ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-39
Tiba-tiba, begitu kedua tangan Tumenggung Jaluwisa bergerak, tahu-tahu dua pucuk pistol sudah berada di kedua tangannya. Gerakannya begitu cepat sehingga hampir-hampir tidak kelihatan.
“Andika melihat ini, Aki?” Tumenggung itu menimang pistol di tangan kiri. “Pistol ini berisi peluru-peluru perak yang akan menembus semua aji kekebalan! Dan kalau mungkin gagal, masih ada pistol kedua ini. Andika lihat. Inilah pistol berpeluru emas. Aji kekebalan mana mampu bertahan? Dengan kedua pistol ini di tanganku, jagoan Mataram mana yang akan mampu dan berani melawan aku? Nah, kenapa andika takut melepaskan ikatan dua orang muda yang mau bekerja sama dengan kita ini? Di luar masih ada anak buahku sebanyak dua losin orang yang semuanya bersenjata senapan laras panjang. Hayo buka saja ikatan mereka!”
Aki Mahesa Sura bangkit berdiri kemudian menghampiri Jatmika. Sebelum membuka tali pengikat kedua lengan pemuda itu, dia berkata. “Jatmika, ingatlah baik-baik. Kalau engkau bekerja sama dengan kami, engkau akan mendapatkan kemuliaan dan kedudukan. Akan tetapi jika engkau mencoba untuk memberontak dan melawan, maka engkau akan tewas. Engkau tentu pernah mendengar betapa banyak para datuk dan orang-orang yang sakti mandraguna dari Mataram, yang mempunyai aji kekebalan yang amat kuat, tumbang satu demi satu ketika diterjang peluru perak atau emas. Dan denmas tumenggung ini terkenal sebagai seorang ahli tembak yang seratus kali bidik seratus kali kena!” Sesudah berkata demikian dia lalu melepaskan ikatan kedua tangan Jatmika dan juga kedua tangan Eulis.
Aji yang masih mengintai merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa ucapan Tumenggung Jaluwisa dan Aku Mahesa Sura tadi bukan hanya gertak kosong belaka. Dia sendiri sudah menyaksikan keampuhan pistol berpeluru perak itu.
Ki Sudrajat, ayah kandung Jatmika juga tewas ketika disambar sebutir peluru perak. Pada hal, beberapa butir peluru biasa tidak mampu melukainya, Juga Ki Tejo Langit yang sakti mandraguna itu tewas karena berondongan peluru dalam keadaan belum siap melindungi dirinya dengan aji kekebalan.
Senjata api itu memang berbahaya sekali. Kalau Jatmika dan Sulastri memandang rendah dan nekat memberontak, tentu mereka akan celaka. Tetapi dia merasa lega melihat sikap Jatmika tenang-tenang saja dan ketika dia memandang kepadanya, sinar matanya seperti mengisyaratkan agar gadis itu menurut saja kepadanya.
“Nah, sekarang harap kalian beri-tahukan kepada kami, kerja sama seperti apa yang kalian maksudkan dan tugas apa yang harus kami lakukan?” katanya sambil memandang tajam kepada Aki Mahesa Sura dan Tumenggung Jaluwisa.
Tumenggung Jaluwisa bergelak tawa. “Ha-ha-ha, Jatmika, agaknya andika adalah seorang pemuda yang jujur dan tak mau banyak lika-liku, langsung saja ke persoalan. Bagus, aku suka sekali sikap seperti itu. Nah, dengarlah baik-baik. Kalau andika dapat melaksanakan tugas ini dengan baik bersama nona Listyani, kalian berdua akan mendapatkan kedudukan tinggi di Sumedang.”
“Soal itu kita bicarakan belakangan saja, paman. Yang terpenting sekarang membicarakan apa yang akan kita lakukan terhadap Kadipaten Sumedang.”
“Paman? Ah, benar juga. Andika masih muda, paling banyak berusia dua puluh dua tahun, memang pantas kau sebut paman tumenggung, akan tetapi aku akan lebih senang kalau engkau dan Listyani menyebut kakang-mas tumenggung padaku. Ha-ha, akan tetapi tidak apalah. Ucapanmu tadi menunjukkan bahwa andika bukan seorang yang kemaruk (tamak) dan haus akan imbalan hadiah. Baik sekali. Nah, dengar baik-baik. Adipati Sumedang Mas Gede, adalah orang yang tidak memiliki pendirian tegas. Dalam hatinya dia setuju dengan kami, tidak suka kepada Mataram dan condong membantu pihak Kumpeni Belanda yang hendak memakmurkan rakyat kami, tetapi pada lahirnya dia selalu mencari muka kepada Sultan Agung di Mataram. Dia seperti ular berkepala dua, siap mengkhianati kedua pihak untuk mencari keuntungan sendiri. Oleh karena itu kami telah mengambil keputusan untuk menjatuhkannya dan menyerahkan kedudukan Adipati Sumedang kepada orang lain yang lebih tepat.”
“Menjatuhkan? Apa yang andika maksudkan, paman?” tanya Jatmika, memancing untuk mendapat keterangan yang lebih jelas biar pun dia sudah dapat menduga bahwa ternyata tumenggung inilah yang menjadi pemimpin pemberontakan seperti diceritakan ayahnya.
“Apa lagi kalau bukan membunuh Pangeran Mas Gede yang tidak pantas menjadi Adipati Sumedang itu? Kita bunuh dia kemudian mengangkat seorang pengganti yang tepat, yang menentang Mataram.”
“Hm, maafkan aku, paman. Akan tetapi bukankah paman sendiri adalah seorang senopati Sumedang?”
“Justru karena aku senopati pertama di Sumedang maka aku mengetahui semua keadaan dengan baik dan akan memudahkan kita untuk mengatur rencana itu. Pangeran Mas Gede merupakan kelilip dan penghalang perjuangan yang harus disingkirkan!”
“Perjuangan apa, paman?”
“Perjuangan Sumedang dalam menentang Mataram dan membebaskan diri dari kekuasaan Mataram, berdiri sendiri dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat kita dengan bantuan Kumpeni Belanda yang kaya raya dan pandai itu.”
Jatmika menanti sesaat lalu bertanya dengan hati-hati, “Mengapa paman sekalian begitu membenci Mataram?”
Tumenggung Jaluwisa membelalakkan matanya memandang Jatmika dengan penasaran. “Mengapa tidak? Semua orang di Pasundan harus membenci Mataram. Lupakah andika tentang kisah lama yang terjadi kurang lebih tiga ratus tahun yang silam? Raja Pajajaran, Sang Maharaja Purana dengan niat baik dan rendah hati mengantarkan puterinya untuk menjadi pemaisuri Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanegara. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Raja Mataram itu? Raja Pasundan, Sang Maharaja Purana malah dihina, diharuskan mempersembahkan puteri beliau untuk menjadi seorang selir sebagai tanda menakluk! Pihak Pajajaran tentu saja menolak, maka terjadilah pertempuran di Bubat itu yang berakhir dengan terbasminya pasukan Pajajaran. Sang Maharaja Purana sekeluarga berikut semua perwira dan prajurit binasa! Hayo katakan, siapakah yang tidak membenci Mataram? Aku adalah seorang keturunan Menak (bangsawan) Pajajaran, maka aku akan selalu memusuhi Mataram pula. Karena Adipati Sumedang Pangeran Mas Gede condong tunduk kepada Mataram, maka dia juga menjadi musuhku!”
Jatmika menghela napas panjang. Tentu saja dia sudah pernah mendengar kisah lama itu dari ayahnya, akan tetapi dengan warna atau pendapat yang lain. Menurut ayahnya, pada waktu itu Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanegara sama sekali tidak berniat untuk menumpas Sang Maharaja Purana dari Pajajaran berikut semua pasukannya. Tapi hal itu terjadi karena kesalah-pahaman antara Ki Patih Gajahmada dan para perwira Pajajaran, ditambah lagi usaha licik Raja Wengker untuk mengadu domba karena dia menghendaki Sang Prabu Hayam Wuruk agar menikah dengan seorang puterinya, bukan dengan puteri Pajajaran itu.
Kemudian, setelah terjadi Perang Bubat yang menewaskan Sang Maharaja Purana berikut seluruh keluarganya, ternyata Sang Prabu Hayam Wuruk benar-benar menikah dengan puteri Raja Wengker! Tetapi peristiwa itu sebenarnya adalah karena urusan pribadi, sama sekali bukan merupakan permusuhan antara kerajaan Mataram dan kerajaan Pajajaran. Maka benar-benar keterlaluan sekali kalau peristiwa itu dijadikan alasan oleh Tumenggung Jaluwisa untuk memusuhi Mataram.
Meski di dalam hatinya dia tidak setuju, tetapi dia maklum bahwa jika dia mengatakan hal itu maka keselamatan dia dan Eulis akan terancam. Dia harus berlaku cerdik, mengambil sikap seakan menyetujui semua kata-kata tumenggung itu sambil melihat perkembangan keadaan dan mencari kesempatan untuk meloloskan diri bersama Eulis.
“Lalu bagaimanakah rencana itu, paman tumenggung? Dan kami berdua kebagian tugas apa?”
“Begini. Kami sudah merencanakan untuk melakukan penyerangan dan membunuh sang adipati pada besok siang sewaktu dia melakukan perjalanan berburu binatang di sekitar lembah sungai. Kami akan mengerahkan orang-orang untuk menyerang pasukan pengawal adipati yang biasanya berjumlah sekitar seratus orang, dan di dalam keributan selagi para pengawal bertempur melawan orang-orang kami, andika berdua agar muncul, mendekati sang adipati dan membunuhnya.”
“Hemm, pengawalnya ada seratus orang. Apakah penyerbuan itu tidak berbahaya sekali?”
“Tidak, walau pun orang-orang kami hanya sekitar lima puluh orang namun mereka semua bersenjata bedil.”
Eulis hanya kehilangan ingatan tentang masa lalunya, akan tetapi tidak pernah kehilangan kecerdikannya. Setelah mengerti mengenai segala rencana itu, tiba-tiba dia bertanya.
“Tumenggung, rencana besok siang itu, andai kata andika tidak bertemu dengan kami, lalu siapa yang akan melakukan pembunuhan itu?”
Sang tumenggung menatap wajah cantik itu dan tersenyum. Tadinya kami merencanakan agar aku sendiri atau Mahesa Sura yang melakukan pembunuhan. Tetapi kehadiran kalian ini sungguh menguntungkan sekali. Sang adipati sudah mengenal baik aku dan Aki, maka sangat tidak aman jika aku atau Aki Mahesa Sura yang melaksanakan penyerangan untuk membunuhnya.”
“Hm, kenapa tidak menyuruh orang lain yang tidak dikenalnya? Bukankah andika memiliki banyak anak buah?”
“Wah, itu sungguh berbahaya. Sang Adipati bukan orang lemah. Dia cukup tangguh. Kita harus mengingat kemungkinan gagal, walau pun menurut perhitunganku, kemungkinan itu kecil sekali atau hampir tidak mungkin. Andai kata kita gagal membunuhnya, jika aku atau Aki yang melakukan, tentu kami akan ketahuan. Sebaliknya, jika kalian yang melakukan, andai kata gagal sekali pun, dia tak akan mengenal kalian. Bila gagal pun aku tetap aman sehingga dapat merencanakan penyerangan berikutnya. Mengertikah kalian sekarang?”
Jatmika dan Eulis mengangguk setelah saling pandang sejenak. “Kami mengerti.”
“Dan besok siang kalian sanggup melaksanakannya?”
Kembali Eulis memandang Jatmika dan pemuda itu yang menjawab, “Kami sanggup!”
“Sekarang kita beristirahat dahulu. Kuharap kalian tidak bertindak macam-macam setelah dibebaskan dari ikatan. Karena belum mendapatkan bukti kesetiaan kalian, maka kami tak akan ragu-ragu untuk menembak mati kalian kalau kalian hendak memberontak,” kata pula Tumenggung Jaluwisa. “Biar aku mengaso bersama Aki dan Jatmika, sementara andika boleh menempati kamar itu seorang diri... diajeng Listyani. Maafkan, kami terpaksa harus mengawasi kalian.”
Pada saat itu Aji sudah menyelinap pergi dan dia berlari cepat di bawah sinar bulan muda. Karena tidak menemukan perahu, dia menumbangkan sebatang pohon kelapa kemudian memotongnya menjadi dua dan menggandengnya dengan tusukan bambu. Jadilah sebuah getek yang amat sederhana. Dengan getek dari dua batang pohon kelapa yang digandeng dengan bambu, dia pun menyeberangi sungai dan melanjutkan perjalanannya, berlari cepat menuju arah Sumedang yang telah diketahuinya sebab dalam perjalanannya tadi siang dia sudah bertanya kepada orang.
Sambil berlari tiada hentinya dia berpikir tentang Jatmika dan Sulastri. Mereka itu tampak begitu akrab. Ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Betapa tidak? Jatmika adalah seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah.
Akan tetapi sebenarnya tidak aneh jika mereka itu berhubungan akrab, bantahnya sendiri. Bukankah mereka itu masih satu perguruan? Sulastri adalah murid atau lebih tepat, cucu murid Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Ada pun Jatmika adalah cucu Ki Tejo Langit, putera dari Ki Sudrajat, anak angkatnya. Berarti antara Jatmika dan Sulastri tentu saja ada hubungan baik sekali, bahkan mungkin tumbuh besar dalam satu lingkungan. Maka bukan hal aneh kalau gadis itu akrab dengan Jatmika!
Kenyataan ini menghapus rasa tak enak di benak Aji. Kini yang terpenting dia harus cepat bisa bertemu dengan Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang yang sedang ditunggu oleh bahaya maut, walau pun dia masih ragu-ragu dan juga penasaran mengapa Jatmika dan Sulastri mau menerima kerja sama itu! Benarkah Jatmika dan Sulastri sudi menjadi antek pengkhianat dan anak buah Kumpeni Belanda?
Dia teringat pula kepada kakak tirinya, Hasanudin. Kakak tirinya itu pun sudah terseret ke lembah hina, menjadi antek Kumpeni Belanda. Kenapa orang-orang begitu mudah terpikat umpan kedudukan dan harta benda? Untung baginya malam itu langit sangat cerah dan bulan muda memberikan penerangan yang cukup terang sehingga dia dapat melakukan perjalanan cepat sekali.
Ketika fajar menyingsing, tibalah dia di luar sebuah dusun. Kebetulan dia melihat seorang petani setengah tua memanggul cangkul. Agaknya sepagi itu petani yang sangat rajin ini sudah hendak bekerja di sawah ladangnya.
Aji menghadang di depan petani itu dan sebelum petani itu terkejut, Aji sudah mendahului dengan teguran yang amat ramah dan lembut. “Selamat pagi, paman. Rajin benar sepagi ini sudah hendak bekerja di ladang.”
“Yah, kalau saya menanti sampai matahari terbit, jangan-jangan saya malah tidak sempat lagi menggarap ladang, denmas.”
“Jangan sebut saya denmas, paman. Saya juga orang desa seperti paman. Tetapi kenapa kalau matahari terbit paman malah tidak sempat menggarap ladang?”
“Wah, anakmas. Sejak tadi malam orang sedusun kami menjadi repot sekali. Kami harus melayani tamu agung, maka pagi-pagi sekali saya segera pergi ke ladang supaya terhindar dari kesibukan nanti.”
“Tamu agung? Siapakah dia, paman?”
“Wah, bukan blaen-blaen (main-main) lagi, anakmas. Tamu yang kini bermalam di rumah kepala dusun adalah Gusti Adipati Sumedang sendiri! Para pengawalnya yang berjumlah kurang lebih seratus orang bersama perwira-perwiranya mondok di pendopo rumah kepala dusun sampai penuh dan ramainya bukan main. Tadi malam kami harus melayani semua keperluan para prajurit itu.”
Berita itulah yang dicari Aji. “Baiklah, paman. Lanjutkan perjalananmu dan terima kasih.”
“Andika hendak ke mana?” Tanya petani itu melihat Aji hendak melangkah ke arah dusun.
“Aku ingin menonton Gusti Adipati dan para prajuritnya.”
“Wah, hati-hati, anakmas. Mereka galak-galak, salah sedikit mereka main tampar!”
Aji tidak menjawab melainkan cepat memasuki dusun itu. Tidak sulit baginya menemukan rumah kepala dusun yang jauh lebih besar dari pada rumah penduduk lainnya. Dari luar saja sudah tampak betapa di pendopo itu terdapat lima orang prajurit yang bertugas jaga. Mereka melakukan penjagaan secara bergiliran. Aji segera memasuki pekarangan rumah besar itu kemudian menghampiri pendopo.
Lima orang penjaga itu sedang diserang kantuk yang sejak tadi harus mereka tahan-tahan, maka tidak aneh jika mereka itu menjadi tidak sabaran dan mudah marah. Melihat seorang pemuda dusun menghampiri mereka, salah satu dari para penjaga yang membawa tombak ini segera menghadang dengan galak dan kasar. Dia menodongkan ujung tombaknya ke depan dada Aji.
“Hei, mau apa kamu datang ke sini tanpa dipanggil? Mau nyolong (mencuri), ya?”
Aji mengerutkan alisnya. Heran dia melihat sikap seorang prajurit Sumedang ini yang tiada bedanya dengan serdadu Kumpeni belanda yang angkuh.
“Ki sanak, aku datang membawa berita yang sangat penting untuk Gusti Adipati,” kata Aji dengan sikap hormat dan suara lembut.
Penjaga itu menjadi semakin marah. Empat orang kawannya sudah datang pula kemudian menodongkan tombak mereka kepada Aji. “Apa kau bilang? Siapa sudi menjadi sanakmu? Hayo katakan, apa maksudmu datang malam-malam ke sini. Awas, jangan berbohong dan bicara yang bukan-bukan atau tombakku akan menjebolkan isi perutmu!”
“Tadi sudah kukatakan bahwa aku datang membawa berita yang amat penting untuk Gusti Adipati.” Ujung tombak itu ditekan hingga merapat di kulit dada Aji.
“Petani kotor macam kamu mana mungkin mempunyai berita penting untuk Gusti Adipati? Kalau bertemu paling-paling kamu ingin mengajukan permohonan, minta ini itu! Hayo pergi atau tombak ini akan kutusukkan di perutmu!”
Bukan hanya tombak si pembicara yang menekan kulit Aji, empat batang tombak lainnya juga menekan kulit tubuhnya, dua di depan, satu di kiri, satu di kanan dan satu lagi pada punggungnya. Dia telah dikepung lima batang tombak yang siap menusuk.
“Kalian penindas rakyat, sungguh keterlaluan!” Sambil berkata demikian Aji menggerakkan kedua tangannya dan memutar tubuhnya.
Tombak-tombak itu ditusukkan karena para prajurit menyangka Aji melakukan perlawanan. Akan tetapi senjata-senjata itu segera terpental dan ketika tangan Aji menampar lima kali, lima tombak itu menjadi patah-patah. Tanpa membuang waktu Aji menggerakkan kakinya yang menyambar-nyambar dan lima orang itu berpelantingan lalu jatuh terbanting keras.
“Hei, apa yang terjadi di sini?” Terdengar bentakan nyaring dan dua orang dengan gerakan trengginas telah berhadapan dengan Aji.
Melihat dua orang itu berpakaian sebagai perwira, Aji cepat-cepat mencabut keris pusaka Kyai Nogo Welang lalu memperlihatkannya kepada dua orang perwira itu.
“Mudah-mudahan andika berdua mengenal pusaka ini!” kata Aji sambil mengangkat keris itu sehingga tertimpa sinar lampu gantung yang berada di pendopo.
“Apa artinya ini?!” bentak seorang perwira.
“Ahh... itu adalah... Keris Pusaka Kyai Nogo Welang! Apakah andika utusan Gusti Sultan Agung dari Mataram?” kata perwira ke dua.
Aji mengangguk dan menyarungkan kembali kerisnya.
“Benar, ki sanak. Ketahuilah, aku datang hendak menghadap Gusti Adipati sekarang juga. Ada pengkhianatan dan para pengkhianat merencanakan hendak membunuh Gusti Adipati pada siang hari ini. Oleh karena itu harap segera laporkan kepada beliau supaya aku bisa menghadap dan bicara langsung dengan beliau.”
Mendengar ini dua orang perwira itu menjadi terkejut bukan main. Apa lagi setelah mereka mengenal Kyai Nogo Welang dan maklum bahwa pemuda yang merobohkan lima orang prajurit itu adalah utusan Sultan Agung di Mataram.
“Mari, ki sanak, mari masuk saja. Akan kami hadapkan kepada Gusti Adipati!” kata dua orang perwira itu dan Aji lalu diiringi memasuki rumah melalui pendopo.
Ketika mendengar tentang peristiwa yang terjadi, semua prajurit pengawal menjadi heran lalu menghujani lima orang yang dirobohkan Aji tadi dengan pertanyaan-pertanyaan.
Tentu saja Adipati Pangeran Mas Gede merasa terkejut sekali ketika digugah dari tidurnya danmelihat ada seorang perwira yang menghadap lalu melaporkan tentang kedatangan Aji yang membawa berita pengkhianatan yang mengancam nyawa adipati itu. Segera Adipati Pangeran Mas Gede bertukar pakaian, mencuci muka dan tidak lama kemudian dia sudah menerima Aji di ruangan belakang, ditemani oleh lima orang perwira, yaitu para pimpinan pasukan pengawal itu.
Pada waktu itu Sumedang memang sedang dirongrong oleh gerakan-gerakan gerombolan yang tampaknya ada tanda-tanda hendak memberontak, maka dalam perjalanan berburu binatang ini Adipati Pangeran Mas Gede membawa seratus orang pengawal dipimpin lima orang perwira.
Di hadapan sang adipati Sumedang, kembali Aji memperlihatkan keris pusaka Kyai Nogo Welang sehingga sang adipati percaya kepadanya.
“Andika bernama Lindu Aji? Setelah kami merasa yakin bahwa andika benar-benar utusan Gusti Sultan Agung, sekarang ceritakanlah dengan gamblang mengenai apa yang andika sebut sebagai pengkhianatan yang mengancam keselamatan kami itu.”
Dengan jelas Aji lalu menceritakan tentang percakapan antara Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura tentang pengkhianatan mereka dan tentang rencana mereka yang besok siang hendak turun tangan membunuh sang adipati sewaktu sedang melakukan perburuan binatang di Lembah Sungai Cilutung. Mendengar laporan ini, Adipati Pangeran Mas Gede menepuk pahanya sendiri dengan marah.
“Keparat Jaluwisa! Kiranya dia merencanakan pengkhianatan dan pembunuhan keji! Akan tetapi kami mempunyai seratus orang pasukan pengawal!”
“Gusti Adipati, harap diketahui bahwa Tumenggung Jaluwisa telah mempersiapkan orang-orangnya yang berjumlah lima puluhan orang, dan mereka semuanya memegang senapan yang mereka dapatkan dari Kumpeni Belanda.”
“Jahanam! Kalau begitu berbahaya juga. Hei para perwira pengawal, bagaimana baiknya menurut kalian?”
Seorang di antara lima orang itu berkata, “Demi keselamatan paduka, sebaiknya kalau kita segera kembali saja ke kadipaten, Gusti Adipati.”
“Maafkan saya, paman adipati,” kata Aji.
Dia teringat akan nasib Jatmika dan Sulastri. Bila penyerangan itu urung atau gagal, tentu keselamatan dua orang itu terancam sekali.
“Saya kira justru inilah saat yang terbaik bagi paduka untuk membasmi para pemberontak itu.”
“Tapi mereka kuat sekali, anakmas! Bagaimana mungkin seratus orang pasukan kami bisa melawan lima puluh orang yang memegang bedil?” kata sang adipati.
“Juga amat membahayakan keselamatan Gusti Adipati!” kata seorang pengawal.
Mereka semua tidak menyetujui usul Aji, namun dengan sikap tenang Aji berkata. “Paman Adipati, kita mempunyai suatu hal yang sangat kuat dan akan menjamin kita untuk dapat mengalahkan mereka, yaitu bahwa kita sudah mengetahui rencana mereka dan sebaliknya mereka sama sekali tak menduga bahwa paduka telah mengetahui keadaan dan rencana mereka. Kita dapat memanfaatkan keuntungan itu untuk menjebak dan menghancurkan mereka, menangkap dan menghukum pengkhianat Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura yang membantunya itu.”
“Hm, bagaimana mengaturnya, anakmas Lindu Aji? Aku tetap khawatir jika sampai gagal, tentu akan terjadi mala petaka. Tumenggung Jaluwisa cukup sakti dan dia memang pandai menggunakan senjata api. Apa lagi yang namanya Aki Mahesa Sura itu! Dia benar-benar sakti mandraguna dan pandai sihir, bahkan kabarnya dia dapat mengubah dirinya menjadi harimau jadi-jadian!”
“Harap Paduka tidak perlu khawatir. Biarlah saya yang akan mengaturnya. Sayalah yang akan menggantikan paduka di dalam kereta dan sayalah yang akan menghadapi Mahesa Sura. Sebaiknya sekarang juga kita berangkat, paman Adipati, agar kita mendapat tempat yang cocok untuk melaksanakan rencana kita menjebak mereka. Kita dapat merundingkan tentang rencana jebakan itu di dalam perjalanan.”
Akhirnya Pangeran Mas Gede dapat menyetujui dan pagi-pagi sekali rombongan ini sudah bergerak meninggalkan dusun. Sesudah sampai di tepi sungai Cilutung, Aji mulai mencari tempat yang baik untuk menjebak lawan.
Ketika sampai di lembah sungai yang berhutan, Aji menghentikan rombongan itu. Dia lalu mengatur pasukan pengawal, membaginya menjadi tiga rombongan dan menyuruh mereka mempersiapkan gendewa dan anak panah sebanyaknya. Senjata bedil lawan akan dibalas dengan anak panah!
Dia mengatur sedemikian rupa sehingga tiga rombongan pasukan itu bersembunyi sambil mengepung tempat itu dari tiga jurusan. Mereka diperintahkan supaya tetap bersembunyi dan berlindung di balik batang-batang pohon dan batu-batuan besar. Aji lalu menggunakan tali untuk mengikat semak-semak belukar serta pohon-pohon kecil yang berada di tengah dan terkepung oleh ketiga rombongan itu.
“Sebaiknya Paduka ikut bersembunyi bersama para perwira pengawal dan meninggalkan kereta di depan sana. Biar saya yang menggantikan paduka berada di dalam kereta.”
“Akan tetapi kami tidak takut, bahkan kami ingin menghajar sendiri pengkhianat Jaluwisa itu!” kata Pangeran Mas Gede penuh semangat.
“Jangan, paman adipati. Saya percaya akan kemampuan paduka, tetapi ketahuilah bahwa Jaluwisa mempunyai dua pistol berpeluru perak dan emas yang tidak dapat ditahan oleh aji kekebalan. Biar saya bersama dua orang sahabat saya yang akan menghadapi mereka.”
“Siapa dua orang sahabatmu itu?”
“Mereka adalah saudara-saudara seperguruan saya, seorang pria dan seorang wanita yang sekarang menjadi tawanan Tumenggung Jaluwisa. Saya akan membebaskan mereka, dan kami bertiga rasanya cukup untuk menghancurkan kekuatan Jaluwisa dan Mahesa Sura.”
“Baiklah kalau begitu.” Pangeran Mas Gede lalu ikut bersembunyi dan siap bertempur apa bila keadaan membutuhkan bantuannya. Aji berpesan kepada para prajurit pengawal agar jangan dulu menyerang dengan anak panah mereka sebelum dia memberi isyarat.
“Aku akan memancing mereka. Dengan bantuan beberapa orang prajurit aku akan menarik tali-tali dan menggoyang-goyangkan pohon kecil dan semak belukar yang sudah diikat tali. Tentu mereka akan mengira bahwa kita bersembunyi di situ dan mereka akan menghujani tempat-tempat itu dengan tembakan bedil-bedil mereka. Ketika bedil-bedil mereka sudah kosong dan mereka sedang sibuk mengisi bedil mereka dengan peluru baru, barulah aku akan memberi isyarat dengan teriakan burung alap-alap seperti ini.” Aji lalu mengeluarkan suara mirip lengkingan burung alap-alap. “Jika sudah mendengar isyarat itu barulah kalian menghujani mereka dengan anak panah, tetapi jangan terlalu lama dan kalian harus cepat berpindah tempat berlindung yang sebelumnya harus sudah dipersiapkan agar jika mereka memberondongkan peluru ke arah kalian tak akan ada yang terkena peluru. Kalian hanya menyerang bila ada tanda dariku, menghujani anak panah lalu berpindah lagi. Mengerti?” Semua prajurit mengangguk dan merasa gembira.
Pemuda senopati muda yang menjadi utusan Sultan Agung itu tampak begitu tenang dan tegas, agaknya telah yakin akan kemenangan mereka, maka para prajurit itu juga menjadi penuh semangat.
Setelah semua orang bersembunyi di tempat masing-masing, Aji duduk pada tempat kusir kereta Adipati Sumedang yang dia sembunyikan agak jauh dari tempat yang terkepung itu. Dia menanti dengan sikap tenang.
Semua orang menunggu di tempat persembunyiannya masing-masing dengan hati tegang dan tidak bersuara, bahkan napas pun ditekan agar jangan bersuara keras. Matahari telah naik tinggi dan menciptakan siang yang panas, akan tetapi mereka yang mengatur barisan pendam di hutan itu merasa sejuk sebab pepohonan besar dengan daunnya yang rimbun bagaikan payung-payung raksasa melindungi mereka dari sengatan sinar matahari.....
Komentar
Posting Komentar