ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-36
“Anakmas Aji, kami mengucapkan terima kasih bahwa andika telah menyampaikan berita ini kepada kami,” kata Ki Sudrajat.
“Sebelum saya mohon diri, masih ada sebuah hal lagi yang membuat saya bertanya-tanya dan penasaran tentang diri Nimas Sulastri yang ingin saya tanyakan kepada eyang.”
“Apa lagi yang ingin kau ketahui tentang Sulastri? Bukankah engkau sudah mengenalnya dengan baik?” tanya Ki Sudrajat mewakili ayah angkatnya.
“Begini, eyang. Ketika berada di atas tebing, sebelum pundaknya terkena anak panah dan terjatuh ke bawah tebing, saya melihat Sulastri memukul Munding Bodas sehingga wakil ketua gerombolan iu terjatuh ke bawah tebing. Saya terkejut sekali karena mengenal gaya pukulan itu, dan ketika saya menemukan jenazah Munding Bodas di bawah tebing, saya menjadi yakin karena melihat bekas telapak tangan menghitam di dada kepala gerombolan itu. Saya yakin bahwa Sulastri telah mempergunakan ilmu pukulan Aji Margopati!”
“Andika mengenal aji Margopati, anakmas Aji?” tanya Ki Sudrajat.
“Tentu saja saya mengenalnya, kanjeng paman. Tapi dari mana Sulastri mempelajarinya? Apakah selain kanjeng eyang masih ada guru lain yang mengajarkan aji kanuragan kepada Sulastri?”
“Setahu kami tidak, bukankah begitu, bapa?” tanya Ki sudrajat kepada Ki Ageng Pasisiran.
“Memang tidak ada,” kata Ki Ageng Pasisiran.
“Kalau begitu, siapa yang mengajarkan Aji Margopati?” tanya Aji sambil memandang pada kedua orang tua itu.
“Siapa lagi kalau bukan gurunya?”
“Tetapi bagaimana ini? Mana mungkin? Menurut mendiang guru saya, yang menguasai Aji Margopati hanya tiga orang saja, yaitu guru saya dan dua orang kakak seperguruannya!”
Mendengar ini Ki Ageng Pasisiran memandang Aji dan bertanya dengan heran. “Katakan, siapa tiga orang yang menguasai Aji Margopati itu?”
“Mereka adalah Ki Tejo Wening, ki Tejo Langit, dan Ki Tejo Budi.”
“Dan siapa gurumu itu?” tanya pula Ki Ageng Pasisiran sambil menatap wajah Aji.
“Guru saya adalah Eyang Guru Ki Tejo Budi.”
“Aduh Gusti...!” Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Ki Ageng Pasisiran dan Ki Sudrajat dan mereka berdua bangkit dan berdiri di depan Aji.
“Aji, katakanlah. Di mana adanya gurumu itu sekarang?” tanya Ki Sudrajat dan suaranya diliputi ketegangan.
“Eyang Guru Tejo Budi... telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.”
“Ya Allah...!” Dua orang laki-laki itu berseru dan Aji memandang terheran-heran ketika Ki Ageng Pasisiran terjatuh duduk di atas dipan kembali dan kakek itu menangis!
“Kanjeng eyang dan kanjeng paman, apa artinya ini...?” Aji bertanya.
“Dahulu bapa bernama Ki Tejo Langit,” kata Ki Sudrajat.
Sekarang Aji yang sangat terkejut. Sungguh sama sekali tidak disangkanya! Tanpa dicari dia sudah berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Dan orang setengah tua itu.
“Kiranya eyang adalah Eyang Tejo Langit! Ahh, alangkah bahagianya rasa hati saya dapat bertemu dengan eyang. Dan... paman ini... apakah Paman Sudrajat yang dipanggil Ajat?”
Ki Sudrajat mengangguk.
“Ah, sungguh saya merasa bahagia sekali. Sebelum meninggal, eyang guru meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari Paman Sudrajat dan mengabarkan bahwa Eyang guru Tejo Budi telah meninggal dunia.”
“Eyang gurumu itu sudah menceritakan siapa aku?” kata Ki Sudrajat.
Aji mengangguk.
“Apa saja yang dia ceritakan?” Ki Tejo Langit yang semenjak tadi menutupi muka dengan kedua tangannya tiba-tiba bertanya.
“Mendiang eyang guru menceritakan bahwa puteranya bernama Sudrajat dan ikut dengan Eyang Tejo Langit,” jawab Aji dengan hati-hati.
“Benar, semenjak Bapa Tejo Budi pergi, aku ikut Bapa Tejo Langit sebagai anak tirinya dan muridnya. Ibu kandungku juga sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.”
“Ahh, tahukah engkau anak-mas Aji bahwa baru saja kami berdua membicarakan Adimas Tejo Budi pada saat engkau datang. Sungguh kebetulan sekali, tapi berita yang kau bawa juga... sungguh membingungkan dan menyedihkan,” kata Ki Tejo Langit.
“Aku girang dapat bertemu denganmu, Aji, akan tetapi juga bingung mendengar hilangnya Sulastri dan sedih mendengar tentang kematian ayah kandungku. Engkau harus berdiam dulu di sini dan menceritakan kepada kami mengenai mendiang ayah kandungku.” kata Ki Sudrajat. Kini mereka menjadi akrab sekali karena Aji dianggap sebagai keluarga sendiri.
Aji diminta untuk menceritakan segala hal tentang Ki Tejo Budi dan Aji menuturkan semua yang diketahui dan dialami selama Ki Tejo Budi tinggal bersama dia dan ibunya.
Mendengar betapa Ki Tejo Budi hidup menyendiri dan terlunta-lunta, hati kedua orang itu menjadi terharu sekali. Terutama sekali Ki Tejo Langit yang makin merasa betapa dia yang membuat kehidupan Ki Tejo Budi menjadi terlantar kesepian dan penuh kedukaan.
Ketika hari menjelang senja dan Aji berpamit, Ki Sudrajat langsung menahannya. “Jangan pergi dahulu, Aji. Engkau adalah murid tersayang bapa kandungku, berarti engkau adalah keluarga kami sendiri. Tingggallah di sini malam ini. Masih banyak yang ingin kutanyakan kepadamu mengenai bapa kandungku.“
Ki Tejo Langit juga menahannya sehingga terpaksa Aji tinggal di pondok itu. Ketika senja datang dan cuaca mulai remang, Ki Sudrajat menyalakan beberapa buah lampu gantung. Sebuah digantung di depan pintu untuk menerangi bagian luar pondok, sebuah digantung di belakang dan sebuah lagi di ruangan tengah di mana mereka bertiga bercakap-cakap.
Selagi mereka bercakap-cakap, mendadak terdengar teriakan yang nyaring sekali dari luar pondok. “Lindu Aji, keparat jahanam kamu! Hayo keluar untuk menebus dosamu terhadap perguruan Dadali Sakti dengan menyerahkan nyawamu!”
Aji segera dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Raden Banuseta, Sang Ketua Perguruan Dadali Sakti. Pembunuh ayahnya! Tapi tidak, dia tidak mau mengingat tentang pembunuhan itu. Raden Banuseta adalah seorang ketua perkumpulan yang terkenal jahat, suka bertindak sewenang-wenang, bahkan anak buahnya diperintahkan untuk merampas Sriyani, istri Sumanta. Orang yang pantas untuk ditentang dan dibasminya. Maka dia pun segera bangkit dan hendak keluar.
”Aji, tunggu dulu! Mengapa perguruan Dadali Sakti memusuhimu?” tanya Ki Sudrajat.
“Soal ini belum saya ceritakan kepada paman. Tadi pagi saya mendatangi sarang mereka dan memberi hajaran kepada semua muridnya sebab mereka hendak menganiaya seorang yang tidak berdosa dan hendak merampas istrinya. Sekarang saya rasa ketuanya, Raden Banuseta yang datang ke sini mencari saya. Biarkan saya keluar, paman.”
“Hemm, Raden Banuseta terkenal ganas dan suka bertindak sewenang-wenang. Biarkan aku yang menghadapinya sebab dia berani datang membikin ribut di rumah kami. Memang aku belum lama tinggal di sini, akan tetapi aku sudah mendengar tentang kejahatannya!”
“Lindu Aji, pengecut! Hayo keluar, jangan bersembunyi di dalam seperti kura-kura. Kalau kamu tidak mau keluar, akan kubakar pondok ini untuk memaksamu keluar!” terdengar lagi bentakan itu.
“Paman Sudrajat, dia menantang saya, jadi harap paman tidak mencampuri urusan antara saya dan dia.” Sesudah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, Aji sudah melompat keluar dari pintu.
Dalam keremangan senja Aji melihat bayangan dua orang di depan pondok. Seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian bangsawan, berusia kurang lebih empat puluh tahun dengan sebatang golok bergagang emas tergantung pada pinggangnya, berdiri di depan.
Hatinya terguncang kencang ketika dia mengenal orang itu. Dia bukan lain adalah laki-laki bangsawan yang mempunyai hubungan akrab dengan Nyi Maya Dewi, pria yang ikut pula berkunjung ke kapal Kapten De Vos, pria yang tergila-gila kepada Sulastri dan bermaksud keji dan mesum terhadap gadis itu!
“Kau... kau... Raden Banuseta?” tanya Aji, hatinya dipenuhi keheranan.
Pria ini tersenyum mengejek dan dia mencabut goloknya yang bergagang emas. “Benar, akulah Raden Banuseta, ketua Dadali Sakti. Lindu Aji, tempo hari engkau berhasil lolos, akan tetapi sekarang tibalah saatnya engkau membayar semua hutangmu! Engkau berani mengacau Dadali Sakti, sekarang bersiaplah untuk mampus!”
Hati Aji semakin panas. Raden Banuseta, yang telah membunuh ayah kandungnya, bukan hanya suka bertindak sewenang-wenang dan suka merusak pagar ayu merampas istri dan anak orang, akan tetapi juga menjadi antek Kumpeni Belanda!
“Hmm, kiranya engkau bukan hanya jahat dan sewenang-wenang, melainkan juga menjadi anjing peliharaan Kumpeni Belanda!” bentak Aji marah dan pada saat itu dia memandang kepada pria yang berdiri di belakang Banuseta.
Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan sikapnya gagah. Dia juga tampak tenang, berdiri menyilangkan kedua lengan di depan dada dan sinar matanya yang tajam memandang wajah Aji.
Aji juga melihat bayangan mencurigakan dari beberapa orang yang tampaknya mengepung pondok itu dengan sembunyi-sembunyi. Dalam keremangan malam yang mulai tiba, dia melihat mereka memegang tongkat. Dimaki sebagai anjing peliharaan Kumpeni Belanda, Raden Banuseta menjadi marah bukan main.
“Kamu anjing Mataram, mampuslah!”
Dia melompat ke depan Aji dan menerjang dengan gerakan goloknya yang amat dahsyat. Golok itu mengeluarkan suara berdesing-desing ketika menyambar dan tahulah Aji bahwa lawannya bukan orang lemah, melainkan memiliki tenaga yang kuat dan gerakan goloknya juga cepat sekali.
Aji mengelak dengan tarikan kaki ke belakang dan mendoyongkan tubuh atas ke belakang sehingga golok yang membabat ke arah lehernya itu hanya menyambar lewat di depannya. Tetapi begitu bacokannya yang mengarah leher itu luput, Banuseta sudah membuat golok itu bergerak melingkar dan kini berubah menjadi serangan yang menusuk ke arah perut Aji.
“Hyaaaahhhh...!” bentaknya, goloknya menjadi gulungan sinar yang berdesing.
Tetapi Aji yang sudah waspada dan tidak memandang remeh lawannya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti sudah dapat mengelak ke kiri dengan mudah. Dari sebelah kanan lawan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat ke arah pinggang kanan Banuseta.
Akan tetapi ketua Dadali Sakti itu dapat pula membuang diri ke kiri sambil mengelebatkan goloknya untuk memotong kaki Aji yang menyambar lewat. Akan tetapi Aji sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menusul serangan kaki kiri tadi, menampar ke arah pelipis kiri lawan. Banuseta terkejut bukan main.
Ketika dia tiba di perguruan Dadali Sakti dan melihat para anggota perguruan itu menderita cedera, semua dihajar oleh seorang pemuda yang mencarinya, juga menggagalkan usaha Wiratma, wakilnya untuk merampas Sriyani dari tangan Sumanta, dia marah bukan main. Kemudian dia mendengar bahwa pemuda itu bernama Lindu Aji. Maka teringatlah dia akan pemuda yang pernah menjadi tawanan Nyi Maya Dewi.
Dia tahu bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna. Maka dia pun membuat persiapan sebaiknya dan mendengar dari Wiratma bahwa musuhnya itu kini berada di pondok tempat tinggal Ki Ageng Pasisiran di pantai Laut Utara, dia membawa bala bantuannya menuju ke sana.
Kini, biar pun dia sudah berhati-hati dan dapat melihat tamparan tangan kanan Aji ke arah pelipisnya, tetap saja dia terkejut dan tak sempat mengelak atau menggunakan goloknya. Maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menangkis dengan gerakan dari dalam keluar.
“Wuuttt...! Plakk!”
Raden Banuseta terhuyung ke belakang dan tentu akan jatuh terjengkang kalau tidak ada tangan kuat yang menangkap pangkal lengannya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Yang melakukan itu adalah laki-laki tinggi tegap yang tadi berdiri di belakangnya.
“Mundurlah, kakang-mas Banuseta. Dia terlalu tangguh bagimu. Biar aku yang menandingi orang ini!” kata pria berusia tiga puluh satu tahun lebih itu. Gerakannya ringan sekali ketika dia melompat ke depan Aji.
“Dimas, bunuhlah dia untukku!” kata Raden Banuseta lalu dia menyelinap ke belakang dan lenyap dalam kegelapan malam.
Aji berhadapan dengan lawannya itu. Sejenak mereka saling tatap bagaikan dua ekor jago yang hendak berlaga. Mendadak orang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya bergerak cepat dengan tangan kiri terbuka yang didorongkan ke arah dada Aji.
“Ehh...!” Aji terkejut sekali.
Cepat dia mengelak ke belakang karena dia mengenal gerakan orang itu. Jelas bahwa pria itu menggunakan Aji Bayu Sakti ketika melompat dan bergerak hingga tubuhnya menjadi ringan. Dan pukulan itu sama dengan yang dipergunakan Sulastri pada waktu merobohkan Munding Bodas, yaitu pukulan dengan Aji Margopati!
Lawannya itu memiliki ilmu dari aliran yang sama dengan dia, walau pun dia sendiri tidak pernah dilatih Aji Margopati karena dianggap terlampau ganas dan kejam oleh mendiang Ki Tejo Budi.
Karena serangannya yang pertama gagal dan dapat dielakkan oleh Aji, orang tinggi tegap itu berseru marah kemudian tubuhnya berkelebat cepat menerjang ke depan dan kembali dia mengirim pukulan Aji Margopati, sekarang dalam jarak yang lebih dekat. Angin dahsyat segera menyambar ketika tangan kanan orang itu didorongkan ke arah Aji.
Maklum bahwa pukulan yang dahsyat itu sukar dihindarkan dengan mengelak, Aji cepat-cepat mengerahkan tenaga Surya Chandra dan dia pun mendorongkan tangan kanannya untuk menyambut pukulan lawan itu.
“Wuuuutttt...! Desss...!”
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya Aji terdorong ke belakang akan tetapi lawannya juga terdorong ke belakang!
“Heh...?!” Orang itu berseru heran dan memandang dengan mata terbelalak.
Pada saat itu pula sosok tubuh tua Ki Ageng Pasisiran muncul keluar dari pintu, bertopang pada tongkatnya.
Ki Ageng Pasisiran atau yang dulu bernama Ki Tejo Langit memandang kepada lawan Aji itu. Dia mengerutkan alisnya yang sudah putih, lalu berseru dengan suara bernada penuh teguran, “Hei! Udin, apa yang kau lakukan ini...?”
“Dar-dar-dar-dor-dorrr...!”
Pada saat itu dari arah kanan kiri terdengar beberapa kali ledakan dan tampak muncratnya bunga api. Tubuh kakek tua renta itu tersentak ke kanan dan kiri, lalu roboh terkulai mandi darah! Pelor-pelor itu menembus tubuhnya yang tidak siap.
Kini dari dalam pondok muncul Ki Sudrajat. Dia memegang sebuah lampu gantung dengan tangan kanan, lalu mengangkat lampu gantung itu ke atas untuk menyinari wajah lawan Aji yang masih berdiri tertegun.
“Udin! Hasanudin! Engkau... membantu kaki tangan Kumpeni...?”
“Dar-dar-dar-dor-dorr...!”
Kembali terdengar letusan berkali-kali. Peluru bedil menyambar dari kanan kiri dan tampak bunga api berpijar-pijar. Lampu gantung di tangan Ki Sudrajat terkena tembakan sehingga padam seketika, kaca lampu itu hancur dan terlepas dari tangan Ki Sudrajat.
Akan tetapi ada sesuatu yang aneh, yang membuat Aji memandang dengan penuh kagum. Baju yang menutup dada Ki Sudrajat berlubang-lubang, hal ini bisa terlihat jelas sebab ada sinar lampu gantung yang meneranginya. Akan tetapi tubuh itu tidak bergeming, agaknya tidak terluka dan sama sekali tidak roboh.
Agaknya aji kekebalan Ki Sudrajat amat hebat sehingga mampu menahan peluru bedil dan ketika melangkah ke luar tadi agaknya dia telah mempersiapkan diri dan mengerahkan aji kekebalannya sehingga dia tidak roboh oleh berondongan tembakan tadi, tidak seperti Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang tidak sempat mempersiapkan diri karena heran dan terkejut melihat Udin tadi.
Pada saat itu, di belakang Hasanudin yang masih tercengang itu muncul bayangan Raden Banuseta yang memegang sebuah senjata pistol. Dia membidik ke arah tubuh Ki sudrajat yang berdiri tegar di depan pintu.
“Tarrr...!”
Tiba-tiba muncul kilatan api menyusul ledakan ini dan tubuh Ki Sudrajat roboh terkulai!
“Kenapa... kenapa andika membunuh mereka...?” Hasanudin berseru, di dalam suaranya terkandung penyesalan. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah menghilang dalam kegelapan malam.
Aji juga tertegun, bukan hanya melihat robohnya Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, melainkan juga mendengar Ki Tejo Langit menyebut nama Udin, bahkan Ki Sudrajat menyebut nama Hasanudin! Itu adalah nama kakak tirinya yang dulu ditinggalkan Harun, ayahnya di Galuh!
Hasanudin putera Harun itu kini bahkan membantu Raden Banuseta, pembunuh ayahnya sendiri! Dan karena Raden Banuseta ini antek Kumpeni Balanda, berarti bahwa Hasanudin atau Udin itu juga membantu Kumpeni Belanda!
“Tarrr...!”
Pistol di tangan Raden Banuseta meledak lagi.
Tanpa disadarinya sendiri, tubuh Aji segera menjerembab ke atas tanah lalu bergulingan. Dengan cepat tangannya menyambar sepotong batu, kemudian sekali tangan itu bergerak menyambit, terdengar suara nyaring dan lampu gantung itu pecah hingga keadaan di situ menjadi gelap pekat.
Raden Banuseta merasa jeri menghadapi Aji dalam kegelapan. Dia tahu betapa sakti dan berbahayanya pemuda itu. Apa lagi kini Hasanudin yang dia andalkan sudah lebih dahulu melarikan diri bersama dua belas orang prajurit Kumpeni, meninggalkan tempat itu.
Setelah merasa yakin bahwa para penyerbu itu sudah melarikan diri meninggalkan tempat itu dan bahaya sudah lewat, Aji cepat memasuki pondok, membawa keluar sebuah lampu lalu digantungkan di luar. Kemudian dia memondong tubuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dibawanya masuk ke dalam pondok dan merebahkan mereka di atas pembaringan.
Ki Tejo Langit yang tubuhnya disambar lima kali tembakan itu ternyata sudah tewas. Akan tetapi Ki Sudrajat belum tewas sungguh pun dadanya ditembusi sebutir peluru. Aji merasa heran sekali. Tadi dia melihat sendiri betapa berondongan peluru itu hanya merobek baju orang sakti ini, akan tetapi mengapa tembakan terakhir yang hanya satu kali saja itu telah merobohkannya?
“Bagaimana keadaanmu, paman?” tanya Aji ketika melihat tubuh Ki Sudrajat bergerak dan bibirnya mengeluh panjang.
“Aku... terluka parah... jahanam itu...”
“Akan tetapi saya melihat berondongan peluru tadi tidak dapat melukai paman. Bagaimana tembakan yang satu kali ini...?“
Ki Sudrajat menggerakkan tangan mendekap dadanya.
“Ahh, ini peluru perak... Kumpeni menggunakan... peluru-peluru perak... dan emas... untuk melumpuhkan kekebalan kita... Andika dengar baik-baik, Aji... Si Udin itu... Hasanudin... agaknya dia... tersesat... dia terbujuk menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda... Aku pesan kepadamu... anakku... Jatmika... bila bertemu dengan dia... kau bantulah dia...” Kemudian Ki Sudrajat terkulai lemas.
“Baik, paman. Saya akan memperhatikan dan memenuhi pesan pamaan,” kata Aji.
Akan tetapi ketika dia meraba dan memeriksa, ternyata Ki Sudrajat telah menghembuskan napas terakhir. Agaknya dia tewas pada saat mengucapkan kata yang terakhir itu.
Semalam suntuk itu Aji tidak tidur, melainkan duduk bersila di dekat jenazah Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat. Dia mengenang mendiang gurunya, Ki Tejo Budi dan merasa sedih bahwa ketika dia berhasil bertemu dengan putera kandung gurunya itu, yaitu Ki Sudrajat, orang itu tewas di depan matanya.
Yang membuat ia merasa lebih prihatin lagi adalah melihat kenyataan betapa kakak tirinya ternyata sudah tersesat, bukan saja membantu musuh besar pembunuh ayah kandungnya sendiri, bahkan bersedia menjadi antek Kumpeni Belanda! Pedih hatinya mengingat harus menemui dan menyadarkan kakak tirinya itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aji sudah menggali lubang kuburan di belakang pondok. Digalinya dua buah lubang, lalu menguburkan dua buah jenazah itu dengan penuh khidmat. Dia merasa terharu sekali. Dua orang yang dihormatinya itu sudah tewas menjadi korban tembakan senapan para antek Kumpeni Belanda. Keduanya tewas tanpa ada yang melayat, hanya dia seorang yang menguburkan mereka dalam keadaan yang sunyi tanpa kehadiran seorang pun manusia lain.....
********************
Mereka merupakan sepasang orang muda yang serasi. Yang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun, berwajah tampan dan sikapnya gagah. Alis matanya hitam tebal, melindungi sepasang mata yang mencorong. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis dan membayangkan kegagahan, apa lagi dengan adanya setitik tahi lalat di dagu, menambah kejantanannya. Tubuhnya sedang dengan dada bidang, pakaiannya sederhana bersih dan rapi. Sebatang keris bergagang kayu cendana hitam terselip di pinggangnya.
Sedangkan yang wanita berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah cantik jelita. Mata dan mulutnya amat indah. Sikapnya gagah perkasa sehingga ia merupakan seorang gadis yang berwibawa dan membuat orang merasa segan untuk sembarangan menggoda. Langkahnya juga membayangkan ketangkasan, tidak lemah seperti wanita kebanyakan. Mereka adalah Jatmika dan Eulis.
Siang hari itu panasnya terik sekali. Dua orang yang telah melakukan pejalanan sejak pagi itu tampak berkeringat.
“Uh, panasnya...” Eulis mengeluh sambil mengusap keringat yang membasahi kening dan lehernya yang berkulit putih mulus.
Jatmika berhenti melangkah sambil menudingkan telunjuknya ke arah kanan jalan di mana terdapat sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah. Mereka telah sampai di kaki Gunung Cireme di daerah persawahan yang luas dan di situ tidak terlihat tempat yang cukup teduh untuk berlindung dari sengatan matahari. Eulis mengangguk dan keduanya cepat berjalan menuju ke gubuk itu.
Memang benar-benar nyaman duduk di dalam gubuk yang terlindung atap itu. Di samping bisa berlindung dari panasnya sinar matahari, juga di tempat terbuka itu berhembus angin semilir yang mengipasi tubuh mereka. Mereka duduk sambil menghapus keringat. Semilir angin mendatangkan rasa nyaman dan mereka pun duduk dengan nikmat dan mengantuk.
“Nyaman sekali di sini,” kata Jatmika.
“Ya, enak sekali,” kata Eulis sambil tersenyum.
Jatmika memandang gadis itu dan seperti semenjak pertemuan yang pertama, dia selalu terpesona setiap kali memandang wajah gadis itu. Betapa cantiknya, alangkah manisnya. Bentuk tubuh itu demikian indah menggairahkan, kulit yang tampak di wajah, leher, tangan dan kaki sebetis itu demikian putih mulus.
Diam-diam dia masih merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati, siapakah gerangan gadis ini? Jelas bukan gadis sembarangan dan yang amat mengganggu pikirannya adalah ketika dia melihat Eulis mengamuk dikeroyok gerombolan di gunung Cireme tadi. Dengan jelas dia melihat gerakan gadis itu yang membuat dia terheran-heran. Gerakan ilmu silat gadis itu dikenalnya benar karena gerakan silat itu sama dengan semua ilmu silat yang dia kuasai! Dia mengenal Aji Margopati, bahkan mengenal Aji Sunya Hasta dan Guruh Bumi.
Bagaimana mungkin itu? Yang menguasai semua aji-aji itu hanyalah ayahnya, Ki Sudrajat, kemudian eyang gurunya, Ki Tejo Langit yang sekarang berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Juga paman gurunya, Hasanudin. Tapi dia teringat akan cerita ayahnya. Selain kakek gurunya, masih ada saudara-saudara seperguruan eyang gurunya, yang bernama Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi. Bahkan yang bernama Ki Tejo Budi itu adalah kakek kandungnya yang sebenarnya karena Ki Tejo Langit hanyalah kakek angkatnya. Keterangan ini dia dapatkan dari ayahnya ketika dia hendak meninggalkan pantai Dermayu untuk pergi merantau.
Dia tidak tahu di mana adanya Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi sekarang, juga tidak tahu apakah mereka berdua itu masih hidup ataukan sudah mati. Kini ia bertemu dengan Eulis, gadis yang kehilangan ingatannya itu dan melihat gadis itu ada hubungan dengan seorang di antara kedua kakek itu!
Sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa gadis itu sesungguhnya adalah murid dari Ki Tejo Langit sendiri. Kakek itu tidak menceritakan tentang gadis ini kepadanya ketika dia berada di pantai Dermayu.
“Eh, Kakang-mas Jatmika, kenapa sejak tadi engkau memandangku seperti itu?” Tiba-tiba Eulis bertanya dengan suara menegur ketika tanpa disadarinya pemuda itu mengamatinya dengan sepasang mata penuh selidik. Barulah Jatmika gelagapan dan baru dia menyadari bahwa kelakuannya tadi tidak patut.
“Eh... ohh... aku sungguh merasa heran melihatmu, Nimas Eulis,” katanya agak gagap.
“Heran?” tanya Eulis mulai mengamati diri sendiri untuk mencari kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres. “Apakah ada sesuatu yang aneh pada diriku?”
“Memang ada yang aneh sekali, nimas, akan tetapi bukan pada dirimu.”
“Lalu apa yang aneh? Katakanlah, kakang-mas, engkau membuat aku menjadi penasaran dan ingin tahu.”
“Nimas, ketika engkau dikeroyok oleh Gerombolan Gunung Cireme, aku melihat gerakan ilmu silatmu dan aku mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat aku menjadi sangat heran sebab semua aji kanuragan yang kau pergunakan untuk melawan mereka itu adalah aliran dari perguruanku. Aku tidak sangsi atau ragu lagi bahwa ilmu yang kita kuasai itu sealiran. Berarti kita ini masih saudara seperguruan. Cobalah ingat-ingat, Nimas, siapakah yang mengajarkan semua ilmu silat itu kepadamu? Siapakah gurumu?”
Eulis memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya dan mencoba untuk mengingat-ingat. Tetapi dia tidak dapat mengingat apa-apa sebelum mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tujuh orang jahat itu. Yang dapat diingatnya hanyalah sejak pengeroyokan itu sampai Jatmika datang menolongnya. Sebelum itu gelap, sama sekali kosong dan dia tidak dapat mengingat apa pun. Dia tidak ingat siapa gurunya, tidak ingat siapa orang tuanya dan dari mana dia berasal. Yang dia ingat hanya bahwa dia bernama Listyani dengan sebutan Eulis dan berasal dari daerah Cirebon seperti yang dikatakan Jatmika kepadanya.....
Komentar
Posting Komentar