ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-38


Kini kakek itu menjaganya di tepi sungai. Jika saja sekarang dia dapat merobohkan kakek itu, membunuhnya atau sedikitnya membuat dia tak berdaya, tentu tiga orang murid kakek itu tidak mengetahuinya dan diam-diam dia dapat menyerbu mereka untuk membebaskan Eulis! Membayangkan kemungkinan ini, jantung dalam dada Jatmika berdebar.

Sesudah mengenakan kembali pakaiannya dalam gelap dia lalu melangkah keluar dari tepi sungai. Dia segera menghampiri Aki Mahesa Sura yang berdiri termangu tak jauh dari situ. Seantero urat syaraf di dalam tubuhnya sudah menegang dan dia sudah siap siaga untuk melakukan serangan mendadak dan merobohkan kakek sakti mandraguna itu.

Akan tetapi, ketika dia melangkah sambil mengerahkan ilmunya supaya tubuhnya menjadi ringan dan langkahnya tak terdengar orang, kakek itu membalikkan tubuh menghadapinya dan berkata dengan suara mengandung ejekan.

“Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan mencoba-coba untuk memberontak, Jatmika. Sebelum engkau dapat merobohkanku, tiga orang muridku itu tentu akan mencabut nyawa gadismu!”

Tentu saja Jatmika terkejut bukan main. Kakek itu sudah dapat menerka apa yang berada di dalam benaknya. Dia segera menyadari. Tentu kakek yang cerdik itu dapat mendengar langkah kakinya yang ringan dan tidak seperti biasa, kemudian kakek itu dapat mengambil kesimpulan apa yang berada dalam pikirannya.

Tentu saja dia merasa malu dan dia pun berkata. “Aki, siapa yang hendak memberontak? Nimas Eulis berada dalam kekuasaanmu, aku tidak akan memberontak dan engkau tidak akan membunuh kami seperti telah dijanjikan!”

“Heh-heh, andai kata engkau memberontak sekali pun, apa kau kira akan demikian mudah mengalahkan aku? Mari kita kembali. Ada hal penting yang hendak kubicarakan dengan kalian berdua.”

Jatmika dikawal kembali ke pondok dan seperti halnya Eulis, dia pun ditelikung kembali. Kedua lengannya diikat di belakang tubuhnya. Mereka semua duduk kembali menghadapi meja besar yang sudah dibersihkan. Eulis duduk diapit tiga orang murid kakek itu, ada pun Jatmika duduk di sebelah kiri Aki Mahesa Sura, di seberang meja.

Biar pun dua orang tawanan itu sudah dibelenggu, agaknya kakek itu masih bersikap hati-hati dan menjaga mereka dengan amat ketat. Dia sendiri menjaga Jatmika, sementara tiga orang muridnya disuruh menjaga Eulis.

Melihat sekian lama kakek itu diam saja, hanya memandang dia dan Eulis dengan penuh perhatian, Jatmika menjadi tidak sabar. “Aki Mahesa Sura, sekarang katakanlah, apa yang hendak kau lakukan kepada kami yang sudah kau tawan? Engkau hendak membawa kami ke manakah?”

“He-he-heh, engkau tidak perlu tahu, Jatmika. sekarang jawablah pertanyaanku. Siapakah gurumu?”

Jatmika tidak ingin menyembunyikan nama gurunya, bahkan dia ingin mengagetkan hati kakek itu dengan memperkenalkan nama besar gurunya.

“Guruku adalah eyangku sendiri yang tinggal di pantai Dermayu. Beliau berjuluk Ki Ageng Pasisiran dan dahulu bernama Ki Tejo Langit.”

Benar saja. Aki Mahesa Sura tampak terkejut. “Ahh, tiga orang saudara seperguruan Tejo dari Banten yang terkenal. Tejo Wening, Tejo Langit dan Tejo Budi! Kiranya engkau adalah murid dan juga cucu Ki Tejo Langit? Bagus sekali. Tiga orang datuk Banten itu tentu tidak suka kepada Mataram. Sungguh kebetulan sekali. Jika begitu kita masih orang sendiri dan sehaluan. Sudahlah, akan kuhapuskan saja kesalah-pahaman antara kita. Mulai sekarang kuajak kalian berdua untuk bekerja sama. Ehh, akan tetapi murid siapakah Listyani ini?”

“Nimas Eulis adalah adik seperguruanku!” kata Jatmika karena dia sendiri tidak tahu, juga gadis itu tidak tahu murid siapakah dia. Tapi dia tidak berbohong kalau mengakui gadis itu sebagai saudara seperguruannya karena ilmu-ilmu mereka memang sealiran.

“Bagus! Cocok sudah kalau begitu. Murid Tejo Langit tentu saja tepat sekali untuk bekerja sama dengan kami. Hmm, Jatmika dan Listyani, kalian tentu bersedia untuk bekerja sama dengan kami, bukan? Kalian murid dari Banten, ada pun aku sendiri berasal dari Pajajaran, maka sudah semestinya apa bila kita bekerja sama untuk menentang kekuasaan Mataram yang sewenang-wenang itu!”

Mendengar dia diajak bersekutu menentang Mataram, tentu saja seketika itu hati Jatmika menolak keras. Akan tetapi dia bersikap cerdik. Dalam keadaan tidak berdaya itu tidak ada untungnya untuk berkeras menentang kehendak kakek itu. Dia bisa berpura-pura bersikap lunak dan hendak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki kakek itu.

“Bekerja sama sih baik saja, Aki Mahesa Sura. Tapi bekerja sama menentang kekuasaan Mataram? Apakah yang kau maksudkan dengan itu?”

“Ketahuilah, Jatmika. Pangeran Mas Gede yang kini menjadi Adipati di Sumedang adalah orang yang dipercaya oleh Sultan Agung di Mataram, ada pun kadipaten Sumedang akan dijadikan tempat penyimpanan ransum bagi para pasukan Mataram kalau nanti menyerang Kumpeni Belanda di Batavia, bahkan Kadipaten Sumedang juga mempersiapkan pasukan untuk membantu Mataram menggempur Belanda.”

“Hemm, kalau begitu lalu mengapa?”

“Dengar baik-baik. Sebagai murid Ki Tejo Langit engkau tentu memusuhi Mataram, bukan? Karena Kadipaten Sumedang menjadi antek Mataram, maka kedudukan Adipati Pangeran Mas Gede itu harus dirobohkan dan diganti dengan orang yang lebih pantas, seorang yang tidak mau menghambakan diri kepada Mataram.”

“Hemm, maksudmu hendak memberontak terhadap Kadipaten Sumedang dan mengganti adipatinya? Lalu kalau menurutmu, siapa yang akan dijadikan pengganti?”

“Siapa saja asal dapat mengambil sikap memusuhi Mataram. Bisa saja diambil dari salah seorang di antara murid-muridku, atau engkau sendiri juga bisa, Jatmika. Selama engkau menentang Mataram, aku akan selalu mendukung dan membantumu.”

“Hemm, bicara memang mudah, Aki Mahesa Sura! Akan tetapi melaksanakan itulah yang sukar. Apa kau kira mudah saja merobohkan sang adipati yang memiliki banyak pasukan prajurit dengan hanya mengandalkan engkau, tiga orang muridmu dan kami berdua?”

“Heh-heh-heh, engkau terlampau memandang remeh kepadaku, Jatmika! Apakah kau kira aku sebodoh itu? Aku sudah menghimpun kekuatan yang lumayan banyak. Biar pun tidak sebanyak pasukan Kadipaten Sumedang tapi seluruh anggota pasukan kami dipersenjatai dengan senjata api bedil. Kalau saja kalian berdua mau membantu, sudah pasti Kadipaten Sumedang bisa direbut dan Pangeran Mas Gede dapat dirobohkan lalu diganti orang lain.”

Sejak tadi Jatmika memutar otaknya. Dia menerima pesan dari eyang dan ayahnya untuk membantu Sumedang yang sedang terancam pemberontakan. Siapa sangka dia dan Eulis sekarang malah telah tertawan oleh pimpinan pemberontak itu yang bukan lain adalah Aki Mahesa Sura dan diajak bekerja sama membantu pemberontakan menjatuhkan Kadipaten Sumedang!

Jatmika maklum bahwa itulah sebabnya kenapa kakek itu tidak membunuh dia dan Eulis, padahal mereka berdua telah membunuh murid dan sahabat kakek itu! Dia pun tahu bahwa bila dia menolak, apa lagi kalau kakek itu tahu bahwa dia malah membela Mataram, tentu nyawa dia dan Eulis tidak akan dapat tertolong pula!

“Bagaimana, Jatmika? Kenapa engkau diam dan bengong saja?”

“Kakang-mas Jatmika...”

“Diamlah, Nimas Eulis dan engkau turutlah saja aku!”

Jatmika segera memotong kata-kata Eulis. Dia tahu bahwa Eulis yang sudah dia beri-tahu tentang keadaan Mataram itu tentu sudah yakin bahwa mereka harus membela Mataram dan sama sekali tidak boleh menentang Mataram. Karena itu dia cepat mendahului untuk mengatur siasat, dan dia merasa yakin bahwa Eulis akan menurut saja karena gadis yang sudah kehilangan ingatan akan masa lalunya itu merasa tidak berdaya dan hanya percaya kepadanya.

“Baiklah, Aki Mahesa Sura. Aku dan Eulis akan membantumu, tetapi sesudah kita bekerja sama, cepat lepaskan ikatan pada kedua tangan kami agar kami dapat leluasa bicara dan leluasa bergerak.”

“Dan leluasa pula memberontak, dan menyerangku, bukan? He-heh-heh, aku tidak setolol itu, Jatmika!”

“Hemm, lalu maumu bagaimana, Aki Mahesa Sura? Kalau engkau tidak percaya kepada kami, mengapa kau mengajak kami untuk bekerja sama?” kata Jatmika, sengaja bertanya dengan suara bernada marah dan penasaran.

“Bersabarlah sampai besok pagi, orang muda. Salah seorang anak buahku sudah kusuruh memberi kabar kepada pimpinan kami. Besok pagi barulah kami bisa memberi keputusan kepada kalian. Sekarang beristirahatlah. Engkau beristirahat di dalam kamar bersamaku, dan Listyani akan dijaga tiga orang muridku.”

“Tidak sudi aku sekamar dengan mereka!” Eulis membentak marah.

“Aki Mahesa Sura, kalau murid-muridmu berani mengganggu selembar saja rambut Nimas Eulis, aku akan...!”

“Tenanglah, Jatmika. Mereka tak akan berani,” kata kakek itu. Dia lalu berkata kepada tiga orang muridnya. “Biarkan gadis itu tidur dalam kamar sebelah dan kalian bertiga berjaga di luar kamar. Awas, kalau ada yang menyentuhnya, aku akan membuntungi anggota badan kalian yang berani menyentuhnya!”

Melihat gadis itu masih ragu dan memandang kepadanya, Jatmika lalu berkata, “Pergilah tidur di kamar sebelah, nimas dan percayalah, Aki Mahesa Sura tak akan melanggar janji.”

Setelah Jatmika berkata demikian barulah Eulis bangkit berdiri lalu melangkah dan masuk ke kamar sebelah yang diterangi sebuah lampu gantung kecil. Dengan sepasang tangan terbelenggu gadis itu lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu, memiringkan tubuh menghadap ke dalam dan segera dia dapat tidur karena dia memang sudah merasa lelah dan mengantuk.

“Mari kita beristirahat, Jatmika,” kata Aki Mahesa Sura.

Jatmika segera bangkit kemudian mengikuti kakek itu memasuki sebuah kamar. Di dalam kamar itu terdapat dua buah dipan kayu. Sesuai petunjuk Aki Mahesa Sura, Jatmika lalu merebahkan diri di atas dipan yang berada di sebelah dalam, tidur miring membelakangi kakek itu yang duduk bersila di dipan kedua.

Jatmika maklum bahwa takkan ada gunanya memberontak, bahkan dapat membahayakan keselamatan Eulis. Maka dia mengambil keputusan untuk bisa tidur nyenyak agar supaya tenaganya pulih kembali dan akan menghadapi peristiwa besok pagi dalam keadaan segar bugar.....

********************

Pemuda itu melangkah dengan muka tunduk. Tubuhnya jangkung tegap, membayangkan kekuatan dahsyat di balik sikap yang lemah lembut itu. Wajahnya tampan manis, matanya lembut tetapi bersinar tajam mencorong. Langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya yang sederhana seperti pakaian pemuda tani tidak menyembunyikan keadaan dirinya yang menarik, yang berbeda dengan pemuda biasa.

Memang sudah menjadi kebiasaannya kalau berjalan selalu menundukkan mukanya. Hal ini bukan berarti bahwa dia tidak memperhatikan keadaan disekitarnya. Walau pun selalu menunduk namun dia peka sekali terhadap lingkungannya. Tidak akan mudah bagi orang untuk lewat di dekatnya tanpa diketahuinya. Dia peka dan selalu waspada terhadap dirinya sendiri, pikirannya, perasaannya, gerak langkahnya, dan peka terhadap apa pun yang ada di luar dirinya.

Kalau dia menunduk, hal ini adalah karena sudah menjadi kebiasaannya dan hal ini sesuai dengan ajaran yang dia dapatkan dari mendiang Ki Tejo Budi. Di benaknya masih terngiang suara gurunya yang mengajarkan perihal menundukkan muka ini. Tampaknya sederhana saja, hanya selalu menundukkan muka, namun ternyata mengandung pelajaran yang amat penting sebagai penuntun sikap hidup.

“Biasakanlah untuk menundukkan muka, Aji,” demikianlah mendiang Ki Tejo Budi dahulu memberi wejangan.

“Orang menundukkan muka itu selalu waspada akan langkah hidupnya, tidak akan mudah terjegal dan tersandung, tetapi mudah melihat kesalahan sendiri. Tidak seperti orang yang dalam perjalanan hidupnya selalu menengadahkan muka melihat ke atas, dia akan mudah tersandung dan jatuh tersungkur. Orang yang selalu menundukkan muka memandang ke bawah akan bisa melihat mereka yang berada di bawahnya dan lebih rendah, lebih miskin dan lebih kekurangan dari pada dirinya sendiri. Dengan demikian dia akan selalu merasa bahwa dia adalah seorang yang beruntung, cukup tinggi, cukup berkemampuan dan cukup berlebihan dibandingkan banyak orang yang berada di bawahnya sehingga dia akan selalu mengucapkan syukur dan terima kasih kepada kemurahan Gusti Allah kepadanya.

Sebaliknya orang yang selalu mendongak hanya akan melihat mereka yang berada lebih tinggi darinya, lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian dia akan selalu merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbahagia, yang rendah, yang kalah kaya, kalah makmur, kalah pandai oleh mereka yang berada di atasnya sehingga dia akan selalu mengomel, mencela dan mengatakan bahwa Gusti Allah tidak adil kepadanya, hidupnya penuh keluh kesah dan iri hati, Lihatlah betapa arif bijaksananya nenek moyang kita. Mereka membuat gambar-gambar wayang kulit yang mengandung penuh arti. Lihatlah gambaran wayang.

Semua satria arif bijaksana digambar dengan muka menunduk. Dan lihatlah para raksasa yang angkara murka, semua digambar dengan muka menengadah atau dagu terangkat! Coba bayangkan, bagaimana sikap orang yang sombong, yang sewenang-wenang, yang angkara murka, yang berbangga diri dan berkepala besar, semuanya tentu mengangkat mukanya.

Sebaliknya orang yang penyabar, yang pengalah, yang rendah hati, yang alim, tentu selalu menundukkan mukanya! Orang yang menundukkan mukanya juga menundukkan hatinya terhadap Gusti Allah, setiap saat mengucapkan syukur dan memuji namaNya. Akan tetapi orang yang menengadah atau mengangkat mukanya selalu meninggikan hatinya, bisanya hanya menuntut kepada manusia lain atau kepada Gusti Allah sekali pun supaya dia bisa mendapatkan ini dan itu demi kesenangan diri sendiri belaka. Camkanlah hal ini, Lindu Aji muridku.”

Aji tidak pernah melupakan petuah gurunya itu sehingga sudah menjadi kebiasaan baginya untuk selalu merendahkan hati dan menundukkan muka, bahkan di waktu berjalan. Dalam kewaspadaannya, juga terhadap diri sendiri, yaitu kebiasaan untuk mawas diri yang selalu dilakukannya, Aji mendapatkan bahwa kini dirinya sedang diombang-ambingkan berbagai perasaan. Harus diakuinya bahwa betapa kuatnya iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah, namun dia sama sekali tidak dapat melepaskan diri terhadap pengaruh nafsu.

Dan hal ini cocok dengan wejangan mendiang gurunya, “Lindu Aji, tidak ada seorang pun manusia, betapa pun pandainya dan betapa pun salehnya, dapat terlepas sepenuhnya dari pengaruh nafsu. Selama kita masih mengenakan badan jasmani ini, sudah pasti kita akan terpengaruh oleh nafsu daya rendah kebendaan, nafsu daya rendah hewani dan nafsu daya rendah nabati. Hal ini adalah karena selama hidup di dalam dunia ini kita masih amat membutuhkan mereka. Kita membutuhkan sandang papan dan benda-benda lainnya yang membawa daya rendah kebendaan. Kita membutuhkan makan dan minum yang membawa daya rendah hewani dan nabati. Bagaimana mungkin kita terbebas dari kesemuanya itu? Dan daya-daya rendah itulah yang mengakibatkan kita masih merasakan segala macam perasaan yang bergolak dalam hati akal pikiran seperti misalnya susah, senang, kecewa, puas, marah, malu, khawatir dan sebagainya.

Hanya bedanya, Aji, terhadap orang yang kuat imannya dan penyerahannya kepada Gusti Allah, pengaruh nafsu-nafsu daya rendah itu tidak sampai menyeretnya terlalu jauh, tidak sampai membuat dia melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena ada kekuasaan Gusti Allah yang akan menahan dan membimbingnya. Tidak seperti orang tak beriman yang lalu melampiaskan nafsu-nafsunya dengan melakukan perbuatan keji dan sejahat-jahatnya.”

Teringat tentang semua ini, biar pun Aji melihat dengan jelas betapa hatinya bergolak oleh pengaruh nafsu-nafsu namun dia tidak merasa khawatir karena percaya bahwa Gusti Allah tak akan meninggalkannya. Pada saat itu dia merasa penasaran, marah, kecewa, berduka dan khawatir.

Dia merasa penasaran dan marah melihat sepak terjang orang-orang yang memberontak kepada Mataram dan bersedia merendahkan diri menjadi antek Kumpeni Belanda menjual nusa bangsa sendiri. Dia betul-betul kecewa melihat betapa Hasanudin, kakak tirinya satu ayah berlainan ibu, sudah tersesat dan terpikat oleh Belanda menjadi kaki tangannya pula. Dia berduka karena kematian Ki Sudrajat putera mendiang gurunya serta kematian Ki Tejo Langit kakak seperguruan gurunya yang memang selama ini dicarinya. Baru saja bertemu, pada malam yang sama tahu-tahu mereka tewas diterjang peluru-peluru senapan Kumpeni Belanda. Dan terutama sekali dia merasa khawatir apa bila memikirkan nasib Sulastri yang jatuh ke bawah tebing lalu lenyap tanpa meninggalkan bekas! Kini dia dibebani oleh lebih banyak tugas lagi.

Selain mambantu Mataram dalam mempersiapkan diri untuk menyerbu Kumpeni Belanda di Batavia, dia juga harus mencari Sulastri, lalu mencari Raden Banuseta yang ternyata sangat jahat dan menjadi antek Belanda, selain sudah membunuh ayah kandungnya juga sudah membawa serdadu Kumpeni membunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat. Di samping itu dia juga harus mencari dan menyadarkan kakak tirinya, Hasanudin yang tersesat.

Dia lalu melakukan perjalanan cepat kembali ke Gunung Cireme, melewati tempat di mana Sulastri lenyap, kemudian dengan cepat dia menuruni gunung itu menuju barat. Dan pada sore hari itu tibalah dia di lembah Sungai Cilutung.

Pada waktu dia berjalan santai menyusuri tepi sungai untuk mencari penyeberangan atau tempat yang nyaman untuk melewatkan malam dan mendapatkan makanan, tiba-tiba saja dia melihat serombongan orang yang dipimpin seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang gagah perkasa berpakaian bangsawan.

Rombongan yang mengikuti laki-laki gagah ini berjumlah dua puluh empat orang yang jika dilihat dari pakaian dan bentuk tubuh mereka, jelas mereka adalah orang-orang sebangsa. Mereka semuanya membawa senapan berlaras panjang, sementara laki-laki gagah itu pun menyelipkan sebatang pistol di ikat pinggangnya.

Kalau saja mereka memakai pakaian serdadu, tentu mudah diduga bahwa mereka adalah pasukan Kumpeni Belanda. Akan tetapi mereka tidak berpakaian seragam dan mereka itu jelas orang-orang dari bangsa sendiri. Melihat mereka berjalan menyusuri pantai menuju ke arah utara, Aji menjadi tertarik sekali dan cepat dia membayangi mereka.

Ketika membayangi mereka dari jarak agak dekat sambil menyelinap di antara pepohonan dan semak-semak dengan pengerahan tenaga dalam sehingga gerakannya sangat cepat dan hanya berkelebat seperti bayang-bayang, Aji mendengar seorang di antara dua losin anak buah itu bertanya.

“Gusti Menggung, tidak kelirukah jalan yang kita tempuh?”

Lelaki gagah perkasa yang memimpin pasukan itu, yang berkumis tebal sekepal sebelah seperti Raden Gatutkaca, tertawa “Ha-ha-ha, mana bisa keliru? Aku pernah ke sini. Hayo cepat, nanti keburu malam!” Suaranya besar dan mantap, juga berwibawa.

Rombongan itu lalu mempercepat jalannya, bahkan setengah berlari dipimpin orang yang disebut Gusti Menggung itu.

Aji dapat melihat betapa laki-laki gagah itu dapat berlari dengan ringan, tampaknya seperti melangkah biasa saja namun anak buahnya terengah-engah mengikutinya dengan berlari cepat! Seorang yang cukup tangguh, pikir Aji sambil berlari agar dapat terus membayangi dari jarak dekat. Setelah cuaca mulai gelap akhirnya mereka tiba di depan sebuah pondok kayu yang cukup besar di tepi sungai itu.

Mereka berhenti di luar pintu dan pemimpin rombongan itu berseru dengan suara lantang. “Aki (Kakek) Mahesa Sura! Apakah andika berada di dalam pondok?”

Aki Mahesa Sura yang sedang duduk bersila di atas dipan, menjaga Jatmika yang rebah di dipan yang lain, segera menyeringai lebar mendengar suara itu. “He-heh-heh-heh, kiranya Denmas Tumenggung Jaluwisa telah datang, kukira besok pagi baru tiba. Tunggu, kubukai pintu!”

Aki Mahesa Sura memberi isyarat kepada Jatmika yang juga telah bangkit duduk agar ikut dengannya keluar kamar. Setibanya di luar kamar, kakek itu langsung berkata kepada tiga orang muridnya, “Kalian bawa gadis itu keluar, ke ruangan depan.”

Tiga orang murid kakek itu membuka pintu kamar. Namun sebelum mereka masuk, Eulis sudah berada di ambang pintu. Gadis itu tidak ingin tiga orang itu memasuki kamarnya.

Dalam keadaan terbelenggu Jatmika dan Eulis dibawa ke ruang tengah, kemudian mereka disuruh duduk menghadapi meja besar tapi terpisah. Beberapa buah lampu gantung lantas dipasang sehingga ruangan itu menjadi terang. Sesudah itu daun pintu depan baru dibuka dan masuklah pemimpin rombongan tadi dengan sikap gagah.

Kakek itu menyambut dengan sikap hormat dan gembira. “Selamat datang di pondokku, Denmas Tumenggung Jaluwisa. Tak kusangka andika akan datang malam-malam begini! Silakan duduk.”

Lelaki itu adalah Tumenggung Jaluwisa, tangan kanan atau orang kepercayaan Pangeran Mas Gede, Adipati yang berusia lima puluh tahun dan menjadi penguasa di Sumedang.

Setelah kekuasaannya diakui oleh para adipati di Jawa Barat selain Banten, tadinya Sultan Agung mengangkat Dipati Kusuma Dinata sebagai penguasa di daerah Jawa Barat dan menjadi wakil Kerajaan Mataram. Sesudah Dipati Kusuma Dinata meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh Pangeran Mas Gede. Tumenggung Jaluwisa adalah orang kepercayaan Pangeran Mas Gede, juga senopati yang diandalkan di Sumedang.

Mendengar sambutan itu, Tumenggung Jaluwisa melayangkan pandang matanya dengan memandang ke arah Jatmika dan Eulis yang tangannya dibelenggu, dan matanya bersinar melahap kecantikan gadis tawanan itu. Kemudian dia menoleh keluar dan berkata kepada anak buahnya, “Kalian istirahat di pendopo. Jangan tinggalkan tempat, tetap waspada dan berjaga-jaga.” Setelah berkata demikian barulah dia melangkah memasuki ruangan depan yang terang itu, lalu duduk berhadapan dengan Aki Mahesa Sura, ketiga orang muridnya, yaitu Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo yang mengapit dua tawanan yang terbelenggu itu.

“Aki, siapakah mereka ini?” Tumenggung Jaluwisa menuding ke arah tiga murid serta dua tawanan itu.

Sementara itu Aji sudah menyelidiki dengan hati-hati dan sekarang dia mendekam di pojok luar ruangan depan itu sambil mengintai dari sebuah lubang yang dibuat dengan tusukan telunjuknya pada dinding papan. Ketika dia melihat Eulis, jantungnya berdebar tegang. Dia terbelalak dan hatinya diliputi rasa girang, heran dan terharu.

“Nimas Sulastri...!” Untung Aji dapat menguasai mulutnya yang hampir saja mengeluarkan jeritan hatinya itu. Hanya dalam hati dia menjerit memanggil nama gadis itu. Sulastri masih hidup! Ini yang terpenting dan yang kedua, gadis itu tertawan dan harus dibebaskan.

Akan tetapi kini dia telah memiliki banyak pengalaman dan tidak mau bertindak sembrono. Dia hendak melihat keadaan dan perkembangannya dulu. Karena itu, ketika Tumenggung Jaluwisa duduk lalu bertanya kepada kakek yang tadi disebut sebagai Aki Mahesa Sura, Aji mengintai penuh perhatian.

“Perkenankan, denmas Tumenggung. Yang tiga orang ini adalah murid-muridku, Munding Beureum, Munding Koneng dan Munding Hejo. Mereka ini adalah tiga dari Panca Munding yang memimpin anak-anak buah Munding Hideung di Gunung Cireme. Heh, kalian bertiga, ketahuilah bahwa ini adalah Denmas Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang.”

Tiga murid itu merasa rendah diri dan mengangguk dengan hormat. Guru mereka sendiri saja demikian hormat terhadap tumenggung itu, tentu saja mereka harus lebih hormat lagi.

“Dan siapakah dua orang ini, Aki?” tanya sang tumenggung akan tetapi sepasang matanya menggerayangi wajah cantik dan tubuh indah yang duduk begitu dekat di hadapannya itu. Sekali bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya, tentu dia sudah dapat membelai tubuh itu!

“Ohh, mereka adalah dua orang tawanan penting kami, tapi mungkin akan menjadi teman-teman seperjuangan kami. Ceritanya panjang, denmas. tapi nanti pasti akan kuceritakan. Tetapi kedatangan denmas malam-malam begini sangat mengejutkan hati kami. Bukankah menurut rencana besok pagi baru denmas akan tiba di sini?”

“Memang benar, Aki Mahesa Sura. Ini adalah kehendak dan perintah dari Mayor Jakuwes. Beliau menghendaki agar rencana itu dapat dilaksanakan secepatnya, tapi jangan sampai mendahului laporan Adipati Sumedang mengenai persiapan Kadipaten Sumedang untuk kelak membantu Mataram. Karena desakan itu maka setelah menerima laporan utusanmu keberangkatanku kupercepat dan malam ini aku dapat tiba di sini.”

Aji mendengarkan semua ini. Tadi dia sangat heran ketika Sulastri diperkenalkan sebagai seorang tawanan yang akan menjadi teman seperjuangan. dan siapa pula pemuda tampan ganteng yang menjadi tawanan di samping Sulastri itu? Tampaknya begitu tenang namun sinar matanya mencorong tajam. Juga dia tidak tahu siapa gerangan Mayor Jakuwes yang agaknya begitu besar kekuasaannya.

Tentu saja dia tidak tahu. Yang disebut Mayor Jakuwes itu sesungguhnya adalah seorang perwira Kumpeni Belanda keturunan Portugis. Nama aslinya adalah Jacques Lefebre akan tetapi untuk selanjutnya akan disebut Mayor Jakuwes saja seperti yang dikenal oleh orang pribumi, baik yang menentang mau pun yang menjadi antek Kumpeni Belanda.

“O, begitukah? Lega hatiku mendengar keteranganmu, denmas. Jadi tidak ada perubahan dalam rencana semula, bukan?”

“Sama sekali tidak ada perubahan, Aki. Akan tetapi bagaimana dengan tugasmu? Andika bertugas menghubungi murid-murid andika supaya dapat diajak membantu kami bersama anak buah mereka yang cukup banyak jumlahnya. Mengapa kini kami dapati Aki berada di sini berempat saja dengan tiga murid Aki sambil membawa dua orang tawanan? Siapakah nama dua orang tawanan muda ini, Aki?”

“Pemuda ini bernama Jatmika, dan gadis ini bernama Listyani. Mereka memiliki ilmu tinggi, sakti mandraguna, denmas, maka kedua tangan mereka terpaksa kami ikat supaya tidak memberontak.”

Dalam pengintaiannya Aji tersentak kaget dan heran bukan kepalang. Kakek itu menyebut nama Sulastri sebagai Listyani dan pemuda tampan itu ternyata adalah Jatmika, putera Ki Sudrajat! Teringatlah dia betapa sebelum mati Ki Sudrajat berpesan kepadanya agar kalau dia bertemu dengan Jatmika, dia suka membantunya. Dan sekarang dia bertemu dengan Jatmika yang menjadi tawanan bersama Sulastri. Tetapi mengapa Sulastri diperkenalkan sebagai Listyani?

Sungguh pun hati Aji merasa sangat penasaran akan tetapi dia tidak berani gegabah turun tangan. Orang-orang itu agaknya bukan orang sembarangan, terutama kakek yang disebut Aki Mahesa Sura itu. Dan tumenggung itu pun bukan orang lemah, masih ditambah lagi tiga orang murid kakek itu dan di luar masih ada dua losin orang yang memegang senjata api! Keadaan musuh kuat sekali.

“Jatmika dan Listyani? Hemm, nama yang bagus, terutama Listyani itu. Akan tetapi coba andika ceritakan hubungan kedua orang muda ini dengan tugasmu itu, Aki!”

Aki Mahesa Sura menghela napas panjang lalu berkata,

“Kunjunganku kepada perkumpulan Munding Hideung yang dipimpin dua orang muridku, Si Munding Hideung dan Munding Bodas ternyata terlambat, denmas. Pada saat aku dengan tiga orang muridku ini, Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo sampai di perkampungan Munding Hideung, kami bertemu seorang anggota Munding Hideung yang menceritakan bahwa perkumpulan itu baru saja diobrak-abrik oleh sepasang muda-mudi yang sakti mandraguna. Malah dua orang muridku, Munding Hideung dan Munding Bodas tewas di tangan kedua muda-mudi itu. Tentu saja aku menjadi marah dan dengan anggota itu menjadi penunjuk jalan, ditemani tiga orang muridku ini, akhirnya kami dapat bertemu dengan sepasang muda-mudi itu. Kami bertanding mati-matian, akan tetapi akhirnya kami berhasil menawan mereka. Inilah muda-mudi itu, denmas, yaitu Jatmika dan Listyani ini.”

“Engkau menawan kami dengan licik dan curang! Engkau menangkap aku, lalu memaksa Kakang-mas Jatmika untuk menyerah!” Eulis membentak marah.

“He-he-heh, aku melakukan akal itu karena ingin agar mereka menyerah dan mau bekerja sama, denmas. Sayang kalau dua tenaganya yang begini berharga dibunuh begitu saja.”

“Ah, begitukah? Bagus sekali kalau mereka mau bekerja sama dan kurasa tidak perlu lagi tangan mereka dibelenggu. Aku menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembanruku. Lepaskan saja ikatan mereka, Aki Mahesa Sura!”

“Akan tetapi, anakmas. mereka ini sangat berbahaya. Kalau belum ada kepastian bahwa mereka berdua benar-benar mau bekerja sama dengan kita, aku tidak berani melepaskan ikatan mereka.”

“Huh, pengecut!” Eulis mencibirkan bibirnya.

Aji yang mengintai menahan senyumnya. Itulah Sulastri. Tidak salah lagi. Gadis itu boleh mengubah namanya, boleh mengubah apa saja, akan tetapi tak dapat mengubah sikapnya yang galak pemberani dan suaranya yang lantang tajam itu.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)