ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-41


Di dalam menghadapi segala hal dia harus berikhtiar, selalu berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dirinya. Ikhtiar, usaha atau bekerja adalah wajib di samping iman penyerahan diri sepenuhnya yang merupakan keharusan manusia.

Bekerja saja tanpa dilandasi adanya bimbingan Gusti Allah dapat menyesatkan, membuat kita lupa diri dan hanya mengejar hasil pekerjaan itu tanpa peduli apakah cara bekerja itu diridhoi Gusti Allah atau tidak. Sebaliknya hanya bimbingan pada jiwa kita saja oleh Gusti Allah tanpa mengerjakannya dengan jasmani kita, juga membuat kita tidak mungkin dapat hidup di dunia ini. Keduanya, olah kerja dan iman penyerahan haruslah sama-sama kuat. Dengan demikian, hidup akan menjadi seutuhnya sebagai seorang manusia.

“Hauunnggg...! Grrrrrrr...!” Tiba-tiba harimau sebesar kerbau itu melompat dan menubruk, menerkam dengan dahsyatnya kepada Aji.

Pemuda ini telah siap dan waspada. Dia segera mengerahkan kelincahan berdasarkan Aji Bayu Sakti dan menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Seperti seekor kera, atau lebih tepat lagi laksana gerak gerik sang Hanoman dalam kisah wayang Ramayana, dia menyusup di bawah terkaman harimau jadi-jadian itu hingga terkaman itu luput.

Akan tetapi ketika Aji membalikkan tubuh dan berada di belakang harimau itu, mendadak harimau itu menggerakkan ekornya yang panjang dan bagaikan sebatang toya (tongkat) baja ekor itu menyambar dan menghantam kuat sekali ke arah pinggang Aji!

Pemuda itu terkejut juga, tak pernah menduga akan serangan yang mendadak itu. Karena untuk mengelak dia sudah tidak memiliki kesempatan lagi, maka Aji segera menyalurkan tenaga dari Aji Surya Chandra ke lengan kirinya dan menangkis sambaran ekor yang lebih besar dari pada lengannya itu.

“Wuuuttt...! Dukkk!”

Aji merasa betapa tubuhnya tergetar saking kuatnya sambaran ekor harimau jadi-jadian itu. Akan tetapi harimau itu pun menggereng dan ekornya terpental ketika bertemu lengan Aji. Cepat sekali harimau itu telah memutar lagi tubuhnya dan cakar kanannya menyambar dengan kecepatan kilat ke leher Aji. Pemuda itu masih dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya, namun dengan sangat cekatan cakar harimau itu dapat mengejar dan mengenai pundaknya.

“Brettt...!”

Baju di pundak Aji robek, akan tetapi kuku-kuku rincing itu hanya mengakibatkan guratan pada kulit pundaknya, tidak melukainya sama sekali karena tubuh Aji telah terlindung oleh kekuatan mujijat yang membuatnya kebal.

Sekali lagi harimau raksasa itu membuat lompatan menerjang dan menerkam. Namun Aji dapat mengelak dengan lebih cepat lagi. Harimau itu mengamuk, menerkam dengan dua cakar depannya dan berulang-ulang memukul dengan ekornya. Namun semua serangan itu dapat dihindarkan oleh Aji dengan elakan dan kalau perlu serangan itu dipatahkan dengan tangkisan lengannya.

Pertarungan sengit terjadi. Beberapa kali Aji terkena hantaman ekor, akan tetapi pukulan itu hanya membuat dia terguncang sedikit dan ekor yang memukul itu pun lantas terpental. Sebaliknya beberapa kali tamparan tangan Aji mengenai tubuh binatang jadi-jadian itu.

Akan tetapi tubuh harimau itu pun kuat dan kebal sekali. Harimau itu kadang terpelanting oleh pukulan tangan Aji, tapi seperti tidak merasakan nyeri, binatang itu sudah bangkit dan menyerang lagi.

Sesudah cukup lama berkelahi dan belum juga mampu mengalahkan pemuda itu, harimau jadi-jadian itu menjadi kesetanan. Kedua matanya mencorong seperti berapi, sementara itu moncongnya mengeluarkan uap panas. dengan gerengan yang menggetarkan jantung kini harimau itu menerkam lagi dengan lompatan tinggi.

“Wuuttttt...!”

Aji cepat menyusup ke bawah perut makhluk jadi-jadian itu seperti ketika dia menyerang pertama kali. Ketika sudah berada di belakang harimau itu, secara tiba-tiba dia membalik dan sekali sambar, tangan kanannya sudah menangkap ekor harimau itu.

Harimau itu meronta, namun Aji sudah mengerahkan tenaga dan mengayun lalu memutar-mutar tubuh harimau yang besar itu ke atas kepalanya. Harimau itu mengaum-aum marah akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dan diputar-putar cepat sekali seperti kitiran lalu tubuh harimau besar itu diayunkan dan dilontarkan sambil membentak.

“Pergilah kau!”

Tubuh harimau raksasa itu terlempar melalui pohon-pohon menuju ke arah sungai dan tak nampak lagi.

Aji cepat mencari Sulastri dan Jatmika. Sesudah memutar tubuhnya, dia melihat Jatmika dan Sulastri sedang bertarung melawan empat orang lawan yang tangguh. Masing-masing dikeroyok dua orang lawan dan mereka bertanding mati-matian.

Tadi setelah Aji berhasil memukul lepas dua buah pistol dari tangan Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang ini langsung dikeroyok dua oleh Jatmika dan Eulis. Mereka berkelahi dengan seru dan walau pun tumenggung itu seorang yang digdaya, namun dia kewalahan juga dan mulai terdesak menghadapi pengeroyokan Jatmika dan Eulis.

Memang senjata di tangan dua orang muda itu hanya ranting kayu, tapi di tangan mereka ranting itu menjadi senjata yang sangat ampuh. Apa lagi mereka pun menyelingi serangan ranting itu dengan tangan kiri yang melancarkan pukulan Aji Margopati yang dahsyat dan ampuh. Walau pun Tumenggung Jaluwisa mengamuk dengan golok di tangan kanan dan keris Kyai Cubruk milik Jatmika di tangan kiri, namun tetap saja dia terdesak sebab kedua ujung ranting itu dapat mematahkan semua serangannya sementara pukulan Margopati itu terus menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

“Kena...!” Tiba-tiba Jatmika membentak dan ujung ranting di tangannya dengan amat telak menusuk pergelangan tangan kiri tumenggung itu.

Tumenggung Jaluwisa kaget sekali. Biar pun pergelangan tangannya tidak terluka namun untuk sedetik itu tangannya terasa seperti kaku dan lumpuh hingga keris rampasan yang dipegangnya terlepas. Dengan gerakan cepat Jatmika menyambar keris pusakanya yang terjatuh di atas tanah itu.

Eulis cepat-cepat memutar rantingnya ketika Tumenggung Jaluwisa hendak menghalangi Jatmika memungut keris pusakanya sehingga pemuda itu akhirnya dapat mengambil Keris Kyai Cubruk. Dengan keris di tangan kanan serta ranting di tangan kiri, sekarang Jatmika menyerang dengan hebat, dibantu oleh Eulis yang tingkat kepandaiannya tak terpaut jauh dibandingkan dengan tingkat kepandaian Jatmika.

Tadi saja tumenggung itu telah terdesak. Apa lagi sekarang. Dia memutar-mutar goloknya sehingga senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai melindungi dirinya. Akan tetapi tetap saja dia terdesak dan kerepotan. Tumenggung itu berulang kali mengeluarkan teriakan sebagai isyarat kepada para pembantunya.

Mendadak muncul tiga orang yang memegang golok dan serentak mereka menyerbu dan membantu sang tumenggung. Mereka itu bukan lain adalah Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo.

Tadi tiga orang ini memimpin anak buahnya melawan para prajurit pengawal dan dengan adanya mereka bertiga yang mengamuk, mereka mampu mendesak biar pun jumlah anak buah itu tidak banyak kalau dibandingkan dengan pasukan pengawal. Tetapi tiga orang itu tiba-tiba mendengar isyarat tumenggung yang minta bantuan, maka mereka meninggalkan anak buah mereka kemudian membantu Tumenggung Jaluwisa.

Munding Beureum dan Munding Koneng segera mengeroyok Eilis, ada pun Munding Hejo membantu sang tumenggung mengeroyok Jatmika. Kini keadaan jadi membalik. Kalau tadi Tumenggung Jaluwisa yang terus terdesak, sekarang Jatmika dan Eulis yang terdesak dan terpaksa mereka harus mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti untuk bergerak cepat mengelak dari hujan serangan para pengeroyok.

Melihat keadaan Jatmika dan Sulastri, Aji yang sudah kehilangan lawan segera melompat dan langsung saja menerjang ke arah Munding Beureum yang mengeroyok Sulastri.

“Nimas Sulastri, jangan khawatir, aku datang membantumu!” Setelah berteriak demikian Aji lalu menampar ke arah pengeroyok yang ikat pinggangnya berwarna merah, yaitu Munding Beureum.

“Wuuuutttt...!”

Munding Beureum terkejut bukan main melihat datangnya angin pukulan yang dahsyat itu. Dia terpaksa cepat-cepat melemparkan tubuhnya ke samping, kemudian menjatuhkan diri dan sambil bergulingan dia membabatkan goloknya ke arah kaki Aji.

Gerakannya memang sangat cekatan. Sambil bergulingan goloknya menyambar-nyambar secara bertubi ke arah kedua kaki Aji. Aji berloncatan menghindar, akan tetapi ketika golok itu menyambar berulang-ulang, dia cepat mempergunakan kaki kanannya untuk memapaki dan menendang sambil mengerahkan tenaga.

“Desss...! Singgg...!”

Golok itu terlepas dari tangan Munding Beureum dan meluncur ke arah Eulis atau Sulastri.

Gadis itu menyambar dengan tangan kirinya dan dia sudah berhasil menangkap golok itu pada gagangnya. Melihat tubuh Munding Beureum masih bergulingan dan mendekatinya, dia cepat meluncurkan tongkat ranting kayunya ke arah tubuh yang bergulingan itu sambil mengerahkan tenaga.

“Wirrrrr...! Capp!”

Ranting kayu itu menancap ke dada Munding Beureum sampai hampir tembus! Orang itu mengeluarkan teriakan parau dan tewas tidak lama kemudian.

Eulis atau Sulastri girang bukan main mendapatkan pertolongan biar pun dia juga merasa terheran-heran mendengar pemuda itu menyebutnya Nimas Sulastri! Entah kenapa nama ini terasa akrab di telinganya, juga rasanya ia tidak asing dengan wajah dan suara pemuda itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana dan bila mana pernah berjumpa dengan pemuda itu. Ia tidak dapat terlampau banyak berpikir karena kini Munding Koneng yang melihat saudara seperguruannya tewas, menjadi marah lantas menyerangnya dengan ganas sekali. Eulis menangkis dengan golok rampasannya.

“Cringgg...!”

Bunga api berpijar ketika dua batang golok bertemu. Tapi sekarang Eulis memperlihatkan kehebatannya. Dahulu dia memang mahir dan sudah terbiasa bersilat pedang. Maka kini, ketika memegang sebatang golok, dia dapat memainkannya dengan dahsyatnya sehingga Munding Koneng segera terdesak.

Melihat keadaan Sulastri kini hanya menghadapi seorang lawan dan dapat mendesaknya, Aji segera melompat lalu membantu Jatmika yang masih dikeroyok dua oleh Tumenggung Jaluwisa dan Munding Hejo. Dia menerjang ke arah pengeroyok yang sabuknya berwarna hijau dan yang memainkan sebatang golok.

“Wuuuttt...!”

Tamparan tangan Aji amat ampuh hingga mendatangkan angin pukulan dahsyat. Munding Hejo kaget sekali dan dia membabatkan goloknya untuk menyambut tamparan tangan itu dengan maksud agar tangan yang menamparnya itu terbabat buntung oleh goloknya.

“Dessss...! Krekk...!”

Hebat sekali pertemuan dua tenaga itu. Golok itu patah dan tubuh Munding Hejo terlempar seperti daun kering disapu angin. Dia terlempar lalu jatuh terguling-guling dekat beberapa orang pasukan pengawal.

Melihat musuh roboh terguling-guling, lima orang prajurit pasukan segera menghujani tubuh Munding Hejo dengan tusukan tombak dan bacokan golok. Getaran pukulan Aji tadi sudah membuat Munding Hejo tak dapat mengerahkan aji kekebalannya lagi sehingga tubuhnya rusak dan nyawanya melayang karena hujan serangan itu.

Pada saat itu pula tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke dekat lima orang prajurit yang masih membacoki dan menusuki tubuh Munding Hejo yang sudah tak bernyawa lagi.

“Heeeeiiiitttt...! Arrrggghhhhh...!” Terdengar bentakan dan gerengan dahsyat dan orang itu mendorongkan kedua tangannya ke arah lima orang prajurit itu. Mendadak ada angin yang amat kuat menyambar, membuat lima prajurit itu berpelantingan roboh dan tidak mampu bangkit lagi karena mereka semua sudah tewas!

Aji terkejut dan segera menghampiri. Ternyata dia berhadapan dengan Aki Mahesa Sura yang berdiri memegang tongkat ularnya dengan pakaian basah kuyup. Agaknya ketika dia tadi menjadi harimau jadi-jadian lalu dilemparkan Aji sehingga terjatuh ke sungai, dia tidak terluka dan dapat keluar dari sungai dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Tadi begitu melihat betapa Munding Hejo yang menjadi muridnya dibantai, dia menjadi sangat marah dan sekali serang dia telah membunuh lima orang prajurit pengawal!

Sementara itu semua anak buah pemberontak sudah dapat dirobohkan dan sebagian lagi telah melarikan diri. Para prajurit pengawal yang masih hidup kini hanya menjadi penonton bersama Adipati Pangeran Mas Gede, tidak berani mendekati pertempuran hebat antara Eulis atau Sulastri melawan Munding Koneng, Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa, dan Aji yang kini saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura.

“Babo-babo, Lindu Aji! Penghinaan ini harus kau tebus dengan nyawamu!’ Wajah kakek itu tampak bengis dan sangat menyeramkan, seperti wajah iblis sendiri karena mengandung hawa amarah yang memuncak. Sinar matanya penuh ancaman maut dan tongkat ular di tangan kanannya menggigil saking kuatnya emosi yang menguasainya.

Aji bersikap tenang. “Aki Mahesa Sura, cobalah renungkan lagi. Siapa yang menghina dan siapa yang menyulut api permusuhan dan pertempuran ini? Masih belum terlambat kalau andika menyadari kesalahan, bertobat dan mengubah jalan hidupmu supaya mendapatkan penerangan sejati yang akan menuntunmu ke jalan kebenaran.”

“Aaahhhh!” Seperti iblis sendiri kakek itu menjadi marah mendengar ucapan itu yang sama sekali berlawanan dengan keinginan hatinya. “Kau tidak perlu berkhotbah di sini! Sekarang tinggal engkau atau aku yang menang atau mati!” Setelah berkata demikian kakek itu lalu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah Aji sambil berteriak lantang.

“Aji Bajra Kalantaka! Mampuslah!!”

Hebat dan dahsyat bukan main Aji Bajra Kalantaka (Kilat Dewa Maut) ini. Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang menyilaukan mata, yang mencuat bagaikan sambaran halilintar ke arah Aji.

Aji cepat merangkap kedua tangan di depan dada, melebur diri ke dalam kekuasaan Gusti Allah dan secara otomatis tangan kanannya mendorong ke depan. Tidak nampak apa pun dari telapak tangan kanannya, akan tetapi sinar kilat yang menyambar dari telapak tangan kiri kakek itu tiba-tiba saja terhenti di tengah jalan karena tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak namun kuat sekali.

Maka tejadilah adu kekuatan. Kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kekuatan yang menghalang itu hingga mulutnya mengeluarkan suara bekah-bekuh, seluruh tubuhnya gemetar dan keringatnya mulai membasahi mukanya, napasnya mulai terengah-engah dan sinar kilat mulai terdesak mundur lalu kembali ke telapak tangannya.

Sejenak tangan kiri kakek itu terkulai lemas. Untung bahwa Aji tidak mendesaknya, kalau hal itu dilakukan, tentu kakek itu akan roboh.

Biar pun kakek itu sudah tua renta tapi semangatnya menggebu-gebu, dia tidak mau kalah dan merasa kuat. Apa lagi dia sedang marah dan merasa penasaran. Semangatnya inilah yang membuat dia tiba-tiba mampu menguasai dirinya kembali dan kini dia mengeluarkan pekik menyeramkan.

“Auurrrggghhh...!” Tubuhnya menerjang ke depan, tongkat ularnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar hitam dan kini dia menggunakan ilmu silat yang cepat dan kuat untuk menyerang Aji.

Menghadapi serangan cepat dan kuat yang sangat berbahaya ini, Aji juga cepat bergerak lincah dan cekatan bagaikan seekor kera. Dia mainkan ilmu silat yang disebut Aji Wanara Sakti, mengelak dengan cepat dan balas menyerang.

Terjadilah pertandingan adu ilmu silat yang seru, cepat dan mengeluarkan angin berdesir. Tubuh mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara gulungan sinar hitam tongkat itu.

Dan ternyata ilmu silat yang dimainkan Aki Mahesa Sura itu memang hebat bukan main sehingga Aji sendiri kewalahan menghadapi sinar bergulung-gulung dan berkelebatan yang menyambar-nyambar seperti kilat itu. Hanya dengan kelincahan Aji Wanara Sakti saja dia masih dapat berkelebatan mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran tongkat maut.

Di lain pihak pertandingan antara Jatmika dengan Tumenggung Jaluwisa juga berlangsung secara hebat dan seru. Tumenggung itu adalah senapati Sumedang, bahkan tangan kanan Pangeran Mas Gede, maka ilmu silatnya juga sangat dahsyat. Dengan golok besarnya dia berusaha keras untuk merobohkan Jatmika yang melawan golok itu dengan keris pusaka Kyai Cubruk.

Biar pun senjatanya itu merupakan pusaka ampuh tetapi merupakan senjata yang pendek sehingga jangkauannya kalah jauh dibandingkan golok di tangan sang tumenggung. Oleh karena itu dia harus bergerak dengan hati-hati dan mempergunakan semua kelincahannya untuk menandingi lawan. Mereka saling serang dengan seru dan mati-matian.

Hanya pertandingan antara Eulis melawan Munding Koneng yang agak berat sebelah. Biar pun Munding Koneng juga seorang digdaya, merupakan seorang di antara Panca Munding murid-murid Aki Mahesa Sura, namun dia tampak sangat kewalahan melawan Eulis yang tingkat kepandaiannya setingkat dengan Jatmika.

Dara perkasa yang kini bersenjatakan sebatang golok rampasan itu mempunyai kecepatan gerakan yang membuat Munding Koneng repot sekali. Kadang pandang matanya menjadi kabur melihat dara itu berkelebatan di sekitar tubuhnya, sementara golok di tangan mungil itu terus menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata.

“Trang-trangg-tranggg...!”

Bertubi-tubi golok mereka beradu ketika Munding Koneng harus menangkis serangan yang datang dengan gencar itu. Tiba-tiba Eulis mengeluarkan bentakan melengking dan kembali goloknya menyambar dari atas, membacok ke arah kepala lawan.

Munding Koneng kembali menangkis dengan sekuat tenaga. Harapan satu-satunya hanya mengadu tenaga dengan harapan tangkisannya itu akan membuat golok di tangan dara itu patah atau terlepas dari pegangan karena dalam hal kecepatan dia kalah banyak sehingga dia terus terdesak.

“Singgg...! Trakkkk !”

Dua batang golok bertemu dan saling melekat! Kesempatan yang hanya beberapa detik ini dipergunakan oleh Eulis untuk memukul dengan tangan kirinya.

“Syuuuttt...! Plakk!”

Dada Munding Koneng terkena pukulan Margopati tangan kiri Eulis.

“Aduuhhhh...!” Tubuh laki-laki itu terjengkang dan dia terbanting keras, tidak dapat bangun lagi karena pukulan ampuh dan dahsyat itu telah merusak isi rongga dadanya.

Eulis menoleh, memandang ke arah Jatmika yang masih bertanding dengan serunya dan berimbang melawan Tumenggung Jaluwisa. Tanpa ragu-ragu lagi Eulis segera melompat dan langsung menyerang senopati Sumedang itu dengan goloknya.

“Wirrrrrr...!”

Jaluwisa terkejut dan cepat melompat ke samping untuk mengelak. Namun Jatmika sudah menyerangnya dan Eulis juga sudah menerjang lagi. Tumenggung Jaluwisa dikeroyok dua dan sekarang keadaan menjadi berubah. Senopati Sumedang yang memberontak itu mulai kewalahan sehingga dia hanya bisa mengelak dan menangkis dihujani serangan golok dan keris.

Pertandingan berat sebelah ini tidak berlangsung lama. Sesudah dengan bersusah payah mempertahankan diri, Jaluwisa menjadi nekad. Dia hendak mengadu nyawa. Dia rela roboh asal dapat merobohkan Jatmika pula.

Setelah didesak terus akhirnya dia membalas, menyerang dahsyat sekali ke arah Jatmika, membacokkan goloknya ke arah leher pemuda itu dengan mengerahkan seluruh tenaga. Jatmika terkejut dan cepat menangkis dengan kerisnya.

“Trangggg...!”

Jatmika tergetar dan terhuyung, akan tetapi pada saat itu pula sinar golok di tangan Eulis telah menyambar dan tepat mengenai lambung Jaluwisa yang tak terlindung.

“Cratttt...!”

Darah muncrat dan tubuh Jaluwisa terhuyung, tangan kirinya mendekap lambungnya yang terluka parah. Jatmika segera mempergunakan kesempatan itu untuk menerjang dan keris pusakanya menyambar kemudian menusuk ke arah leher senopati Sumedang itu. Jaluwisa mengeluarkan keluhan lemah kemudian robohlah dia dalam gelimangan darahnya sendiri.

Kini Jatmika dan Eulis memandang ke arah Aji yang masih bertanding seru melawan Aki Mahesa Sura. Tanpa diperintah, seperti sudah bersepakat saja, sepasang orang muda ini sudah menerjang maju dan mengeroyok Aki Mahesa Sura.

Kakek itu terkejut bukan kepalang. Dia bisa merasakan bahwa dua orang muda yang maju membantu Aji itu pun mempunyai tingkat kesaktian yang amat kuat sehingga dia terdesak hebat. Tadi pada waktu bertanding melawan Aji, kakek itu sudah merasa betapa sukarnya mengalahkan pemuda itu.

Karena terus menerus diserang tongkat ular yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu, kini Aji sudah mencabut keris pusaka Kyai Nogo Welang dan melakukan perlawanan mati-matian. Pemuda ini pun maklum betapa saktinya kakek yang dihadapinya.

Ketika Jatmika dan Sulastri atau Eulis datang membantunya, dia merasa girang kemudian mempercepat gerakan kerisnya untuk mendesak kakek yang sakti mandraguna itu. Ketika pada saat yang bersamaan golok di tangan Eulis dan keris Kyai Cubruk di tangan Jatmika kembali menyerang dari depan, kakek itu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menggunakan tongkat ularnya untuk menangkis, sementara tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah Aji, didorongkan ke depan dan dari telapak hitam itu keluar asap hitam.

Melihat serangan ini, Aji cepat-cepat mendorongkan tangannya untuk menyambut sambil mengerahkan tenaga sakti dari Aji Suryo Candra.

“Trangg...! Trangg...!”

Tubuh Jatmika dan Eulis tergetar dan terhuyung oleh tangkisan tongkat Aki Mahesa Sura, sedangkan tubuh kakek itu hanya bergoyang-goyang tanda bahwa pertemuan senjata itu pun menggoyahkannya. Pada saat itu dua tenaga sakti bertemu di udara, antara dorongan tangan kakek itu yang bertemu dengan dorongan tangan Aji.

“Wuuuttt...! Desss...!”

Sebenarnya kakek itu mempunyai tenaga sakti yang kuat sekali. akan tetapi pada saat itu tenaganya terbagi. Sebagian untuk menangkis golok Eulis dan keris Jatmika tadi, ada pun sebagian lagi untuk menyerang Aji. Tangkisan terhadap kedua senjata itu sudah membuat kakek itu tergetar dan sisa tenaganya dipakai untuk menyerang Aji yang menggunakan Aji Surya Chandra.

Aki Mahesa Sura terkejut dan dari mulutnya keluar keluhan panjang, tubuhnya terhuyung ke belakang seperti terbawa angin. Melihat keadaan kakek ini, Jatmika dan Eulis tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berdua langsung menerjang ke depan. Keris pusaka Kyai Cubruk di tangan Jatmika dan golok di tangan Eulis berkelebat.

“Cratt-cratt!”

Kakek itu tidak dapat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan karena isi dadanya sudah terguncang oleh pertemuan tenaga saktinya dengan sambutan Aji tadi. Perutnya terobek pedang dan ulu hatinya tertikam keris! Dia roboh, tetapi dapat bangkit kembali dan dengan wajah menyeramkan dia lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika dan Eulis. Asap hitam mengepul dari sepasang telapak tangannya dan asap itu menyambar ke arah Jatmika dan Eulis.

“Awas...!” Aji berseru khawatir, maklum betapa hebat serangan kakek yang sudah terluka parah itu.

Jatmika dan Eulis tidak sempat mengelak lagi. Seperti sudah bersepakat, mereka berdua menekuk lutut dan keduanya mendorongkan telapak tangan mereka ke depan, menyambut pukulan dahsyat kakek itu dan mengerahkan Aji Margopati.

“Wuuuttt...! Bressss...!”

Tubuh Jatmika dan Eulis terpental kemudian terbanting roboh, namun tubuh kakek itu pun terjengkang kemudian roboh tak bergerak lagi.

Aji terkejut dan cepat menghampiri Jatmika dan Eulis yang terbanting roboh. Dua orang itu sudah bangkit duduk bersila lantas mengatur pernapasan. Aji merasa lega bahwa mereka berdua ternyata hanya terguncang saja dan tidak menderita luka berat.

Dia melihat kakek itu telah tewas pula seperti para muridnya. Juga dia melihat bahwa anak buah Tumenggung Jaluwisa telah tewas semuannya, menjadi korban amukan para prajurit pengawal. Pertempuran benar-benar telah selesai dan biar pun di pihak pasukan pengawal banyak juga yang roboh dan tewas terkena tembakan, namun pihak para pemberontak itu telah terbasmi tanpa ada yang lolos.

Adipati Sumedang, Pangeran Mas Gede berjalan menghampiri Aji. Kini Jatmika dan Eulis juga sudah bangkit berdiri dan kesehatan mereka sudah pulih kembali.

“Aduh, anakmas Lindu Aji, kami benar-benar merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada andika. Kalau tidak ada andika yang memperingatkan kami dan tidak membantu merobohkan pengkhianat Jaluwisa berikut para pembantunya, entah apa yang akan terjadi dengan kami,” kata sang adipati dengan terharu.

“Sesungguhnya yang menyelamatkan paduka adalah Gusti Allah, sedangkan kami bertiga ini hanya melaksanakan tugas kami saja,” kata Aji dengan rendah hati.

“Andika sungguh seorang muda yang bijak, anakmas Aji. Dan siapakah pemuda dan dara ini? Kami juga harus mengucapkan terima kasih kepada mereka karena turut membasmi pemberontakan,” kata pangeran Mas Gede.

“Mereka ini adalah saudara-saudara seperguruan saya, bernama Jatmika dan Sulastri,” Aji memperkenalkan.

“Bukan, aku bukan Sulastri. Namaku Listyani dan biasa dipanggil Eulis!” kata Eulis sambil mengerutkan alisnya dan memandang heran kepada Aji.

Pangeran Mas Gede tersenyum. “Siapa pun juga namamu, nini, andika tetap merupakan seorang dara yang telah menolong kami. Nah, sekarang kami mengundang andika bertiga ke Kadipaten Sumedang sebagai tiga orang tamu kehormatan kami. Kami ingin menjamu andika bertiga untuk menyatakan syukur dan terima kasih kami.”

Aji terkejut dan heran bukan kepalang ketika tadi mendengar bantahan Sulastri yang tidak mengakui namanya, malah mengatakan bahwa namanya Listyani atau biasanya dipanggil Eulis. Saking herannya dia hanya berdiri memandang dara itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Ketika mendengar kata-kata sang adipati yang mengundang mereka bertiga untuk ikut ke Kadipaten Sumedang, Aji cepat berkata dengan sikap hormat. “Harap paduka memaafkan bahwa kami terpaksa tidak bisa memenuhi undangan paduka karena kami masih memiliki urusan penting sekali yang harus kami selesaikan. Biarlah lain kali kalau semuanya sudah beres, kami akan berkunjung ke Sumedang dan menghadap paduka.”

Adipati Sumedang mengangguk-angguk. “Baiklah dan selamat tinggal, Anakmas Lindu Aji. Kami hendak kembali secepatnya ke kadipaten.” Dia lalu memerintahkan sebagian prajurit untuk mengurus semua mayat yang bergelimpangan di sana dan mengurus teman-teman yang terluka, sedangkan yang sebagian lagi mendapat tugas untuk mengawalnya pulang ke kadipaten.

“Marilah kita meninggalkan tempat ini. Aku hendak bicara dengan andika berdua,” kata Aji kepada Jatmika dan Sulastri.

Jatmika yang juga ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda perkasa yang sudah menolong dia dan Eulis itu mengangguk kepada Eulis yang tampak ragu-ragu. Mereka lalu mengikuti Aji meninggalkan tempat bekas pertempuran di mana banyak prajurit pengawal sibuk mengurus para teman yang terluka dan jenazah-jenazah yang berserakan. Setelah berada agak jauh dari tempat bekas pertempuran, Aji memberi isyarat kepada Jatmika dan Eulis untuk berhenti. Mereka duduk di atas batu dan Aji memandang dengan penuh selidik kepada Eulis yang sejak tadi diam saja.

“Nimas Sulastri, mengapa engkau tidak mau mengakui namamu sendiri dan berganti nama menjadi Listyani atau Eulis? Kenapa, nimas?” tanya Aji kepada Eulis yang terlihat bingung mendengar pertanyaan ini.

Eulis menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Aji dengan sinar mata penuh keheranan.

“Aku tidak mengenal andika dan namaku memang Listyani dan biasa disebut Eulis. Tanya saja kepada Kakang-mas Jatmika. Bukankah begitu, kakang-mas?” Eulis menoleh kepada Jatmika.

Aji memandang kepada Jatmika dan pemuda ini mengangguk, lalu berkata kepada Aji. “Ki sanak, kami berdua mengucapkan terima kasih atas bantuanmu sehingga menyelamatkan kami berdua dan juga sang adipati. Dia ini memang bernama Listyani atau Eulis, mengapa andika menyebutnya Sulastri? Apakah andika mengenalnya?”

“Mengenalnya?” Aji mengerutkan alis. “Tentu saja aku mengenalnya dengan baik, bahkan aku juga mengenal namamu dengan baik, Kakang Jatmika. Andika adalah putera Paman Sudrajat, bukan?”

Jatmika menatap tajam wajah Aji, “Betul! Bagaimana andika bisa mengetahuinya? Apakah andika mengenal ayahku?”

“Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku ingin engkau menjelaskan lebih dahulu. Kalau engkau memang Kakang-mas Jatmika putera Paman Sudrajat, kenapa engkau justru tidak mengenal Nimas Sulastri dan menyebutnya Listyani ayau Eulis? Hal ini benar-benar aneh. Sebagai putera Paman Sudrajat berarti engkau adalah cucu Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Eyang Ki Tejo Langit. mustahil jika engkau tidak mengenal Nimas Sulastri karena dia adalah murid Eyang Ki Tejo Langit.”

Jatmika terbelalak menatap wajah Aji, kemudian menoleh dan memandang Sulastri. “Duh Gusti...! Jadi... dia adalah Sulastri murid eyang? Bapa pernah bercerita tentang dia... dan memang kami belum pernah saling berjumpa...!” Jatmika segera menghampiri Sulastri lalu memegang kedua pundak gadis itu dan mengguncangnya. “Engkau Sulastri...! Pantas aku mengenal ilmu-ilmu yang kau mainkan. Engkau Sulastri, bukan Listyani atau Eulis!”

“Kakang-mas Jatmika, kau ini bagaimana sih? Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa namaku Listyani dengan panggilan Eulis?”

“Ya, karena ketika kita saling bertemu aku tidak mengenalmu dan engkau telah kehilangan ingatanmu, tidak ingat siapa namamu dan tidak ingat apa yang sudah terjadi. Karena itulah aku memberimu nama Listyani atau Eulis.”

“Ohh...!” Sulastri duduk lagi di atas batu, memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. “Kalau begitu... siapakah aku ini...?”

“Engkau adalah Sulastri, puteri Paman Subali di Dermayu, nimas, dan aku adalah Lindu Aji, murid eyang Guru Tejo Budi. Engkau ingat, bukan?”

Sulastri menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Tidak, tidak...! Aku tidak ingat sama sekali. Tidak ingat...!” Lalu dia menundukkan mukanya sambil memegangi kepala dengan kedua tangan lagi seolah hendak memaksa ingatannya yang hilang agar kembali. Akan tetapi kini Jatmika memandang wajah Aji dengan mata terbelalak penuh kejutan.

“Andika murid... Eyang Tejo Budi? Ahh, Adi Lindu Aji, bagaimana kabarnya dengan Eyang Tejo Budi? Di mana dia sekarang? Sudah bertahun-tahun aku merindukannya, ingin sekali menghadap dan sujud di depan kakinya!”

Aji merasa terharu sekali. Dia maklum apa yang menjadi gejolak hati Jatmika. Ki Tejo Budi adalah kakek kandung pemuda itu, sebab Ki Sudrajat adalah putera kandung Ki Tejo Budi dan hanya anak angkat Ki Tejo Langit. Berat rasa hati dan mulutnya untuk menceritakan tentang kematian orang-orang yang begitu dekat dengan Jatmika, akan tetapi bagaimana pun juga dia harus menceritakan yang sebenarnya, menceritakan semuanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)