ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-40
Tak lama kemudian muncullah rombongan itu. Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura berjalan di depan dan di antara mereka tampak berjalan Jatmika dan Eulis. Di sepanjang perjalanan mereka bersikap waspada. Ketika mereka sampai di situ, tiba-tiba agak jauh di depan tampak sebuah kereta meluncur perlahan. Tumenggung Jaluwisa segera mengenal kereta yang biasa dipakai Adipati Pangeran Mas Gede itu.
“Itu keretanya! Wah, tentu mereka sudah berada di sini. Jatmika dan Listyani, cepat kalian sergap kereta itu dan bunuh penumpangnya. Kamilah yang akan menghancurkan pasukan pengawalnya!” kata Tumenggung Jaluwisa yang memberi isyarat kepada lima puluh anak buahnya. Mereka lalu berpencar dan siap dengan bedil mereka.
Pada saat itu orang-orang yang sudah diberi petunjuk oleh Aji menarik-narik tali, membuat beberapa semak belukar dan pohon-pohon kecil bergoyang-goyang. Melihat ini, tanpa perlu diperintah lagi anak buah Jaluwisa segera memberondongkan peluru bedil mereka ke arah sasaran itu. Terdengarlah bunyi ledakan-ledakan bergemuruh dan tampak asap mengepul dari moncong-moncong senapan.
Sementara itu Jatmika dan Eulis sudah cepat berlari ke depan, menuju ke kereta. “Nimas, jangan membunuh orang! Kita hanya pura-pura membantu mereka,” kata Jatmika ketika mereka berdua berlari cepat.
Begitu mereka tiba di dekat kereta, sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat turun dari atas kereta lalu terdengar suara bayangan itu. “Jatmika dan Sulastri, cepat lari bersembunyi ke belakang kereta!” Suara itu demikian kuat wibawa dan pengaruhnya sehingga tanpa ragu-ragu lagi Jatmika dan Eulis cepat berlompatan ke belakang kereta lalu ikut mendekam di samping Aji.
“Hei, kalian berdua pengkhianat rendah!” terdengar Tumenggung Jaluwisa berteriak marah ketika melihat dua orang muda yang tadinya diharapkan akan menyerang dan membunuh sang adipati yang berada di dalam kereta, sekarang malah berlompatan dan berlindung di belakang kereta. “Aki, kita bunuh mereka!”
Tumenggung Jaluwisa mencabut dua buah pistolnya kemudian membidik ke arah kereta.
“Darrr...! Darrr...!”
Bidikannya ternyata memang tepat sekali. Terdengar suara kuda meringkik dan dua ekor kuda yang menarik kereta itu pun roboh, berkelojotan sebentar lantas mati karena kepala mereka telah tertembus peluru pistol. Pistol itu masih meledak beberapa kali dan beberapa butir peluru menyambar ke arah kereta, tentu dimaksudkan untuk menyerang orang yang berada di dalam kereta. Tentu saja peluru-peluru itu terbuang sia-sia sebab di dalam kereta itu tidak ada siapa pun.
“Kalian jangan bergerak dulu. Dua buah pistol itu amat berbahaya sebab terisi peluru perak dan emas yang dapat menembus aji kekebalan. Aku akan berusaha untuk menyingkirkan dua buah pistol itu lebih dulu!” kata Aji dan dia pun cepat berkelebat meninggalkan Jatmika dan Eulis.
Pemuda dan gadis itu memandang dengan kagum dan heran. Jatmika tidak mengenalnya dan pemuda itu menyebut Eulis dengan sebutan Sulastri!
“Nimas, engkau mengenalnya?” bisik Jatmika kepada Eulis.
Gadis itu mengerutkan alisnya dan menggeleng. Memang dia sama sekali tidak ingat lagi kepada Aji.
Tumenggung Jaluwisa bersama Mahesa Sura berlari menghampiri kereta itu. “Jatmika dan Listyani, hayo keluar dari tempat persembunyian kalian! Kalian tidak akan dapat lolos dari tanganku!” bentak Jaluwisa.
Akan tetapi pada saat itu pula terdengar bunyi pekik burung alap-alap setelah berondongan tembakan dari para anak buah pemberontak itu berhenti.
Dari berbagai jurusan tiba-tiba menyambar puluhan batang anak panah. Tentu saja banyak anak buah pemberontak yang menjadi korban. Mereka menjerit dan mengaduh.
Mendengar ini Jaluwisa dan Mahesa Sura terkejut dan menengok. Mereka melihat banyak anak buah mereka roboh, akan tetapi anak buah yang lainnya sudah sempat mengisi bedil dan mulai memberondong ke arah dari mana datangnya anak-anak panah tadi.
Melihat ini Aji lalu mempergunakan kepandaiannya untuk meloncat keluar ke depan kereta dan memperlihatkan diri kepada Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura.
“Heh kalian anjing-anjing peliharaan Kumpeni Belanda! Tidak malukah kalian mengkhianati tanah air dan bangsa? Dosa kalian sudah bertumpuk-tumpuk, hayo cepat menyerah!”
Tumenggung Jaluwisa tidak mengenal Aji. Dia marah sekali dan dua buah pistol di kedua tangannya meledak-ledak. Akan tetapi bayangan Aji sudah lenyap lagi.
Kembali terdengar pekikan burung alap-alap kemudian hujan anak panah menyerang para anak buah gerombolan pemberontak. Terdengar jerit kesakitan dan beberapa orang roboh pula menjadi korban hujan anak panah. Mereka yang belum terluka segera menembakkan senapan mereka ke arah dari mana datangnya anak panah. Dari teriakan yang terdengar bisa diketahui bahwa setidaknya tentu ada beberapa orang anak buah pasukan pengawal yang terkena tembakan.
Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura menjadi marah sekali. Aki Mahesa Sura lalu menerjang ke arah semak belukar. Banyak anak panah menyerangnya, akan tetapi kakek itu tidak mempedulikan serangan itu melainkan tetap maju dan memutar tongkat ularnya.
Banyak anak panah terpental oleh putaran tongkat ular itu dan ada beberapa batang anak panah yang mengenai pundak serta dadanya, tapi anak-anak panah itu seperti mengenai batu karang saja dan runtuh tanpa meninggalkan bekas luka, kecuali merobek baju kakek itu.
Pada saat itu Jatmika yang sejak tadi bersembunyi di belakang kereta bersama Eulis, tak dapat menahan diri lagi untuk tidak keluar. Tiba-tiba dia telah melompat keluar.
“Kakang-mas Jatmika, hati-hati...!” Eulis juga ikut melompat ke luar.
Tumenggung Jaluwisa yang masih mencari bayangan Aji langsung membalikkan tubuhnya lalu mengangkat kedua tangannya.
“Darrr...! Darrr...!”
Dua moncong pistolnya menyemburkan api dan asap.
Jatmika dan Eulis yang sudah diperingatkan Aji tentang keampuhan pistol-pistol perak dan emas itu cepat membuang diri ke atas tanah lalu bergulingan ke belakang batu-batu besar sehingga mereka terhindar dari sasaran pistol.
Kemarahan Tumenggung Jaluwisa memuncak melihat pemuda dan gadis tawanannya itu ternyata tidak membantunya. Dan kemarahannya makin berkobar-kobar ketika dia melihat kegagalan tembakannya. Dengan alis berkerut dan mata mencorong dia berloncatan untuk mencari dua orang itu yang tadi bergulingan ke belakang batu-batu.
Mendadak ada angin menyambar dari arah belakangnya. Tumenggung Jaluwisa terkejut, maklum bahwa ada yang menyerangnya dengan kekuatan besar. Dia cepat membalik dan mengangkat kedua tangan, siap untuk menembak. Akan tetapi tiba-tiba dua buah tangan menyambar dan tepat mengenai kedua pergelangan tangannya.
“Aduhhh...!” Tumenggung Jaluwisa berseru kaget, merasa kedua tangannya seperti patah dan kedua pistol yang digenggamnya terlepas dari kedua tangannya dan terlempar jauh!
Jaluwisa ternyata tangguh juga. Pukulan yang tepat mengenai dua pergelangan tangannya itu hanya mampu membuat dua buah pistolnya terlempar namun tidak melukainya. Cepat tubuhnya melompat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka hendak melihat siapa yang menyerangnya, Aji telah melompat, tubuhnya berkelebat dan dia telah meninggalkan Jaluwisa karena dia melihat amukan Aki Mahesa Sura yang merobohkan beberapa orang prajurit pengawal.
Amukan Aki Mahesa Sura memang amat menggiriskan. Dengan tongkat ularnya kakek ini menerjang puluhan orang prajurit pengawal. Melihat kakek ini tidak dapat terluka oleh anak panah mereka, para prajurit sudah menjadi panik. Mereka mencabut golok dan ada yang menggunakan tombak menyerang kakek tua renta itu, namun mata golok dan tombak pun tidak mampu melukai kulitnya.
Sambil tertawa-tawa kakek itu menggerakkan tongkat ularnya hingga banyak prajurit roboh bergelimpangan sambil menjerit-jerit kesakitan. Tubuh mereka berkelojotan dan kulit pada bagian tubuh yang terkena sambaran tongkat ular berubah menghitam yang semakin lama menjadi semakin lebar. Ternyata senjata tongkat ular itu mengandung racun yang sangat ampuh! Dalam waktu beberapa menit saja ada belasan orang prajurit pengawal berjatuhan dan berkelojotan dalam sekarat!
Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari samping. Kakek yang berpengalaman ini maklum bahwa ada serangan orang sakti. Dia melompat menghindar dan memutar tubuh. Kiranya yang menyerangnya dengan tamparan kuat itu hanya seorang pemuda tampan berpakaian sederhana akan tetapi bukan Jatmika. Pemuda itu adalah Aji.
“Munding Hideung dan Munding Bodas adalah orang-orang sesat, tetapi ternyata gurunya bahkan lebih jahat lagi. Aki Mahesa Sura, andika sudah tua renta. Mengapa tidak mencari jalan terang agar kelak kepulanganmu ke alam baka takkan tersesat ke neraka jahanam?” kata Aji sambil memandang dengan sinar mata mencorong.
Melihat kakek itu menghadapi pemuda yang tadi memimpin mereka dan mengatur siasat, timbul kembali keberanian para prajurit pengawal. Dua orang melompat dan menubruk dari belakang, menusukkan tombak mereka ke arah punggung Aki Mahesa Sura.
“Asrrgghhh...!” Kakek itu mengeluarkan gerangan seperti seekor binatang buas, tubuhnya membalik, tongkatnya menyambar sehingga kedua batang tombak itu kini bertemu dengan dadanya dan kedua senjata itu segera patah! Lalu tongkat ularnya menyambar mengenai dua orang penyerangnya yang segera terpelanting roboh dan berkelojotan!
“Semua mundur, serbu anak buah gerombolan pemberontak. Biar aku saja yang melawan kekek ini!” bentak Aji dan para prajurit itu sadar bahwa mereka bukanlah tandingan kakek itu.
Kembali mereka menyusup mencari perlindungan ketika sisa anak buah gerombolan mulai menembaki mereka. Tanpa dikomando kini para prajurit pengawal sudah tahu bagaimana caranya menghadapi musuh yang bersenjata api itu. Sewaktu letusan berhenti dan musuh sibuk mengisi peluru, mereka menyerang dengan anak panah. Bahkan kemudian setelah dekat, mereka menyerbu dengan senjata tombak dan golok.
Terjadi pertempuran berdarah. Anak buah gerombolan kini tak sempat lagi menggunakan bedil. Mereka pun mencabut golok dan melawan dengan senjata itu, tetapi jumlah mereka jauh berbeda. Jika pasukan pengawal masih mempunyai sisa anak buah sebanyak enam puluh orang, maka pihak pemberontak kini tinggal dua puluh orang saja!
Melihat Aji melompat pergi, Tumenggung Jaluwisa cepat-cepat melompat ke arah di mana dua buah pistolnya tadi terlempar. Akan tetapi ketika dia tiba di situ, dua buah pistolnya itu telah diinjak oleh dua orang yang bukan lain adalah Jatmika dan Eulis!
“He, pengkhianat pemberontak, kau mencari ini?” Eulis hendak membanting kakinya untuk menginjak hancur pistol yang berada di bawah kakinya.
“Jangan injak, nimas!” Jatmika memperingatkan sehingga gadis itu terkejut dan tidak jadi membanting kaki ke atas pistol itu.
Jatmika takut kalau-kalau pistol yang diinjak itu akan meledak. Dia pun membungkuk dan memungut dua buah pistol itu, lalu tersenyum mengejek kepada Tumenggung Jaluwisa.
“Senjata keparat pemberian Belanda inikah yang tengah kau cari, Tumenggung Jaluwisa?” Sesudah berkata demikian Jatmika mengerahkan tenaga lalu melontarkan dua buah pistol itu ke arah sungai yang berada di bawah tebing.
“Jahanam!” Tumenggung Jaluwisa marah bukan main melihat dua buah pistol kesayangan dan andalannya dibuang kemudian lenyap di bawah tebing. Dia mencabut goloknya yang mengkilat saking tajamnya. “Kalian telah mengkhianatiku! Sekarang aku menyesal kenapa tidak dari kemarin kalian kubunuh. Tetapi kurasa belum terlambat. Bersiaplah kalian untuk mampus! Haaaiiittt...!”
Tumenggung itu melompat seperti seekor singa kelaparan, menerkam dan menerjang dua orang muda itu dengan sambaran goloknya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Tapi Jatmika dan Eulis sudah siap siaga. Mereka melompat ke belakang sehingga sambaran golok itu luput. Melihat keris pusakanya Kyai Cubruk kini terselip pada pinggang Tumenggung Jaluwisa, Jatmika berseru nyaring.
“Manusia curang! Jika kau memang gagah perkasa, kembalikan keris pusakaku kepadaku, barulah kita bertanding sampai seorang di antara kita mati!”
Akan tetapi seruan Jatmika ini bahkan seperti mengingatkan tumenggung itu akan pusaka yang dirampasnya dan kini berada di pinggangnya.
“Hah, kau menginginkan keris ini? Baik, siapkan dadamu dan keris ini akan kukembalikan kepadamu!”
Tangan kirinya mencabut keris pusaka itu dan kini dengan buas dia menggerakkan golok dan keris untuk menyerang kalang kabut!
Tadi Jatmika dan Eulis sudah memungut sepotong ranting kayu sebesar lengan mereka, sepanjang kurang lebih satu meter dan dengan senjata sederhana ini mereka menghadapi serangan golok dan keris itu. Tentu saja pemuda dan gadis perkasa itu bersikap hati-hati sekali, tidak membiarkan senjata mereka beradu langsung dengan golok lawan karena jika hal itu terjadi, tentu ranting kayu di tangan mereka akan terpotong! Mereka berdua lebih banyak mengandalkan kelincahan gerakan mereka yang ditunjang ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti.
Terjadilah perkelahian yang seru, tapi sekarang Jatmika dan Eulis lebih banyak menyerang dengan tongkat ranting kayu mereka. Biar pun hanya ranting kayu namun karena ditunjang oleh tenaga sakti yang amat kuat, maka senjata sederhana itu menjadi senjata yang amat ampuh.
Tumenggung Jaluwisa maklum akan hal ini, maka dia pun berusaha keras supaya jangan sampai terkena senjata dua orang pengeroyoknya. Terlebih lagi ketika Jatmika dan Eulis menyelingi serangan-serangan tongkat mereka dengan pukulan Aji Margopati (Jalan Maut) yang dahsyat bukan main, maka tumenggung yang tangguh itu menjadi terkejut sekali dan mulailah dia terdesak hebat.
Sementara itu Aji sudah saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Tidak ada seorang pun dari kedua pihak berani membantu. Mereka berdua berdiri saling pandang. Kakek itu bertopang pada tongkat ularnya. Sepasang alis putih yang tipis itu berkerut-kerut, ada pun hidungnya kembang kempis karena kakek tua renta itu tadi mengamuk hingga napasnya kini memburu. Mulut dengan bibir tebal itu agak menyeringai, dan dari sepasang matanya menyambar sepasang sinar yang amat berwibawa dan berpengaruh.
Di lain pihak, berdiri dalam jarak dua meter, Aji berdiri dengan tegak dan kedua tangannya tergantung santai di kanan kirinya. Sepasang matanya juga memandang wajah kakek itu dan menyambut ‘serangan’ sinar mata lawan itu dengan berani.
Ya, meski kedua orang itu hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak atau mengeluarkan kata-kata, namun sebenarnya mereka sedang mengadu kekuatan melalui sinar matanya! Tatapan sepasang mata seekor kucing Candramawa mampu menjatuhkan seekor cecak yang sedang merayap di dinding atau mampu membuat seekor tikus yang sedang berlari menjadi lumpuh, maka Aki Mahesa Sura ini pun bisa menyerang dan melumpuhkan lawan hanya dengan kekuatan sinar matanya yang lebih dahsyat dibandingkan sinar mata seekor kucing Candramawa!
Begitu bertemu dan beradu pandang Aji sudah merasakan serangan dahsyat melalui sinar mata itu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja sambil memperkuat penyerahannya kepada kekuasaan Gusti Allah. Penyerahan secara total ini mendatangkan Kekuasaan Gusti Allah yang melindungi jiwanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya hingga terbentuklah sebuah kekuatan mukjijat. Aji hanya tinggal mengerahkan kekuatan ini melalui pandang matanya menyambut serangan sinar mata Aki Mahesa Sura.
“Uuuhhhhh...!” Kakek itu menggeram sambil mengerahkan segenap tenaga batinnya untuk memperkuat serangan sinar matanya. Akan tetapi dia merasa seolah-olah kekuatan sihir matanya itu bertemu dengan kekuatan yang maha dahsyat. Hal ini tidaklah aneh sebab dia menentang sumber dari segala kekuatan yang telah menyusup ke dalam diri Lindu Aji.
Seperti kebanyakan orang sakti mandraguna yang lain, kakek itu mendapatkan kekuatan ajaibnya melalui segala cara, penyiksaan diri, penyembahan berhala, dan segala macam cara sesat yang lainnya. Karena itu seperti kebanyakan orang, dia mendapatkan aji-ajinya dari kekuasaan gelap sehingga ilmu-ilmunya adalah ilmu hitam yang berasal dari kekuatan iblis dan setan.
Bagi manusia biasa, kekuatan yang berasal dari kuasa gelap ini memang luar biasa dan amat dahsyat sehingga menakutkan. Ilmu-ilmu hitam ini biasa dipergunakan oleh manusia sesat untuk sarana mencapai semua keinginannya, memuaskan semua gejolak nafsunya, dan akibatnya biasanya hanya menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, atau menyenangkan diri sendiri dengan menyusahkan orang lain.
Ilmu hitam dari kekuasaan gelap atau iblis inilah yang menjadi sumber dari segala macam kejahatan seperti santet, tenung, sihir dan segala bentuk ilmu aneh yang menjadi alat bagi manusia sesat melakukan perbuatan jahat. Kekuasaan gelap ini pula yang kadang dimiliki beberapa orang dukun.
Dengan imbalan yang menyenangkan mereka mempergunakan kekuatan yang timbul dari kekuasaan gelap untuk membantu orang-orang mencari ‘pesugihan’, kenaikan pangkat, atau untuk memikat wanita yang diinginkan serta banyak lagi perbuatan-perbuatan sesat yang haram dilakukan orang baik-baik sebab semua perbuatan itu hanya bertujuan untuk memuaskan nafsu sendiri dengan merugikan orang lain.
Manusia yang suka mencari kesenangan melalui cara ini akhirnya pasti akan terjerumus ke dalam perangkap iblis dan menjadi budak setan. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa nafsu keinginannya yang bersifat kedagingan dan duniawi itu dapat diperoleh, akan tetapi mungkin di luar kesadarannya dia telah terikat dan dijadikan budak iblis.
Iblis tidak pernah memberi anugerah. Yang dapat diberikannya hanyalah semacam ‘jual beli’. Dan setiap orang yang sudah memanfaatkan ‘jasanya' sudah pasti harus membelinya dengan pengorbanan tertentu. Dan biasanya pengorbanan yang harus diberikan itu tidak sepadan dengan yang diterimanya. Pengorbanannya jauh lebih hebat dan mengerikan.
Berbeda dengan kekuatan yang didapatkan manusia dengan penyerahan diri kepada Gusti Allah. Apa yang didapatkan merupakan anugerah, merupakan tuntunan, bimbingan, suatu anugerah karena manusia itu sudah mencapai tingkat keimanan yang paling dalam, yaitu penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan dengan tawakal, ikhlas dan taat.
Demikianlah, maka tidak mengherankan ketika Aki Mahesa Sura mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya, dia merasa seolah sinar lampu bertemu dengan sinar matahari, seperti air bertemu samudra. Dia tidak tahan lagi sehingga melangkah mundur sambil memejamkan matanya. Kekuatan sinar matanya yang dipergunakan untuk menyerang tadi terasa seperti membalik dan menghantam dirinya sendiri.
Terpaksa Aki Mahesa Sura memejamkan sepasang matanya dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Namun karena dia memang sakti dan kuat, dia dapat memulihkan keadaannya. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Orang semacam kakek ini yang merasa sudah memiliki kedigdayaan, memiliki kemampuan tinggi dan merasa dirinya sakti mandraguna, tidak mengenal perasaan mengaku kalah atau mengaku salah. Dia merasa dirinya paling pintar!
Ini merupakan kelemahan kebanyakan manusia, yakni merasa dirinya paling pintar. Pada hal, mengaku diri pintar adalah suatu kebodohan besar, karena pengakuan atau perasaan diri sendiri pintar ini menutup semua kemungkinan untuk mencapai pengertian yang lebih banyak. Seolah sebuah gelas yang sudah terisi penuh, bagaimana dapat menampung air dari luar?
Beruntunglah dia yang dengan tulus ikhlas mengaku dirinya masih bodoh, bagaikan gelas yang masih belum penuh sehingga dapat menerima pengisian dari luar sehingga ‘isinya’ selalu bertambah. Orang yang mengaku dirinya pintar, sesungguhnya hanyalah ‘keminter’ (sok pintar). Cobalah tanyakan kepada orang yang sok pintar itu, berapa helai sih jumlah kumis atau jenggotnya? Dia tak akan mampu menjawab. Menghitung jenggot sendiri saja tidak mampu kok berani mengaku pintar! Sungguh menggelikan dan lucu yang membuat kita tersenyum masam.
Seperti juga tidak ada manusia sempurna, tidak ada pula manusia yang pintar. Mungkin dia pintar dalam satu hal, namun bodoh dalam hal lain. Yang Maha Pintar hanyalah Gusti Allah. Yang Maha Sempurna hanyalah Gusti Allah. Bahkan sekelumit ‘kepintaran’ yang dimiliki manusia juga anugerah Gusti Allah!
Aki Mahesa Sura tidak merasa kalah, bahkan menjadi penasaran dan marah bukan main. Masakah dia harus kalah oleh seorang pemuda ‘ingusan’? Akan tetapi dia ingin tahu juga siapakah pemuda yang mampu menahan serangan sinar matanya itu.
“Huh, bocah keparat yang berani melawan Aki Mahesa Sura! Mengakulah, siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa meninggalkan nama!”
“Aki Mahesa Sura, orang tuaku memberiku nama Lindu Aji,” Aji menyahut sejujurnya tanpa bermaksud merendahkan atau mengagungkan diri dengan nama itu.
Akan tetapi jawaban yang jujur itu malah membuat kakek itu membelalakkan matanya dan jantungnya berdebar keras. Teringatlah dia akan mendiang gurunya, Resi Mahesa Badag yang pernah memperingatkannya. “Awaslah kalau engkau bertemu seorang manusia yang namanya menggetarkan bumi, karena dia memiliki anindyaguna (keunggulan sempurna) dan karenanya dia aniwirya (tak dapat dilawan), memiliki siyung (taring) Sang Batara Kala. Maka jauhilah dan jangan dilawan.”
Tetapi dasar manusia yang sudah menjadi budak nafsu, Aki Mahesa Sura yang sombong dan merasa diri sendiri terpandai itu sama sekali tidak terpengaruh pesan gurunya itu. Dia tetap tidak sudi mengaku kalah kepada seorang pemuda bau kencur! Sepandai-pandainya pemuda itu, bagaimana mungkin dapat mengalahkannya?
Waktu yang dia pergunakan untuk berjerih payah mempelajari dan mengumpulkan semua ilmu itu masih lebih banyak dari pada usia bocah di hadapannya itu! Karena itu dia merasa yakin bahwa dia pasti akan sanggup mengalahkan serta membunuh pemuda lancang yang berani menentangnya itu.
“Lindu Aji! Engkau lihat, apa yang kupegang ini?!” bentaknya sambil mengangkat tongkat ularnya ke atas.
Aji merasa betapa dalam suara kakek itu terkandung getaran yang sangat kuat, maka dia pun maklum bahwa kini kakek itu hendak ‘menyerang’ melalui suaranya yang mengandung tenaga sakti. Dia masih bersikap tenang ketika memandang tongkat itu dan berkata tanpa nada mengejek, “Aki Mahesa Sura, aku melihat engkau memegang sebuah bangkai ular kering yang kau jadikan tongkat.”
“Uwah...! Apakah matamu sudah buta? Pusaka Sarpasakti ini memiliki kesaktian Kalabah-nisanghara (penumpasan dengan api maut), siapa pun yang berani melawan akan dihancur binasakan! Karena itu aku perintahkan kamu, hei Lindu Aji, berlututlah dan menyembahlah engkau agar terbebas dari kehancuran!”
Dalam suara Aki Mahesa Sura, terutama sekali di dalam kalimat yang terakhir, terkandung getaran yang teramat kuat, yang seolah mendatangkan tangan tak nampak yang menekan dan memaksa Lindu Aji untuk bertekuk lutut. Namun pemuda yang merasakan pengaruh sihir itu segera berzikir menyebut nama Allah berulang-ulang sesuai dengan detak jantung dan pernapasannya.
Muncullah kekuatan baru dalam dirinya dan rasa tertekan tadi pun menjadi lenyap, bahkan kini dia mengangkat muka memandang Aki Mahesa Sura yang masih mengangkat tongkat ularnya ke atas dan memandang kepadanya sambil menggerak-gerakkan tongkat itu yang seolah menjadi hidup kembali.
“Hentikan badutanmu itu, Aki. Tidak ada gunanya sama sekali,” kata Aji dengan tenang.
Aki Mahesa Sura kembali tertegun. Pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh! Sedikit pun tidak. Dia heran sekali. Padahal belum pernah ada orang yang mampu menolak serangan sihir melalui suaranya dengan semudah itu!
“Hemm, engkau berani, ya? Sekarang lihatlah serangan halilintar dari tongkat pusakaku!” Dia mengangkat tongkat itu ke atas. Kini kepala ular kering itu berada di atas dan ekornya di bawah.
“Hyaaaahhhh...!” Kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba dari moncong ular kering yang terbuka itu menyambar keluar sinar kehijauan, meluncur ke arah kepala Aji!
Pemuda ini sudah siap, baik lahir mau pun batin. Jiwanya menyerah sepenuhnya kepada Kekuasaan Gusti Allah, ada pun raganya selalu siap untuk menjaga diri, berusaha sekuat kemampuannya untuk menyelamatkan dirinya. Memang demikianlah yang dahulu selalu diajarkan oleh mendiang gurunya, Ki Tejo Budi.
Manusia hidup haruslah memenuhi dua kelengkapan itu supaya ia dapat disebut manusia seutuhnya. Secara rohani ia harus selalu dekat, selalu ada kontak dan komunikasi, selalu dijumenengi oleh Roh Allah yang Maha Suci dalam arti kata Kekuasaan Gusti Allah selalu manunggal (bersatu) dalam dirinya. Dan secara jasmani dia harus selalu mempergunakan semua anugerah Gusti Allah berupa tubuh dan hati akal pikiran untuk berikhtiar, berusaha untuk keselamatan jasmaninya dan untuk kesejahteraan hidupnya di dunia, dan terutama sekali untuk membantu pekerjaan Gusti Allah, yakni membangun kehidupan manusia di dunia yang penuh kedamaian, penuh kesejahteraan, penuh kasih sayang antara manusia.
Dalam keadaan seperti itulah Aji menghadapi serangan tongkat pusaka Aki Mahesa Sura. Didasari iman penyerahannya kepada Gusti Allah, Aji menyambut cahaya hijau itu dengan dorongan telapak tangan kirinya sambil mengerahkan Aji Surya Chandra.
Cahaya hijau yang keluar dari moncong ular kering menyambar dahsyat, bertemu dengan telapak tangan kiri Aji yang dikembangkan. Cahaya itu seolah-olah terpental membalik dan menyambar kepala ular kering itu sendiri.
“Uuhhhh...!” Kembali Aki Mahesa Sura terhuyung-huyung, terbawa oleh tongkatnya sendiri yang seperti terserang cahaya hijau yang keluar dari moncongnya.
Agaknya telapak tangan Aji tadi bekerja seperti sebuah cermin dan ketika cahaya hijau itu menyambar, maka cahaya itu seperti bertemu dengan cermin dan bayangannya terpantul membalik kemudian menyerang sumber cahaya hijau itu sendiri.
Aki Mahesa Sura menjadi semakin marah dan penasaran. Dua kali serangannya dengan menggunakan kekuatan sihir melalui mata dan suara sudah digagalkan, bahkan serangan yang ketiga melalui tongkat ular juga terpantul membalik.
Tetapi dia belum juga jera. Sudah bertahun-tahun dia mempelajari ilmu-ilmu dari Pajajaran, maka kini dia mengerahkan semua kekuatannya untuk menyerang dengan sihir ilmu hitam yang dianggapnya paling ampuh.
Mendadak dia menancapkan tongkat ularnya di atas tanah, sesudah itu dia mengeluarkan suara menggereng yang sangat kuat sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu. Kedua tangannya diangkat ke depan dada hingga membentuk cakar harimau, menggetar penuh tenaga dahsyat dan bergerak-gerak saling menyilang, lalu dia berjungkir balik tiga kali dan tubuhnya berubah menjadi seekor harimau yang amat besar!
Harimau sebesar kerbau itu menatap Aji dengan sepasang mata bersinar-sinar mencorong. Moncongnya mengeluarkan suara menggereng dan bibirnya tertarik-tarik memperlihatkan taring dan gigi putih mengkilap yang runcing mengerikan, dua kaki depannya menggaruk-garuk tanah dan bila kuku-kukunya itu ada yang menggurat batu, maka terperciklah bunga api!
Aji menghadapi harimau itu dengan tenang. Dia maklum sepenuhnya bahwa makhluk yang berada di depannya itu adalah seekor harimau jadi-jadian. Pernah dia berhadapan dengan Munding Hideung dan Munding Bodas, murid-murid kakek ini, dan kedua orang pemimpin gerombolan itu pun pernah mempergunakan ilmu hitam yang serupa, yaitu mereka menjadi dua ekor harimau jadi-jadian.
Tetapi dia dapat memunahkan sihir mereka dengan Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Tanah). Kekuatan mukjijat yang muncul karena iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah dapat memunahkan ilmu hitam kedua orang pimpinan gerombolan itu. Dan sekarang kembali dia berhadapan dengan harimau jadi-jadian buatan Aki Mahesa Sura yang tentunya jauh lebih dahsyat dan berbahaya dibandingkan dua orang muridnya!
Tiba-tiba saja di dalam hati Aji timbul keinginan untuk menguji kemampuan dirinya sendiri melawan harimau jadi-jadian itu dengan ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang Ki Tejo Budi.....
Komentar
Posting Komentar