak salah lagi, inilah rumah perkumpulan Dadali Sakti itu dan Raden Banuseta adalah ketuanya. Dengan sikap tenang dia lalu mendorong pintu pagar itu sehingga terbuka dan dia melangkah memasuki pekarangan.

Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh tinggi besar dan berpakaian ringkas seperti yang biasa dipakai para pendekar silat muncul dari serambi rumah besar itu dan melangkah cepat menyambut Aji. Dari sikap dan wajah mereka, jelas tampak bahwa kedua orang itu merasa tidak senang dan menganggap kedatangan Aji ke tempat itu sebagai sebuah gangguan.

“Heh, ki sanak! Lancang benar kamu masuk ke pekarangan kami!” bentak salah seorang dari mereka yang berhudung pesek.

“Siapakah kamu yang berani masuk tanpa ijin ke sini?” bentak orang kedua yang berkumis tebal. Keduanya memandang Aji dengan mata melotot galak.

Aji tersenyum sabar dan sikapnya tenang saja.

“Maafkan jika kedatanganku ini mengganggu andika berdua. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan Raden Banuseta.”

Melihat pemuda itu tidak terlihat gentar oleh sikap bengis mereka dan mendengar bahwa dia ingin bertemu dengan Raden Banuseta, dua orang itu saling pandang dan tiba-tiba saja sikap mereka berubah.

Si kumis tebal melintang bertanya dengan nada suara berbeda, sekarang menjadi ramah dan merendah, bahkan kalau tadinya menyebut kamu kini andika. “Mohon tanya, siapakah nama andika dan apakah andika ini sahabat ketua kami Raden Banuseta?”

Melihat perubahan sikap mereka, tahulah Aji dengan orang-orang macam apa dia sedang berhadapan. Orang-orang semacam ini biasanya senang menindas bawahan dan menjilat atasan! Kepada rakyat yang lemah mereka bertindak sewenang-wenang dengan kejam, akan tetapi kepada orang-orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, mereka menjilat dan mencari muka.

“Aku bukan sahabat Raden Banuseta akan tetapi aku mempunyai keperluan penting sekali untuk bertemu dan bicara dengan dia. Karena itu harap andika berdua suka melaporkan bahwa aku datang ingin bertemu dan bicara dengan dia.”

Kembali dua orang itu saling pandang dan mereka bersikap ragu-ragu. “Dapatkah andika memberi tahu kepada kami siapakah andika dan apakah keperluan dengan ketua kami itu, agar kami dapat melaporkannya kepada wakil ketua kami?” tanya yang berhidung pesek.

“Kenapa kepada wakil ketua? Aku ingin bicara dengan Raden Banuseta, ketua perguruan Dadali Sakti.”

“Ketua kami sedang pergi, akan tetapi marilah andika kami hadapkan kepada wakil ketua kami supaya andika mendapat keterangan yang lebih jelas,” kata si kumis tebal yang mulai menaruh curiga dan sengaja hendak membawa tamu itu menghadap wakil ketua sehingga atasannya itu yang akan mengambil keputusan.

Aji segera mengangguk menyetujui. Memang dia bermaksud hendak menyelidiki keadaan perguruan Dadali Sakti yang memiliki nama buruk di daerah Dermayu, yang kabarnya para anggotanya telah bertindak sewenang-wenang. Bukan hanya Raden Banuseta yang harus diselidiki dan ditentangnya, melainkan juga perguruan ini akan ditentangnya kalau memang benar suka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.

“Baiklah, mari kita menghadap wakil ketua kalian,” katanya, kemudian dia mengikuti dua orang anggota Dadali Sakti itu memasuki rumah besar itu.

Ternyata rumah itu memang luas sekali, memiliki banyak kamar dan lorong. Melalui lorong mereka menuju ke bagian belakang di mana terdapat sebuah ruangan berlatih pencak silat yang amat luas.

Pada saat mereka memasuki ruangan luas itu, tampak banyak orang berkumpul di situ. Aji melihat ada sekitar tiga puluh orang laki-laki yang sikapnya keras seperti dua orang yang mengawalnya, berpakaian seperti pendekar silat dan duduk di lantai membentuk lingkaran luas.

Dan di dalam lingkaran itu berdiri seorang lelaki gemuk pendek yang berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya juga seperti yang biasa dipakai mereka yang menganggap dirinya jagoan atau pendekar silat. Walau pun pakaiannya gagah dan ada sebatang keris dengan warangka terukir indah terselip pada pinggangnya, namun karena bentuk tubuhnya yang pendek gemuk itu, dia sama sekali tidak tampak gagah malah lucu menggelikan.

Di depan laki-laki pendek gendut itu berdiri seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan, sedangkan gadis yang berdiri di sebelahnya dan selalu memegangi lengan kiri pemuda itu dengan kedua tangannya, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah manis dan tubuhnya indah bagaikan kembang yang sedang mekarnya. Namun dia tampak ketakutan, mukanya sedikit pucat dan dia tidak pernah melepaskan lengan pemuda itu seakan minta perlindungannya. Pemuda itu juga bersikap tegang akan tetapi tidak tampak takut, bahkan sinar matanya menyinarkan kemarahan.

Aji melihat betapa dahi gadis itu masih jelas tampak bekas dicukur seperti biasanya pada pengantin wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis itu belum lama melangsungkan pernikahannya, mungkin baru beberapa hari yang lalu. Hemm, agaknya mereka sepasang pengantin baru, pikirnya sambil mengamati dua orang muda yang berdiri di depan laki-laki gendut pendek yang mulutnya cemberut dan sepasang matanya melotot akan tetapi tidak nampak menyeramkan melainkan terlihat lucu seperti seorang badut sedang beraksi.

“Wakil ketua kami sedang sibuk, kita tunggu saja sambil duduk di sini,” kata si kumis tebal kepada Aji.

Mereka berdua lalu duduk di luar lingkaran. Aji juga ikut duduk bersila di atas lantai sambil memperhatikan apa yang akan terjadi.

“Ki sanak,” terdengar pemuda itu berkata dengan suara yang lantang dan tabah. “Karena mendengar bahwa Dadali Sakti adalah sebuah perguruan silat yang terkenal, maka kami memenuhi panggilan untuk datang ke sini pada hari ini. Tetapi mengapa kini kami dibawa ke ruangan ini, kemudian dikepung dan diperlakukan seperti orang-orang yang dihadapkan ke pengadilan?”

“Heh, bocah! Kamu yang bernama Sumanta, bukan? Nah, kini bukalah matamu lebar-lebar dan ketahuilah bahwa aku adalah Raden Wiratma, wakil ketua dari Cabang Dadali Sakti di Dermayu ini! Jangan sebut aku ki sanak, apa kau kira aku ini adalah sanak keluargamu? Sebut aku Raden, tahu?” Si pendek gendut membentak dengan suara yang dibuat galak, namun tetap saja terdengar seperti orang merengek karena suaranya kecil dan serak.

Dari sikap serta cara bicara pemuda dan wakil ketua Dadali Sakti itu saja jelaslah bagi Aji siapa di antara mereka yang baik dan buruk, siapa yang harus dibelanya dan siapa yang harus ditentangnya.

“Baiklah, raden dan maaf, karena saya tidak tahu sebelumnya. Akan tetapi mengapa kami berdua dipanggil untuk datang ke sini dan apa artinya semua ini?”

“Aku mewakili Adimas Raden Banuseta ketua Dadali Sakti untuk mengadili kau, Sumanta! Kau telah berani mati merampas Sriyani menjadi istrimu, padahal Adimas Raden Banuseta menaksirnya. Berani benar kau mendahului dan mengawini wanita ini!” Si pendek gendut itu menudingkan telunjuknya ke arah wanita yang memegang erat lengan Sumanta.

“Kakang, mari kita pergi saja dari sini. aku takut...” Sriyani berbisik.

“Jangan takut, Yani. Kita tidak punya kesalahan apa pun, tidak ada yang perlu kita takuti.” Sumanta menghibur istrinya, kemudian menghadapi Raden Wiratma dan berkata dengan suara tegas, “Raden Wiratma, saya sama sekali tidak merampas Sriyani dari siapa pun. Saya menikahinya melalui pinangan orang tua saya dan kami menikah dengan sah. Saya tidak merasa bersalah.”

“Huh! Adimas Raden Banuseta sudah menaksirnya, berarti Sriyani itu calon miliknya dan tidak ada yang boleh mengambilnya. Siapa pun juga, apa lagi kamu!”

Sumanta menoleh kepada Sriyani, “Yani, benarkah Raden Banuseta menaksirmu dan kau sudah menjadi calon miliknya?” tanyanya dengan suara lembut.

Sriyani mengerutkan alisnya sambil menggelengkan kepala.

“Tidak, sama sekali tidak! Aku tidak pernah kenal siapa itu Raden Banuseta!”

Sumanta tersenyum lega kemudian memandang kepada Wakil Ketua Dadali Sakti. “Raden Wiratma, andika mendengar sendiri ucapan Sriyani.”

Raden Wiratma langsung cemberut. “Memang belum diminta secara resmi. Tetapi Adimas Raden Banuseta telah melihatnya dan merasa tertarik. Dia ingin memilikinya.”

Sumanta mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran bukan main. “Bagaimana pun juga, kenyataannya sekarang Sriyani sudah menjadi istri saya. Jadi apa maksud andika memanggil kami berdua ke sini?” tanyanya.

“Sumanta, kau harus menyerahkan Sriyani kepada Adimas Raden Banuseta!” kata Raden Wiratma dengan bentakan yang mengandung ancaman.

Mendengar ini saja Aji sudah mengerutkan alis dan mengepal tangannya. Sungguh bejat watak orang pendek gendut itu, pikirnya. Mana ada aturan seorang suami dipaksa harus menyerahkan istrinya kepada orang lain?

“Mana mungkin! Sriyani sudah menjadi istriku, dia tidak bisa menikah dengan orang lain!” bantah Sumanta yang hatinya mulai panas.

“Mungkin saja kalau dia sudah menjadi janda,” kata si gendut pendek sambil menyeringai menjemukan dan matanya mengerling ke kanan kiri.

Sumanta terbelalak, dia sudah marah sekali. “Apa maksudmu?!” bentaknya.

“Dia akan menjadi janda kalau kau menceraikan dia,” kata Raden Wiratma.

“Tidak mungkin! Aku tidak mau menceraikan istriku!”

“Kalau begitu ada jalan lain agar dia menjadi janda, yaitu kalau engkau mampus!” Raden Wiratma tertawa, suara tawanya mengikik dan segera disusul ketawa hampir semua orang yang berada di situ.

Sumanta menjadi marah bukan main lalu bertolak pinggang. Dia menyuruh istrinya supaya berdiri di belakangnya.

“Hemm, beginikah kegagahan orang-orang Dadali Sakti yang mengaku sebagai pendekar-pendekar? Memaksa orang menyerahkan istrinya dan kalau menolak lalu hendak dibunuh dengan pengeroyokan banyak anggotanya? Ini curang, pengecut dan memalukan sekali!”

Wakil Ketua Dadali Sakti yang pendek gendut itu terbelalak marah, telunjuk kanannya lalu menuding ke arah muka Sumanta dan suaranya yang kecil itu terdengar semakin serak.

“Sumanta! Tutup mulutmu! Untuk membunuh seekor cacing tidak perlu mempergunakan banyak orang, bahkan tidak perlu aku turun tangan sendiri. Agaknya kamu adalah jagoan Jatibarang, ya? Kami adalah para pendekar Dadali Sakti, jika menantang orang tentu satu lawan satu.”

Ia menoleh ke belakang lalu berseru kepada seorang pembantunya yang dianggap paling tangguh di antara para anggota Dadali Sakti. “Badrun, ke sini kau!”

Yang dipanggil segera saja bangkit berdiri dan Aji melihat bahwa orang itu adalah seorang raksasa muda yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Agaknya orang itu sengaja hendak memamerkan tubuhnya karena dia tidak memakai baju sehingga mulai dari batas pinggang ke atas tubuhnya dalam keadaan telanjang. Tubuh yang mengandung otot besar dan melingkar-lingkar, kedua lengannya panjang dan kokoh, dadanya bidang dan berbulu, tengkuknya tebal seperti berpunuk dan lehernya seperti leher seekor banteng! Orang ini benar-benar menyeramkan sekali.

Aji teringat akan Hendrik De Haan, jagoan raksasa bule yang pernah diadu dengan dia di atas kapal Kapten De Vos. Raksasa bernama Badrun ini sama besar dan kokoh kuatnya seperti Hendrik De Haan! Bagai seekor biruang Badrun melangkah maju mendekati Raden Wiratma.

“Apa yang harus saya lakukan, bapa guru?” tanya raksasa itu kepada Raden Wiratma.

Memang dia adalah murid wakil ketua ini, murid tersayang karena Badrun memang sangat tangguh. Di perguruan itu hanya kedigdayaan Raden Wiratma dan Raden Banuseta saja yang melebihinya. Tapi Raden Wiratma tidak menjawab melainkan memandang Sumanta sambil menyeringai penuh ejekan.

“Heh-heh-heh! Bagaimana, Sumanta? Kamu mau menceraikan Sriyani atau kamu berani menandingi muridku Badrun ini?”

“Kang... jangan... aku takut, kang...” Sriyani yang berdiri di belakang suaminya mengeluh.

“Tenanglah, Yani, engkau istriku, aku akan membelamu sampai mati!” Kemudian Sumanta menghadapi Raden Wiratma dan raksasa itu, bertanya dengan suara yang terdengar tetap tenang. “Kalau aku dapat memenangkan pertandingan ini, tentu andika akan membiarkan aku dan istriku pulang, bukan?”

“Kamu menang? Ha-ha-ha...!” Raden Wiratma tertawa terkekeh, diikuti suara tawa semua anggota Dadali Sakti.

Bagi mereka menggelikan sekali mendengar pertanyaan Sumanta itu. Bagaimana mungkin Sumanta bisa mengalahkan Badrun? Pernah raksasa itu dikeroyok lima orang dan semua pengeroyoknya akhirnya roboh dengan tulang patah-patah.

“Jawablah, Raden Wiratma dan jangan berlaku curang. Bila aku kalah, mungkin aku akan mati di sini dan istriku menjadi janda. Tapi bagaimana jika aku keluar sebagai pemenang? Apakah aku boleh membawa istriku pergi dan pulang tanpa gangguan?”

Sambil masih tertawa sebab merasa betapa lucunya ucapan Sumanta itu, Raden Wiratma berkata. “Boleh... boleh, he-heh-heh, engkau akan mampus dan semua tulang di tubuhmu akan patah-patah, he-heh-heh.” Kemudian si pendek gendut itu menoleh kepada muridnya yang seperti raksasa itu.

“Badrun, habisi bocah ini!” Dan dia pun mundur sampai ke lingkaran para anggota Dadali Sakti.

Sambil menyeringai lebar Badrun menghampiri Sumanta. Tinggi dan besar tubuhnya satu setengah kali ukuran tubuh Sumanta dan dia tampak menggiriskan sekali.

Dengan lembut Sumanta mendorong pundak istrinya dan berkata. “Sriyani, kau minggirlah dan jangan takut. Aku akan menandingi orang ini.”

Sriyani mundur sambil berkata lirih. “Kakang, kuharap engkau menang. Bila engkau kalah dan mati, maka aku pun tidak mau hidup lagi.”

Sejak tadi Aji memperhatikan, melihat dan mendengar semua itu. Bahkan dia mendengar ketika Raden Wiratma berkata dengan bisikan kepada seorang anggota Dadali Sakti yang duduk di belakangnya.

“Engkau siap-siap, kalau bocah itu roboh, cepat tangkap gadis itu dan jaga jangan sampai dia membunuh diri.” Hanya Aji yang mendengar bisikan itu.

Sementara itu Badrun sudah berhadapan dengan Sumanta. Ia menyeringai lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang besar-besar.

“Heh, Sumanta bocah Jatibarang, sudah siapkah engkau menghadapi seranganku?”

“Aku sudah siap!” kata Sumanta tenang.

Badrun memberi isyarat ke belakang, kemudian terdengarlah bunyi terompet dan kendang bertalu-talu. Itulah bunyi gamelan kendang pencak yang biasa dimainkan oleh para murid Dadali Sakti untuk mengiringi gerakan pencak silat kalau mereka sedang berlatih.

Badrun yang bertubuh tinggi besar itu mulai dengan gerakan pembukaan dan kembangan. Gerakannya amat gagah, diikuti suara berketipak-tipungnya kendang yang berirama keras. Melihat ini, Sumanta yang juga seorang ahli pencak silat segera mengimbangi, membuat gerakan pembukaan dan kembangan yang indah.

Mereka berdua seperti dua ekor ayam jantan saling mengintai untuk mencari kesempatan memasukkan pukulan atau tendangan. Mereka membuat gerakan berkeliling, mengubah-ubah posisi, diikuti pandang mata semua anak buah Dadali Sakti.

Sriyani menonton dengan wajah pucat, penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Akan tetapi Aji yang mengikuti gerak-gerik mereka, merasa lega. Dari gerakan kaki tangan mereka, Aji segera maklum bahwa Sumanta memiliki kemahiran pencak silat yang cukup tangguh.

“Aiiittt...!” Badrun tiba-tiba menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang menampar dari samping.

Dengan lincahnya Sumanta mengelak ke belakang, akan tetapi kini pukulan tangan kanan Badrun menyusul, cepat dan kuat sekali. Tangan kanan yang terbuka itu menghantam ke arah kepala Sumanta dari atas.

“Wuuuuttttt...! Dukk!”

Sumanta menangkis dari samping sehingga dia memotong luncuran lengan lawan dari atas itu, tidak menangkis dan mengadu tenaga secara keras lawan keras. Hal ini menunjukkan kecerdikannya. Agaknya Sumanta maklum akan tenaga lawan yang besar, maka dengan menangkis dari samping, berarti dia tidak mengadu tenaga namun memukul dari samping sehingga lengan kanan Badrun terdorong ke samping, membuat tubuhnya agak terhuyung.

Sumanta tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi lawannya terhuyung, Sumanta segera menerjang ke depan dan menggunakan tangan kanannya memukul ke arah muka lawan. Pukulannya cukup kuat dan membawa angin pukulan yang dahsyat. Badrun yang sedang terhuyung tidak sempat mengelak, akan tetapi dia masih bisa miringkan tubuhnya sehingga mukanya terlindung oleh pundak kirinya.

“Wuuuttt...! Dessss!”

Pundak atau pangkal lengan kiri Badrun menerima pukulan tangan Sumanta dan kembali tubuh raksasa itu terhuyung ke belakang, bahkan kini hampir saja dia terpelanting. Namun raksasa itu memiliki tubuh yang dilindungi kulit yang tebal dan kuat, mempunyai kekebalan sehingga pukulan yang mengenai pangkal lengannya itu tidak membuatnya cidera, hanya terasa agak nyeri dan panas.

Hatinya lebih panas lagi. Dia berhasil menegakkan lagi tubuhnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa kelaparan, dia cepat menerjang maju, menghujani Sumanta dengan serangan bertubi-tubi. Tidak percuma Badrun menjadi murid paling tangguh dari perguruan Dadali Sakti karena biar pun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun dia dapat bergerak cepat sekali.

Diiringi bunyi kendang dan terompet, Badrun menjadi makin bersemangat. Kedua tangan dan sepasang kakinya bergerak cepat menyambar-nyambar dan menghujankan serangan kepada lawannya.

Tapi ternyata Sumanta memiliki kelincahan dan ketangkasan. Semua serangan yang kuat dan cepat itu dapat dia hindarkan dengan elakan dan tangkisan.

Melihat gaya permainan pencak Sumanta, tahulah Aji bahwa gaya silat pemuda Jatibarang itu lebih ditekankan kepada pertahanan atau penjagaan diri sehingga pertahanannya amat rapat. Akan tetapi karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk bertahan, maka dia pun tidak mempunyai banyak kesempatan untuk balas menyerang. Maka pertandingan itu tampaknya berat sebelah.

Badrun menyerang terus-terusan, ada pun Sumanta hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menggembirakan para anggota Dadali Sakti karena tampaknya Badrun bisa mendesak lawannya. Bahkan anggota Dadali Sakti yang oleh Raden Wiratma ditugasi untuk menjaga Sriyani, sudah mulai mendekati lantas duduk di belakang gadis yang masih berdiri itu, siap mencegah kalau gadis itu hendak membunuh diri setelah suaminya roboh.

Tetapi Aji sama sekali tidak merasa khawatir. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa selain pertahanan Sumanta amat kokoh kuat sukar ditembus oleh Badrun yang mulai berkeringat dan serangan-serangannya ngawur, juga agaknya Sumanta sedang menanti kesempatan baik untuk membalas dengan serangan yang tepat.

Dugaan Aji itu tepat sekali. Setelah Badrun mulai terengah dan berkeringat karena banyak mengerahkan tenaga yang terbuang secara percuma, dengan penasaran dan marah sekali tangan kanannya yang terkepal itu menghantam ke arah dagu Sumanta dari bawah. Cepat dan kuat sekali pukulan ini. Seandainya mengenai dagu Sumanta, tentu pemuda itu akan roboh dengan tulang rahang patah-patah!

Akan tetapi agaknya serangan ini membuka kesempatan bagi Sumanta. Dia mengelak dan pada saat lengan kanan Badrun lewat dan terangkat, cepat sekali Sumanta memasukkan pukulan melalui bawah lengan kanan Badrun, menghantam dada yang kokoh kuat itu.

“Wuuuttt...! Dukkk!”

Pukulan itu kuat sekali, tapi tidak cukup kuat untuk merobohkan Badrun, hanya membuat raksasa itu hampir terjengkang dan mulutnya mengeluarkan seruan kaget. Pada saat itu pula kaki kanan Sumanta menyambar ke arah perut raksasa itu.

“Dessss...!”

Tanpa dapat dicegah lagi tubuh raksasa itu langsung terpelanting. Tetapi ternyata Badrun memiliki tubuh yang kuat. Biar pun hantaman pada dada disusul tendangan pada perutnya itu mendatangkan rasa nyeri yang cukup hebat, namun dia dapat bangun dengan cepat. Dadanya terasa nyeri dan perutnya mulas, akan tetapi hal ini membuat dia semakin marah dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat dengan tendangan kilat.

Sumanta dapat melihat bahwa tendangan yang dilakukan sekuat tenaga itu sesungguhnya goyah, tanda bahwa lawannya itu masih menderita akibat pukulan dan tendangannya tadi, maka dia segera mengelak ke kiri dan dengan cepat sekali tangan kanannya menangkap pergelangan kaki itu dari bawah lalu dengan sekuat tenaga dia mendorong ke atas.

“Hyaaaahhhh!!” Sumanta membentak dan tubuh Badrun terlempar ke atas kemudian jatuh bergedebugan menimpa teman-temannya sehingga ada lima orang yang ikut tertindih dan terbanting.

Suasana menjadi kacau dan penabuh gamelan menghentikan permainan mereka karena semua anggota Dadali Sakti menjadi terkejut dan kecewa sekali ketika melihat betapa jago mereka kalah mutlak karena sesudah terbanting jatuh, Badrun tidak sanggup bangkit lagi, melainkan duduk bersimpuh sambil menggereng-gereng kesakitan.

Tiba-tiba saja Raden Wiratma yang gendut pendek itu bergerak maju menyerang Sumanta. Gerakannya luar biasa cepatnya. Mengherankan sekali bahwa tubuh yang pendek gendut itu dapat bergerak secepat itu. Sekali terjang lengannya yang pendek bergerak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Sumanta, disusul tendangan ke arah bawah perut pemuda itu!

Di samping cepat dan kuat, serangan ini juga amat berbahaya sebab keduanya merupakan serangan maut yang bila mengenai sasaran akan mendatangkan kematian bagi Sumanta! Pemuda itu pun terkejut sekali karena diserang dengan kecepatan kilat. Masih untung dia dapat cepat membuang diri ke belakang dan berjungkir balik dua kali sehingga serangan itu luput.

Pada saat itu anggota Dadali Sakti yang ditugasi untuk menangkap Sriyani telah bergerak, bangkit dan dari belakang dia memegang kedua lengan wanita muda itu. Sriyani terkejut, meronta dan menjerit.

“Eeiiihhh, lepaskan aku, lepaskan!” Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat melepaskan diri dari pegangan tangan yang amat kuat itu?

Tiba-tiba pria yang memegangi kedua lengannya itu melepaskan kedua lengannya. Pria itu tiba-tiba merasa betapa kedua lengannya seperti lumpuh ketika ada orang menekan kedua pundaknya. Dia cepat-cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda yang melakukan penekanan pada pundaknya itu. Pria itu menjadi marah, tetapi Aji, pemuda itu, sudah menggerakkan tangan kirinya menampar.

“Plakkk!”

Tamparan itu mengenai bawah telinga kanan dan pria itu langsung roboh tersungkur tanpa mampu bergerak lagi karena sudah pingsan.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)