ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-35


“Breetttt...!”

Baju bagian pundak itu robek berikut kulit ujung pundak sehingga mengeluarkan darah dan tubuh Sumanta terhuyung ke belakang.

Raden Wiratma terkekeh. “Heh-heh-heh, mampuslah kau!” katanya dan dia melompat ke depan, tangan kanannya menghantam ke arah perut Sumanta yang sedang terhuyung.

“Wuuuutttt...! Dukkkk!”

Raden Wiratma terkejut bukan main, mulutnya menyeringai dan dengan tangan kirinya dia memegang dan mengelus-elus pergelangan tangan kanannya yang rasanya seperti patah. Nyeri kiut-miut sampai ke jantungnya. Dan di depannya telah berdiri seorang pemuda yang tadi menangkis pukulannya kepada Sumanta, pukulan yang akan mematikan lawannya itu. Pemuda itu adalah Aji yang cepat menolong Sumanta ketika melihat pemuda itu terancam bahaya maut.

“Keparat! Kalian curang karena telah mengeroyok aku!” Raden Wiratma membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Aji.

Aji menoleh kepada Sumanta. “Sobat, lindungilah istrimu.”

Mendengar ini Sumanta menghampiri istrinya yang segera merangkulnya. Sesudah itu Aji lalu menghadapi Raden Wiratma.

“Siapakah yang curang dan tidak tahu malu? Tadi kalian mengajukan jago kalian Badrun untuk menandingi Sumanta dengan janji kalau Sumanta keluar sebagai pemenang maka kalian akan membebaskan suami istri itu. Tapi sesudah Sumanta menang, engkau malah menyerangnya dan seorang anak buahmu hendak menangkap istrinya. Hemm, beginikah watak orang-orang Dadali Sakti? Aku sudah mendengar bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang suka memaksakan kehendak sendiri, melakukan penindasan dan ternyata memang benar! Kalian hendak membunuh Sumanta yang tidak bersalah dan merampas istrinya! Mana dia Banuseta? Ketua kalian itu tentu luar biasa jahatnya maka mempunyai anak buah yang begini keji!”

Raden Wiratma marah bukan main sehingga melupakan kenyerian lengannya. “Tangkap bocah ini! Bunuh dia!” bentaknya memberi isyarat kepada para anak buah Dadali Sakti.

Sesudah memberi aba-aba ini, seperti biasanya watak orang-orang sombong yang selalu meremehkan orang lain, Raden Wiratma sendiri sudah mencabut kerisnya. Ternyata keris itu terbuat dari sejenis besi yang warnanya hitam.

Aji mengerutkan alis. Besar sekali kemungkinannya bahwa keris berwarna hitam seperti itu adalah keris yang sangat keji dan berbahaya. Orang ini sungguh kejam dan jahat, pikir Aji. Entah sudah berapa banyak orang yang menjadi korban keris seperti itu di tangan orang yang sejahat ini.

Sebab itu begitu Raden Wiratma menubruk dan menghujamkan keris itu ke arah perutnya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti tubuh Aji berkelebat ke samping hingga melewati tubuh si gendut pendek, tahu-tahu sudah berada di belakang Wakil Ketua Dadali Sakti dan sekali dia menggerakkan kedua tangan yang dibuka dan dimiringkan, Aji sudah memukul kedua pundak Raden Wiratma.

“Krekk! Krekk!”

“Aughhhh...!” Tubuh pendek gendut itu roboh menelungkup tak dapat bergerak lagi karena dia sudah pingsan dengan kedua tulang pundak remuk sama sekali!

Andai kata dia dapat sembuh sekali pun, tidak mungkin dia dapat mengandalkan ilmu silat dan kekuatannya untuk melakukan penindasan terhadap orang lain karena selain tulang kedua pundaknya, juga otot-otot kedua pangkal lengannya ikut rusak berat sehingga dia akan kehilangan kekuatan pada kedua lengannya.

Sementara itu anak-anak buah Dadali Sakti sudah menyerang Sumanta yang melindungi istrinya. Orang muda itu mengamuk dan karena para anggota Dadali Sakti menyerangnya dengan menggunakan senjata seperti golok, pedang atau keris, Sumanta juga mencabut kerisnya lantas melakukan perlawanan mati-matian. Ia mengamuk, merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan tendangan kedua kakinya, tamparan tangan kirinya dan tusukan keris di tangan kanannya.

Aji melihat betapa Sumanta dikeroyok dan mengamuk. Ia khawatir kalau dengan kerisnya Sumanta akan membunuh banyak orang, juga dia tahu bahwa keselamatan Sumanta dan istrinya tentu akan terancam, maka dia lalu melompat dan menggerakkan kaki tangannya. Begitu pemuda ini menyerang, empat orang pengeroyok segera berpelantingan sehingga mengejutkan para anggota Dadali Sakti.

“Sumanta, cepat ajak pergi istrimu, tinggalkanlah Dermayu agar kalian dapat hidup dengan tenteram!” kata Aji sambil terus mengamuk. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak pasti ada seorang pengeroyok yang roboh dan tidak dapat bangun kembali. Banyak yang patah tulang atau jatuh pingsan.

Sumanta maklum akan maksud pemuda perkasa yang telah menolongnya itu. “Siapakah nama andika, ki sanak?” tanyanya sambil melanjutkan amukannya.

“Aji, Lindu Aji. Cepat ajak istrimu pergi!” kata Aji.

“Terima kasih!” kata Sumanta dan dia segera menggandeng tangan Sriyani dengan tangan kiri lalu menariknya untuk diajak lari keluar dari rumah itu. Setiap ada anggota Dadali Sakti yang berani menghadang mereka, dia lantas merobohkannya. Karena Sumanta tidak ragu-ragu merobohkan penghalang dengan kerisnya, maka dia dan istrinya berhasil lolos. Para anggota Dadali Sakti kini mengeroyok Aji.

Aji tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa dia tidak boleh membunuh orang. Dulu gurunya, Ki Tejo Budi, berulang kali menasehatinya bahwa membunuh orang merupakan dosa yang teramat besar. Dan dosa pembunuhan ini akan membawa akibat yang panjang, bahkan melibatkan karma keluarganya.

Aji pernah bertanya pada gurunya tentang pembunuhan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain di dalam perang. Ditanya begitu, kakek itu menghela napas panjang seperti orang yang merasa menyesal lalu berkata bahwa perang itu sendiri merupakan kesesatan di antara bangsa-bangsa manusia di dunia ini. Perang timbul karena keangkara-murkaan manusia.

Akan tetapi setiap manusia memang memiliki ikatan yang menimbulkan tugas-tugas serta kewajiban dalam ikatan itu. Seorang kawula terikat kepada negara dan bangsanya. Maka tidak dapat dihindarkan lagi, kalau negara dan bangsanya berperang dengan bangsa lain, dia berkewajiban ikut berperang untuk membela negara dan bangsa,. Dan dia akan terlibat dalam pergulatan antara membunuh dan dibunuh!

Pembunuhan dalam perang merupakan akibat dari permusuhan antara negara dan bangsa. Kalau dilakukan tanpa kebencian pribadi terhadap yang dibunuhnya, maka hal ini berlainan jauh sekali dengan pembunuhan yang dilakukan karena dendam kebencian pribadi.

Jadi pembunuhan hanyalah akibat dari keadaan hati seseorang. Jelas bahwa pembunuhan dengan dasar berjuang membela negara berbeda dari pembunuhan yang dilakukan dengan dasar kebencian pribadi. Yang penting adalah keadaan hati seseorang.

Bagaimana pun juga hidup matinya setiap orang berada di tangan Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Bila Gusti Allah tidak menghendaki seseorang mati, biar ada seribu orang musuh sekali pun tidak akan mampu membunuhnya. Sebaliknya jika kematian seseorang sudah dikehendaki Gusti Allah, gigitan seekor binatang kecil pun akan bisa membunuhnya. Yang terpenting jangan sampai kebencian menguasai hatimu, karena kalau sudah begitu berarti engkau membiarkan dirimu dikuasai oleh iblis yang bisa menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan kejam seperti membunuh dan sebagainya. Demikian antara lain wejangan dari mendiang Ki Tejo Budi yang selalu bergema di dalam hati Aji.

Oleh karena itulah Aji membatasi tenaganya dalam menghadapi pengeroyokan hampir tiga puluh orang anggota perguruan Dadali Sakti. Dia tidak ingin membunuh mereka, tapi hanya ingin memberi pelajaran supaya orang-orang itu sadar akan kejahatan mereka dan dapat bertobat.

Biar pun para murid perguruan Dadali Sakti (Walet Sakti) itu mempunyai ilmu silat Dadali Sakti dan mereka rata-rata memiliki gerakan yang amat gesit seperti burung walet, namun mereka masih terlampau lamban bagi Aji yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Tubuhnya berkelebatan di antara mereka, membagi-bagi tamparan serta tendangan sehingga orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan dan bergelimpangan.

Akhirnya tidak ada seorang pun yang tertinggal. Semua roboh sambil mengeluh kesakitan, ada yang kepalanya benjol, ada yang tangannya patah, ada pula yang dadanya sesak atau perutnya mulas. Ruangan yang luas itu kini penuh dengan para anggota Dadali Sakti yang malang melintang, ada yang rebah telentang, ada yang telungkup, ada yang berjongkok.

Aji berdiri di tengah ruangan, memandang ke sekelilingnya. Kemudian dia berkata kepada mereka dengan suara tegas. “Para anggota perguruan Dadali Sakti, dengarlah baik-baik! Kini kalian mendapat kenyataan dan pelajaran bahwa perbuatan jahat tidak menghasilkan akibat yang baik. Hidup ini seperti kalian menanam pohon yang buahnya akan kalian petik dan makan sendiri. Ngunduh wohing pakaryan (memetik buah perbuatan). Namun kalian hanya mencontoh pimpinan kalian. Karena itu aku menganjurkan supaya mulai sekarang kalian mengubah jalan hidup kalian. Sekarang kalian ditakuti orang-orang yang sebetulnya membenci kalian. Bukankah lebih baik kalau kalian dihormati orang-orang yang menyukai kalian? Bukankah lebih baik kalau perguruan Dadali Sakti dikenal sebagai tempatnya para pendekar pembela rakyat yang gagah perkasa dari pada dikenal sebagai sarang orang-orang jahat? Bertobatlah dan sadarlah. Ingat, kalau lain hari aku lewat di sini dan melihat kalian masih juga melakukan perbuatan jahat, dengan mengandalkan kekuatan melakukan penindasan kepada rakyat, aku akan menangkap kalian semua dan akan kuminta kepada Gusti Pangeran Ratu di Cirebon agar menghukum berat kepada kalian!”

Mendengar ini sebagian besar anggota Dadali Sakti menundukkan wajahnya dan menjadi gentar. Bahkan ada beberapa orang bersuara, “Kami bertobat...!”

“Sekarang katakan, di manakah adanya Banuseta, ketua kalian!” kata Aji. “Aku juga ingin bertemu dengan dia dan menentang kejahatannya.”

Para anggota Dadali Sakti saling pandang dan mereka menggelengkan kepala, namun ada pula yang menjawab, “Kami tidak tahu...!”

Aji melihat Wiratma, Wakil Ketua Dadali Sakti yang tadi jatuh pingsan kini sudah bergerak dan dibantu seorang anak buah dia sudah dapat duduk. Kedua lengannya seperti lumpuh, tidak dapat digerakkan dan kedua pundaknya yang tulangnya telah hancur itu terasa nyeri bukan main. Aji lalu menghampirinya.

“Wiratma, aku terpaksa menghancurkan kedua pundakmu supaya andika tidak dapat lagi melakukan kejahatan. Sekarang katakan, di mana adanya Banuseta?”

Wiratma yang masih merasa penasaran dan sakit hati, memandang pemuda itu dengan penuh kebencian, lalu memaksa diri berkata, “Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Tapi kalau dia pulang dan melihat keadaan kami, dia pasti akan mencarimu dan membalaskan sakit hati kami!” Suaranya mengandung kebencian yang amat besar.

Aji menghela napas panjang. “Gusti Allah Maha Kasih. Kita boleh menanam buah sesuka kita, Wiratma. Kalau andika bertekad melanjutkan kebiasaanmu menanam pohon beracun, maka andika sendiri yang akan memetik dan memakan buah beracun itu. Kalau Banuseta hendak membalas dendam kepadaku, boleh dia mencari, aku siap menghadapinya!”

“Katakan di mana engkau tinggal supaya kelak dia dapat mencarimu!” kata pula Wiratma sambil menahan rasa nyeri di kedua pundaknya.

Aji berpikir sejenak. Di mana dia akan tinggal? Tidak di rumah Ki Subali atau pun di rumah siapa saja karena tuan rumah tentu akan terlibat bila terjadi perkelahian antara dia dengan Banuseta. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia akan pergi mencari guru Sulastri yang bernama Ki Ageng Pasisiran dan menurut Ki Subali, kakek itu tinggal di pantai laut.

“Aku akan pergi ke pantai laut, mencari padepokan Ki Ageng Pasisiran. Apa bila Banuseta hendak mencariku, suruhlah dia mencariku ke pantai laut.”

Setelah berkata demikian Aji lalu meninggalkan rumah besar itu. Ketika dia keluar, banyak orang yang kebetulan berada di jalanan depan rumah itu menatapnya dengan mata penuh tanya.

Tadi mereka mendengar teriakan-teriakan perkelahian yang keluar dari rumah perguruan Dadali Sakti itu. Biar pun mereka merasa heran dan ingin tahu, namun tidak ada seorang pun yang berani masuk pekarangan itu. Mereka sudah mengenal kebengisan orang-orang Dadali Sakti.

Aji tidak memperhatikan orang-orang itu. Dia segera keluar dari Dermayu dan menuju ke pantai laut sebelah utara.....

********************

Pondok di pesisir pantai Laut Utara itu nampak sepi. Memang Ki Ageng Pasisiran sengaja memilih bagian pantai yang sepi, yang tak pernah didatangi nelayan sehingga kakek yang usianya sudah delapan puluh lima tahun lebih itu dapat menikmati keheningan alam yang penuh damai.

Pada siang itu Ki Ageng Pasisiran yang dahulunya bernama Ki Tejo Langit, sedang duduk bersila di atas sebuah dipan bambu dan di depannya duduk Ki Sudrajat yang berusia lima puluh tahun lebih. Sebetulnya Ki Ageng Pasisiran ialah Ki Tejo Langit, kakak seperguruan mendiang Ki Tejo Budi, ada pun Ki Sudrajat adalah anak kandung Ki Tejo Budi yang sejak berusia empat tahun ditinggalkan ayah kandungnya kemudian hidup sebagai anak angkat Ki Tejo Langit.

Mereka berdua duduk berhadapan tanpa bersuara. Ki Ageng Pasisiran yang sudah tua itu berulang-ulang menarik napas panjang dan beberapa kali dia menatap wajah Ki Sudrajat.

Sejak tadi Ki Sudrajat diam-diam memperhatikan keadaan ayah angkat yang juga uwanya dan gurunya itu, merasa bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang membuat hatinya gundah. Dan dia merasa pula betapa kakek itu ingin sekali bicara dengannya akan tetapi agaknya ragu-ragu. Sejak pagi tadi keadaan Ki Ageng Pasisiran seperti itu. Akhirnya Ki Sudrajat tidak dapat menahan hatinya lagi dan dia berkata lembut dan hati-hati.

“Bapa, semenjak tadi saya melihat bapa gelisah dan seperti hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Mengapa bapa meragu? Apa bila ada sesuatu yang mengganjal hati bapa, katakanlah saja kepada saya, dan sebelumnya saya mohon ampun kalau sekiranya saya mempunyai kesalahan yang membuat bapa menjadi berduka.”

Mendengar ucapan Ki Sudrajat itu, Ki Ageng Pasisiran mengerutkan alisnya yang sudah putih semua. “Oohh, anakku Ajat! Betapa baiknya engkau, nak, betapa penuh pengertian, rendah hati dan penyabar, seperti ayah kandungmu. Mendiang ibu kandungmu juga orang yang baik hati. Ohh, kalau aku ingat semua itu, makin terasa olehku betapa hanya akulah orang yang amat jahat, hamba nafsuku sendiri yang tidak boleh diampuni...”

Ki Sudrajat menatap wajah ayah angkatnya. Dia merasa terkejut dan heran melihat betapa sepasang mata tua itu sudah menjadi basah! Ayah angkatnya, gurunya yang bijaksana itu, menangis dalam hatinya!

“Aduh, bapa. Apakah yang bapa maksudkan dengan ucapan itu?”

Sesudah mengejap-ngejapkan mata beberapa kali sehingga dua tetes air matanya turun di pipinya yang segera diusapnya, Ki Ageng Pasisiran menghela napas panjang, lalu berkata, “Ajat, selama bertahun-tahun ini, bahkan sejak ibumu meninggal dunia dan aku pindah ke sini, terus terang saja setiap hari aku selalu menderita tekanan batin yang amat berat, tapi aku tidak punya keberanian untuk menceritakannya kepadamu. Padahal aku tahu bahwa hanya pengakuan kepadamu sajalah yang akan bisa mencairkan gumpalan yang menekan hatiku. Akan tetapi aku... aku takut, Ajat, aku takut...”

“Ada apakah, bapa? Saya baru saja datang malam tadi. Apakah kedatangan saya ini yang telah mengganggu bapa? Atau... barang kali anak saya Jatmika yang membuat bapa tidak senang?”

Kakek itu menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan dengan cepat. “Sama sekali tidak. Aku bahkan girang melihat engkau datang. Juga Jatmika tidak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatiku. Anak itu ingin merantau untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Hal itu sangat baik baginya dan aku merestuinya. Tidak ada yang salah dengan kalian. Kalian adalah anakku dan cucuku yang baik, tidak seperti aku...”

“Bapa, bagi saya dan anak saya, bapa adalah orang yang paling baik, amat bijaksana dan penuh kasih sayang kepada kami. Kami tidak tahu bagaimana bisa membalas semua budi kebaikan bapa tehadap kami.”

“Uh-uhh... engkau tidak tahu, Ajat. engkau tidak tahu. Karena itu aku harus menceritakan semuanya kepadamu sebelum aku mati supaya aku dapat minta ampun kepadamu. Aku juga sudah minta ampun kepada ibumu dan wanita bijaksana itu sudah lama mengampuni aku. Akan tetapi aku tidak akan bisa mati dengan mata terpejam jika belum mendapatkan pengampunan darimu, anakku...”

Biasanya Ki Sudrajat amat tenang, tetapi sekarang dia terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang wajah ayah angkatnya dan baru kini dia melihat betapa wajah itu nampak tua sekali.

“Bapa, mohon jangan berkata seperti itu!” dia berkata setengah berteriak karena dia betul-betul tekejut mendengar ucapan Ki Ageng Pasisiran.

Kakek itu tersenyum. “Duh Gusti! Ingin aku melihat sikapmu nanti setelah mendengarkan pengakuanku. Ajat, coba engkau ingat-ingat, apa yang masih bisa kau ingat tentang bapa kandungmu, Adimas Tejo Budi? Ceritakan sejujurmu.”

Ki Sudrajat merasa heran mengapa ayah angkatnya menanyakan hal itu, akan tetapi dia mengingat-ingat. “Saya tidak ingat banyak mengenai Bapa Tejo Budi, bapa. Bahkan wajah beliau pun saya telah lupa. Yang saya tahu, seperti sering kali menjadi jawaban ibu dahulu kalau saya tanya, bapa Tejo Budi meninggalkan ibu dan saya, dan kami berdua lalu hidup bersama bapa.” Kakek itu mengangguk-angguk, menghela napas lagi.

“Tahukah engkau mengapa Adimas Tejo Budi meninggalkan engkau dan ibumu?”

Ki Sudrajat menggelengkan kepalanya. “Dahulu mendiang ibu juga tidak pernah memberi penjelasan, hanya menggeleng kepala menyatakan tidak tahu kalau hal itu saya tanyakan. Akan tetapi sekarang saya tak ingin lagi mengetahui hal yang sudah lama terjadi itu, bapa. Kiranya tak perlu bapa ceritakan bila hal itu hanya mendatangkan kesedihan bagi bapa.”

“Hemm, sebelum mati justru aku harus menceritakan hal ini kepadamu, anakku, sebagai pengakuan dosaku kepada Gusti Allah dan juga kepadamu. Sekarang dengarlah baik-baik, anakku Sudrajat.”

Sudrajat menundukkan muka dan mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Ki Ageng Pasisiran bercerita dengan suara lirih yang mengandung penuh penyesalan dan kedukaan.

Dahulu, hampir lima puluh tahun yang silam ketika Ki Ageng Pasisiran masih bernama Ki Tejo Langit dan dia berusia sekitar tiga puluh tahun, gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang pendekar budiman, pada suatu hari ia berkunjung ke rumah adik seperguruannya, yaitu Ki Tejo Budi.

Ki Tejo Budi bertempat tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul, di sebelah barat sungai Cimandur. Dia berusia tiga puluh tahun dan hidup sebagai petani dan nelayan, hidup bersama istrinya yang cantik bernama Lasmini dan seorang putera tunggalnya yang bernama Sudrajat dan ketika itu baru berusia empat tahun.

Kunjungan Ki Tejo Langit disambut hangat oleh Ki Tejo Budi dan istrinya, Lasmini. Lasmini merasa kagum sekali dengan kegagahan Ki Tejo Langit yang menceritakan tentang semua sepak terjang serta pengalamannya sebagai seorang pendekar.

“Aku tinggal di rumah ayah ibumu dan merasa senang sekali. Selain ayahmu sangat baik kepadaku, juga ibumu melayani aku dengan manis budi. Dan tiga hari kemudian... pada malam itu... ahh, iblis telah menyusup masuk dan menguasai hatiku melalui nafsu birahiku sendiri... membuat aku menjadi mata gelap... dan... dan terjadilah hubungan jinah antara aku dan ibumu...! Ah, jika mengenang semua itu, betapa malu dan besar penyesalanku...!” Suara kakek itu menggetar dan dia memejamkan kedua matanya.

Sudrajat mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. Sejenak dia mengangkat muka memandang wajah bapa angkatnya dengan heran dan ada rasa sesal membayang di dalam sinar matanya. Akan tetapi melihat keadaan ayah angkat dan juga gurunya yang memejamkan mata, tampak demikian tua dan berduka, Ki Sudrajat kembali menundukkan mukanya.

“Bapa, semua itu sudah lama berlalu...” katanya lirih untuk menghibur.

“Aku berdosa, Ajat... aku bersalah besar terhadap Adimas Tejo Budi...”

“Akan tetapi, bapa. Itu bukanlah kesalahan bapa sendiri, akan tetapi... mendiang ibu juga bersalah...”

“Tidak! Tidak, Ajat. Ibumu wanita yang bersih dan baik. Memang waktu itu dia tertarik dan kagum kepadaku, akan tetapi aku tahu bahwa sampai mati pun dia tak akan mengkhianati suaminya, tak akan sudi menyeleweng dengan laki-laki lain. Dia takkan sudi berhubungan jinah dengan aku kalau saja aku... aku... tidak mempergunakan Aji Pengasihan Sambung Sih...! Nah, sekarang lega rasa hatiku setelah mengeluarkan ini semua kepadamu.” Kakek itu membuka mata memandang Ki Sudrajat yang masih menundukkan mukanya.

“Heii, engkau masih diam saja? Masih belum marah kepadaku? Nah, dengarlah kelanjutan ceritaku agar engkau mengetahui akan semua kerendahan budiku. Sesudah hal itu terjadi, Adimas Tejo Budi mengetahui. Kami bertengkar dan terjadi perkelahian antara kami. Kami setingkat dan seimbang, maka entah apa akan jadinya dengan perkelahian itu kalau tidak datang Kakang-mas Tejo Wening. Ia melerai kami sehingga mendiang kakak seperguruan kami itu terluka. Kami lalu didamaikan dan... dan bapa kandungmu itu, Adimas Tejo Budi, rela mengalah meninggalkan engkau dan ibumu, menyerahkan ibumu menjadi istriku dan engkau menjadi anakku. Nah, kini engkau sudah tahu betapa hina dan kotor bapa angkat dan gurumu ini, Ajat!” Kakek itu memandang kepada Ki Sudrajat yang masih duduk diam sambil menundukkan mukanya.

“Hayo, Ajat, beri tanggapan! Katakan sesuatu, jangan diam saja!”

Ki Sudrajat mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang.

“Apa yang dapat saya katakan, bapa? Semua itu sudah berlalu selama puluhan tahun.”

“Apa? Engkau tidak marah? Aku sudah merusak pagar ayu, menghancurkan kebahagiaan ayah kandungmu dan engkau tidak marah? Engkau mau mengampuni dosaku?”

“Saya tidak marah, bapa, karena saya melihat sendiri betapa selama ini bapa sangat baik terhadap mendiang ibu dan saya. Dan tentang pengampunan, saya kira saya tidak berhak. Hanya Gusti Allah yang berhak mengampuni semua dosa manusia yang sungguh-sungguh bertobat. Bukankah demikian apa yang bapa ajarkan kepada saya selama ini?”

“Aduh, Ajat...” kakek itu menangis. “Sikap dan kata-katamu justru menusuk-nusuk hatiku. Aku akan lebih senang dan lega kalau engkau bangkit dan membunuh aku untuk menebus dosaku. Aduh, Ajat...!”

Ki Sudrajat menjadi sangat terharu. Dia segera bangkit lalu menghampiri kakek itu. “Bapa tetap merupakan seorang ayah yang baik bagi saya...”

“Ajat, mendekatlah biarkan aku merangkulmu...!”

Ajat atau Ki Sudrajat mendekat dan kakek itu lalu merangkulnya. Mereka berangkulan.

“Assalamu alaikum...!”

Kakek dan anak angkatnya itu saling melepaskan rangkulan dan menoleh ke arah pintu dari mana salam itu terdengar.

“Alaikum salam...!” Ki Sudrajat membalas salam itu.

Dia bangkit lalu melangkah ke pintu depan, membuka pintu dan melihat seorang pemuda berdiri di depan pondok. Dia mengamati penuh perhatian.

Pemuda itu masih muda, paling banyak baru berusia dua puluh satu tahun, sebaya dengan putera tunggalnya Jatmika. Akan tetapi pemuda ini bukan Jatmika biar pun sama tampan dan gagahnya. Pemuda yang jangkung tegap, berpakaian dan bersikap sederhana, sinar matanya lembut penuh pengertian.

Pemuda itu adalah Lindu Aji. Melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bertubuh sedang, sikapnya tenang dan sinar matanya tajam, Aji cepat-cepat membungkuk dengan hormat.

“Mohon maaf sebesarnya bila kunjungan saya ini mengganggu, paman. Nama saya Lindu Aji dan saya ingin bertanya apakah benar pondok ini padepokan Ki Ageng Pasisiran?”

Melihat sikap dan cara bicara Aji yang sopan, seketika Ki Sudrajat merasa suka dan amat tertarik. “Benar sekali, anakmas, memang inilah padepokan Ki Ageng Pasisiran. Mengapa andika bertanya?”

“Maaf, paman. Kalau sekiranya diperkenankan, saya ingin sekali menghadap beliau untuk membicarakan hal yang amat penting.”

Ki Sudrajat mengerutkan alisnya. “Maafkan aku, orang muda. Tetapi ketahuilah bahwa Ki Ageng Pasisiran sudah sangat sepuh (tua), maka sebaiknya beliau jangan diganggu kalau tidak ada hal yang teramat penting. Katakanlah dahulu kepadaku apa yang hendak andika sampaikan kepada beliau supaya bisa kupertimbangkan apakah hal itu cukup penting atau tidak.”

Ucapan Ki Sudrajat itu tentu saja mendatangkan rasa penasaran dalam hati Aji, walau pun ucapan itu dilakukan dengan suara lembut.

“Maaf, paman. Tetapi urusan ini hanya dapat saya sampaikan kepada Ki Ageng Pasisiran, bukan kepada orang lain.”

Ki Sudrajat tersenyum maklum. “Anak-mas Lindu Aji, aku bukan orang lain bagi Ki Ageng Pasisiran karena aku adalah anaknya.”

Aji terkejut dan cepat memberi hormat. “Ohh, maafkan saya, paman. Kalau paman putera beliau, tentu saja bisa saya beri-tahukan. Saya ingin menghadap Ki Ageng Pasisiran untuk membicarakan mengenai Sulastri karena Sulastri pernah bercerita kepada saya bahwa dia adalah murid Ki Ageng Pasisiran.”

“Sulastri? Benar sekali, dia adalah murid Bapa. Mari anakmas Lindu Aji, mari masuk dan kuantar menghadap Ki Ageng Pasisiran.” Ki Sudrajat mempersilakan dengan sikap ramah.

Mereka memasuki rumah dan langsung masuk ruangan di mana Ki Ageng Pasisiran masih duduk bersila. Kakek itu telah dapat menguasai perasaannya dan kini duduk dengan sikap tenang, bersila di atas dipan seperti sebuah arca.

Melihat kakek yang sudah tua renta itu, Aji lalu berlutut dan menyembah. “Eyang, mohon maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu eyang.”

“Bapa, orang muda ini bernama Lindu Aji dan dia mohon supaya dapat menghadap Bapa untuk menyampaikan berita tentang diri Sulastri,” Ki Sudrajat melaporkan.

Mendengar ini, wajah Ki Ageng Pasisiran agak berseri dan dia segera berkata kepada Aji. “Anak-mas Lindu Aji... hemm, namamu sungguh bagus...”

“Saya biasa disebut Aji saja, kanjeng eyang.”

“Baiklah, Aji. Andika datang membawa kabar tentang Sulastri? Nah, ceritakanlah tentang muridku yang bengal itu.”

“Bagaimana andika dapat mengenal Sulastri, anakmas Aji?” Tanya pula Ki Sudrajat.

“Begini ceritanya, kanjeng eyang dan kanjeng paman. Saya pertama kali bertemu dengan Sulastri pada saat sedang membantu Ki Sumali dari Loano untuk menentang gerombolan Gagak Rodra. Ternyata gerombolan itu didukung oleh dua orang tokoh sesat yang sakti mandraguna, yaitu Aki Somad dari Nusakambangan dan Nyi Maya Dewi.”

“Ahh, di mana-mana dua orang itu selalu mendatangkan kekacauan!” seru Ki Sudrajat.

“Nah, pada waktu saya sedang membantu Paman Sumali itu, muncullah Sulastri. Dengan bantuan Sulastri yang ternyata keponakan dari Paman Sumali yang hendak mengunjungi pamannya, akhirnya kami dapat mengalahkan dan mengusir para penjahat. Nimas Sulastri dapat mengalahkan Nyi Maya Dewi.”

“Bagus, anak Bengal itu bisa mengalahkan Nyi Maya Dewi!” terdengar Ki Ageng Pasisiran memuji lirih, hatinya sangat girang mendengar muridnya yang masih muda belia itu dapat mengalahkan wanita sesat yang terkenal itu. “Akan tetapi, Aji, mengapa kalian memusuhi Aki Somad?”

“Gerombolan itu ternyata menjadi antek Kumpeni Belanda, eyang.”

“Hm, Aki Somad juga menjadi antek Belanda?” Ki Sudrajat mencela. “Dan andika sendiri, anakmas Aji. Kenapa andika mati-matian menentang para antek Kumpeni Belanda itu?”

“Terus terang saja, kanjeng eyang dan kanjeng paman, saya sedang mengemban dawuh (melaksanakan perintah) Gusti Sultan Agung di Mataram untuk membantu Mataram dan menyelidiki keadaan di daerah barat sampai ke Batavia.”

“Lhadhalah! Kiranya andika ini seorang senopati Mataram?” seru Ki Sudrajat.

Wajah Aji langsung memerah. “Bukan, paman. Saya tidak menerima anugerah itu karena masih memiliki banyak tugas pribadi dan Gusti Sultan hanya memberi pusaka Kyai Nogo Welang ini dan memberi tugas itu kepada saya.”

“Aji, bocah gagah, lalu bagaimana ceritanya dengan Sulastri?” Tanya Ki Ageng Pasisiran.

“Saya berkenalan dengan Sulastri dan ketika hendak meninggalkan rumah Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan ke barat, Sulastri minta ikut bersama saya karena dia pun hendak pulang ke Dermayu. Di dalam perjalanan kami berdua bentrok dengan para antek Kumpeni Belanda, bahkan kami berdua sempat ditawan kemudian dibawa ke kapal milik Kumpeni Belanda. Akan tetapi kami berhasil meloloskan diri. Ketika kami tiba di Cirebon dan menghadap Gusti Pangeran Ratu untuk melaporkan tentang para antek kumpeni itu, Gusti Pangeran Ratu minta bantuan kami berdua untuk membasmi gerombolan pengacau pimpinan Munding Hideung yang bersarang di gunung Cireme. Kami menerima tugas itu lalu pergi ke Gunung Cireme. Tetapi... justru di sanalah... terjadi musibah yang menimpa diri Sulastri...” kata Aji dengan nada sedih.

“Apa yang terjadi dengan Sulastri?” Tanya Ki Ageng Pasisiran.

“Ceritakanlah, apa yang telah terjadi, anakmas Aji?” Tanya pula Ki Sudrajat.

Aji lalu menceritakan pengalamannya dengan Sulastri di lereng Gunung Cireme itu, betapa Sulastri terjatuh ke bawah tebing seperti yang pernah dia ceritakan kepada Ki Subali dan istrinya. Juga dia menceritakan betapa dia sudah berusaha mencari, dibantu banyak anak buah Munding Hideung, tapi tetap saja tidak dapat menemukan Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan bekas, hanya berhasil menemukan pedang Nogo Wilis yang kini sudah dia kembalikan kepada Ki Subali.

Suasana menjadi sunyi sesudah Aji mengakhiri ceritanya tentang musibah yang menimpa diri Sulastri.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)