ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-37


Jatmika menggeleng kepalanya. “Tidak, nimas. aku pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa engkau bernama Listyani atau Eulis dan berasal dari daerah Cirebon. Akan tetapi engkau tentu ingat akan nama-nama semua aji yang engkau kuasai itu, bukan?”

Eulis menggelengkan kepala.

“Engkau menguasai Aji Surya Hasta, Aji Margopati, serta Aji Guruh Bumi!!” kata Jatmika penasaran.

Eulis menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

“Aku tidak tahu dan tidak mengenal nama-nama itu. Sudahlah, Kakang-mas Jatmika, aku memang sama sekali tidak ingat akan masa laluku. Tentang diriku, biarlah kita tahu bahwa aku bernama Listyani atau Eulis, berasal dari daerah Cirebon dan aku menguasai ilmu-ilmu kanuragan yang sealiran denganmu. Sekarang sebaiknya engkau menceritakan mengenai dirimu, kakang-mas, agar aku dapat mengenalmu lebih baik lagi.”

Jatmika menarik napas panjang. Sebetulnya dia ingin sekali tahu siapa sebenarnya gadis yang sangat menarik hatinya itu. Dia harus mengakui bahwa meski pun dia sudah bertemu dengan banyak wanita cantik, semenjak tinggal di Banten sampai dia pindah ke Dermayu, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis yang begitu menarik hatinya.

Dia merasakan betul bahwa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang tidak diketahui nama atau asal-usulnya ini. Dia memberi nama Listyani atau Eulis hanya supaya gadis itu tidak menjadi bingung. Dia menduga bahwa gadis itu telah kehilangan ingatannya yang sebabnya tidak dia ketahui pula. Akan tetapi dia merasa gembira sekali mendengar kata-kata Eulis tadi. Setidaknya gadis ini menaruh perhatian kepadanya dan ingin dapat mengenalnya lebih baik.

“Engkau telah tahu bahwa namaku Jatmika. Aku berasal dari Banten. Ayahku bernama Ki Sudrajat dan semenjak aku kecil, ayah, ibu dan aku tinggal di Banten. Dua tahun yang lalu ibuku meninggal dunia. Ayah lalu mengajak aku menyusul eyangku yang tinggal di pantai laut Dermayu. Eyangku bernama Ki Tejo Langit, akan tetapi di pantai laut Dermayu eyang berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Tetapi aku tidak betah tinggal menganggur di sana, maka aku lalu berpamit dari ayah dan eyang untuk pergi merantau dan mencari pengalaman sambil mengamalkan semua ilmu yang sudah kupelajari dari ayah dan eyang. Nah, kemudian aku melihat gerakan aji kanuraganmu tadi sama benar dengan aliran kami sekeluarga. Nimas Eulis, apakah ceritaku ini tidak mengingatkan engkau akan sesuatu?”

Eulis mengerutkan keningnya, mencoba untuk mengingat-ingat. “Aku tidak ingat apa-apa, kakang-mas, hanya nama Dermayu dan Ki Ageng Pasisiran itu terasa tidak asing bagiku, akan tetapi aku tidak tahu di mana tempat itu atau siapa yang memiliki nama itu.”

“Aneh sekali. Aku harus menyelidiki asal usulmu, nimas, dan aku akan membantu sampai engkau menemukan orang tuamu. Aku akan mempertemukan engkau dengan Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Mungkin beliau mengenalmu dan dapat menceritakan siapa orang tuamu.”

“Baik, kakang-mas. Karena aku tidak ingat apa-apa dan merasa bingung, maka aku akan menurut saja apa yang hendak kau lakukan untuk mencari orang tuaku supaya aku dapat mengingat lagi asal usulku.”

“Kita akan pergi ke Dermayu, nimas. Akan tetapi sebelum itu kita harus lebih dulu pergi ke Sumedang memenuhi pesan ayah dan eyang untuk membantu Gusti Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang menghadapi para pemberontak yang mengadakan kekacauan di daerah Kadipaten Sumedang.”

Kembali Jatmika menghela napas panjang. “Nimas, aku yakin bahwa seandainya engkau tidak melupakan asal usulmu, tentu engkau akan mengetahui keadaan yang kau tanyakan itu. Agaknya sekarang engkau pun tidak tahu tentang Kerajaan Mataram dan Gusti Sultan Agung raja Mataram, bukan?”

Eulis memandang bodoh sambil menggelengkan kepala.

“Kasihan engkau, Nimas Eulis. Entah apa yang sudah terjadi denganmu sehingga engkau melupakan segala hal. Ketahuilah bahwa Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai hampir seluruh Nusantara. Hampir semua kadipaten di Jawadwipa tunduk dan mendukung Kerajaan Mataram yang sekarang sedang mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin merajalela.”

“Siapakah Kumpeni Belanda itu, kakang-mas?”

Jatmika maklum bahwa dara ini telah kehilangan ingatannya, maka dia harus menjelaskan segalanya agar dara itu tidak bingung dan tahu benar di pihak mana dia harus berdiri.

“Kumpeni Belanda adalah bangsa asing berkulit bule dan bermata siwer (berwarna). Kalau engkau berasal dari daerah Cirebon, kurasa engkau pasti pernah melihat orang Belanda.”

Eulis menggeleng kepalanya. “Aku tidak ingat, kakang-mas.”

“Sudahlah, ketahuilah saja bahwa bangsa Belanda adalah bangsa asing yang sama sekali berlainan dengan bangsa kita. Mereka disebut Kumpeni Belanda dan kini mereka memiliki benteng di Jayakarta. Akan tetapi mereka itu semakin merajalela dan berusaha menguasai perdagangan, juga berusaha memperluas tanah yang telah mereka kuasai. Mereka hendak merampas tanah air kita, nimas.”

Eulis mengerutkan alisnya. Biar pun dia tidak ingat sama sekali dan cerita ini merupakan hal baru baginya, namun dia dapat mengerti bahwa Kumpeni Belanda adalah musuh!

“Mereka jahat sekali!” katanya.

“Mereka jahat, akan tetapi juga sangat kuat, nimas. Karena itulah kita berkewajiban untuk membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda. Bagaimana pendapatmu, nimas?”

Eulis mengepalkan kedua tangannya. “Aku juga akan membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda!”

“Bagus! Nah, ketahuilah bahwa Gusti Mas Gede, Adipati Sumedang itu juga mendukung Mataram dan sekarang Sumedang dikacau oleh gerombolan pemberontak yang agaknya digerakkan oleh Kumpeni Belanda. Maka kita harus membantu Sumedang dan menentang para pemberontak itu.”

“Baik, kakang-mas. Aku setuju untuk bersamamu membantu Kadipaten Sumedang.”

“Marilah kita lanjutkan perjalanan, nimas. Sudah cukup lama kita melepaskan lelah di sini,” kata Jatmika yang melompat turun dari atas panggung gubuk itu.

Eulis juga melompat turun dan mereka meninggalkan gubuk di tengah sawah itu melewati pematang sawah. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke arah barat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi sebuah hutan, muncul lima orang dan Jatmika berbisik kepada Eulis.

“Hati-hati, nimas. Lima orang itu tampaknya amat mencurigakan. Mereka seperti sengaja menghadang kita.”

Eulis memandang ke depan dan memang, lima orang itu sekarang berhenti dan sengaja menghadang di jalan yang menuju ke hutan itu. Jatmika mengambil sikap tidak acuh dan berjalan terus, Eulis berjalan di sisinya. Akan tetapi setelah mereka tiba dekat dengan lima orang itu, seorang di antara mereka segera berseru.

“Benar, itulah mereka! Mereka itulah yang telah membunuh Kakang Munding Hideung dan Paman Kolo Srenggi!”

Jatmika dan Eulis memandang orang yang berbicara sambil menuding kepada mereka itu. Mereka tidak mengenal orang itu, akan tetapi dari ucapan orang itu mereka bisa menduga bahwa orang itu tentulah seorang anak buah Munding Hideung yang berhasil meloloskan diri. Sekarang pemuda dan dara itu berdiri berhadapan dengan lima orang itu dan mereka segera mengamati dengan penuh perhatian.

Yang berbicara tadi adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tiga orang lainnya juga sebaya dengannya. Akan tetapi orang ke lima adalah seorang kakek berusia tujuh puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, hidungnya mancung sekali dan matanya cekung tajam. Wajahnya seperti seekor burung kakaktua dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular setinggi pinggangnya.

Kakek itu kelihatan sangat menyeramkan. Tubuhnya yang tinggi itu agak bongkok, tulang tubuhnya besar-besar dan sepasang matanya tajam bukan main, sinarnya seakan dapat menembus jantung.

“Apa?” Kakek itu berkata, suaranya terdengar agak bindeng dengan logat asing dan kaku.

“Bocah-bocah ini sanggup menewaskan Munding Hideung dan Kolo Srenggi? Heh, orang muda! Benarkah andika berdua yang membunuh Munding Hideung dan Kolo Srenggi?”

Pertanyaan ini diajukan kepada Jatmika. Pemuda itu bersikap tenang dan waspada karena dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti mandraguna.

“Kalau yang anda maksudkan itu adalah gerombolan penjahat yang mengganas di Gunung Cireme, memang benar kamilah yang membasminya,” jawab Jatmika dengan jujur.

“Babo-babo si keparat jahanam!” Kakek itu memaki marah. “Mereka adalah sahabatku dan muridku, dan kalian berdua berani membunuh mereka?! Siapakah kalian yang begini tidak tahu diri dan nekat? Ketahuilah, sekarang kalian sedang berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Hayo mengaku, siapa kalian agar jangan mati tanpa nama!”

Dengan sikap tenang Jatmika menyahut, “Namaku Jatmika dan gadis ini bernama Listyani. Kami menentang gerombolan di Gunung Cireme karena mereka jahat. Aki Mahesa Sura, andika adalah seorang yang sudah tua, sebaiknya jangan membela mereka karena kalau andika membela gerombolan itu, berarti andika juga seorang jahat dan terpaksa kami akan menentangmu!”

“Huh-huh, apa sih baik atau jahat itu? Yang baik bagiku belum tentu baik bagimu dan yang jahat bagimu belum tentu jahat bagiku! Kalian berdua sudah membunuh sahabatku Kolo Srenggi dan muridku Munding Hideung, karena itu kalian harus dihukum!” Dia menoleh ke belakang lalu berkata kepada tiga orang di antara para pengikutnya. “Panca Munding (Lima Kerbau) telah hilang dua, kini tinggal kalian bertiga harus dapat membalaskan dendam ini. Tangkaplah dua orang muda itu!”

Mendengar perintah ini, tiga orang lelaki yang tadinya berdiri di belakang Aki Mahesa Sura serentak berlompatan ke depan menghadapi Jatmika dan Eulis.

“Aku adalah Munding Beureum!” kata seorang yang memakai sabuk berwarna merah.

“Aku Munding Koneng!” kata orang kedua yang bersabuk kuning.

“Aku Munding Hejo!” kata orang ketiga yang bersabuk hijau.

“Selama bertahun-tahun, kami Panca Munding sehidup semati di gunung Cireme. Tetapi sekarang kalian sudah membunuh dua orang kakak kami, maka menyerahlah untuk kami tangkap dan menerima hukuman dari guru kami!” kata Munding Beureum.

“Kami berdua tidak merasa bersalah. Kalau kalian hendak membela yang jahat, terpaksa kami akan menghajar kalian juga!” kata Jatmika.

Eulis juga telah siap sebab dia maklum bahwa mereka tengah berhadapan dengan teman-teman penjahat yang telah dibasminya bersama Jatmika. Diam-diam dara perkasa ini telah mengerahkan tenaga saktinya dan siap untuk melawan.

Munding Beureum mengeluarkan gerengan dan agaknya suara ini merupakan isyarat bagi dua orang adik seperguruannya. Mereka bertiga mengeluarkan suara gerengan, lalu tiba-tiba berjungkir balik tiga kali di atas tanah dan... tahu-tahu bentuk mereka sudah berubah menjadi tiga ekor harimau sebesar anak lembu!

Tiga ekor harimau ini menggereng dan mengaum keras sambil memperlihatkan taring dan mengibas-kibaskan ekor mereka yang panjang.

Tentu saja Eulis terbelalak ngeri, tapi Jatmika segera menoleh kepadanya sambil berkata lirih. “Pergunakan Aji Guruh Bumi...”

Eulis menurut. Bersama Jatmika dia segera mengerahkan tenaga sakti dan memasang Aji Guruh Bumi, menggedruk (membanting) kaki tiga kali ke atas tanah kemudian keduanya mendorongkan kedua telapak tangan ke depan dan membentak, “Aji Guruh Bumi...!”

Tiga ekor harimau jadi-jadian yang sudah bergerak ke depan hendak menubruk itu tiba-tiba dilanda angin pukulan yang amat kuat. Tiga ekor binatang jadi-jadian itu segera terdorong ke belakang lalu jatuh bergulingan, berubah lagi menjadi tiga orang laki-laki yang nampak terkejut.

Mereka menjadi sangat penasaran. Ilmu mereka mengubah diri menjadi harimau ternyata dapat dipunahkan dua orang muda itu dengan aji pukulan yang amat ampuh. Mereka lalu mencabut keris masing-masing dan serentak maju menyerang. Munding Hejo yang paling muda sudah menerjang dan menyerang Eulis dengan tusukan kerisnya.

Eulis bergerak cepat menghindarkan diri dengan elakan ke belakang, kemudian membalik dan kaki kirinya mencuat, melayang dan menyambar ke arah muka lawan. Munding Hejo cukup cekatan. Dia sudah dapat menghindar dari sambaran kaki itu dengan merendahkan tubuhnya lalu menyerang lagi dengan kerisnya. Terjadilah perkelahian sengit antara Eulis melawan Munding Hejo.

Sementara itu Munding Beureum bersama Munding Koneng juga sudah maju mengeroyok Jatmika yang mereka anggap lebih tangguh dibandingkan gadis itu. Keduanya menyerang dengan tusukan keris, bertubi-tubi dengan gerakan yang tangkas, cepat dan kuat.

Melihat gerakan mereka, tahulah Jatmika bahwa dua orang lawannya adalah lawan-lawan yang cukup tangguh, maka dia pun langsung mencabut kerisnya. Keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam. Keris itu berpamor emas dan itulah Kyai Cubruk, keris pusaka dari Banten yang terkenal ampuh pemberian ayahnya, Ki Sudrajat.

“Trangg...! Cringg...!”

Dua batang keris di tangan Munding Beureum dan Munding Koneng segera terpental pada waktu senjata mereka itu ditangkis oleh keris Kyai Cubruk di tangan.

Gerakan tangan Jatmika yang memegang keris itu cepat dan kuat bukan main sehingga keris itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi sinar yang berkelebatan dan bergulung-gulung. Juga pemuda perkasa itu membalas serangan kedua orang pengeroyolnya bukan hanya dengan keris, akan tetapi juga tangan kirinya menyelingi tusukan kerisnya dengan tamparan-tamparan dahsyat.

Karena dia mengerahkan tenaga sakti dalam tamparan tangan kiri itu, maka tamparan itu tidak kalah hebat dan berbahayanya dari pada tusukan kerisnya. Dan setiap kali dua orang lawannya menangkis tamparannya, tubuh mereka lantas terdorong dan mereka terhuyung ke belakang.

Bukan hanya dua orang pengeroyok Jatmika yang terdesak. Munding Hejo yang sedang bertanding melawan Eulis juga mulai terdesak. Biar pun dia menggunakan keris sementara gadis itu bertangan kosong, tetapi tamparan-tamparan yang dilakukan Eulis sungguh amat hebat dan mulai mendesak Munding Hejo sehingga dia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Sejak tadi Aki Mahesa Sura menonton pertandingan itu dan dia mengerutkan alisnya yang putih sesudah melihat betapa lewat beberapa puluh jurus saja tiga orang muridnya sudah terdesak hebat oleh sepasang orang muda itu. Kiranya dua orang muda itu memang sakti mandraguna, apa lagi pemuda itu. Dikeroyok dua juga masih bisa mendesak. Pantas saja sahabatnya, Ki Kolo Srenggi, bisa tewas melawan mereka. Tentu pemuda itu yang sudah mengalahkan dan menewaskan Kolo Srenggi. Dan sekarang kalau dia diamkan saja, tentu tiga orang muridnya itu juga akan tewas di tangan mereka.

Aki Mahesa Sura yang telah tua renta itu segera menggerakkan tubuhnya. Sekali bergerak tubuh jangkung agak bongkok itu sudah meluncur ke depan, bagaikan melayang saja dan tahu-tahu dia sudah berada dekat Eulis yang sedang mendesak Munding Hejo dan tongkat ularnya menyambar ke arah tengkuk Eulis.

“Syuuuutttt...!”

Eulis terkejut dan hidungnya mencium bau amis keluar dari sinar hitam yang menyambar ke arah tengkuknya itu. Dia cepat melangkah maju, memutar tubuh lantas mengelak dari sambaran tongkat ular itu. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri kakek tua renta itu menyambar mencengkeram ke arah kepalanya.

Eulis terkejut sekali. Jarak antara dia dan kakek itu ada dua meter, akan tetapi lengan kiri kakek itu dapat mulur (memanjang) seperti karet saja dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri itu sudah mengancam kepalanya. Eulis cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan menjauh. Namun tetap saja tangan kiri itu mengejarnya dan tengkuknya terkena tepukan kakek itu.

“Plakkk...!”

Tubuh Eulis tiba-tiba menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi. Aki Mahesa Sura menghampiri kemudian memegang pangkal lengan kanan Eulis dan diangkatnya gadis itu bangkit berdiri. Tetapi tubuh Eulis seperti lemas tak bertenaga sehingga dia berdiri lunglai dan bersandar ke tubuh kakek itu.

“Jatmika, hentikan perlawananmu atau aku akan membunuh gadis ini!” Aki Mahesa Sura membentak dan Jatmika cepat melompat ke belakang lalu memandang. Betapa kagetnya ketika dia melihat Eulis sudah ditangkap oleh kakek yang memiliki muka seperti Begawan Durna tokoh cerita Mahabarata itu!

“Aki Mahesa Sura! Bebaskan gadis itu dan marilah kita bertanding secara jantan!” Jatmika membentak marah dan juga khawatir melihat Eulis sudah tak berdaya dan tertawan.

“Heh-heh-heh, Jatmika. Buang kerismu dan menyerahlah dari pada engkau melihat gadis ini kubunuh di depan matamu!” Aki Mahesa Sura mengancam sambil mengangkat tongkat ularnya, mengancam untuk membunuh gadis itu dengan tongkatnya.

“Aki Mahesa Sura, tidak malukah andika bertindak curang? Lepaskanlah Nimas Eulis dan mari kita mengadu kesaktian kalau andika berani!” kembali Jatmika menantang.

“Hah-hah-ho-ho! Ini bukan kecurangan melainkan kecerdikan, Jatmika. Kalau dengan akal dapat menang tanpa lelah, mengapa mesti menggunakan okol yang melelahkan?”

Tiba-tiba Eulis yang lemas tak berdaya itu berseru, suaranya juga terdengar lemah namun cukup lantang. “Jangan menyerah, Kakang-mas Jatmika! Lawan mereka, jangan pedulikan aku! Aku tidak takut mati!”

Aki Mahesa Sura menjadi marah. Mukanya yang berkulit hitam menjadi makin hitam dan sepasang mata yang cekung itu mengeluarkan sinar berapi.

“Hemm, kalau dia minta mati, lihatlah betapa aku akan membunuhnya, Jatmika!” katanya dan dia mengangkat tongkat ularnya, siap ditusukkan pada leher Eulis yang memandang dengan mata tidak membayangkan rasa takut sedikit pun.

“Tahan...!” teriak Jatmika dan kakek itu menahan pukulan tongkatnya. “Aki Mahesa Sura, katakan dulu apa yang akan andika lakukan kalau aku mau menyerah. Kalau sesudah aku menyerah andika tetap akan membunuh Nimas Eulis, buat apa aku menyerah? Lebih baik aku melawan sampai titik darah penghabisan dan jika andika membunuh Nimas Eulis, aku pasti akan membunuhmu!” Ucapan Jatmika dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga dapat terasa oleh Aki Mahesa Sura bahwa ucapan itu bukan sekedar gertakan belaka.

Kakek ini berpikir. Tidak ada untungnya kalau dia membunuh gadis jelita ini. Apa lagi kalau dia melakukan itu, Jatmika tentu akan berusaha mati-matian untuk membunuhnya dan dia tahu betapa saktinya pemuda itu.

“Hemm, baiklah. Kalau engkau tidak melawan dan mau menyerahkan diri, aku tidak akan membunuh kalian berdua!” kata kakek itu.

“Bersumpahlah, Aki Mahesa Sura, baru aku mau percaya,” kata Jatmika.

“Keparat! Engkau tidak percaya terhadap janji seorang datuk besar yang sakti mndraguna seperti aku? Baiklah, aku bersumpah tidak akan membunuh kalian kalau engkau bersedia menyerah.”

“Jangan, Kakang-mas Jatmika! Jangan percaya kepadanya, jangan menyerah dan jangan pedulikan aku!” teriak Eulis.

“Nimas Eulis, jangan khawatir. Aku yakin bahwa seorang tua dan terhormat semacam Aki Mahesa Sura ini tak akan mau melanggar sumpahnya sendiri. Nah, Aki Mahesa Sura, aku menyerah!” Jatmika menyarungkan kembali kerisnya.

Aki Mahesa Sura lalu berkata kepada tiga orang muridnya dengan suara memerintah, “Ikat tangan mereka ke belakang, pergunakan tali pengikat pinggang kalian!”

Tiga orang murid itu segera melolos sabuk mereka. Sabuk itu terbuat dari lawe yang telah dirajah (diberi kesaktian), karena itu merupakan benda yang memiliki daya yang luar biasa kuatnya. Mahesa Sura menyeringai sambil mengelus jenggotnya yang putih melihat ketiga orang muridnya sibuk melaksanakan perintahnya.

Munding Beureum dan Munding Koneng menelikung kedua lengan Jatmika ke belakang tubuhnya, sementara Munding Hejo mengikat kedua pergelangan tangan Eulis ke belakang tubuhnya pula. Setelah memeriksa ikatan itu sangat kuat, Mahesa Sura lalu menepuk tiga kali pundak dan punggung Eulis dan seketika gadis itu dapat bergerak lagi.

Eulis meronta dan berusaha mematahkan ikatan kedua tangannya, akan tetapi usahanya tidak berhasil karena tali itu kuat bukan main. Gadis itu menjadi marah dan kedua kakinya mencuat bergantian. Dia mencoba untuk menyerang Mahesa Sura.

Kakek ini terkekeh sambil mengelak, terkadang menangkis hingga kaki gadis itu terpental dan dia merasa tulang kakinya nyeri ketika tertangkis oleh tangan kakek itu.

Melihat gadis itu sudah bisa bergerak, diam-diam Jatmika juga mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali yang menelikungnya, namun usahanya juga tidak berhasil. Maklumlah dia bahwa mereka berdua tidak akan dapat melepaskan diri, dan karena itu mereka harus mempergunakan kecerdikan, menunggu kesempatan untuk meloloskan diri. Menggunakan kekerasan yang hasilnya sia-sia hanya akan merugikan mereka sendiri.

“Jatmika, engkau sudah berjanji tidak akan melawan dan aku berjanji tak akan membunuh kalian. Kalau kalian ingkar janji, aku pun dapat mengingkari janjiku dan membunuh kalian,” kata Aki Mahesa Sura.

“Nimas Eulis, kata-katanya memang benar. Kita harus menyerah sebab itulah yang sudah kujanjikan dan aku tidak ingin melihat engkau melanggar janji. Tenanglah, nimas, engkau tidak perlu khawatir. Bukankah aku berada di sampingmu?”

Eulis juga melihat betapa perlawanan akan sia-sia belaka. Ia memandang pemuda itu dan melihat pemuda itu tersenyum dan sinar matanya seakan memberi isyarat kepadanya. Ia pun berhenti meronta dan menundukkan muka lalu berkata lirih, “Aku menyerah.”

“He-he-heh-ho-ho-ho!” Aki Mahesa Sura tertawa gembira. “Sebentar lagi malam tiba. Mari kita bawa dua orang tawanan ini ke pondok kita agar tidak kemalaman di perjalanan.”

Tiga orang muridnya lalu menggiring Jatmika dan Eulis memasuki hutan. Mereka berhenti sesudah hari menjadi agak gelap. Sekarang senja telah tiba dan mereka sampai di lembah Sungai Cilutung di mana berdiri sebuah pondok kayu yang cukup besar. Jatmika dan Eulis disuruh masuk dan mereka semua duduk di atas bangku-bangku kayu mengelilingi sebuah meja.

Munding Koneng dan Munding Hejo lalu sibuk bekerja di dapur mempersiapkan makanan dan di ruangan itu tinggal Aki Mahesa Sura dan Munding Beureum yang menemani atau menjaga dua orang tawanan itu. Tak lama kemudian dua orang murid yang sibuk di dapur itu memasuki ruangan membawa sebakul nasi dan beberapa macam masakan sederhana.

“Biarkan Nimas Listyani makan lebih dulu!” kata Jatmika.

“Tidak, biarkan Kakang-mas Jatmika yang makan,” bantah Eulis.

“Baiklah, Jatmika akan makan lebih dulu,” kata kakek itu.

Jantung kedua orang tawanan itu terasa berdebar. Mungkin kini tiba saatnya mereka akan mendapat kesempatan untuk meloloskan diri! Akan tetapi ternyata kakek itu cerdik sekali. Dia menyuruh membebaskan ikatan kedua tangan Jatmika, namun Eulis dalam keadaan masih terikat disuruh duduk di dekatnya.

Dalam keadaan seperti ini tentu saja Jatmika tidak berani memberontak karena kakek itu akan dapat dengan mudah turun tangan membunuh Eulis! Tapi untuk membuat tubuhnya tetap sehat dan kuat, Jatmika segera menghilangkan perasaannya yang tertekan dan dia pun mulai makan.

Sehabis makan dan minum, Jatmika diikat lagi kedua lengannya ke belakang. Barulah Aki Mahesa Sura menyuruh muridnya melepaskan ikatan tangan Eulis dan dia sendiri duduk di dekat Jatmika untuk menjaga kalau-kalau gadis itu memberontak.

Eulis maklum bahwa kalau dia memberontak tentu nyawa Jatmika terancam. Dia menahan kemarahannya dan tidak memberontak, namun hatinya yang keras dan penuh kebencian terhadap musuh-musuhnya itu membuat dia marah sekali, maka dia menolak keras ketika dipersilakan makan minum.

“Aku tidak sudi makan minum!” bentaknya marah sesudah kedua pergelangan tangannya dibebaskan dari ikatan.

“Hmm, engkau tidak mau makan? Kalau engkau lebih suka menderita dan mati kelaparan, terserah kepadamu!” kata Aki Mahesa Sura.

“Nimas Eulis, harap engkau tidak berkeras hati seperti itu. Aki Mahesa Sura sudah berbaik hati memberi kita makan. Karena itu makanlah, nimas, ini perlu untuk menjaga kesehatan tubuhmu.” Kembali mereka bertemu pandang dan Eulis dapat melihat sinar mata pemuda itu yang mengandung isyarat kepadanya.

Dia pun teringat bahwa selama mereka masih belum dibunuh, hanya ditawan saja, mereka berdua masih memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aki Mahesa Sura dan tiga orang muridnya. Akan tetapi tentu saja dia tak akan mampu berbuat banyak kalau dia menderita kelaparan dan tubuhnya kehilangan tenaga dan menjadi lemas. Maka dia pun maklum akan isyarat Jatmika. Pemuda itu menganjurkan agar dia tetap menjaga kesehatan tubuhnya agar kalau kesempatan itu terbuka, mereka akan dapat memberontak dan melepaskan diri.

“Baiklah, baiklah!” katanya marah dengan bersungut-sungut.

Dia pun mulai makan. Dalam keadaan seperti itu tentu saja makan pun tidak terasa sedap. Namun dia memaksa diri untuk menelan nasi dan sayurnya dan merasa betapa tubuhnya segar kembali.

Sesudah makan dan minum, Eulis mempergunakan kesempatan itu untuk berkata kepada Aki Mahesa Sura, “Aki Mahesa Sura, aku merasa badanku gerah dan kotor berkeringat, maka perkenankanlah aku untuk mandi membersihkan diri di sungai.”

Aki Mahesa Sura menyeringai dan mengangguk, lalu berkata kepada tiga orang muridnya. “Kalian bertiga kawallah dia dan biarkan dia mandi di sungai. Biarlah pemuda ini tinggal di sini bersamaku.”

Aki Mahesa Sura memang cerdik. Dengan menahan Jatmika sebagai sandera, tentu saja Eulis tidak berdaya dan tidak berani memberontak. Apa lagi yang mengawalnya tiga orang murid kakek itu. Melawan pengeroyokan ketiga orang ini tentu saja akan berat sekali bagi Eulis. Dan dia pun tidak ingin memberontak karena dia tidak mau kalau pemuda sahabat barunya itu sampai dibunuh.

Kegelapan malam itu menolong Eulis sehingga dia dapat mandi di tepi sungai tanpa malu-malu karena tiga orang yang mengawal dan menjaganya di darat tidak dapat melihatnya dengan jelas sehingga dia pun dapat mandi dan membersihan badannya dengan leluasa. Setelah mandi Eulis merasa segar dan bersemangat kembali, dan Jatmika melihat betapa segar wajah yang jelita itu ketika gadis itu kembali memasuki ruangan sambil dikawal tiga orang murid Aki Mahesa Sura.

Munding Beureum lalu menggunakan tali ikat pinggang yang kuat itu untuk mengikat lagi kedua pergelangan tangan Eulis ke belakang tubuhnya.

Mahesa Sura membawa Jatmika keluar rumah lalu melepaskan ikatan tangannya. Kembali kakek itu menunjukkan kecerdikannya. Dia sendiri yang pergi mengawal Jatmika sehingga kalau pemuda itu berani memberontak maka pemuda itu harus menghadapi dia yang sakti mandraguna, ada pun Eulis tetap berada dalam kekuasaan tiga orang itu dalam keadaan terbelenggu.

Dengan begitu Jatmika menjadi sama sekali tak berdaya. Dia tidak berani untuk mencoba meloloskan diri karena hal itu akan membahayakan keselamatan Eulis.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)