ALAP-ALAP LAUT KIDUL : JILID-42


“Ohhh...!” Jatmika jatuh terduduk di atas batu, tubuhnya terasa lemas. Kakek kandungnya yang begitu dirindukannya ternyata telah meninggal dunia sebelum dia dapat bertemu.

“Maaf, kakang. Aku membuatmu menjadi berduka,” kata Aji.

Jatmika dapat menguasai dirinya dan menjadi tenang kembali. Dia menatap wajah Aji dan berkata. “Tolonglah, Adi Aji, ceritakan kepadaku tentang beliau, tentang Eyang Tejo Budi, di mana dia tinggal, bagaimana engkau bisa bertemu dengan beliau dan bagaimana beliau meninggal dunia. Aku ingin sekali mengetahui segalanya tentang Eyang Tejo Budi. Apakah beliau meninggalkan istri... atau anak...?”

“Tidak, Kakang Jatmika. Semenjak berpisah dari Paman Sudrajat, Eyang Guru Tejo Budi tidak pernah menikah lagi. Beliau hidup seorang diri, bahkan sempat terlunta-lunta sampai pada suatu hari beliau tiba di dusun Gampingan, tidak jauh dari pantai Laut Kidul di mana aku tinggal bersama ibuku. Kemudian eyang guru tinggal dengan kami dan menjadi guruku sampai pada suatu hari beliau meninggal dunia karena sakit dan tua.”

“Ahh, kalau ayahku tahu...” kata Jatmika terharu.

“Paman Sudrajat sudah tahu, kakang Jatmika. Aku sudah menghadap Eyang Tejo Langit dan Paman Sudrajat di pesisir dekat Dermayu... dan sudah kuceritakan kepada mereka..“

“Ahh, engkau sudah bertemu ayah dan eyang, Adi Aji?”

“Sudah, dan aku...” Aji berhenti bicara. Dia merasa tidak tega untuk memberi tahu tentang kematian dua orang tua itu.

Melihat Aji bicara tersendat-sendat, Jatmika segera memandang tajam, “Ada apakah, Adi? Apa yang hendak kau katakan?”

“Ah, tidak kakang. Aku hanya ingin tahu bagaimana engkau dapat bertemu dengan Nimas Sulastri dan mengapa dia menjadi begini... ehh, kehilangan ingatan.”

“Pertemuan kami kebetulan saja, Adi Aji. Aku melihat dia dikeroyok tujuh orang penjahat, di antara mereka adalah Munding Hideung dan kakek Ki Kolo Srenggi yang jahat dan sakti mandraguna. Untung akhirnya kami dapat merobohkan dan membunuh mereka, sesudah kami berdua bekerja sama dengan susah payah. Nah, ketika kutanya, dia tidak ingat lagi siapa namanya dan dari mana dia datang. Walau pun dia adalah murid Eyang Tejo Langit tapi aku belum pernah bertemu dengannya, karena itu aku tidak mengenalnya. Karena dia bingung dan tidak ingat namanya, aku mengaku tahu bahwa namanya adalah Listyani atau Eulis. Nah, begitulah pertemuan kami.

Kami lantas pergi ke Sumedang untuk memenuhi pesan ayah dan eyang untuk membantu Kadipaten Sumedang yang dirongrong oleh pemberontakan. Akan tetapi dalam perjalanan kami dihadang oleh Aki Mahesa Sura yang bersekongkol dengan Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang yang memberontak. Kami pura-pura menyerah lalu ditugaskan untuk membunuh Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang. Pada saat penyerangan itulah kami berdua mempergunakan kesempatan untuk meloloskan diri dan kebetulan engkau muncul kemudian menolong kami, Dimas Aji. Sekarang ceritakanlah apa yang kau ketahui tentang Nimas Sulastri?”

Sulastri mengangkat mukanya memandang kepada Aji. Ia masih belum ingat apa-apa dan pemuda itu bagaikan orang asing baginya.

“Ya... ceritakanlah tentang diriku jika benar aku ini adalah Sulastri. Aku ingin mendapatkan kembali ingatanku tentang diriku yang sesungguhnya, semua terasa seperti mimpi dan aku benar-benar tidak ingat apa-apa lagi. Tidak ingat akan masa laluku, tidak ingat akan orang tuaku. Ahhh...!” Sulastri memegangi kepalanya lagi.

Aji memandang Sulastri dengan hati penuh iba, kemudian dia menatap wajah Jatmika dan berkata. “Kira-kira satu bulan yang lalu aku melakukan perjalanan bersama nimas Sulastri. Kami menghadap Adipati Cirebon, lalu diberi tugas untuk membasmi gerombolan Munding Hideung yang suka mengacau di Pegunungan Cireme. Kami berdua berhasil menemukan Munding Hideung dan Munding Bodas bersama anak buah mereka, dan kami pun berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi Nimas Sulastri terkena anak panah kemudian jatuh ke bawah tebing yang sangat curam. Setelah merobohkan semua gerombolan, aku menuruni tebing dan mencari-cari. Tapi aku tidak bisa menemukan Nimas Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan jejak! Selama dua hari aku terus mencari dengan bantuan anak-anak buah Munding Hideung, namun sia-sia. Nimas Sulastri lenyap.”

Sulastri mengangkat muka memandang Aji dengan alis berkerut. Melihat ini Aji bertanya penuh harapan. “Nimas, apakah ceritaku tadi mendatangkan kembali ingatanmu?”

Akan tetapi Sulastri menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya.

“Aku tidak ingat apa-apa, tidak ingat sama sekali,” katanya sedih.

“Dimas Aji, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau bisa membantu kami?” tanya Jatmika.

“Sekarang jelas bahwa tentu Nimas Sulastri kehilangan ingatan ketika terjatuh ke bawah tebing itu. Entah bagaimana caranya dia dapat selamat, barang kali Ki Kolo Srenggi itulah yang menyelamatkannya. Dia selamat akan tetapi kehilangan ingatan, mungkin kepalanya terbentur keras. Nah, lanjutkan ceritamu, dimas.”

“Dalam keadaan putus asa dan membawa pedang pusaka Nogo Wilis milik Nimas Sulastri aku lantas pergi menemui Paman Subali dan istrinya, yaitu ayah bunda Nimas Sulastri dan menceritakan mengenai hilangnya Nimas Sulastri. Tentu saja mereka merasa gelisah dan berduka sekali. Pedang Nogo Wilis sudah aku serahkan kepada Paman Subali.”

Jatmika memandang pada gadis itu. “Nimas Sulastri, apakah Pedang Nogo Wilis dan ayah ibumu itu belum juga dapat mengembalikan ingatanmu?”

Sulastri menggelengkan kepalanya. “Jangan sebut aku dengan nama itu, kakang-mas! Kini aku merasa lebih akrab dengan sebutan Listyani atau Eulis. Nama Sulastri itu terasa asing bagiku. Aku tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Yang kuingat hanyalah semenjak kita saling bertemu sampai sekarang.”

Jatmika menoleh kepada Aji. “Ceritamu tadi masih belum bisa mengembalikan ingatannya, Dimas Aji. Lanjutkanlah ceritamu mengenai pertemuanmu dengan ayah dan kakekku, juga tentang bantuanmu kepada kami tadi.”

Aji sengaja melewati kisah pertemuannya dengan Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dan dia langsung menceritakan bantuannya kepada Jatmika. “Secara kebetulan saja aku melihat rombongan Tumenggung Jaluwisa dan aku merasa curiga, lalu aku membayangi mereka. Sesudah mereka tiba di pondok Aki Mahesa Sura, aku melihat Nimas Sulastri dan engkau yang belum kukenal, Kakang Jatmika. Aku mendengarkan perundingan mereka lalu cepat-cepat pergi menemui Adipati Sumedang. Aku menceritakan semuanya dan kami membuat rencana siasat untuk menghadapi serbuan yang diatur Tumenggung Jaluwisa bersama Aki Mahesa Sura. Pada saat aku yang menggantikan sang adipati dan berada di dalam kereta melihat kalian berdua membalik dan melawan para pemberontak, aku merasa amat girang. Setelah aku mendengar namamu disebut barulah aku tahu siapa engkau, Kakang Jatmika, aku sudah mendengar mengenai engkau dari...” Tiba-tiba Aji teringat bahwa dia tidak ingin bercerita tentang Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit, maka dia terdiam seketika.

“Ya, engkau tentu mendengar tentang aku dari ayah dan kakek. Bagaimana engkau dapat bertemu dengan mereka, dimas?” Tanya Jatmika.

Berdebar rasa jantung di dalam dada Aji. Beberapa kali dia harus menelan ludah. Akhirnya dia berhasil menguasai ketegangan hatinya dan berkata dengan hati-hati. “Mulanya begini, kakang-mas. Aku tengah mencari orang bernama Raden Banuseta yang enam tujuh tahun yang silam telah membunuh ayah kandungku di dusun Gampingan. Ketika aku berkunjung kepada Paman Subali dan menceritakan tentang lenyapnya Nimas Sulastri, aku mendapat keterangan darinya bahwa Raden Banuseta itu adalah Ketua Perkumpulan Dadali Sakti di Dermayu dan terkenal jahat. Aku lalu mengunjungi perguruan itu, tetapi Banuseta sedang tidak berada di rumah. Di sana aku melihat wakilnya bersama para anak buahnya hendak memaksa seorang wanita menjadi istri Banuseta, Aku menentang dan menghajar mereka, membebaskan wanita itu dan suaminya. Aku merobohkan wakil ketuanya dan ketika aku hendak pergi, wakil ketua itu bertanya di mana alamatku karena Banuseta pasti akan pergi mencariku untuk membalas dendam. Karena aku hendak berkunjung ke pondok Eyang Tejo Langit di pesisir, maka aku sebutkan alamat itu lalu aku pergi menuju ke pantai laut.”

“Kemudian engkau bertemu dengan ayah dan kakekku?” tanya Jatmika.

Aji menghela napas panjang, matanya menatap wajah Jatmika penuh iba. “Kakang-mas Jatmika, sebelumnya ampunilah aku jika aku terpaksa menyampaikan hal yang membuat engkau tidak bahagia.”

“Ada apa, adimas? Katakan saja terus terang, aku siap menghadapi hal yang bagaimana pun juga.”

“Memang aku telah menghadap Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit. Mereka berduka sekali mendengar bahwa Eyang Guru Tejo Budi telah meninggal dunia. Juga mereka amat prihatin mendengar laporanku tentang lenyapnya Nimas Sulastri.” Kembali dia berhenti.

“Tentu saja ayah dan kakek merasa sedih dan prihatin mendengar berita yang amat tidak menyenangkan itu, dimas. Dan selanjutnya?”

“Malam itu aku ditahan oleh Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit. Kami bercakap-cakap kemudian aku menceritakan semua yang terjadi dengan mendiang Eyang Guru Tejo Budi dan dengan Nimas Sulastri. Tapi tiba-tiba Banuseta dan anak buahnya datang menyerang. Ia berteriak-teriak menantangku. Aku mohon Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tidak mencampuri sebab permusuhan dengan Banuseta adalah urusan pribadiku. Aku lalu keluar menerima tantangan Banuseta. Dia menyerangku akan tetapi aku dapat mengalahkan dia. Tiba-tiba muncul seorang temannya yang membelanya dan menandingi aku. Aku terkejut melihat ilmunya sama dengan ilmu Nimas Sulastri. Pada saat kami bertanding, Eyang Tejo Langit keluar dari pintu dan ketika menyebut nama lawanku, aku terkejut karena ternyata dia bernama Hasanudin atau panggilannya Udin!”

”Ahhh...? Kakang Hasanudin...?” Jatmika berseru kaget.

“Benar, dia Hasanudin... kakak tiriku yang sedang kucari-cari...” kata Aji.

“Kakak tirimu?” Jatmika mengulang, kaget dan heran.

“Benar. Dulu ayah pernah membunuh seorang bangsawan Galuh sehingga terpaksa pergi dari Galuh dan meninggalkan seorang putera. Hasanudin itulah puteranya dan ketika ayah meninggalkannya, dia masih kecil. Sebelum meninggal dunia, ayah berpesan padaku agar aku mencari kakak tiriku itu. Akan tetapi siapa tahu begitu bertemu, dia malah membantu Banuseta pembunuh ayah kami itu. Dia membantu Banuseta yang menjadi antek Kumpeni Belanda.”

“Antek Kumpeni Belanda?”

“Ya, Banuseta itu antek Kumpeni Belanda. Pada saat Eyang Tejo Langit muncul di pintu, dari kanan kiri terdengar letusan-letusan senapan dan Eyang Tejo Langit roboh tertembak anak buah Banuseta yang ternyata merupakan pasukan yang menggunakan senjata api.”

“Aaahhh...!” Jatmika berseru, mukanya berubah pucat, matanya terbelalak.

Aji merasa kasihan, akan tetapi sudah kepalang. Dia harus menceritakan semuanya.

“Ketika itulah Paman Sudrajat muncul dan kembali dihujani peluru senapan. Semua peluru itu hanya bisa merobek bajunya, namun kekebalan Paman Sudrajat tidak dapat ditembusi peluru itu. Tetapi tiba-tiba saja Banuseta menembakkan pistolnya ke arah Paman Sudrajat dan beliau... lalu roboh...”

“Aahhh... bagaimana... bagaimana keadaan eyang dan bapa...?”

“Mafkan aku, kakang... paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tewas...”

“Duh Gusti...!” tubuh Jatmika terkulai dan dia pun roboh pingsan.

Untung Aji bergerak cepat dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting. Dengan lembut dia merebahkan tubuh yang lemas itu di atas rumput.

“Kakang-mas Jatmika, maafkan aku...!” Aji mengeluh.

“Kakang-mas Jatmika...!” Sulastri menjerit lalu menubruk tubuh pemuda yang pingsan itu, mengguncang-guncang pundaknya dan menangis. “Aduh, kakang-mas Jatmika, sungguh kasihan sekali engkau...!” tangisnya.

Aji melihat betapa gadis itu menangis dengan sedihnya, air matanya bercucuran kemudian mengalir pada kedua pipinya. Melihat gadis itu memeluki Jatmika sambil menangis, diam-diam ada rasa pedih dan perih di hati Aji.

Betapa gadis ini amat menyayang Jatmika dan agaknya sama sekali sudah tidak ingat lagi kepadanya! Ada rasa cemburu mengusik hatinya, akan tetapi dilawannya perasaan yang dia tahu tidak benar ini. Harus diakuinya bahwa ada rasa sayang yang besar sekali dalam hatinya terhadap dara ini. Mengapa dia harus cemburu?

Ia mengerti bahwa rasa cemburu didorong oleh nafsu daya rendah dan cinta yang disertai cemburu itu bukanlah cinta yang setulusnya, namun cinta yang mengandung nafsu untuk memiliki, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri. Jika memang Sulastri yang disayangnya itu ternyata mencinta pria lain dan akan hidup bahagia dengan pria lain, mengapa hatinya tidak rela? Jika dia benar-benar menyayang Sulastri, tentu dia mementingkan kebahagiaan gadis itu dan hatinya akan turut bahagia kalau gadis yang disayanginya itu bahagia.

“Minggirlah, nimas. Biarkan aku yang menyadarkannya,” katanya lirih dan Sulastri minggir, memberi keleluasaan kepada Aji untuk menolong pemuda yang pingsan itu.

Aji maklum bahwa hati Jatmika tertekan penuh ketegangan. Maka, sebelum menyadarkan pemuda itu, terlebih dulu Aji menggunakan jari-jari tangannya untuk memijit, menekan dan mengurut tengkuk dan dua pundak Jatmika, kemudian tiga kali dia mengurut pelipis di atas kedua telinga. Sesudah itu barulah dia memijit tangan pemuda itu, tepat di tengah-tengah antara ibu jari dan telunjuk, membetotnya sehingga Jatmika segera mengeluh dan siuman.

Begitu membuka matanya, Jatmika teringat akan apa yang didengarnya dari Aji. Serentak dia bangkit duduk, matanya melotot memandang ke kanan kiri dan mencari-cari.

“Jahanam keparat kalian Banuseta dan Hasanudin! Akan kubunuh kalian!” Dia lalu bangkit berdiri. Aji segera merangkulnya.

“Kakang-mas Jatmika, ingatlah, kakang. Sebutlah nama Gusti Allah dan bersabarlah!”

Jatmika menengok dan pandang matanya melayang ke arah muka Aji, muka yang terhias senyum penuh kesabaran dan sinar mata yang begitu lembut penuh pengertian, dan juga mengandung wibawa yang amat meyakinkan. Seketika Jatmika teringat semuanya dan dia pun menangis.

“Duh Gusti, ampunilah hamba. Aduh bapa dan eyang... semoga paduka berdua mendapat pengampunan dan dianugerahi kedamaian dan ketenteraman oleh Gusti Allah...“ pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis.

“Kakang-mas Jatmika, kuatkan hatimu, kakang-mas...!” Sulastri mendekat dan merangkul.

Jatmika balas merangkul pundak gadis itu lalu mengusap air matanya dan menghentikan tangisnya. Dia teringat bahwa sungguh tidak pantas seorang satria meruntuhkan air mata. “Terima kasih, nimas Sulastri...”

“Eulis saja, kakang-mas. Aku lebih senang kau sebut Eulis, nama pemberianmu.”

“Ah, nimas Eulis, sekali lagi terima kasih. engkau begini baik padaku...”

“Engkau yang begini baik sekali kepadaku, kakang-mas. Aku berjanji akan membantumu mencari musuh-musuh besar yang telah membunuh ayah dan kakekmu.”

“Sudah semestinya, nimas, karena kakekku itu juga eyang gurumu sehingga sebenarnya kita masih saudara seperguruan.”

“Sayang aku tidak ingat lagi siapa eyang guruku itu,” kata Sulastri dengan wajah sedih.

“Dimas Aji, aku berterima kasih sekali kepadamu karena selain engkau sudah menolong kami, engkau juga menerangkan tentang keadaan diri Nimas Eulis yang sebenarnya, juga aku menjadi tahu akan tewasnya bapa dan eyang. Lanjutkan ceritamu tadi, Dimas Aji.”

Aji menarik napas panjang. Betapa pun pedih hatinya melihat Sulastri lupa kepadanya dan kini gadis itu jelas berhubungan akrab dengan Jatmika, namun di dasar hatinya dia merasa berbahagia melihat kenyataan bahwa gadis itu masih hidup.

“Setelah Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tertembak, Hasanudin lalu melarikan diri. Tanpa bantuannya agaknya Banuseta merasa jeri dan dia pun melarikan diri bersama anak buahnya. Aku lalu merawat dan masih sempat mendengar pesan terakhir Paman Sudrajat yang minta agar aku suka membantu puteranya yang bernama Jatmika kalau aku bertemu dengannya. Kemudian Paman Sudrajat tewas dan aku menguburkan kedua jenazah itu di belakang pondok. Demikianlah, Kakang-mas Jatmika.”

“Ahh, sekali lagi terima kasih, Adimas Aji, engkau sungguh baik sekali. Aku merasa girang bahwa engkau adalah murid Eyang Tejo Budi sebab dengan demikian berarti di antara kita masih ada tali persaudaraan seperguruan. Kita bertiga, Nimas Eulis, kau dan aku adalah saudara seperguruan atau sealiran.”

Tiba-tiba Sulastri memandang kepada Aji dan berkata, “Meski aku tidak ingat lagi tentang perguruanku, akan tetapi aku juga girang bahwa aku masih saudara seperguruan dengan Kakang-mas Jatmika dan dengan engkau, Kakang-mas Aji. Engkau adalah seorang yang gagah dan baik.”

Aji merasa terharu sekali. Meski pun sudah kehilangan ingatannya dan lupa masa lalunya, ternyata Sulastri masih bersikap baik dan ramah.

“Aku pun merasa girang, Nimas Sulastri.”

“Ehh, engkau lupa lagi, kakang-mas. Namaku Listyani, sebut saja Eulis.”

Aji terpaksa mengulang untuk menyenangkan hati gadis itu. “Aku akan berusaha agar aku tidak lupa lagi, Nimas Eulis.”

Bagaimana pun juga nama baru Eulis yang sederhana itu cukup cocok dan pantas karena Eulis berarti cantik. Biar pun ingatannya hilang tapi Sulastri tidak berubah. Kecantikannya tidak pernah hilang, bahkan dalam pandangan Aji gadis itu tampak semakin cantik!

“Adimas Aji, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku ingin sekali melakukan pengejaran dan pencarian terhadap si jahanam Banuseta dan Hasanudin, tetapi bagaimana dengan Nimas Eulis?”

Sulastri menyambar tangan Jatmika dan berkata. “Aku ikut denganmu, kakang-mas. Aku akan membantumu menghadapi dua orang jahat itu!”

“Kakang-mas Jatmika, aku rasa yang bertanggung jawab atas kematian Paman Sudrajat dan Eyang Tejo langit hanyalah Banuseta seorang. Hasanudin tidak turun tangan terhadap mereka. Hasanudin hanya membantu Banuseta untuk melawan aku dan agaknya dia pun merasa menyesal sekali ketika melihat Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit roboh oleh tembakan sehingga dia melarikan diri.”

“Hemm, betapa pun juga sepatutnya dia harus membela ketika melihat Eyang Tejo Langit yang menjadi gurunya tewas ditembak orang.”

“Kakang-mas Jatmika, menurut pendapatku sebaiknya engkau mengantarkan Nimas Eulis lebih dulu ke Dermayu, ke rumah orang tuanya. Siapa tahu begitu bertemu dengan Paman Subali dan istrinya, dia akan mendapatkan ingatannya kembali. Apa engkau tidak merasa bahwa menolong Nimas Eulis jauh lebih penting dari pada mencari Banuseta?” kata Aji.

“Tentu saja!” jawab Jatmika. “Engkau benar, Dimas Aji, lebih dulu aku akan mengantarkan Nimas Eulis ke rumah Paman Subali di Dermayu. Mari, nimas, kita berangkat!”

“Akan tetapi, kakang-mas, aku sudah lupa lagi siapa orang tuaku, siapa nama mereka dan di mana tempat tinggal mereka!” kata Sulastri.

“Tidak mengapa, nimas. Ikutlah saja denganku dan kita sama lihat nanti, mudah-mudahan pertemuanmu dengan orang tuamu akan mengembalikan ingatanmu yang hilang.” Jatmika menggandeng tangan gadis itu dan menoleh kepada Aji.

“Dimas Aji, kami berangkat. Selamat berpisah dan sampai bertemu kembali.”

“Selamat berpisah dan selamat jalan. Mudah-mudahan kalian berhasil dan semoga Gusti Allah selalu melindungi dan membimbing kalian!” kata Aji kepada dua orang yang sudah mulai melangkah pergi itu.

Setelah Jatmika dan Sulastri pergi hiingga tak nampak lagi bayangannya, Aji menjatuhkan diri dengan lemas lunglai ke atas batu yang tadi diduduki oleh Sulastri. Dia meraba-raba dan merangkul batu itu dengan hati penuh rindu dendam kepada Sulastri.

Dia merasa nelangsa sekali. Akan tetapi ketika merasa betapa kedua matanya panas dan hatinya bagaikan diremas-remas, Aji cepat duduk bersila di atas batu sambil menegakkan tubuhnya, seluruh jati dirinya berlutut pasrah menyembah Gusti Allah dan seketika itu pula cengkeraman nafsu yang membuat dia menderita duka dan kehilangan itu pun sirna.

“Terima kasih, Gusti, bahwa Nimas Sulastri masih hidup dan selamat. Semoga Paduka senantiasa melindungi dan membimbingnya sehingga dia bisa hidup dalam kebenaran dan selalu bahagia,” bisiknya. Dia pun bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat itu.

Biar pun dia juga ingin segera dapat menemukan Banuseta yang jahat dan menjadi antek Kumpeni Belanda untuk menentang dan membasminya, juga dia ingin mencari Hasanudin untuk menyadarkannya, namun Aji mengesampingkan keinginannya itu.

Dia merasa sangat heran melihat kenyataan bahwa Tumenggung Jaluwisa, senopati yang menjadi tangan kanan dan kepercayaan Adipati Sumedang, memberontak terhadap Adipati Pangeran Mas Gede. Kadipaten Sumedang merupakan tempat yang sangat penting bagi pasukan Mataram apa bila nanti balabantuan Mataram menyerang ke Batavia.

Selain bala bantuan diharapkan dari Kadipaten Sumedang, juga tempat ini dapat dijadikan tempat peristirahatan dan menyusun kekuatan, juga sebagai sumber ransum. Kadipaten itu perlu diselidiki, pikirnya dan dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Sumedang.

Malam mulai datang ketika Aji memasuki Kadipaten Sumedang. Biar pun belum purnama akan tetapi bulan yang cukup besar telah muncul dan membuat suasana malam itu terlihat meriah dan gembira. Orang-orang memenuhi halaman rumah dan jalan-jalan. Langit bersih dan bulan cerah, hawa udara di Kadipaten Sumedang lebih sejuk dari biasanya.

Tadi sebelum memasuki pintu gapura kadipaten itu, dari jauh Aji sudah mendengar suara gamelan. Gamelan Sunda masih agak asing dalam pendengaran Aji, akan tetapi sejak dia memasuki daerah Pasundan telah beberapa kali dia mendengarnya sehingga sudah mulai dapat menikmati iramanya.

Berbeda dengan gamelan Jawa yang lembut dan luwes, gamelan Sunda terdengar gagah dengan bunyi suling yang mendayu-dayu dan suara kendangnya yang begitu menghentak-hentak penuh semangat. Kalau gamelan Jawa pada umumnya mengandung kelembutan dan keluwesan seperti gerak-gerik satria Harjuna, maka gamelan Pasundan mengandung keperkasaan seperti gerak-gerik satria Gatotkaca. Irama dan hentakan kendangnya seperti merangsang kaki tangan untuk ikut bergerak!

Setelah memasuki gapura Aji melihat banyak orang, terutama laki-laki muda, berbondong menuju ke tengah kota kadipaten, ke arah datangnya suara gamelan. Aji dapat menduga bahwa di sana tentu sedang diadakan pesta, sebab itu dia pun ikut dengan orang-orang itu menuju ke tengah kota. Ketika ada seorang pemuda tinggi kurus berjalan didekatnya, dia menyapa dengan ramah.

“Maaf, sobat. Kalau boleh saya bertanya, ada perayaan apakah di sana?”

Laki-laki itu memandang Aji dengan sinar mata heran.

“Agaknya andika bukan orang sini, maka tidak tahu akan perayaan itu.”

“Memang saya bukan orang sini, ki sanak.”

“Pantas andika tidak mengetahui. Ketahuilah bahwa untuk merayakan kemenangan Gusti Adipati atas pemberontakan Tumenggung Jaluwisa, juga atas keselamatan Gusti Adipati, maka malam ini senopati Tumenggung Jayasiran mengadakan pesta semalam suntuk dan yang sangat menarik perhatian adalah diundangnya waranggana yang terkenal dari Galuh yang bernama Neneng Salmah yang cantik jelita, bersuara emas dan kalau menari, aduh, goyang pinggul dan pundaknya dapat membuat orang mabok kepayang! Malah diadakan pertandingan antara jawara, siapa menang berhak untuk berjoget dilayani Neneng Salmah. Wah, bakal ramai sekali!” kata laki-laki tinggi kurus itu dan dia pun bergegas mempercepat langkahnya.

Aji merasa tertarik. Ia pernah melihat pesta yang menampilkan seorang waranggana cantik yang bernyanyi dan menari. Akan tetapi dia belum pernah melihat para jagoan bertanding untuk memperebutkan kemenangan agar bisa berjoget dengan seorang waranggana yang terkenal.

Dia pun tidak mungkin pergi menghadap adipati Sumedang pada malam-malam begitu. Dia harus menanti sampai besok pagi dan dia tidak tahu di mana dia akan melewatkan malam ini, maka lebih baik menonton keramaian yang akan berlangsung semalam suntuk. Dia lalu mempercepat langkahnya mengikuti orang-orang itu.

Pesta itu diadakan di depan pendopo sebuah rumah besar. Di pekarangan rumah itu telah dibangun sebuah panggung yang tingginya satu setengah meter, panggung yang luas dan terbuat dari papan yang kokoh. Banyak lampu besar dipasang hingga membuat tempat itu terang benderang dan suasananya meriah sekali.

Di pendopo yang menyambung ke panggung itu penuh dengan kursi yang sudah diduduki para tamu undangan. Karena yang mengadakan pesta itu adalah seorang senopati, maka para tamunya tentu saja orang-orang penting di Sumedang. Hanya Sang Adipati Pangeran Mas Gede yang tidak hadir biar pun pesta itu diadakan untuk merayakan keselamatannya, karena sang adipati merasa lelah dan membutuhkan istirahat.

Di dalam pekarangan yang luas itu, di bawah panggung, penuh dengan orang-orang yang datang menonton. Di belakang panggung terdapat para penabuh gamelan yang sejak tadi sudah mulai menabuh gamelan sehingga suasana amat meriah biar pun sang waranggana yang ditunggu-tunggu masih duduk di antara penabuh gamelan dan belum menari, hanya kadang-kadang saja melengkapi suara gamelan dengan lengkingan suaranya yang merdu mendayu-dayu.

Hampir semua mata ditujukan kepadanya. Karena dia duduk bersimpuh di tengah-tengah para penabuh gamelan, maka yang kelihatan hanya mukanya yang memang cantik sekali, cantik dan segar bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, dengan kulit yang putih kuning seperti tampak pada lehernya yang panjang dan indah.

Rambut hitam ngandan-andan (berombak) digelung rapi dan dihias dengan untaian bunga melati, membuat rambut itu tampak semakin hitam saja. Sinom (anak rambut) bergantung manja di atas dahi yang halus dan berbentuk indah. Sepasang alis melengkung rapi, hitam dan lebat, melindungi sepasang mata yang jeli indah dan kedua ujungnya agak berjungat ke atas dengan sinar mata yang lembut namun bercahaya hingga mengandung daya pikat dan tantangan yang kuat.

Kedua pipinya berkulit segar kemerahan, mengapit sebatang hidung yang kecil mancung dan lucu serta sebuah mulut yang indah menggairahkan. Sepasang bibir itu merah basah dan selalu menyunggingkan senyum simpul yang juga memiliki daya tarik amat kuat yang merangsang hati kaum pria karena bibir itu seolah menantang.

Ketika dia bernyanyi, kadang-kadang mulutnya terbuka dan tampaklah sekilas deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, lidah merah muda dan rongga mulut yang lebih merah lagi. Mulut itu bagai sarang madu, penuh kesan menjanjikan kemanisan yang nikmat. Dagunya runcing dan setitik tahi lalat hitam di dagu menambah kemanisan wajah itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)